Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

SUBJEKTIF

Perempuan umur 28 tahun, datang ke IGD RSUD Selasih pada tanggal 11 Maret 2018

dengan :

Keluhan Utama : Lemah anggota gerak kanan dan kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien perempuan datang dengan keluhan lemah anggota gerak kanan dan kiri sejak 1

hari yang lalu. Hal ini dialami pasien secara mendadak ketika pasien bangun tidur.

Kelemahan dirasakan diawali di anggota gerak kaki kanan dan kaki kiri kemudian menjalar

hingga anggota gerak tangan kanan dan tangan kiri. Sebelumnya pasien mengeluhkan kedua

kakinya terasa kebas – kebas. Riwayat nyeri kepala hebat disangkal pasien, kejang (-), Bicara

Pelo (-). Sulit menelan dan berbicara disangkal oleh pasien.

Sejak ± 5 hari SMRS pasien mengalami BAB cair , frekuensi BAB lebih dari 7x

dalam sehari, Konsistensi cair, Ampas (-), darah tidak dijumpai dan lendir (+) dijumpai.

Pasien sudah meminum obat diare dari warung dan sudah mulai membaik. Mual dan muntah

disangkal pasien. Riwayat demam disangkal pasien. BAK (+) dalam batas normal

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak Ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Ada

Riwayat Pengobatan : Tidak Ada

Riwayat Alergi : Tidak Ada


OBJEKTIF

Vital Sign

 Keadaan Umum : Lemah

 Kesadaran : Compos Mentis

 Tekanan darah : 120/ 70 mmHg / 130/70 mmHg

 Nadi : 82 x/menit

 Pernafasan : 20 x/menit

 Temp : 36,8C

 BB : 64 Kg

Pemeriksaan Fisik

 Kepala : Normochepali, kaku kuduk (-)

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

pupil isokor, refleks cahaya (+/+)

 T/H/M : Dalam batas normal

 Leher : Dalam batas normal

 Thoraks : Simetris, tidak ada retraksi dinding dada

 Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra

Perkusi : Kesan batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Paru – paru

Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)

Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor pada kedua hemithoraks


Auskultasi : Suara nafas vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen

Inspeksi : Simetris

Palpasi : soepel, H/L/R tidak teraba

Perkusi : Timpani, pekak hepar (-), nyeri saat perkusi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”

44444/44444
Kekuatan Otot 33333/33333

Ref. Fisiologis ++/++

Ref.Patologis -/-

HASIL LABORATORIUM

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Hematologi:
- Haemoglobin 11,6 gr/dl 12-14 gr/dl
- Leukosit 27.700 /ul 4,4 – 10 x 103 /ul
- Trombosit 299.000 /m 150 – 450 x 103 /m
- Hematokrit 32,0 % 26 – 48%
Serologi : Tidak ditemukan parasit
- Malaria malaria pada pemeriksaan
- Typhi O slide darah
- Typhi H 1/320
1/320
Kimia Darah
- Gula darah Sewaktu 95,5 mg/dl < 200mg/dl
- Kolesterol 176 mg/dl < 200 mg/dl
Elektrolit Darah
- Na + 141 Mmol/L 136 – 146 Mmol/L
- K+ 4,7 Mmol/L 3,5 – 5,1 Mmol/L
- Cl - 99 Mmol/L 98 106 Mmol/L
ASSEMENT

Tetraparese ec Susp. Guillain Barre Syndrome.

PLANNING

Konsul dr. Jhony Sp.S

- Awasi Vital Sign, Kelemahan dan Depresi Pernafasan

- IVFD RL 20 Tpm

- Inj. Dexamethason / 6 Jam

- Inj. Neurobion 500 / 12 jam

- Inj. Mecobalamin / 24 Jam

- Inj. Ranitidine / 12 Jam


TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Guillain Barre Syndrome.

Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut

yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS

merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara

akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan

nervus kranialis.

B. Etiologi Guillain Barre Syndrome.

Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya

dan masih menjadi bahan perdebatan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut

non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -

80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran

pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan

bahwa infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan

yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai

persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk

terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.

Diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat menyebabkan GBS.

Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan

disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merupakan penyakit menular

yang besar. Pada dasarnya guillain barre adalah “Self Limited” atau bisa timbuh dengan

sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas

sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.
Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

C. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome.

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti.

Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini

adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan

mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh

darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler

dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering

adalah infeksi virus.


Teori-teori Imun.

Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun lewat

mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated

demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya

terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka

semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan

system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf

perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya

merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system

sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh

karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses

keradangan terjadi. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang

beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy (AIDP). Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS

sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh

penyakit autoimun.

Peran Imunitas Seluler.

Sumber mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan

antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan

limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai

pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel

saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.


Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan

sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian

menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena

antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya

respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin

tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga

otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih

sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.

Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf

tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa

edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan

iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke

sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.

Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada

hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.

Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi

sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan

ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang

menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus

membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome

menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada
pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Fungsi selaput myelin

adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan

keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga

penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Disamping itu, hancurnya selaput

myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk

diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena

itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja

terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya

saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah.

Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia).

Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri.

Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita

tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang

punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan

terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan

terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya

tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor &

Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan,

berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya

simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota

badan kanan.
Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4

D. Klasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang

paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh

respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan

bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa

terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,

yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%

kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang

nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini

musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-

GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga

menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan

kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;

dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular

dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,

ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut

Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun

diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak,

seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis

BBE cukup baik.

E. Diagnosis Guillain Barre Syndrome

Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang

berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih

kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala

menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan

progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung


seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir

klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan

mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko

kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta

gejala.

2. Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik

perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat

kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama

dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih

ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.

Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,

serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang

meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses

penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien

langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain

mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase

penyembuhan.

3. Fase penyembuhan .

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan

penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang

menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan

saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk

membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara

optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang

beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan

penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap

menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat

penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase

infeksi.

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya

bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu

disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas

Gastrointestinal. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute

of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

I. Gejala Utama:

- Terjadinya kelemahan yang progresif.

- Hiporefleksi

II. Gejala Tambahan:

a. Ciri-ciri klinis:

- Progresifitas.

- Relatif simetris

- Gejala gangguan sensibilitas ringan

- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.

- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.


- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dan gejala vasomotor.

- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial.

- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

- Varian:

 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala.

 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

 Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya

kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

c. Gejala yang menyingkirkan diagnosis.

- Kelemahan yang sifatnya asimetri

- Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

- Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

- Gejala sensoris yang nyata

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari

anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan

otot tunkai, bulbar dan otot pernafasan juga terjadi. Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa

ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran

utama, pasien GBS biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali

kelemahan nervus fasial atau faringeal, Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus
Sepertiga pasien GBS inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi

atau orofaringeal.

Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome

 Cairan serebrospinal (CSS).

Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah

protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada

kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,

jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah

protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah

onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis

umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.

 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,

antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan

prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal

saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah

terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen

motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu

setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat

hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta

disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak

sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan

periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan

denervasi EMG.
 Pemeriksaan Darah .

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke

bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada

fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat

meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai

respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,

dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat

pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang

berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV

ataupun EBV.

 Elektrokardiografi (EKG)

Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus takikardia. Gelombang T

akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,

namun tidak sering.

 Tes Fungsi Respirasi

(pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik

yang sedang berjalan (impending).

 Pemeriksaan Patologi Anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat

limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi

sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan

degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,

mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila

terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,

jantung, dan organ lainnya.

Diagnosa Banding Guillain Barre Syndrome

 Kelainan batang otak

a. Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak

b. Ensefalomielitis batang otak

 Kelainan medulla spinalis

a. Mielitis transversa.

b. Mielopati nekrotik akut.

c. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum.

d. Mielopati akut lain.

 Kelainan sel kornu anterior

a. Poliomielitis

b. Rabies

c. Tetanus

 Kelainan transmisi neuromuskuler

a. Myastenia gravis

b. Botulismus

c. Hipermagnesemi

d. Paralisis yang diinduksi antibiotika

 Abnormalitas metabolik

a. Hipokalemi

b. Hipermagnesemia

c. Hipofosfatemia
F. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum

bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu

dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi

sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya

penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). (1,2,5,12)

 Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak

mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

 Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil

yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas

yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan

dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih

bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

 Pengobatan imunosupresan:

a) Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4

gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari

tiap 15 hari sampai sembuh.

b) Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:


1. 6 merkaptopurin (6-MP)

2. Azathioprine

3. Cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

 Intervensi Bedah

Tracheostomy mungkin diperlukan pada pasien dengan kegagalan pernapasan

berkepanjangan, terutama jika ventilasi mekanis diperlukan untuk lebih dari 2

minggu. tabung makan Percutaneous mungkin juga diperlukan, dalam rangka

memenuhi kebutuhan gizi pasien dengan berkepanjangan, disfagia berat. Sebuah garis

vena sentral perlu ditempatkan untuk pasien yang menjalani plasmapheresis.

 Program Rehabilitasi

a) Terapi fisik

Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu

sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada

dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi yakni pada fase

progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif yang penting diperhatikan

adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak terjadi komplikasi.

Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada

fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun.

Pada fase penyembuhan, prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan

kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama

ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari

rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi

kemampuan fungsional penderita. Diperkirakan bahwa sekitar 40% dari pasien yang

dirawat inap dengan GBS membutuhkan rehabilitasi rawat inap. Sayangnya, belum
ada penelitian rehabilitasi jangka panjang hasil yang telah dilakukan, dan pengobatan

sering didasarkan pada pengalaman dengan kondisi neurologis lainnya. Tujuan dari

program terapi adalah untuk mengurangi defisit fungsional dan untuk menargetkan

gangguan dan cacat akibat GBS. Pada awal fase akut penyakit saja, pasien mungkin

tidak dapat berpartisipasi penuh dalam program terapi aktif. Pada tahap itu, pasien

manfaat dari berbagai harian gerak (ROM) latihan dan posisi yang tepat untuk

mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi.

b) Terapi Bicara

Terapi bicara ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan menelan

aman bagi pasien yang memiliki kelemahan orofaringeal signifikan dengan disfagia

resultan dan dysarthria. Pada pasien ventilator dependent, strategi komunikasi

alternatif mungkin juga perlu diterapkan. Setelah dilepaskan dari ventilator, pasien

dengan tracheostomies bisa belajar menyuarakan strategi dan akhirnya bisa

dilepaskan dari tabung trakeostomi. Skrining kognitif juga dapat dilakukan conjointly

dengan neuropsikologi untuk menilai defisit, karena masalah kognitif telah dilaporkan

pada beberapa pasien dengan GBS, terutama setelah mereka memiliki masa tinggal

diperpanjang di unit perawatan intensif (ICU).

G. Prognosis

Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik:

1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot

2. Umur tua

3. Kebutuhan dukungan ventilator

4. Perjalanan penyakit progresif & berat.


Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian

kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi

penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:

 Pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal

 mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

 progresifitas penyakit lambat dan pendek

 pada penderita berusia 30-60 tahun

H. Komplikasi Guillain Barre Syndrome

a. Paralisis menetap

b. Gagal nafas

c. Hipotensi

d. Tromboembolisme

e. Pneumonia

f. Aritmia Jantung

g. Ileus

h. Aspirasi

i. Retensi urin

j. Problem psikiatrik

k. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.

l. Hipokalemia

m. Miastenia Gravis

n. Adhoc commite of GBS

o. Tick Paralysis

p. Kelumpuhan otot pernafasan.

q. Dekubitus
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka

waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan

biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Kesembuhan pasien

berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada

sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.

Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih sedikit

pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS

yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan fungsi otonomik yang

serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih

20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik,

hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.


DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi,I. 2005. Guillain Barre Syndrome. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah


Universitas Sumatera Utara;.p.1-6
2. Harsono. 2008.Guillain Barre Syndrome dalam Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
3. Schultz J.L. 2005. Disorder of Myelin Sheath. In: Davis L E, King M K, Schultz J L,
Editor. Fundamental of Neurologic Disease.4th edition. New York: Demos Medical
Publishing, Inc;. p.105-7
4. Anonim. 2008. Guillain-Barré Syndrome National Institute of Neurological Disorders
and Stroke. Available from: http://www.medicinenet.com
5. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM. 2004. Guillain Barre Syndrome in Neurology in
Clinical Practice. Ed 1st , Elsevier. Philadelphia,
6. Mumenthaler M, Mattle H. 2006. Translated by Ethan Taub. Guillain Barre Syndrome
in Fundamentals of Neurology An Illustrated Guide. Thieme Stuttgart, New York, p.
173-5
7. Rooper AH, Brown RH. 2009. Guillain Barre Syndrome in Adam’s and Victor’s
Principles of Neurology. 8th Ed. McGraw-Hill. New York. 2009
8. Harsono. 2008. Guillain Barre Syndrome dalam Kapita Selekta Neurologi.Gajah Mada
University Press
9. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. 2007. Recognizing Guillain-Barre Syndrome in
the Primary Care Setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice.
Available from: ijahsp.nova.edu/articles/vol5num1/mantay.pdf
10. Standar Pelayanan Medik (SPM) Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran
Unhas. Makassar . p.6

Anda mungkin juga menyukai