Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : Hiperosmolar Hiperglikemik State

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Ardian Pratiaksa

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

HIPERSMOLAR HIPERGLIKEMIK STATE

Disusun oleh :
Dr. Ardian Pratiaksa

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, 28 Maret 2018

Pembimbing,

dr. Yopie Ibrahim


BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : Hiperosmolar hiperglikemik state


Tanggal MRS : 27 Maret 2018
Presenter : dr. Ardian Pratiaksa
Tanggal Periksa : 27 Maret 2018
Tanggal Presentasi : Maret 2016 Pendamping : dr. Yopie Ibrahim
Tempat Presentasi : Bali Ndeso
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Laki-laki, 61 tahun tidak dapat berjalan karena lemas
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat dan tuntas.
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Tn. S, 61 tahun No. Registrasi : 17031xxx
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien seoran laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan badan lemas dan tidak
dapat berjalan sejak 3 minggu SMRS. Awalnya pasien masih dapat berjalan
menggunakan alat bantu namun lama kelamaan pasien tidak dapat berjalan dan hanya
berbaring atau duduk sejak 3 minggu ini. Pasien dalam pengobatan diabetes mellitus
dengan obat oral namun jarang kontrol. Pasien didiagnosis diabetes sudah sejak lebih
dari 5 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan badan demam, demam dirasakan terus menerus. Selain itu
pasien mengeluhkan luka pada bagian pantat pasien yang sudah mulai muncul sejak
pasien mulai tidak bisa berjalan. Keluhan mual muntah disangkal oleh pasien. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
2. Riwayat Pengobatan : obat oral anti diabetic
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat DM sejak lebih dari 5 tahun dengan kontrol
yang kurang baik. Pasien pernah terjatuh 35 th yg lalu namu setelah itu masih dapat
beraktifitas seperti biasa.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat DM tidak diketahui, Riwayat hipertensi di keluarga (-)
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Status ekonomi keluarga pasien termasuk
dalam golongan menengah kebawah.
7. Lain-lain :
Sosial ekonomi kurang, pasien menggunakan fasilitas mandiri

Daftar Pustaka :
1. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes
Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
2. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et al; editor
bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
3. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
4. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono,
Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
5. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam :
Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
6. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
7. Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.
Jakarta : Interna Publishing.
Hasil Pembelajaran :
1. Hiperosmolar hiperglikemik state
2. Penegakan diagnosis HHS
3. Tatalaksana HHS

Keterangan Umum :
Nama : Tn. S
Usia : 61 tahun
No RM : 17031xxxx
Alamat : Klego, Boyolali
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : lemas dan tidak dapat berjalan
Pasien seoran laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan badan lemas
dan tidak dapat berjalan sejak 3 minggu SMRS. Awalnya pasien masih
dapat berjalan menggunakan alat bantu namun lama kelamaan pasien tidak
dapat berjalan dan hanya berbaring atau duduk sejak 3 minggu ini. Pasien
dalam pengobatan diabetes mellitus dengan obat oral namun jarang kontrol.
Pasien didiagnosis diabetes sudah sejak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan badan demam, demam dirasakan terus menerus.
Selain itu pasien mengeluhkan luka pada bagian pantat pasien yang sudah
mulai muncul sejak pasien mulai tidak bisa berjalan. Keluhan mual muntah
disangkal oleh pasien. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital sign
o Tekanan Darah : 150/60 mmHg
o Nadi: 89x/menit
o RR: 22x/menit
o Temp: 40,1 C
 Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
o Cor:
 Inspeksi: tak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat
 Perkusi: batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal , regular
 Abdomen:
o Inspeksi : flat, distensi (-) ulkus dekubitus pada regio superior
fissura para gluteal
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : Hepar/lien tidak teraba
o Perkusi : tymphani (+)
o Turgor (+) baik

 Ekstrimitas : Hangat, Cappilary Refill Time < 2, edem dan hiperemis


regio antebrachii sinistra

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap


Hb 7,9 g/dl HbsAg -
Leukosit 13800 sel/mm3 Ur 57
Trombosit 468.000sel/mm3 Cr 1,36
MCV 83,7 fL GDS 812
MCH 25,8 pg CT -
MCHC 30,9 g/dl BT -
Eritrosit 3,02jutasel/mm3 Gol Darah AB+
Hematokrit 25,2%

Status lokalis ulkus dekubitus


Hasil EKG

C. DIAGNOSIS BANDING
Hiperosmolar hiperglikemik state
Ketoasidosis diabetikum
Ulkus diabetikum
D. DIAGNOSIS KERJA
Hiperosmolar hiperglikemik state dengan ulkus dekubitus

E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. IVFD RL 2 liter dalam 2 jam
2. Usul debridement ulkus dekubitus
3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
4. Drip insulin rapid 50 IU dalam 500 cc RL 16 tpm habis dalam 10 jam
5. Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. KU VS
3. Urin output dengan DC
4. ABI
5. Urin rutin
6. Ur Cr

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik


Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus
(DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar
glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia
menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien
dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price,
2006).
Etiologi
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut (Soewondo, 2009) :
1. Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan ISK
2. Pengobatan, misalnya pada penggunaan obat kemoterapi, glukokortikoid,
fenitoin, diuretic tiazid, dan propanolol.
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan jadwal
penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang
menghasilkan hormone adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular,
sindrom cushing, hipertemia, hipotermia, thrombosis mesenterika,
pancreatitis, emboli paru, gagal ginjal, luka bakar berat, tirotoksitosis, dll.
Patofisiologi

(Smeltzer, 2002).

Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan


kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin
menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi
akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan
glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik
cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan
intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan
kekurangan cairan (Sudoyo, 2006).
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga
timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan
(poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan
dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan phospat (Sudoyo, 2006).
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi
glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal
tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah
adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa
menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan
sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urin
yang disebut glukosuria. (Sudoyo, 2006).
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan
pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin
memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo,
2009).
Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang
disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemik (Sudoyo, 2006).
Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan
menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan
dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan
untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh
mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia,
hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem
saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi
koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral,
jantung (Sudoyo, 2006).
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan
tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan
kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya
akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan
stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan
elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi (Soewondo, 2009).
Diagnosis
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika
dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan disertai keluhan saraf
seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Sewondo, 2009).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas
yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan
peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula
dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat (Soewondo,
2009).
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma.
Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih
dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien,
dan dapat berupa kejang umum, local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo,
2009).
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi
glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang
tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari
7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan
asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10 – 12). Jika anion gap nya
berat (>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab
lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium
dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN),
dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

Kehilangan Elektrolit pada HHNK


Elektrolit Hilang
Natrium 7 – 13 mEq per kg
Florida 3 – 7 mEq per kg
Kalium 5 – 15 mEq per kg
Fosfat 70 – 140 mEq per kg
Kalsium 50 – 100 mEq per kg
Magnesium 50 – 100 mEq per kg
Air 100 – 200 mEq per kg

Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar dengan seri


Brookiyn dan Washington, didapatkan data sebagai berikut (Foster, 2000) :

Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar

Seri : Brookiyn Washington


Umur, tahun 60 57
Glukosa, mmol/L (mg/dl) 65(1166) 54(976)
Natrium, mmol/L 144 142
Kalium, mmol/L 5 5
Klorida, mmol/L 99 98
Bikarbonat, mmol/L 17 22
BUN, mmol/L (mg/dl) 31(87) 23(65)
Kreatinin, mmol/L (mg/dl) 490(5,5) -
Asam lemak bebas, mmol/L 0,73 0,96
Osmolaritas, mosmol/Liter 384 374
Data rata-rata dari 33 kejadian koma hiperosmoler (AA Arieff, HJ Carrol, Medicine
51:73, 1972)
Data rata-rata dari 20 kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al, Diabetes 20:28,
1971)

Penatalaksanaan
1. Prinsip Penatalaksanaan
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya terapi
segera sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian
cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran
urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10 sampai 11 liter. Sementara air tawar
akan sangat diperlukan, terapi awal harus berupa larutan garam isotonik, 2
sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin
separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal,
dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika
komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus
diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis
menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang
lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya diperlukan
lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis
karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa
asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan
sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi
merupakan penyakit (Foster, 2000).
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per
kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian
dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal
saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak
bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya
menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit
harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor
(Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3
kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L).
Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L),
konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun
sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika
konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium
harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium
antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian
cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan
perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya
diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti
dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun
antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang
diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah
mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
2. Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan
gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan
kurang tepat karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang
tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat
juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya
merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat
kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda
keton dan imbangan cairan tubuh
3. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada
semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien
hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive
protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan
HHNK (Soewondo, 2009).
4. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika
pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat sebaiknya secara
rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status mental
dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo,
2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus
diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga
edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan
yang ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensim insulin dan memperbaiki respons sel-sel β
terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%
(HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram
penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga
sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan
melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan
asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,
diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong
menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna
oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya
akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association, 2004).
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang
dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang
sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah
raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan (American Diabetes Association, 2004).
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga yang
disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa (American Diabetes Association, 2004).
Umpierrez G, Murphy MB, Kitabchi AE, Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. 2002
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et
al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.
Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai