Porto 1
Porto 1
SUBJEKTIF
Perempuan umur 28 tahun, datang ke IGD RSUD Selasih pada tanggal 11 Maret 2018
dengan :
Pasien perempuan datang dengan keluhan lemah anggota gerak kanan dan kiri sejak 1
hari yang lalu. Hal ini dialami pasien secara mendadak ketika pasien bangun tidur.
Kelemahan dirasakan diawali di anggota gerak kaki kanan dan kaki kiri kemudian menjalar
hingga anggota gerak tangan kanan dan tangan kiri. Sebelumnya pasien mengeluhkan kedua
kakinya terasa kebas – kebas. Riwayat nyeri kepala hebat disangkal pasien, kejang (-), Bicara
Sejak ± 5 hari SMRS pasien mengalami BAB cair , frekuensi BAB lebih dari 7x
dalam sehari, Konsistensi cair, Ampas (-), darah tidak dijumpai dan lendir (+) dijumpai.
Pasien sudah meminum obat diare dari warung dan sudah mulai membaik. Mual dan muntah
disangkal pasien. Riwayat demam disangkal pasien. BAK (+) dalam batas normal
Vital Sign
Nadi : 82 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Temp : 36,8C
BB : 64 Kg
Pemeriksaan Fisik
Jantung
Paru – paru
Abdomen
Inspeksi : Simetris
44444/44444
Kekuatan Otot 33333/33333
Ref.Patologis -/-
HASIL LABORATORIUM
PLANNING
- IVFD RL 20 Tpm
Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut
yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan
bahwa infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan
yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai
persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan
disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih merupakan penyakit menular
yang besar. Pada dasarnya guillain barre adalah “Self Limited” atau bisa timbuh dengan
sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas
sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.
Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun lewat
terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan
system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf
perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya
merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system
sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh
karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses
keradangan terjadi. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.
Sumber mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan
antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen
tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel
sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian
menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena
antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya
respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga
otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih
Patologi
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa
edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan
iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada
hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi
sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada
pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Fungsi selaput myelin
adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan
keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga
penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Disamping itu, hancurnya selaput
myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk
diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena
itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja
terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya
saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah.
Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia).
Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri.
Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita
tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang
punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan
terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan
terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya
tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor &
Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan,
berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya
simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota
badan kanan.
Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4
D. Klasifikasi
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa
terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,
yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%
kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak,
seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya
bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu
Gastrointestinal. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute
I. Gejala Utama:
- Hiporefleksi
a. Ciri-ciri klinis:
- Progresifitas.
- Relatif simetris
- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
- Varian:
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan
otot tunkai, bulbar dan otot pernafasan juga terjadi. Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa
ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran hiporefleksia menjadi gambaran
utama, pasien GBS biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial, seringkali
kelemahan nervus fasial atau faringeal, Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus
Sepertiga pasien GBS inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi
atau orofaringeal.
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
Pemeriksaan Darah .
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai
respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,
dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV
ataupun EBV.
Elektrokardiografi (EKG)
akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi
sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
a. Mielitis transversa.
a. Poliomielitis
b. Rabies
c. Tetanus
a. Myastenia gravis
b. Botulismus
c. Hipermagnesemi
Abnormalitas metabolik
a. Hipokalemi
b. Hipermagnesemia
c. Hipofosfatemia
F. Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi
sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya
Kortikosteroid
Plasmaparesis
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
b) Obat sitotoksik
2. Azathioprine
3. Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Intervensi Bedah
memenuhi kebutuhan gizi pasien dengan berkepanjangan, disfagia berat. Sebuah garis
Program Rehabilitasi
a) Terapi fisik
Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu
sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada
dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi yakni pada fase
progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif yang penting diperhatikan
Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada
kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama
kemampuan fungsional penderita. Diperkirakan bahwa sekitar 40% dari pasien yang
dirawat inap dengan GBS membutuhkan rehabilitasi rawat inap. Sayangnya, belum
ada penelitian rehabilitasi jangka panjang hasil yang telah dilakukan, dan pengobatan
sering didasarkan pada pengalaman dengan kondisi neurologis lainnya. Tujuan dari
program terapi adalah untuk mengurangi defisit fungsional dan untuk menargetkan
gangguan dan cacat akibat GBS. Pada awal fase akut penyakit saja, pasien mungkin
tidak dapat berpartisipasi penuh dalam program terapi aktif. Pada tahap itu, pasien
manfaat dari berbagai harian gerak (ROM) latihan dan posisi yang tepat untuk
b) Terapi Bicara
Terapi bicara ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan menelan
aman bagi pasien yang memiliki kelemahan orofaringeal signifikan dengan disfagia
alternatif mungkin juga perlu diterapkan. Setelah dilepaskan dari ventilator, pasien
dilepaskan dari tabung trakeostomi. Skrining kognitif juga dapat dilakukan conjointly
dengan neuropsikologi untuk menilai defisit, karena masalah kognitif telah dilaporkan
pada beberapa pasien dengan GBS, terutama setelah mereka memiliki masa tinggal
G. Prognosis
2. Umur tua
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
a. Paralisis menetap
b. Gagal nafas
c. Hipotensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia Jantung
g. Ileus
h. Aspirasi
i. Retensi urin
j. Problem psikiatrik
l. Hipokalemia
m. Miastenia Gravis
o. Tick Paralysis
q. Dekubitus
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada
sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih sedikit
pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS
yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan fungsi otonomik yang
serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih
20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik,