1. Pengertian Epistaksis
Epistaksis adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar
melalui lubang hidung akibat sebab kelainan lokal pada rongga hidung ataupun
karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada
hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan
tipis cupingnya. Mimisan sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi
merupakan gejala dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa terjadi karena
bermacam sebab dari yang ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi
pada anak-anak karena pembuluh darahnya masih tipis dan sensitif, selain
karena pilek. Gangguan mimisan umumnya berkurang sesuai dengan
pertambahan usia. Semakin tambah usia, pembuluh darah dan selaput lendir di
hidungnya sudah semakin kuat, hingga tak mudah berdarah.
2. Klasifikasi
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung.
A. Epistaksis Anterior (Mimisan Depan)
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian depan,
maka disebut 'mimisan depan' (Epistaksis anterior). Kasus epistaksis anterior
terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari
pleksus kiesselbach. Lebih dari 90% mimisan merupakan mimisan jenis ini.
Mimisan depan lebih sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun
lendir dan pembuluh darah hidung belum terlalu kuat. Mimisan depan biasanya
ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun
kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke
tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah. Pada
pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan. Biasanya di sekat
hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat : Mengorek-ngorek hidung, Ttrlalu lama menghirup
udara kering, misalnya pada ketinggian atau ruangan berAC, terlalu lama
terpapar sinar matahari, pilek atau sinusitis, Membuang ingus terlalu kuat
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat
berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan
seperti memencet dan mengompres hidung dengan air dingin.
Beberapa langkah untuk mengatasi mimisan depan: (1) Penderita duduk di
kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke depan. Pada posisi duduk atau
berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat
untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah
mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke
lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat
menimbulkan gagal napas dan kematian. (2) Tekan seluruh cuping hidung, tepat
di atas lubang hidung dan dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini
selama 10 menit. Usahakan jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit
terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut. (3) Beri kompres dingin
di daerah sekitar hidung. Kompres dingin membantu mengerutkan pembuluh
darah, sehingga perdarahan berkurang. (4) Setelah mimisan berhenti, tidak boleh
mengorek-ngorek hidung dan menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat
sediktinya dalam 3 jam. (5) Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil,
korban sebaiknya dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan
pemasangan tampon (kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau
tindakan kauterisasi. Selama dalam perjalanan, penderita sebaiknya tetap duduk
dengan posisi tunduk sedikit kedepan.
4. Etiologi Epistaksis
Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal
dan sistemik.
Etiologi local
a. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
b. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
c. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja.
d. Etiologi lainnya: iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara
panas pada mukosa hidung; Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba Iatrogenik akibat operasi Pemakaian semprot hidung steroid jangka
lama Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral
clsertai Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
a. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau anpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat
berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik
b. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
c. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
d. Lebin jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya
pada kehamilan, menarke dan menopause, kelainan kongenital misalnya
hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber;
Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung, pada pasien dengan
pengobatan antikoagjlansia.
5. Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna
dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung
melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis
superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini
memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke
percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa
pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior
superior, a.palatina desenden , a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal
dan a. pharyngeal.
Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan
menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui
percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke
dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa
percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen
etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke
foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus.
Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu
turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral
dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum
kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis
anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di
area ini.
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum
nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan
udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena
trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal
dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat
menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi
ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang
sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan
atas, alergi atau sinusitis.
7. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium; Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang,
tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang
atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis
epistaksis.
b. Pemeriksaan darah tepi lengkap.
c. Fungsi hemostatis
d. EKG
e. Tes fungsi hati dan ginjal
f. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
g. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
8. Komplikasi
a. Sinusitis
b. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
c. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
d. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
e. Kerusakan jaringan hidung infeksi
f. Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumonia
g. Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum
h. Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok
toksik, Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis
kokain atau lidokain )
i. Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah,
hipersensitivitas, paralisis fasialis, infark miokard.
j. Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark
miokard.
9. Pencegahan
a. Jangan mengkorek-korek hidung.
b. Jangan membuang ingus keras-keras.
c. Hindari asap rokok atau bahan kimia lain.
d. Gunakan pelembab ruangan bila cuaca terlalu kering.
e. Gunakan tetes hidung NaCl atau air garam steril untuk membasahi hidung.
f. Oleskan vaselin atau pelembab ke bagian dalam hidung sebelum tidur,
untuk mencegah kering.
g. Hindari benturan pada hidung
10. Penanganan
a. Penanganan umum
- Pasien dengan perdarahan hidung biasa mengontrol hal tersebut dengan
melakukan penekanan langsung ataupun mengaplikasikan suatu obyek
dingin pada hidung.
- Jika upaya tersebut gagal, pasien biasanya akan langsung mengontak
atau pergi ke rumah sakit atau unit gawat darurat untuk mendapatkan
pertolongan.
- Pendekatan pertama yang biasa dilakukan adalah kauterisasi ataupun
pemasangan tampon hidung (nasal packing). Kauterisasi bermanfaat
hanya jika sumber perdarahan pada mukosa hidung jelas terlihat.
Kebanyakan epistaksis berhasil ditangani dengan pemasangan tampon di
dalam hidung, karena selain mempertahankan mukosa hidung tetap
lembab, juga bertindak sebagai tamponade untuk perdarahannya.
Tampon hidung sendiri bisa berupa tampon posterior ataupun anterior
tergantung letak sumber perdarahannya. Perlu diperhatikan bahwa saat
melakukan pemasangan tampon, penempatannya harus tepat, dan tetap
waspada terhadap potensi komplikasi, antara lain: trauma, infeksi,
dehidrasi, dan tentu saja berubahnya ventilasi akibat obstruksi aliran
udara lewat hidung, sehingga penderita akan menghirup udara melalui
mulut yang akan berpengaruh terhadap mekanisme fisiologis pernapasan
paru.
- Langkah lainnya dalam penanganan epistaksis adalah termasuk menilai
derajat kehilangan darah dan perlu tidaknya transfusi. Penyakit yang
mendasari juga harus dicari dan diobati secara tepat.
- Pada kasus trauma, penanganan tepat dan segera terhadap setiap
kondisi yang membahayakan jiwa diprioritaskan terlebih dahulu.
Manajemen terhadap jalan napas (airway) dan penggantian cairan tubuh
sangat penting, dan di saat yang sama juga dibutuhkan tindakan
emergensi untuk mengontrol epistaksis dan melindungi jalan napas.
Untuk tujuan ini biasanya dilakukan pemasangan folley catheter yang
diinflasikan di daerah nasofaring (area di belakang hidung) dan ditarik dari
lubang hidung depan untuk menekan area perdarahan potensial di bagian
belakang hidung sekaligus melindungi jalan napas.
b. Penanganan khusus
- Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan ligasi pembuluh darah
yang mensuplai darah ke hidung. Pilihan untuk ligasi dilakukan jika
penanganan melalui kauterisasi maupun tampon hidung
gagal.Pertimbangan lainnya dari intervensi vaskuler secara dini ini adalah
kenyamanan pasien, masa perawatan di rumah sakit, dan kefektivan
secara keseluruhan. Secara umum ligasi A. maksilaris lebih efektif
dibandingkan A. karotis eksterna, mengingat ligasi pada A. karotis
eksterna masih memungkinkan suplai darah ke lokasi perdarahan melalui
sistem vaskularisasi kolateral, di samping komplikasi serius yang mungkin
timbul, seperti stroke dan trauma vaskuler.
- Pendekatan terkini dari intervensi vaskuler secara langsung adalah
visualisasi angiografi dan embolisasi cabang terminal A. maksilaris.
- Dari sekian banyak pendekatan dalam penanganan epistaksis,
sebenarnya yang paling penting adalah kehati-hatian dalam
mengevaluasi kondisi penderita, serta identifikasi letak perdarahan secara
akurat. Dan pilihan yang diambil… apapun itu, harus benar-benar
dipertimbangkan berdasarkan kondisi yang ada, resiko maupun
keuntungan dari setiap tindakan.
11. Penatalaksanan
Kolaborasi
Aliran darah akan berhenti setelah darah berhasil dibekukan dalam
proses pembekuan darah. Ketika pendarahan terjadi, lebih baik jika posisi kepala
dimiringkan ke depan (posisi duduk) untuk mengalirkan darah dan mencegahnya
masuk ke kerongkongan dan lambung. Pertolongan pertama jika terjadi mimisan
adalah dengan memencet hidung bagian depan selama tiga menit. Selama
pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut. Perdarahan ringan biasanya
akan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang sama jika terjadi perdarahan
berulang, jika tidak berhenti sebaiknya kunjungi dokter untuk bantuan. Untuk
pendarahan hidung yang kronis yang disebabkan keringnya mukosa hidung,
biasanya dicegah dengan menyemprotkan salin pada hidung hingga tiga kali
sehari. Jika disebabkan tekanan, dapat digunakan kompres es untuk
mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriksi). Jika masih tidak berhasil, dapat
digunakan tampon hidung. Tampon hidung dapat menghentikan pendarahan dan
media ini dipasang 1-3 hari.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epitaksis adalah: (1) Mencegah
komplikasi yang timbul akibat perdarahan seperti syok atau infeksi, (2)
Mencegah berulangnya epitaksis, (3) Jika pasien dalam keadaan gawat seperti
syok atau anemia lebih baik diperbaiki dulu keadaan umum pasien baru
menanggulangi perdarahan dari hidung itu sendiri.
Terapi Lokal
- Buang gumpalan darah dari hidung dan tentukan lokasi perdarahan.
- Pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan
lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa nyeri.
- Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan
dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam
trikloroasetat 10%), atau dengan elektrokauter. Bila terdapat pertemuan
pembuluh darah septum anterior dan lokasi perdarahan ditemukan, maka
terbaik mengkauterisasi bagian pinggirnya dan tidak benar-benar di
pembuluh darah itu sendiri karena kauterisasi langsung pada pembuluh
darah tersebut biasanya akan menyebabkan perdarahan kembali. Harus
hati-hati agar tidak membuat luka bakar yang luas dan nekrosis jaringan
termasuk kartilago dibawahnya sehingga terjadi perforasi septum nasi.
- Cara yang paling baik untuk mengontrol epistaksis anterior (setelah
dekongesti dan kokainisasi) dengan suntikan 2 ml lidokain 1% di regio
foramen incisivum pada dasar hidung. Pengontrolan perdarahan anterior
dengan cara ini dapat menghindari masalah perforasi septum, karena
elektrokauterisasi diberikan ke tulang dasar hidung dan bukan pada
septum.
- Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka
diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau
salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan
ulang saat tampon dilepaskan. Tampon dibuat dari lembaran kasa steril
bervaselin, berukuran 72 x ½ inci, dimasukkan melalui lubang hidung
depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga
hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang
selama 1-2 hari, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan salep
antibiotik untuk mengurangi bakteri dan pembentukan bau.
- Dapat juga digunakan balon intranasal yang dirancang untuk menekan
regio septum anterior (pleksus kiesselbach) atau daerah etmoidalis. Cara
ini lebih mudah diterima pasien karena lebih nyaman.
Medika Mentosa
- Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis.
- Vasokontriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%. Menstimulasi reseptor alfa-
adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi. Dosis : 2-3 spray pada lubang
hidung setiap 12 jam. Kontraindikasi : hipersensitivitas. Hati-hati pada
hipertiroid, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, meningkatkan
tekanan intraokular.
- Anestesi lokal : lidokain 4%. Digunakan bersamaan dengan
oxymetazoline, Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls
saraf, Kontraindikasi : hipersensitivitas.
- Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban Nasal), menghambat
pertumbuhan bakteri, dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5
hari, Kontraindikasi : hipersensitivitas.
- Perak Nitrat: mengkoagulasi protein seluler dan menghancurkan jaringan
granulasi., Kontraindikasi : hipersensitivitas, kulit yang terluka. Intervensi
radiologi, angiografi dengan embolisasi percabangan arteri karotis intema.
Hal ini dilakukan jika epistaksis tidak dapat dihentikan dengan tampon.
Pembedahan
- Ligasi Arteri: Ligasi arteri etmoid anterior dilakukan bila dengan tampon
anterior perdarahan masih terus berlangsung. Ligasi dilakukan dengan
membuat sayatan mulai dari bagian medial alis mata,lalu melengkung ke
bawah melalui pertengahan antara pangkal hidung dan daerah kantus
media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, dimana periosteum diangkat
dengan hari-hari dan periorbita dilepaskan, lalu bola mata ditarik ke
lateral, arteri etmoid anterior merupakan cabang arteri optalmika terletak
pada sutura frontomaksilolaksimal. Pembuluh ini dijepit dengan suatu klip
hemostatik, atau suatu ligasi tunggal.
- Septal dermatoplasty pada pasien osler-weber-rendu-syndrome mukosa
septum diambil dan kartilago diganti dengan skin graft.
Follow up
- Cegah perdarahan ulang dengan menggunakan nasal spray, salep
Bactroban nasal
- Berikan antibiotika oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis
- Hindari aspirin dan NSAID lainnya
- Kontrol masalah medis lainnya seperti hipertensi, defesiensi vitamin k
melalui konsultasi dengan ahli spesialis lainnya
Edukasi pasien:
Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif dengan menggunakan kaustik
atau tampon jauh lebih efektif daripada dengan pemberian obat-obat hemostatik
dan menunggu darah berhenti dengan sendirinya. Jika pasien datang dengan
perdarahan maka pasien sebaiknya diperiksa dalam keadaan duduk, jika terlalu
lemah pasien dibaringkan dengan meletakan bantal di belakang punggung
pasien. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah, kemudian dengan menggunakan
tampon kapas yang dibasahi dengan adrenalin 1/10000 atau lidokain 2 %
dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan atau
mengurangi nyeri, dapat dibiarkan selama 3-5 menit.
Perdarahan Anterior
Dapat menggunakan alat kaustik nitras argenti 20-30% atau asam
triklorasetat 10% atau dengan elektrokauter. Bila perdarahan masih berlangsung
maka dapat digunakan tampon anterior (kapas dibentuk dan dibasahi dengan
adrenalin + vaseline) tampon ini dapat digunakan sampai 1-2 hari.
Perdarahan Posterior
Perdarahan biasanya lebih hebat dan lebih sukar dicari, dapat dilihat
dengan menggunakan pemeriksaan rhinoskopi posterior. Untuk mengurangi
perdarahan dapat digunakan tampon Beelloqk.
Tampon Beelloqk adalah penanganan pada: Risiko kekurangan volume
cairan,Nyeri, Risiko infeksi.
Tindakan mandiri perawat
- Awasi tanda-tanda vital
- Awasi masukan/haluaran, hitung kehilangan cairan akibat perdarahan
- Evaluasi turgor kulit, pengisian kapiler dan membrane mukosa mulut
- Kaji keluhan nyeri
- Awasi tanda-tanda vital
- Berikan posisi yang nyaman
- Dorong penggunaan manajemen nyeri
- Kurangi prosedur tindakan invasive
- Awasi tanda-tanda vital Kurangi pengunjung
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA EPISTAKSIS
A. Pengkajian
1. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
2. Riwayat Penyakit sekarang
3. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
- pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat; Untuk mengurangi flu
biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolism; biasanya nafsu makan klien berkurang
karena terjadi gangguan pada hidung
c. Pola istirahat dan tidur; selama inditasi klien merasa tidak dapat
istirahat karena klien sering pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri; klien sering pilek terus menerus dan
berbau menyebabkan konsep diri menurun
e. Pola sensorik; daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu
akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak).
Data subyektif
- Mengeluh badan lemas
Data Obyektif
- Perdarahan pada hidung/mengucur banyak
- Gelisah
- Penurunan tekanan darah
- Peningkatan denyut nadi
- Anemia
B. Diagnosa Keperawatan
1. PK : Perdarahan
2. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif
3. Cemas
4. Nyeri Akut
C. Perncanaan Keperawatan
1. PK : Perdarahan
Tujuan : meminimalkan perdarahan
Kriteria : Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
Intervensi
- Monitor keadaan umum pasien
- Monitor tanda vital
- Monitor jumlah perdarahan psien
- Awasi jika terjadi anemia
- Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan
perdarahan : pemberian transfusi, medikasi
Kolaborasi
- Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspektoran, bronkodilator
- Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk membantu
memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan spasme bronkus dan
analgetik diberikan untuk menurunkan ketidaknyamanan
3. Cemas
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta
pengobatannya.
Intervensi
- Kaji tingkat kecemasan klien
- Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien :Berikan penjelasan pada
klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan
kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti
- Observasi tanda-tanda vital.
LAPORAN PENDAHULUAN DEMAM THYPOID
1. Pengertian
2. Etiologi
Demam Thypoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Selain
oleh Salmonella typhi, demam typhoid juga bisa disebabkan oleh Salmonella
paratyphi A, B dan C namun gejalanya jauh lebih ringan. Ada dua sumber
penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih
terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun.
3. Manifestasi Klinis
a. Prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan
b. Lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat
c. Nafsu makan berkurang
d. Bibir kering dan pecah-pecah
e. Perut Kembung
f. Sulit BAB
g. Gangguan kesadaran ( apatis dan somnolen)
b. Minggu II
Pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang
khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan
kesadaran.
4. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi, salmonella paratyphy yang menjadi penyebab
demam thypoid masuk ke saluran cerna. Saat berada dalam saluran cerna
sebagian diantaranya dimusnahkan dalam asam lambung, namun sebagian lagi
masuk kedala usus halus, dan membentuk limfoidplaque peyeri. Ada yang hidup
dan bertahan ada juga yang menembus lamina propia dan masuk ke aliran limfe
serta masuk ke kelenjar limfe dan menembus aliran darah sehingga bersarang
dihati dan limfa. Dan terjadi hepatomegali yang akan menimbulkan nyeri tekan
dan infeksi yang menyebabkan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan meradang
dan ini yang menyebabkan demam tifoid sehingga terjadi peningkatan suhu
badan atau panas.
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi
oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian
kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan
mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang
biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan
kandung empedu.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Di dalam
beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah
tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit
walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji
widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian
yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
d. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana
tifoid adalah:
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secaraoral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
6. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu
seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti
sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman
Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)
7. Vit B komplek dan Vit C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran dan
kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh kafiler.
7. Komplikasi
Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
A. Pengkajian
1. Biodata Klien dan penanggung jawab (nama, usia, jenis kelamin, agama,
alamat)
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya klien dirawat di rumah sakit dengan keluhan sakit kepala,
demam, nyeri dan pusing
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengeluh kepala terasa sakit, demam,nyeri dan pusing,
berat badan berkurang, klien mengalami mual, muntah dan anoreksia,
klien merasa sakit diperut dan diare, klien mengeluh nyeri otot.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit lain/pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama (penularan).
3. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian umum
a. Tingkat kesadaran : composmentis, apatis, somnolen,supor, dan
koma
b. Keadaan umum : sakit ringan, sedang, berat
c. Tanda-tanda vital,
d. Pengkajian sistem tubuh
a. Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
b. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan
leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada
indera.
c. Pemeriksaan dada
1) Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor,
timpani)
2) Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen,
gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
e. Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat
bantu.
B. Diagnosa
NANDA NOC NIC
Hipertermi b.d Indikator: Identifikasi
proses infeksi Suhu 36,5 –penyebab / factor yang
salmonella thypi 37,5oC dapat menyebabkan
Bibir lembab hipertermi
Kulit tidak teraba Observasi cairan
panas masuk dan keluar, hitung
Aktifitas sesuaibalance cairan
kemampuan Beri cairan sesuai
kebutuhan bila tidak bila
kontraindikasi
Berikan kompres air
hangat.
Anjurkan pasien
untuk mengurangi aktifitas
yang berlebihan saat suhu
naik / bedrest total
Anjurkan pasien
menggunakan pakaian
yang mudah menyerap
keringat
Ciptakan lingkungan
yang nyaman
Kolaborasi :
Pemberian antipiretik
Pemberian antibiotic