SKENARIO II
“NYERI PERUT KANAN ATAS”
Kelompok : A – 17
1
SKENARIO 2
Nyeri perut kanan atas
Seorang Karyawan, 54 tahun, berobat ke RS YARSI. Pasien mengeluhkan nyeri pada perut
kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, kumat-kumatan namun dua bulan terakhir nyeri
semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang sejak 4 bulan yang lalu sehingga
berat badan berkurang 15 kg. Dari anamnesis diketahui pasien pernah terkena hepatitis 15
tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan
tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen Hepatomegali, dengan permukaan hati
bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan serum transaminase SGPT 110 U/L dan SGOT 60 U/L dengan bilirubin normal,
Alpha Feto-Protein (AFP) 1000 U/L (Normal : <10U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan
analgetik dan hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi
hati pasien didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani
transplantasi hati. Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama.
2
Kata sulit
1. AFP : protein plasma yang dihasilkan pleh hati fetus, saccus vitellinus dan traktus
gastrointestinalis, kadarnya dalam serum menur hatiun secara nyata pada umur satu
tahun tetapi meningkat kembali pada banyak karsinoma hepatoselular dan
teratokarsinoma dan karsinoma sel embrional; kadar yang meningkat juga dapat
ditemukan pada penyakit hati jinak, seperti pada sirosis dan hepatitis virus. Digunakan
untuk memantau respons hepatoma dan neoplasma sel germinal terhadap pengobatan
dan untuk didiagnosis antenatal terhadap defek tabung saraf (ditunjukkan dengan
adanya meningkatnya kadar alfa fetoprotein pada cairan amnion) ( Kamus
Kedokteran Dorland Edisi 29, 2002)
2. Hepatoprotektor : senyawa obat yang memberikan efek teraupetik, yang dapat
memberikan perlindungan pada hepar dari kerusakan.
3. Karsinoma hepatoseluler : tumor ganas hati yang berasal dari sel hepatosit.
Pertanyaan
1. Apa penyebab rasa nyeri semakin sering ?
2. Apakah hubungan alkohol dengan penyakit ini ?
3. Mengapa AFP meningkat ?
4. Mengapa SGPT&SGOT meningkat dan bilirubin normal ?
5. Adakah pengobatan lain selain transplantasi hati ?
6. Mengapa pasien perlu berkonsultasi dengan seorang ulama ?
7. Apakah pasien hepatitis, pada akhirnya akan terkena ca hepatoseluler ?
8. Anti- HCV(+), apakah mungkin ada hepatitis yang lain ?
9. Mengapa setelah diberikan analgetik&hepatoprotektor nyerinya mereda ?
10. Mungkin tidak orang yang berpola hidup sehat, mengkonsumsi alkohol bisa terkena ca
hepatoseluler ?
Jawaban
1. Karena adanya pendesakan massa.
2. Karena alkohol menyebabkan sirosis hati, jaringan normal yang tumbuh tidak bisa
apoptosis, sedangkan sirosis hati menghasilkan jaringan fibrosis sehingga terbentuk
jaringan kolagen.
3. Karena virus hepatitis dan kebiasaan minum alkohol menyebabkan kerusakan hati
sehingga terjadilah peningkatan AFP.
4. Karena ca hepatoseluler menyerang parenkim hati jadi SGPT&SGOT meningkat dan
bilirubin menyerang empedu, jadi normal.
5. Ada, terapi radiasi, disuntikan radioisotope, drainase transhepatik dan kemotrapi.
6. Untuk mengetahui pandangan atau perspektif islam terhadap transplantasi organ..
7. Tidak, ca hepatoseluler karena inflamasi kronis, pasien yang hepatitis yang pada
akhirnya terkena ca hepatoseluler bisa disebabkan karna pengobatan yang terhenti .
8. Mungkin, HBV.
9. Karena pengobatannya bersifat suportif.
10. Mungkin, karena alkohol mempunyai senyawa yang merusak hati, dan HCC bisa
semakin parah .
3
Hipotesis
4
SASARAN BELAJAR
LI.1 Memahami dan Menjelaskan karsinoma Hepatoseluler.
LO.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi.
LO.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi.
LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.
LO.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi.
LO.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi.
LO.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis.
LO.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding.
LO.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana.
LO.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi.
LO.10 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan.
LO.11 Memahami dan Menjelaskan Prognosis.
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Transpalantasi Organ Dalam Hukum Islam.
5
LI.1 Memahami dan Menjelaskan karsinoma Hepatoseluler.
LO.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi.
Kanker adalah pertumbuhan dan perkembangbiakan sel-sel baru pada suatu organ yang
tumbuh abnormal, cepat, dan tidak terkendali dengan bentuk, sifat, dan gerakan yang berbeda
dari sel asalnya serta merusak bentuk dan fungsi sel asalnya. Kanker hati adalah pertumbuhan
sel yang abnormal, cepat, dan tidak terkendali pada hati sehingga merusak bentuk dan fungsi
organ hati.
Dalam keadaan normal sel hati akan membelah diri jika ada penggantian sel-sel hati
yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus sehingga terjadi
penumpukan sel baru yang menimbulkan desakan dan merusak jaringan normal pada hati.
Kanker hati primer yaitu karsinoma hepatoseluler merupakan kanker hati yang sering dijumpai
dan salah satu kanker yang paling banyak didunia. Penemuan dini kanker hati sukar dilakukan
karena awalnya tidak menimbulkan gejala. Akibatnya, sebagian besar penderita kanker hati
terdeteksi dalam stadium lanjut.
6
LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.
1. Sirosis hati
Sirosis hati adalah faktor risiko penting dalam proses terbentuknya HCC. Sebagian besar HCC
muncul dari sirosis yang diinduksi baik oleh hepatitis kronis viral, penyakit hati alkoholik,
steatohepatitis non-alkoholik, hemokromatosis, ataupun gangguan metabolik. Sirosis
merupakan stadium akhir dari inflamasi kronis hati akibat berbagai etiologi tadi. Inflamasi
kronis yang meliputi kerusakan, regenerasi maupun proliferasi sel ini memberi tempat bagi
mutasi maupun ketidakstabilan gen, yang pada gilirannya dapatmemunculkan HCC
2. Virus Hepatitis B (HBV)
Infeksi virus hepatitis B (HBV) merupakan faktor risiko terpenting dalam etiologi sirosis hati
dan HCC. Virus ini merupakan virus DNA sirkuler yang beralur ganda. Pada tahun 2010,
disebutkan di seluruh dunia diperkirakan 300 juta orang yang terinfeksi infeksi kronis virus
ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa carrier HBV memiliki risiko terjadinya HCC 5
hingga 15 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Risiko HCC pada penderita sirosis
terkait HBV lebih tinggi lagi, berkisar antara 2,2 dan 4,3 perseratus orang pertahun, sedangkan
pada pasien hepatitis B tanpa sirosis kurang dari 1 perseratus orang pertahun. Sekitar 70
hingga 90% pasien HCC terkait HBV timbul setelah terjadi sirosis. Ditemukannya DNA HBV
pada genom hepatosit sel pejamu baik yang terinfeksi maupun yang ganas, menunjukkan
kemungkinan HBV menginduksi transformasi ganas melalui insersi DNA virus tersebut ke
dalam atau di dekat proto-onkogen atau gen supresor tumor.
3. Virus Hepatitis C (HCV)
Virus hepatitis C merupakan virus RNA beralur tunggal. Infeksi kronis HCV juga merupakan
faktor risiko utama dalam terjadinya HCC. Antibodi terhadap virus ini (anti- HCV) dapat
terdeteksi pada hingga 90% penderita HCC. Inflamasi kronis oleh sebab infeksi HCV
meningkatkan risiko HCC dengan pemicuan fibrogenesis hati yang pada akhirnya berujung
sirosis, melalui pengaktifan transforming growth factor (TGF)-β, di samping adanya
kemungkinan induksi transformasi ganas pada hepatosit sendiri oleh mutasi pada gen yang
instabil dalam kondisi inflamasi kronis tersebut.
4. Konsumsi alkohol secara eksesif
Risiko HCC meningkat secara bermakna pada pengkonsumsi alkohol yang melebihi 80 gram
perharinya selama 10 tahun atau lebih. Efek induksi malignansi akan lebih besar apabila
peminum alkohol adalah seorang yang terinfeksi HBV atau HCV. Mekanisme induksi belum
dipahami dangan jelas, tapi diperkirakan melibatkan stres oksidatif, metilasi DNA,
7
menurunnya pengawasan imun serta kerentanan genetik.
5. Aflatoksin
Aflatoksin (AF) merupakan hepatokarsinogen yang poten. Aflatoksin adalah metabolit fungus
(mikotoksin) yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Fungi tersebut
tumbuh subur pada beberapa produk makanan dari kelompok padi-padian dan kacang-
kacangan di bawah kondisi lembab di daerah tropis dan subtropis. Ada empat senyawa
aflatoksin: B1, B2, G1 dan G2, yang terlazim dan paling toksik adalah AFB1, toksisitasnya
menyebabkan nekrosis hati dan proliferasi duktus biliaris. Saat ini sedang dilakukan studi
epidemiologi yang mendokumentasikan faktor risiko ini di antara populasi yang
mengkonsumsi diet yang terkontaminasi AF. Pengembangan biomarker AF yang didasarkan
deteksi metabolit aktif AFB1 juga sedang dilakukan
6. faktor lain
Beberapa faktor lain yang disebut-sebut memiliki kaitan cukup erat dengan terjadinya
HCC adalah:
a. Non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD)
b. Non-alcoholic steatohepatitis (NASH)
c. Diabetes mellitus tipe 2 danobesitas
Terjadinya HCC terkait hiperinsulinemia diperantarai oleh inflamasi, proliferasi sel, inhibisi
apoptosis, dan mutasi gen-gen supresor tumor
d. Obesitas
e. Perokok
Asap tembakau mengandung sedikitnya 55 bahan karsinogen, beberapa di antaranya
memiliki hepatokarsinogenitas
f. Konsumsi kontrasepsi hormonal: estrogen diyakini memiliki efek proliferatif pada
hepatosit terutama bila dikonsumsi lama (>5 tahun) Beberapa penyakit herediter,
seperti hemokromatosis herediter, defisiensi antitripsin- α1
8
Sirosis dari penyebab apapun Sirosis bilier primer
Infeksi kronis hepatitis B atau C Hemochromatosis
Konsumsi etanol kronis Defisiensi antitrypsin α-1
Non-Alkohol steatohepatitis (NASH) Non-Alkohol steatohepatitis (NASH)
Aflatoksin B1 atau mikotoksin lain penyakit penyimpanan glikogen
Citrullinemia
Porfiria cutanea tarda
Keturunan tyrosinemia
Wilson's Disease
.
T : Tumor Primer
T0 : Tidak terbukti tumor primer
T1 : Tumor tunggal < 2cm
T2 : Tumor < 2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas pada
satu lobus.
T3 : Tumor >2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas pada
satu lobus
T4 : Tumor multiple di dalam dua lobus
N : Kelenjar Limfe Regional
N0 : Tidak terdapat metastasis di dalam kelenjar limfe
N1 : Metastasis di kelenjar limfe
M0 : Tidak terdapat metastasis jauh
M1 : Metastasis jauh
9
Tabel 2. Standar Klasifikasi Stadium Klinis Hepatoma Primer
Stadium Ia Tumor tunggal berdiameter ≤ 3 cm, tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium Ib Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 5cm, di
separuh hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium IIa Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10cm, di
separuh hati atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 5cm, di
kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium IIb Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm, di
separuh hati, atau tumor multiple dengan diameter gabungan > 5 cm,
di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium IIIa Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama
vena porta atau vena cava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal
atau jauh, salah satu daripadanya; Child A atau B
Stadium Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli kondisi emboli tumor,
IIIb metastasis; Child C
10
Tabel 3. Kekhasan klinis dan patologis ca hepatoseluler dan ca kolangioseluler
Jenis Kanker Ca Hepatoseluler Ca Kolangioseluler
Jenis Kelamin Pria > Wanita Wanita > Pria
Latar belakang peny. Infeksi Hepatitis Virus, Kolangitis, Skistosomiasis
hepar Sirosis hati
Konsistensi Tumor Lunak Keras
Emboli Tumor di Sering Jarang
Vena Portal
Cara Metastasis Intrahepatik Ke kelenjar limfe portal
Vaskularisasi Umumnya kaya vascular Avascular
CT dengan Kontras Iso/hipodens Sangat hipodens
Tumor Marker AFP CEA, CA 19-9
Disertai Sirosis Sering, berat Jarang, ringan
Kemoterapi Dapat efektif Tidak efektif
Embolisasi
11
apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen – gen yang
berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul – nodul di hepar, baik nodul
regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada
progresi yang khusus dari nodul – nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada
nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel – sel yang kecil meningkatkan
proses pembentukan hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel – sel ini meregenrasi sel – sel hati yang rusak tetapi sel – sel ini juga berkembang
sendiri menjadi nodul – nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik
yang disebabkan oleh infeksi virus.nodul – nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut
akan menjadi hepatoma.
12
LO.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis.
(1) Nyeri abdomen atas
Hepatoma stadium sedang dan lanjut sering datang berobat karena kembung dan
tak nyaman atau nyeri samar di abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat
tumpul atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian merasa area hati
terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga
menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat
atau timbul akut abdomen harus pikirkan rupture hepatoma.
13
(3) Perut kembung
Timbul karena massa tumor sangat besar, asites, dan gangguan fungsi hati.
(4) Anoreksia
Timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran gastrointestinal.
(6) Demam
Timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, jika tanpa
bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai menggigil.
(7) Asites
Juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut membuncit
dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai.
(8) Lainnya
Selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang
kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal, dll. Juga manifestasi sirosis hati
seperti splenomegaly, palmar eritema, lingua hepatic, spider nevi, venodilatasi
dinding abdomen, dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis
paru, tulang, dan banyak organ lain.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan pembesaran hati yang berbenjol, keras,
kadang disertai nyeri tekan. Palpasi menunjukkan adanya gesekan permukaan peritoneum
viserale yang kasar akibat rangsangan dari infiltrat tumor ke permukaan hepar dengan
dinding perut. Pada auskultasi di atas benjolan kadang ditemukan suatu suara bising aliran
darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan fase lanjut karsinoma
hepatoseluler.
b. Pemeriksaan Laboratorium
14
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP adalah sejenis glikoprotein, disintesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus, terdapat dalam
serum darah janin. Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul. AFP memiliki
spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular. Jika AFP > 500 ng/L bertahan 1
bulan atau > 200 ng/L bertahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan
kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis hepatoma,
diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma.
AFP sering dapat dipakai untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah
terus menurun dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan kadarnya
turun hingga normal, jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah turun lalu naik lagi,
maka pertanda terjadi residif atau rekurensi tumor.
c. Pemeriksaan Pencitraan
1. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis hepatoma. Kegunaan dari
USG adalah memastikan ada tidaknya lesi penempat ruang dalam hati; dapat dilakukan
penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal untuk
hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi cairan dari yang
padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh darah penting dalam hati,
berguna dalam mengarahkan prosedur operasi; membantu memahami penyebaran dan infiltrasi
hepatoma dalam hati dan jaringan organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya trombus
tumor dalam percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan
biopsi.
15
USG karsinoma hepatoseluler, nodul hipoetic USG HCC: nodul gema bulat
2. CT Scan
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat
karsinoma hepatoseluler. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi
tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah, dalam
penentuan modalitas terapi sangatlah penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit
ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam
arteri hepatika disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada
waktu ini CT lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm. CT scan sudah dapat
membuat gambar karsinoma dalam 3 dimensi dan 4 dimensi dengan sangat jelas serta
memperlihatkan hubungan karsinoma ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
16
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT scan
yang meragukan atau pada pasien yang mempunyai kontraindikasi pemberian zat. MRI yang
dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance Angiography (MRA).
17
5. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) merupakan alat diagnosis karsinoma menggunakan
glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang
mampu mendiagnosa karsinoma dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien
disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan
glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel
yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium HCC sehingga tindakan
lanjut penanganan karsinoma ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu
juga dapat melihat metastase dari karsinoma itu sendiri.
d. Pemeriksaan Lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe
supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll.
juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.
Standar diagnosis
Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor telah menetapkan standar
diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer.
18
6) Illb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
19
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif, terapi gabungan,
dan terapi berulang. Terapi dini efektif; semakin dini diterapi, semakin baik haril terapi
terhadap tumor. Untuk hepatoma kecil pasca reseksi 5 tahun survivalnya adalah 50-60%,
sedangkan hepatoma besar hanya sekitar 20%. Terapi efektif menuntut sedapat mungkin
memilih cara terapi terbaik sebagai terapi pertama. Terapi gabungan; dewasa ini reseksi bedah
terbaik pun belum dapat mencapai hasil yang memuaskan, berbagai metode terapi hepatoma
memiliki kelebihan masing-masing, harus digunakan secara fleksibel sesuai kondisi setiap
pasien, dipadukan untuk saling mengisi kekurangan, agar semaksimal mungkin membasmi dan
mengendalikan tumor, tap juga semaksimal mungkin mempertahankan fisik, memperpanjang
survival. Terapi berulang; terapi satu kali terhadap hepatoma sering kali tidak mencapai hasil
ideal, sering diperlukan terapi ulangan sampai berkali-kali. Misalnya berkali-kali dilakukan
kemoembolisasi perkutan arteri hepatica, injeksi alkohol absolut intratumor berulang kali,
reseksi ulangan pada rekurensi pasca operasi, dll.
Terapi Operatif
Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektable atau masih ada kemungkinan
tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik, diperkirakan tahan operasi; tanpa
kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati
berat, insufisiensi hati disertai icterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung
thrombus kanker; rudapaksa serius jantung, paru, ginjal, dan organ vital lain, diperkirakan tidak
tahan operasi.
a. Metode hepatektomi
Hepatektomi merupakan cara terapi dengan hasil terbaik dewasa ini. Survival 5 tahun
pasca operasi sekitar 30-40% , pada mikrocarsinoma hati (≤ 5cm) dapat mencapai 50-60%.
Hepatektomi terdiri atas hepatektomi beraturan dan hepatektomi tak beraturan. Hepatektomi
beraturan adalah sebelum insisi hati dilakukan diseksi, memutus aliran darah ke lobus hati
(segmen-subsegmen) terkait, kemudian menurut lingkup anatomis lobus hati (segmen,
subsegmen) tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tidak beraturan tidak
perlumengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam hati, tapi hanya perlu berjarak
2-3 cm dari tepi tumor, mereseksi jaringan hati dan percabangan pembuluh darah dan saluran
empedu yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya mencakup tumor dan jaringan hati sekitarnya.
Metode reseksi ini sesuai untuk hepatoma disertai sirosis hati, lebih banyak dilakukan di China,
menjadikan operasi lebih simple, hingga sebagian besar pasien hepatoma dengan sirosis dapat
mempertahankan lebih banyak jaringan hati normal selain tumornya dapat direseksi,
mengurangi komplikasi operasi, menurunkan mortalitas operasi.
Kunci dari hepatektomi adalah mengontrol perdarahan. Pada waktu reseksi hati, metode
mengurangi perdarahan meliputi obstruksi alirah darah portal pertama hati, koagulasi
gelombang mikro potongan hati, klem hati, obstruksi temporer satu sisi cabang vena porta dan
cabang arteri hepatica, dll. Pada kasus dengan sirosis hati, obstruksi porta hati setiap kali tidak
boleh lebih dari 10-15 menit, bila perlu dapat diobstruksi berulang kali.
20
Komplikasi utama pasca hepatektomi adalah: gagal fungsi hati; timbul beberapa hari
hingga beberapa minggu pasca operasi, sering kali berkaitan dengan pasien dengan penyakit
hati aktif kronis, sirosis sedang atau lebih, volume hepatektomi terlalu besar, perdarahan
selama operasi berlebih, waktu obstruksi porta hati terlalu lama dan obat-obatan perioperative
(termasuk obat anestetik) bersifat hepatotoksik. Perdarahan pasca operasi, kebanyakan karena
hemostasis selama operasi kurang tuntas, sutura ligase vascular terlepas, gangguan koagulasi,
nekrosis permukaan irisan hati, dll. Dapat juga terjadi infeksi subdiafragma, karena pasca
operasi terjadi akumulasi darah dan cairan di bawah diafragma, maka timbul abses subfrenik;
fistel cairan empedu; perdarahan saluran cerna atas.
Hepatektomi 2 fase: pasien hepatoma setelah dilakukan eksplorasi bedah ternyata
tumor tidak dapat direseksi, sesudah diberikan terapi gabungan, tumor mengecil, dilakukan
laparotomy lagi dan dapat dilakukan reseksi.
b. Transplantasi hati
Dewasa ini, teknik transplantasi hati sudah sangat matang, namun biayanya tinggi,
donornya sulit. Pasca operasi pasien menggunakan obat imunosupresan antirejeksi membuat
kanker residif tumbuh lebih cepat dan bermetastasis, hasil terapi kurang baik untuk hepatoma
stadium sedang dan lanjut. Umumnya berpendapat mikrohepatoma stadium dini dengan sirosis
berat merupakan indikasi lebih baik untuk transplantasi hati.
21
Terapi local
Terapi local terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablative local dan injeksi obat
intratumor. Yang pertama meliputi ablasi radiofrekuensi, koagulasi gelombang mikro, laser,
pembekuan, ultrason, energy tinggi terfokus, dll; yang kedua yang tersering ditemukan adalah
injeksi alkohol absolut intratumor. Terapi local umumnya dilakukan melalui pungsi perkutan,
perlu panduan pencitraan, yang sering adalah dengan USG, dapat juga dengan CT atau
laparoskopi.
22
Terapi non Bedah
Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil reseksi
dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi persyaratan
untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut, derajat sirosis yang berat, atau
keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini.
Beberapa alternative pengobatan non-bedah karsinoma hati meliputi:
b. Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal (targeted
chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism) tergantung dari ukuran,
jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS yang tidak dapat
dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang kemudian akan
terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna.
Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan
oksigen ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi
arteri hepatika. Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi
arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping
yang sering terjadi antara lain adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah abdominal.
Kemoembolisasi pada penderita-penderita dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat
direseksi dilaporkan menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan
peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita KHS dengan
tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang
tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-
kecil, dan adanya trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan
hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi diperoleh
bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.
c. Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup penderita.
Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-FU). Zat ini dapat
diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri). Sitostatika lain yang sering
digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau adriblastina. Dosis yang diberikan adalah
60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat
juga diberikan dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan
setiap 3 minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan
survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi.
Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-∝2B, adriamisin dan 5-FU yang diberikan secara
sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat baik untuk tumor hati dan
ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18% penderita yang awalnya tidak dapat
23
dieseksi dapat direseksi dan 50% menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun
demikian, kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
e. Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya sebab
carsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal sangat peka terhadap
radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat
menyebabkan radiation induced hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-
35 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal
dalam kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton
therapy adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar energi
membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik.
Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor.
Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek samping yang terjadi
sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup yang lebih baik.
f. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderita-penderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi tidak
meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide dan menunjukkan
perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in
vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi
Antara tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan tamofixen tunggal.
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja zat
yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada penderita KHS dengan
tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun
sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.
.
24
LO.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi.
Asites, perdarahan saluran cerna atas, enselofati hepatica, sindrom hepatorenal
(keadaan pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal yang ditandai
dengan gangguan ginjal dan sirkulasi darah)..
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan terhadap orang yang sudah
terpapar faktor risiko agar tidak sakit. Pencegahan primer yang dilakukan antara lain dengan:
o Memberikan imunisasi hepatitis B bagi bayi segera setelah lahir sehingga pada
generasi berikutnya virus hepatitis B dapat dibasmi.
o Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang virus hepatitis (faktor-faktor
risiko kanker hati) sehingga kejadian kanker hati dapat dicegah melalui perilaku
hidup sehat.
o Menghindari makanan dan minuman yang mengandung alkohol karena alkohol
akan semakin meningkatkan risiko terkena kanker hati.
o Menghindari makanan yang tersimpan lama atau berjamur karena berisiko
mengandung jamur Aspergillus flavus yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya
kanker hati.
o Membatasi konsumsi sumber radikal bebas agar dapat menekan perkembangan sel
kanker dan meningkatkan konsumsi antioksidan sebagai pelawan kanker sekaligus
mangandung zat gizi pemacu kekebalan tubuh.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yang dapat dilakukan yaitu berupa perawatan terhadap penderita
kanker hati melalui pengaturan pola makan, pemberian suplemen pendukung penyembuhan
kanker, dan cara hidup sehat agar dapat mencegah kekambuhan setelah operasi.
25
Prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh:
stadium tumor pada saat diagnosis
status kesehatan pasien
fungsi sintesis hati
manfaat terapi
Tanpa pengobatan kematian rata-rata sesudah 6-7 bulan saat keluhan pertama. Dengan
pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11-42 bulan. Bila dapat dideteksi
karsinoma hepatoseluler fase dini, dapat dilakukan pembedahan secara sub segmentektomi,
maka masa hidup penderita dapat lebih panjang lagi. Sebaliknya penderita karsinoma
hepatoseluler fase lanjut mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umunya bias
disebabkan karena koma hepatium , hematemesis, melena, syok yang seblumnya didahului
dengan kesakitan yang hebat. Maka langkah-langkah terhadap pencegahan karsinoma
hepatoseluler harus dilakukan. Pencegahan yang paling utama : eliminasi infeksi terhadap
HBV dan HCV serta menghindari mengkonsumsi alcohol untuk mencegah terjadinya sirosis.
Prognosis untuk semua stadium rata-rat 5 –year survival rate berkisar 14%. Pasien yang
mendapat terapi reseksi tumor tanpa sirosis dan keadaan umum yang baik, memiliki angka
harapan hidup > 50% sementara pasien yang menjalani transplantasi hepar memiliki angka
harapan hidup 60-70%.
.
1. Pertama, apabila pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal
afiat, maka hukumnya menurut Prof Drs. Masyfuk Zuhdi, dilarang (haram) berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
2. Kedua, apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma)
atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan (Ibid, 89), berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:
Hadits Rasulullah:
Artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang
lain.” (HR. Ibnu Majah).
1. Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang
dalam keadaan sakit (koma).
2. Orang tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang
sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan
dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya orang lain
(resipien).
3. Ketiga, apabila pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara
medis maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang
mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada dua syarat sebagai berikut:
1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh
pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil. (ibi, 89).
2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien
dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut:
27
Dalam kasus ini seseorang yang dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah
meninggal, maka Islam membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan
kemanusiaan yang tinggi nilainya, lantaran menolong jiwa sesama manuysia atau membanatu
berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi. (Keputusan Fatwa MUI
tentang wasiat menghibahkan kornea mata).
Hadits:
Artinya:”Berobatlah wahai hamba Allah, karen sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit
kecuali Dia meletakkan jua obatnya, kecuali satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu
penyakit tua.”
Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara transplantasi organ tubuh.
1. Kaidah hukum Islam
Artinya:”Kemadharatan harus dihilangkan”
Dalam kasus ini bahaya (penyakit) harus dihilangkan dengan cara transplantasi.
2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris harus melaksanakan wasiat orang yang
meninggal.Dalam kasus ini adalah wasiat untuk donor organ tubuh. Sebaliknya, apabila tidak
ada wasiat, maka ahli waris tidak boleh melaksanakan transplantasi organ tubuh mayat
tersebut.
Pendapat yang tidak membolehkan kornea mata adalah seperti Keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah.
Hukum Negara Terhadap Transplantasi Hati
Dari segi hukum, transplantasi organ dan jaringan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha
mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu
perbuatan yang melawan hokum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena
adanya pengecualian maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana dan dapat dibenarkan.
Transplantasi dengan donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana transplantasi pada satu
sisi dapat membahayakan donor namun di satu sisi dapat menyelamatkan hidup pasien
(resipien). Di beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang Transplantasi, terdapat
pembalasan dalam pelaksanaan transplantasi, misalnya adanya larangan untuk transplantasi
embrio, testis, dan ovarium baik untuk tujuan pengobatan maupun tujuan eksperimental.
Namun ada pula negara yang mengizinkan dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di
atas untuk kepentingan penelitian saja.
Di Indonesia sudah ada undang undang yang membahasnya yaitu UU No.36 Tahun 2009
mengenai transplantasi :
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan
hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 65 (1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli
waris atau keluarganya.
28
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Suami punya hak atas istrinya, misalnya si istri mendermakan hatinya maka dia harus operasi
dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi
sebagian kecil hak suami terhadap istri ditambah dengan beban-beban lain. Jadi, harus
mendapat izin dan kerelaan suami.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed-4, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 455-459.
29
Deviyana, Evi.2001. Transplantasi Hepar Pada Penderita Hepatoma Ditinjau Dari Segi
Kedokteran dan Islam. Jakarta: YARSI
HepatocellularCarcinoma. In Clavien P-A, et al. editors. Malignant Liver Tumors, 3rd ed.,
Chichester: Blackwell Publishing Ltd. 2010; P 52-54.
Hepatocellular Fasel JHD, et al. Macroscopic Anatomy of The Liver. In Rodès J, et al. editors.
Textbook of Hepatology, 3rd ed., Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd. 2007; P. 3-7.
In Lau WY. editor. A Book on Zuhroni.2007. Respons ulama Indonesia Terhadap Isu-Isu
Kedokteran dan Kesehatan Modern Jakarta: Badan Litbang dan Diktat Depag RI.
Kamus Kedokteran Dorland. W.A. Newman Dorland ; ahli bahasa, Huriawati Hartanto, dkk :
editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, dkk. – Ed 29 – Jakarta : EGC, 2002.
Lee W-C, Chen M-F. Epidemiology, Etiology, and Natural History of Leong TY-M, Leong
AS-Y. Epidemiology.
White DL, et al. Epidemiology of Hepatocellular Carcinoma. In Carr BI. Editor, Hepatocellular
Carcinoma Diagnosis and Treatment, 2nd ed., New York, Humana Press. 2010; P 1-26
30