Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali
Disusun oleh :
KABUPATEN BOYOLALI
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Dr. Ardian Pratiaksa
Pembimbing,
Daftar Pustaka :
1. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes
Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.
2. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et al; editor
bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
3. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
4. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono,
Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.
5. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam :
Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing.
6. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
7. Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.
Jakarta : Interna Publishing.
Hasil Pembelajaran :
1. Hiperosmolar hiperglikemik state
2. Penegakan diagnosis HHS
3. Tatalaksana HHS
Keterangan Umum :
Nama : Tn. S
Usia : 61 tahun
No RM : 17031xxxx
Alamat : Klego, Boyolali
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status pernikahan : Menikah
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : lemas dan tidak dapat berjalan
Pasien seoran laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan badan lemas
dan tidak dapat berjalan sejak 3 minggu SMRS. Awalnya pasien masih
dapat berjalan menggunakan alat bantu namun lama kelamaan pasien tidak
dapat berjalan dan hanya berbaring atau duduk sejak 3 minggu ini. Pasien
dalam pengobatan diabetes mellitus dengan obat oral namun jarang kontrol.
Pasien didiagnosis diabetes sudah sejak lebih dari 5 tahun yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan badan demam, demam dirasakan terus menerus.
Selain itu pasien mengeluhkan luka pada bagian pantat pasien yang sudah
mulai muncul sejak pasien mulai tidak bisa berjalan. Keluhan mual muntah
disangkal oleh pasien. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign
o Tekanan Darah : 150/60 mmHg
o Nadi: 89x/menit
o RR: 22x/menit
o Temp: 40,1 C
Kepala leher:
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva anemis
-/-, ikterus -/-.
o THT :
C. DIAGNOSIS BANDING
Hiperosmolar hiperglikemik state
Ketoasidosis diabetikum
Ulkus diabetikum
D. DIAGNOSIS KERJA
Hiperosmolar hiperglikemik state dengan ulkus dekubitus
E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. IVFD RL 2 liter dalam 2 jam
2. Usul debridement ulkus dekubitus
3. Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
4. Drip insulin rapid 50 IU dalam 500 cc RL 16 tpm habis dalam 10 jam
5. Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
b) Planning Monitoring
1. Keluhan Subyektif
2. KU VS
3. Urin output dengan DC
4. ABI
5. Urin rutin
6. Ur Cr
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
(Smeltzer, 2002).
Penatalaksanaan
1. Prinsip Penatalaksanaan
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya terapi
segera sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian
cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran
urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10 sampai 11 liter. Sementara air tawar
akan sangat diperlukan, terapi awal harus berupa larutan garam isotonik, 2
sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin
separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal,
dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika
komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus
diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis
menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang
lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya diperlukan
lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis
karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa
asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan
sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi
merupakan penyakit (Foster, 2000).
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per
kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian
dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal
saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin
dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak
bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya
menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit
harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor
(Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3
kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L).
Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L),
konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun
sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika
konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium
harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium
klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium
antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian
cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan
perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya
diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti
dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun
antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang
diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah
mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
2. Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan
gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan
kurang tepat karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang
tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat
juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya
merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat
kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda
keton dan imbangan cairan tubuh
3. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik kepada
semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien
hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive
protein dan interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan
HHNK (Soewondo, 2009).
4. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika
pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat sebaiknya secara
rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status mental
dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo,
2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus
diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga
edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan
yang ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensim insulin dan memperbaiki respons sel-sel β
terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%
(HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram
penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu
harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga
sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan
melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan
asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,
diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong
menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna
oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya
akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association, 2004).
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang
dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang
sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah
raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan (American Diabetes Association, 2004).
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga yang
disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa (American Diabetes Association, 2004).
Umpierrez G, Murphy MB, Kitabchi AE, Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. 2002
DAFTAR PUSTAKA