Anda di halaman 1dari 14

RETARDASI MENTAL

(TUNAGRAHITA)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus


Semester Gasal Jurusan Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

DISUSUN OLEH :
NURUL ISTIKHOMAH
1511505338

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
OKTOBER 2017
RETARDASI MENTAL
(TUNAGRAHITA)

I. DEFINISI
Secara umum pengertian tunagrahita ialah anak berkebutuhan khusus yang
memiliki keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang
membutuhkan perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan
yang maksimal.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi
yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang
dirumuskan Grossman (dalam Wardani, Hernawati, & Astati, 2007) yang secara
resmi digunakan AAMD (American Association on Mental Deficiency), yakni
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang memiliki IQ di
bawah 84 bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri
dan semua ini berlangsung pada masa perkembangannya.
Sedangkan Japan League for Mentally Retarded (Abdurrachman dan
Sudjadi, 1996: 20) mendefinisikan bahwa tunagrahita adalah (1) fungsi
intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes inteligensi baku, (2)
kekurangan dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi pada masa perkembangan,
yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Tunagrahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan secara khusus untuk penyandang tunagrahita lebih dikenal dengan
sebutan sekolah luar biasa (SLB). Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan
untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-
rata. Istilah lain untuk tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau
penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan,
nilai, kualitas, dan kuantitas.
Tunagrahita mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat
kecerdasan yang terganggu. Tunagrahita dapat berupa cacat ganda, yaitu cacat
mental yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang
mereka alami disertai dengan kelainan penglihatan (cacat mata). Ada juga yang
disertai dengan gangguan pendengaran. Tidak semua anak tunagrahita memiliki
cacat fisik. Contohnya pada tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih
banyak pada kemampuan daya tangkap yang kurang.

II. BATASAN
Batasan tentang anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita bagi
para ahli berbeda-beda. Perbedaan tersebut terkait erat dengan tujuan dan
kepentingannya serta pendekatan yang berbeda. Pada dasarnya batasan tentang
anak tunagrahita mengacu pada fungsi intelektual berada di bawah rata-rata,
kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa
perkembangan.
Fungsi intelektual ditentukan melaui tes intelegensi yang menunjukkan
pada kemampuan yang berhubungan dengan kinerja akademis. Kemampuan
adaptif merujuk pada kemampuan konseptual, sosial, dan pratikal yang dipelajari
seseorang untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangan
adaptasi tingkah laku maksudnya adalah anak tunagrahita kurang mampu
melakukan pekerjaan sesuai dengan umurnya, tetapi hanya mampu melakukan
pekerjaan yang berada di bawah umurnya.

III. KARAKTERISTIK
Karakteristik anak tunagrahita menurut Brown (At all, 1991; Wolery &
Harring, 1994 pada Exceptional Children Fith Edition, 1996) sebagai berikut :
a) Lamban dalam mempelajari hal hal baru, mempunyai kesulitan dalam
pmempelajari dengan kemampuan abstrak atau yang berkaitan , dan selalu
cepat lupa apa yang di pelajari anpa latihan terus menerus
b) Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yag baru
c) Kemampuan bicaranya sagat kurang bagi anak tyunagrahita berat
d) Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak tunagrahita berat mempunyai
keterbatasan daam gerak fisik, ad yang tidak dapat berjalan, tidak dapat
berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-
tugas yang sangat sederhana , sulit menjangkau sesuatu, dan mendonakan
kepala.
e) Kurang dalm kemampuan menolong diri sendiri . sebagian dari anak
tunagrahita berat sangat suit utuk engurus diri sendiri , seperti : berpakaian,
makan, mengurus kebersihan diri . mereka selalu memerlukan latihan khusus
untuk emmepelajari kemampuan dasar
f) Tingkah laku dan interaksi yang idak lajim . anak tunagrahita ringan dapat
bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai
tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan
kesulitan agi anak tunagrahita dalam memberikan perhatian terhadap lawan
main.
g) Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak tunagrahita erat
bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Keiatan mereka seperti ritual,
misalnya memutar-mutar jari didepan wajahnya dan melakukan hal-hal yang
membahayakan diri sendiri, misalnya menggigit diri sendir, membentur-
bentukan kepala.

IV. KLASIFIKASI
Pengklasifikasi tunagrahita perlu dilakukan untuk memudahkan guru
menyusun program dan memberi bantuan serta melaksanakan layanan
pendidikan yang sesuai dengan derajat ketunagrahitaannya. Tunagrahita meliputi
berbagai tingkat/derajat dari yang ringan sampai kepada yang sangat berat. Oleh
karena itu, sangat penting bagi guru untuk mengetahui perbedaan atau
karakteristik tunagrahita ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Dengan
mengetahui perbedaan tersebut, guru dapat melaksanakan strategi pendidikan dan
program pengajaran khusus yang dirancang bagi murid tunagrahita.
1) Klasifikasi anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut America
Association on Mental Retardation (dalam Spesial Education in Ontario
Schools) sebagai berikut :
a) Educable, anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam
akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah dasar.
b) Trainable, mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri,
pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemapuan untuk
pendidikan secara akademik.
c) Custodial, dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat
melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan
kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan
pengawasan dan dukungan terus menerus.

2) Klasifikasi menurut AAMD dan PP No. 72 Tahun 1991, sebagai berikut :


a) Tunagrahita ringan
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini meskipun kecerdasannya
dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan
untuk berkembang dalam bidang akademik, penyesuaian sosial dan
kemampuan bekerja.IQ anak tunagrahita ringan berkisar 50-70.
Dalam penyesuaian sosial mereka dapat bergaul, dapat menyesuaikan
diri dalam lingkungan sosial yang lebih luas, bahkan kebanyakan dari
mereka bisa mandiri dalam masyarakat. Penampilan fisik anak tunagrahita
ringan tidak beda dengan anak norrnal, sehingga seringkali mereka tidak
bisa diidentifikasi sampai ia mencapai usia sekolah. Biasanya mereka
diketahui setelah mengikuti pelajaran di sekolah karena kesukaran mereka
dalam mengikuti pelajaran dan penyesuai diri dengan teman-temannya.
b) Tunagrahita sedang
Mereka yang termasuk dalam kelompok tunagrahita sedang memiliki
kemampuan intelektual dan adaptasi perilaku di bawah tunagrahita ringan.
Mereka mampu memeperoleh keterampilan mengurus diri sendiri seperti
berpakaian, makan, mandi, mengunakan WC, melindungi atau menghindar
diri dari bahaya, mengadakan adaptasi sosial di rumah dan lingkungannya
Pada umumnya anak tunagrahita sedang dapat teridentifikasi sewaktu
bayi atau selagi kecil karena keterlambatan perkembangan dan terlihat dari
penampilan fisiknya. IQ anak tunagrahita sedang berkisar 30-50 sehingga
tingkat kemajuan dan perkembangannya bervariasi. Mereka dapat belajar
keterampilan dasar akademis seperti membaca, berhitung sederhana dan
menulis sederhana.
c) Tunagrahita berat dan sangat berat
Pada umumnya anak yang tergolong tunagrahita berat dan sangat
berat hampir tidak memiliki kemampuan untuk mengurus diri sendiri,
melakukan sosialisasi dan bekerja. Sepanjang hidupnya mereka selalu
bergantung pada orang lain. IQ mereka kurang dari 30 sehingga mereka
tidak keterampilan dasar akademis. Hampir semua tunagrahita berat dan
sangat berat menyandang cacat ganda.
3. Klasifikasi menurut tipe klinis
Klasifikasi tipe klinis adalah pengelompokan anak tunagrahita
berdasarkan kelainan jasmaniah. Secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai
berikut:
a) Down Syndrom
Tunagrahita jenis ini disebut juga tipe mongoloid karena raut
mukanya menyerupai orang Mongol dengan ciri-ciri: mata sipit dan miring,
lidah tebal, telinga kecil, kulit kering dan kasar, susunan geliginya kurang
baik dan lingkaran tengkoraknya kecil.
b) Kretin
Dalam bahasa Indonesia disebut kate atau cebol. Ciri-cirinya: badan
gemuk, pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, rambut kering, lidah
dan bibir tebal, pertumbuhan gigi terlambat, serta hidung lebar.
c) Hydrocephal
Ketunagrahitaan jenis ini memiliki ciri-ciri seperti kepala besar, raut
muka kecil, tengkoraknya membesar, pandangan dan pendengarannya
kurang sempurna, mata kadang juling.
d) Microcephal, Macrocephal, Brahicephal dan Schaphocephal
Ketunagrahitaan ini menunjukkan kelainan bentuk dan ukuran
kepala. Microcephal memiliki ukuran kepala kecil. Macrocephal memiliki
bentuk dan ukuran kepala besar, Brahicephal memiliki bentuk kepala yang
lebar dan Schaphocephal memiliki ukuran kepala yang panjang.

V. FAKTOR PENYEBAB
Berikut ini beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik
yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan:
1. Faktor Keturunan
a) Kelainan kromosom dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari
bentuk dapat berupa inverse atau kelainan yang menyebabkan berubahnya
urutan gen karena melihatnya kromosom; delesi (kegagalan meiosis),
yaitu salah satu pasangan sel tidak membelah sehingga terjadi kekurangan
kromosom pada salah satu sel; duplikasi yaitu kromosom tidak berhasil
memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel
lainnya; translokasi, yaitu adanya kromosom yang patah dan patahannya
menempel pada kromosom lain.
b) Kelainan gen. Kelainan ini terjadi pada waktu imunisasi, tidak selamanya
tampak dari luar namun tetap dalam tingkat genotif.
2. Gangguan Metabolisme dan Gizi
Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan
metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu.
3. Infeksi dan Keracunan
Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama
janin masih berada di dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain
rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan
pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika
lahir, syphilis bawaan, syndrome gravidity beracun.
4. Trauma dan Zat Radioaktif
Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau
terkena radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan.
Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran
yang sulit sehingga memerlukan alat bantuan. Ketidaktepatan penyinaran atau
radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental
microcephaly.
5. Masalah pada Kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang
disertai hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang
dan napas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis
terutama pada kelahiran yang sulit.
6. Faktor Lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya
ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang digunakan untuk pembuktian
hal ini, salah satunya adalah penemuan Patton & Polloway (Mangunsong,
2012), bahwa bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam
melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah
satu penyebab ketunagrahitaan. Latar belakang pendidikan orangtua sering
juga dihubungkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya
kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya
pengetahuan dalam memberikan rangsangan positif dalam masa
perkembangan anak menjadi penyebab salah satu timbulnya gangguan.

VI. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI


Menurut Astati (2001) bahwa permasalahan anak tunagrahita ringan secara
khusus dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Masalah kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam
kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan anak-anak dalam
kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami kesulitan, apalagi yang
termasuk kategori berat dan sangat berat. Pemeliharaan kehidupan sehari-
harinya sangat memerlukan bimbingan. Oleh sebab itulah disekolah
diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam melatih dan
membiasakan anak didik untuk merawat dirinya sendiri. Masalah-masalah
yang sering ditemui diantaranya adalah cara makan, menggosok gigi,
memakai baju, memakai sepatu, dan lain-lain.
b) Masalah kesulitan belajar
Dapat disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berpikir mereka,
tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka sudah tentu mengalami kesulitan
belajar yang tentu pula kesulitan tersebut terutama dalam bidang pengajaran
akademik, sedangkan untuk bidang studi, non akademik mereka tidak banyak
mengalami kesulitan belajar.
Masalah-masalah yang sering dirasakan dalam kaitannnya dengan
proses belajar mengajar diantaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan
dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir
abstrakyang terbatas, daya ingat yang lemah dan sebagainya.
c) Masalah penyesuaian diri
Masalah ini berkaitan dengan masalah-masalah atau kesulitan dalam
hubungannya dengan kelompok maupun individu disekitarnya. Disadari
bahwa kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi
oleh tingkat kecerdasan. Karena tingkat kecerdasan anak tunagrahita jelas-
jelas berada dibawah rata-rata (normal) maka dalam kehidupan bersosialisasi
mengalami hambatan. Disamping itu mereka ada kecenderungan diisolir oleh
lingkungannya, baik itu masyarakat ataupun keluarganya. Dapat juga terjadi
anak ini tidak diakui secara penuh sebagai individu yang berpribadi dan hal
tersebut dapat berakibat fatal terhadap pembentukan pribadi, sehingga
mengakibatkan suatu kondisi pada individu itu tentang ketidakmampuannya
didalam menyesuaikan diri baik terhadap tuntutan sekolah, keluarga,
masyarakat, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
d) Masalah penyaluran ke tempat kerja
Kehidupan anak tunagrahita cenderung banyak yang masih
menggantungkan diri kepada orang lain terutama kepada keluarga (orang tua)
dan masih sedikit sekali yang sudah dapat hidup mandiri, hal ini pun masih
terbatas pada anak tunagrahita ringan. Bila di perhatikan benar-benar
kehidupan anak tunagrahita ini cukup memprihatinkan. Setelah selesai
mengikuti program pendidikan ternyata masih banyak yang sangat
menggantungkan diri dan membebani kehidupan keluarga. Perlu ada
imbangan dari pihak sekolah untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan non-
akademik baik itu berupa kerajinan tangan, keterampilan, dan sebagainya.
Yang semuanya itu diharapkan dapat membekali mereka untuk terjun ke
masyarakat.
e) Masalah gangguan kepribadian dan emosi
Memahami akan kondisi karakteristik mentalnya, nampak jelas bahwa
anak tunagrahita kurang memiliki kemampuan berpikir, keseimbangan
pribadinya kurang konsisten/labil, kadang-kadang stabil dan kadang-kadang
kacau. Kondisi yang demikian itu dapat dilihat pada penampilan tingkah
lakunya sehari-hari, misalnya : berdiam diri berjam-jam lamanya, gerakan
hiperaktif, mudah marah dan mudah tersinggung, suka mengganggu orang
lain di sekitarnya (bahkan tindakan merusak/destruktif).
f) Masalah pemanfaatan waktu luang
Wajar bagi anak tunagrahita dalam tingkah lakunya sering menampilkan
tingkah laku nakal. Dengan kata lain bahwa anak-anak ini berpotensi untuk
mengganggu ketenangan lingkungannya, terhadap benda-benda ataupun
manusia di sekitarnya, apalagi mereka yang hiperaktif. Sebenarnya sebagian
dari mereka cenderung suka berdiam diri dan menjauhkan diri dari keramaian
sehingga hal ini dapat berakibat fatal bagi dirinya, karena dapat saja terjadi
bunuh diri. Untuk mengimbangi kondisi ini sangat perlu imbangan kegiatan
dalam waaktu luang, sehinggaa mereka dapat terjauhkan dari kondisi yang
berbahaya, dan pula tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat
maupun keluarga sendiri.

VII. INTERVENSI
Program pendidikan bagi siswa yang mengalami keterbelakangan mental
perlu mengikuti 3 fitur, yaitu :
1. Instruksi sistematis, pemberian respon sesegera mungkin setelah tingkah
laku/performa dan strategi-strategi untuk mentransfer kontrol terhadap
stimulus (verbal, gestural, fisikal, modelling)
2. Instruksi dalam setting kehidupan nyata dengan material sebenarnya,
instruksi dalam setting kehidupan nyata dengan material sebenarnya.
Pengukuran tingkah laku fungsional (FBA) serta dukungan terhadap
tingkah laku positif (PBS).
3. Pengukuran tingkah laku fungsional (FBA) serta dukungan terhadap
tingkah laku positif (PBS)
• Mengurangi/menghilangkan tingkah laku siswa keterbelakangan mental
yang tidak baik di kelas.
• FBA : penentuan konsekuensi, anteseden, dan situasi yang memicu
tingkah laku.
• PBS : menemukan cara mendukung tingkah laku positif siswa.
Beberapa modifikasi instruksional yang dapat dilakukan dengan kelas
inklusif dengan anak keterbelakangan mental yang di kemukakan oleh
Mastropieri & Scruggs (2000) dan Udvari-Solner (n.d) antara lain :
1) Tujuan prioritas
2) Adaptasi bahan-bahan / material
3) Adaptasi instruksi
4) Berkomunikasi dengan keluarga
5) Adaptasi evaluasi
6) Gunakan kurikulum khusus
Penyesuaian metode dan program pengajaran tersebut, meliputi :
1) Pelajaran harus bersifat konkrit
2) Metode mengajar dengan pendekatan individual
3) Review dilakukan secara terus menerus
4) Jangan terlalu menuntut syarat-syarat akademik yang tinggi
5) Kata-kata yang digunakan sederhana dan cepat difahami
6) Jangan memperlihatkan sikap yang menakut-nakuti anak
7) Isi pengajaran supaya menarik minat anak
Untuk anak sindroma down yang biasanya merupakan pembelajaran
visual, Kumin (2001) memberikan beberapa contoh cara dan bimbingan :
1) Organizers, cara-cara visual dan grafis dalam menstruktur informasi
untuk membantu siswa belajar. Misal : jaring-jaring atribut, peta tulang
ikan, dan diagram venn.
2) Cues and Prompts, alat untuk mengingatkan siswa mengenai apa yang
harus dilakukan, berupa verbal, gestural, tertulis, manipulatif, dsj.
3) Scaffolds, kerangka kerja yang membantu siswa dalam berkomunikasi
dan belajar (kalimat tidak lengkap, pertanyaan-pertanyaan pembantu)
Strategi penyusunan kurikulum :
1) Bagi anak tunagrahita ringan
a) Pada dasarnya isi kurikulumnya (kuantitatif) sama dengan anak-
anak normal, namun secara kualitatif sedikit lebih rendah daripada
anak-anak normal.
b) Dapat ditambah dengan berbagai latihan keterampilan
2) Bagi anak tunagrahita menengah
a) Isi kurikulum baik kuantitas maupun kualitasnya lebih rendah
daripada anak-anak normal.
b) Bobot latihan keterampilan disarankan lebih banyak
3) Bagi anak tunagrahita berat
a) Orientasi isi pengajaran pada lingkungan di dekatnya
b) Penekanan pada latihan keterampilan
c) Terapi terintegrasi
DAFTAR PUSTAKA

Akhmetzyanova, A. Ivanova. 2014. The Development of Self-Care Skills of Children


with Severe Mental Retardation in the Context of Lekoteka. World Applied
Sciences Journal 29 (6): 724-727.

Desiningrum, D. Ratrie. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:


Psikosain.

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I.


Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3) Kampus Baru UI, Depok.

Sutjihati, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama

Wardani, I.G.A.K. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai