Anda di halaman 1dari 9

FENOMENA TENTANG BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA

DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

Oleh : Pungkas Ayu Dewi

A. Latar Belakang
Salah satu persyaratan penting yang harus ada dalam setiap negara hukum adalah
bahwa dalam negara tersebut ada jaminan tentang perlindungan terhadap hak-hak dasar
warga negara. Di antara hak–hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan keadilan,
hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk diperlakukan sama dalam hukum dan
pemerintahan, hak untuk didengar dan membela diri dalam sidang-sidang pengadilan
atau semi pengadilan, dan lainlain. Salah satu cara agar dapat mewujudkan hak-hak
tersebut adalah dengan memberikan bantuan hukum, bila perlu secara Cuma-Cuma,
terhadap mereka yang membutuhkannya. Di samping itu, sistem negara hukum juga
menjamin warganya dalam suatu kesetaraan hukum (equality before the law), dalam hal
ini semua orang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Itu sebabnya, pengakuan kesetaraan dalam hukum bagi masyarakat
seringkali sampai diatur dalam konstitusi. UUD 1945 juga mengakuinya secara tegas
melalui pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1).
Dalam literatur bahasa inggris, istilah bantuan hukum dikenal dengan istilah legal
aid atau legal assistance. Istilah legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan
pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum
kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau probono,
khususnya bagi mereka yang tidak mampu atau miskin.1 Sedangkan istilah legal
assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka
yang tidak mampu, ataupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat dan atau
pengacara yang mempergunakan honorarium.2
Dalam pengertian yang lebih luas maka definisi bantuan hukum diartikan sebagai
upaya untuk membantu golongan masyarakat yang tidak mampu dalam bidang hukum.
Menurut DR. Adnan Buyung Nasution, SH dijelaskan bahwa adapun upaya yang
dimaksud dalam definisi tersebut memiliki tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu
sebagai berikut :3
a. Aspek perumusan aturan-aturan hukum ;
b. Aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga aturan-aturan tersebut untuk
ditaati dan dipatuhi ;
c. Aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan tersebut dipahami.
Berkaitan dengan aspek pertama maka upaya yang dilakukan dalam kerangka
bantuan hukum adalah melakukan kajian ulang terhadap seperangkat aturan-aturan
hukum baik dalam bentuk perbaikan atau penambahan yang disesuaikan dengan nilai
sosiologis. Hal ini bertujuan agar aturan-aturan hukum tersebut mampu mengakomodir
dan menyesuaikan dinamika dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan aspek kedua
masih kurang memperoleh perhatian dalam kegiatan bantuan hukum. Hal ini didasarkan
pada alasan adanya faktor kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh organisasi bantuan
hukum baik dalam bentuk dana dan tenaga ahli. Kondisi semacam ini tentunya
1
Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia.
Mandar Maju. Bandung. 2001. hlm.19.
2
Ibid.
3
Ibid, hlm.7.

1
membawa konsekuensi dalam hal mana organisasi-organisasi bantuan hukum tersebut
harus melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga-lembaga lain untuk melakukan
riset khususnya yang terkait dengan efektivitas peraturan. Format penelitian tersebut
dapat juga dilakukan dengan cara studi komparatif di negara-negara lain yang memiliki
permasalahan yang sama dengan negara Indonesia. Pada aspek yang terakhir maka
diharapkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya.4

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang : Bagaimana
Urgensi Bantuan Hukum Cuma-Cuma Ditinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum

C. Pembahasan
1. Hukum dan Fenomena Sosial
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut menyatakan “Segala warga negara
bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Sedangkan pasal 28D ayat (1) UUD
1945 menyatakan ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dengan
demikian, dalam suatu sistem negara hukum (rule of law), kewajiban memberikan
bantuan hukum secara sama dan Cuma-Cuma sejatinya ada pada negara.
Manakala konsep negara rule of law tersebut dipadukan dengan teori negara
kesejahteraan (social welfare state), akan membawa konsekuensi kepada adanya
kewajiban dari negara untuk menyediakan perangkat yang diperlukan untuk dalam hal
ini memberikan keadilan kepada setiap warganya, termasuk menyediakan perangkat
untuk memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma bagi mereka yang tidak beruntung dari
segi ekonominya. Salah satu model perujudan dari teori negara kesejahteraan sosial
adalah bahwa negara berkewajiban memberikan keadilkan bagi warganya, yang
dilakukan antara lain dengan menyediakan para advokat, bila perlu secara Cuma-Cuma
kepada mereka yang membutuhkan, dengan menyediakan dana bantuan hukum tertentu,
yang disalurkan melalui lembaga-lembaga bantuan hukum non proft, lembaga-lembaga
bantuan hukum universitas, atau bahkan dapat diberikan langsung kepada advokat-
advokat lepas yang memenuhi persyaratan tertentu melalui badanbadan pengadilan.
Misalnya, jika ada di antara tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang diancam dengan
hukuman mati oleh pengadilan di negara mana dia bekerja, maka jika dia tidak memiliki
pembelanya di pengadilan, adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan bantuan
hukum dengan biaya dipikul oleh negara. Ini adalah salah bentuk perlindungan hukum
kepada warganya yang dilakukan oleh negara dalam sistem negara rule of law dan teori
negara kesejahteraan sosial.
Khusus untuk bantuan hukum dengan Cuma-Cuma kepada tersangka atau
terdakwa tertentu, perujudan konsep negara hukum dan negara kesejahteraan sosial,
ditegaskan dalam oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, melalui pasal 56,
yaitu khusus terhadap tersangka atau terdakwa yang disangkakan atau didakwakan
melakukan pidana berat. Pasal 56 KUHAP menyatakan sebagai berikut:
a. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih
atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau
lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan
4
Ibid., hlm.8.

2
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat
hukum bagi mereka. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan Cuma-Cuma.
b. Pada advokat, berdasarkan prinsip profesi advokat sebagai profesi mulia (oficium
nobile) dan Pada negara, berdasarkan prinsip negara rule of law dan teori negara
kesejahteraan sosial. Kewajiban sesama anggota masyarakat untuk saling membantu
di antara sesamanya, berdasarkan teori moralitas.

Berbagai sumber kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut secara logis


membawa konsekuensi terhadap posisi sumber dana masing-masing. Ketika kita
tafsirkan bahwa kewajiban tersebut ditarik ke prinsip profesi mulia dari advokat, maka
posisi sumber dana ada pada advokat itu sendiri, misalnya melalui organisasi advokat
yang ada. Sementara jika kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut dilekatkan
kepada negara, adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan sumber dana tersebut.
Selanjutnya, jika kewajiban tersebut berasal dari masyarakat, maka adalah masyarakat
sendiri yang harus membiayainya, misalnya melalui bantuan-bantuan asing, perusahaan-
perusahaan besar lewat progam CSR (Corporate Social Responsipility), atau melalui
donatur-donatur lainnya.

2. Tinjauan tentang Bantuan Hukum


Definisi bantuan hukum juga pernah dirumuskan dalam Simposium Badan
Kontak Profesi Hukum di Lampung pada tahun 1976 yang memberikan definisi bantuan
hukum sebagai kegiatan pemberian bantuan kepada seorang pencari keadilan yang tidak
mampu yang sedang menghadapi kesulitan di bidang hukum baik diluar maupun didalam
pengadilantanpa adanya imbalan jasa. Selanjutnya dalam Lokakarya Bantuan Hukum
Tingkat nasional pada tahun 1978 yang menjelaskan bahwa bantuan hukum merupakan
kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu atau
miskin baik secara perorangan ataupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tidak
mampu secara kolektif. Dalam bantuan hukum tersebut meliputi kegiatan sebegai berikut
:5
a. Pembelaan ;
b. Perwakilan baik diluar maupun di dalam pengadilan ;
c. Pendidikan ;
d. Penelitian ;
e. Penyebaran gagasan atau ide.
Berbeda halnya dengan H.M.A. Kuffal, SH yang memberikan definisi bantuan
hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum (legal service) yang diberikan oleh Penasehat
Hukum dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak
asasi tersangka atau terdakwa sejak proses penangkapan/penahanan sampai dengan
diperolehnya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya
ditegaskan bahwa hal yang dibela dan diberikan perlindungan hukum adalah bukan
kesalahan tersangka atau terdakwa melainkan hak-hak asasi dari tersangka atau terdakwa
dengan tujuan untuk menghindari adanya perlakuan dan tindakan yang sewenang-
wenang dari aparat penegak hukum.6

3. Konsep Bantuan Hukum

5
Ibid.
6
H.M.A. Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. UMM Press. Malang. 2003.
hlm.160.

3
Konsep pemberian bantuan hukum klasik pertama kali ternyata telah dikenal
sejak jaman Kerajaan Romawi. Walaupun telah terjadi perubahan dan perkembangan
atas konsep-konsep bantuan hukum, namun ada hal yang harus digarisbawahi, yaitu
bahwa kegiatan bantuan hukum sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai moral dan
filosofis.7
Pada jaman Romawi, pemberian bantuan hukum didasarkan pada motivasi untuk
mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Berbeda halnya dengan bantuan hukum yang
dilaksanakan pada jaman Abad Pertengahan.. Bantuan hukum pada jaman ini bertujuan
untuk memperoleh motivasi baru sebagai akibat dari pengaruh agama Kristen, yaitu
berlomba-lomba untuk memberikan derma (charity) dalam bentuk membantu golongan
miskin dan bersamaan dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan
ksatriaan (chivalry) yang sangat diagungkan orang.8
Sejak jaman revolusi Perancis dan Revolusi Amerika sampai dengan di jaman
modern sekarang ini, motivasi pemberian bantuan hukum tersebut telah bergeser tidak
hanya berorientasi pada semangat derma (charity) melainkan untuk melindungi hak-hak
politik atau hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara yang berlandaskan pada
konstitusi. Konsep bantuan hukum tradisional yang bersifat individualistik tersebut, pada
dasarnya merupakan konsep bantuan hukum klasik yang sejalan dengan sistem hukum
dan kondisi sosiologis pada saat itu.
Tuntutan perkembangan dan keberpihakan kepada kaum miskin dalam kaitannya
dengan pelaksanaan bantuan hukum tersebut, pada akhirnya, mengarah kepada suatu
keadaan bahwa bantuan hukum yang klasik dan tradisional tersebut sudah tidak cukup
untuk mengakomodir kebutuhan saat ini. Perkembangan selanjutnya telah muncul
konsep bantuan hukum konstitusional yang telah menggantikan konsep sebelumnya.
Konsep bantuan hukum konstitusional merupakan bantuan hukum untuk rakyat miskin
yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas seperti hal-hal sebagai
berikut : 9
a. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum ;
b. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi
tegaknya negara hukum.
Sifat dari konsep bantuan hukum konstitusional ini lebih aktif dalam hal mana
bantuan hukum tidak hanya diberikan secara individual saja namun juga diberikan pula
kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. Metode pendekatan yang
dilakukan selain menggunakan metode formal legal juga melalui mekanisme politik dan
negosiasi. Bentuk dari adanya kegiatan dan aktifitas seperti kampanye pengahpusan
ketentuan hukum yang membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin,
pengawasan terhadap birokrasi pemerintah dan adanya pendidikan hukum bagi
masyarakat merupakan bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum
konstitusional.
Di lain pihak, muncul pula konsep bantuan hukum struktural yang di introdusir
oleh Lembaga Bantuan Hukum. Munculnya konsep bantuan hukum struktural tersebut
dilatarbelakangi oleh adanya realitas sosial bahwa pemahaman terhadap kondisi dan
situasi yang ada dan berkembang sekarang ini, baik yang terdapat dalam masyarakat
maupun dunia hukum, telah mengakibatkan konsep bantuan hukum tradisional tidak
mampu digunakan sebagai dasar bekerja.
7
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES Indonesia. Jakarta.
2007. hlm.5.
8
Ibid.
9
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia , Jakarta : Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988, hlm.20.

4
Secara konseptual, bantuan hukum struktural merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah
struktur yang timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil dan yang menjamin
persamaan kedudukan baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. 10Berdasarkan
hal tersebut, tentunya dapat dilihat karakteristik dari konsep bantuan hukum struktural
yaitu sebagai berikut :11
1) Mengubah orientasi bantuan hukum dari perkotaan menjadi pedesaan ;
2) Membuat sifat bantuan hukum berubah menjadi aktif ;
3) Mendayagunakan metode pendekatan di luar hukum ;
4) Mengadakan kerja sama lebih banyak dengan lembaga-lembaga sosial lainnya ;
5) Menjadikan bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkan partisipasi rakyat
banyak ;
6) Mengutamakan kasus-kasus yang sifatnya struktural ; dan
7) Mempercepat terciptanya hukum-hukum yang responsif yang mampu menunjang
perubahan struktural.

4. Dasar Pemberian Bantuan Hukum


Pada awalnya, perihal bantuan hukum telah diatur dalam beberapa pasal dalam
Herziene Indische Reglement (HIR). Pengaturan bantuan hukum tersebut merupakan
bagian dari kegiatan pelayanan hukum. Secara khusus, pengaturan tentang pelayanan
hukum bagi golongan masyarakat yang tidak mampu, dalam arti tidak mampu untuk
membayar ongkos perkara dan honorarium bagi advokat diatur dalam Pasal 237 HIR
sampai dengan Pasal 242 HIR dan Pasal 250 HIR.12 Pasal 237 HIR menjelaskan bahwa
orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat atau sebagai tergugat hendak
berperkara akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberikan ijin untuk
berperkara tanpa biaya. Pasal 238 ayat (1) sampai dengan ayat (3) HIR pada pokoknya
menjelaskan tentang adanya pengajuan permohonan berpekara tanpa biaya oleh
penggugat dan tergugat yang diajukan pada saat mengajukan gugatan (bagi penggugat)
atau jawaban (bagi tergugat) yang disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari
kepala kepolisian setempat. Pasal 242 HIR pada pokoknya menerangkan tentang
permohonan berperkara pada tingkat banding tanpa membayar biaya perkara. Sedangkan
Pasal 250 HIR pada pokoknya menerangkan bahwa apabila si tertuduh diperintahkan
menghadap hakim karena suatu kejahatan yang dinacam dengan hukuman mati dan telah
menyatakan kehendaknya agar dalam persidangan nanti dibantu oleh sarjana hukum atau
ahli hukum maka sarjana hukum atau ahli hukum yang telah ditunjuk oleh ketua
pengadilan berdasarkan surat penetapan wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-
cuma.
Jadi, Pasal 237 HIR sampai dengan Pasal 242 HIR mengatur tentang permohonan
untuk berperkara di Pengadilan tanpa membayar ongkos perkara. Sedangkan Pasal 250
HIR secara khusus mengatur ketentuan tentang hak untuk memperoleh pelayanan hukum
secara cuma-cuma bagi mereka yang miskin yang terlibat dalam perkara pidana.
Dalam perkembangannya, maka pengaturan bantuan hukum juga telah diatur
dalam berbagai bentuk peraturan mulai dari Undang-Undang sampai dengan Surat
Keputusan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
10
Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia.
Mandar Maju. Bandung. 2001. hlm.30.
11
Ibid., hlm.31.
12
Ibid, hlm.32.

5
Kehakiman berikut dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perkara berhak untuk memperoleh
bantuan hukum baik dalam perkara pidana ataupun perdata. Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan
bahwa setiap orang yang terlibat perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Pasal
Selanjutnya dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 menjelaskan bahwa
dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan
dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasehat Hukum.
Sedangkan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dalam
memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 diatas, Penasehat Hukum membantu
melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan
keadilan.
Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berikut dengan perubahannya dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999, maka perihal bantuan hukum juga diatur dalam berbagai
ketentuan lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) ternyata mengatur secara tegas soal pemberian bantuan hukum
tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 56
KUHAP menerangkan bahwa pemberian bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan
pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di
pengadilan. Pasal 54 KUHAP menjelaskan bahwa guna kepentingan pembelaan,
tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Pasal 55
KUHAP menjelaskan bahwa tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat
hukumnya.Sedangkan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP pada pokoknya
menjelaskan bahwa tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara lima belas tahun
atau lebih atau bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu serta diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih dan tidak memiliki penasihat hukum sendiri maka
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasihat
hukum. Selanjutnya, penasihat hukum yang telah ditunjuk tersebut memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma.
Namun demikian, KUHAP juga memiliki keterbatasan dalam pemberian bantuan
hukum yang akan dilakukan oleh advokat. Keterbatasan tersebut dalam bentuk tidak
diberikannya kesempatan untuk melakukan pembelaan yang bersifat aktif dalam proses
pendampingan di tingkat penyidikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 115 ayat (1)
KUHAP yang menjelaskan bahwa dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka maka penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan
cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
diatur beberapa pasal yang memiliki keterkaitan dengan konsep bantuan hukum. Adapun
pasal-pasal tersebut diantaranya adalah : Pasal 5 Ayat (1) : Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperolehperlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Ayat (2) : Setiap
orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang
obyektif dan tidak berpihak. Ayat (3) : Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
dengan kekhususannya. Pasal 6 Ayat (1) : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,

6
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Pasal 18 Ayat (1) : Setiap orang
yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana
berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) :
Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan
sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga
diatur secara parsial tentang adanya konsep pemberian bantuan hukum. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
dinyatakan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang KDRT huruf c yang menyatakan bahwa perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Urgensi Bantuan Hukum Cuma-Cuma Ditinjau Dari Aspek Sosiologi Hukum


Sesuai dengan perkembangan sosial, seni, tehnololgi dan sebagainya di abad 20,
yang lebih mengarah ke cara pandang tertentu terhadap dunia ini, maka dalam bidang
hukumpun terdapat trend yang kurang lebih sama. Berbagai pandangan kritis yang
dialamatkan kepada sektor hukum secara universal saat ini, tidak mungkin lagi dijawab
dengan dokrtrin-doktrin hukum yang konvensional. Di antara pandangan kontemporer
terhadap hukum saat ini adalah bahwa hukum positif saat ini telah menjadi sangat tehnis
sehingga keadilan menjadi semakin tidak riil, dan semakin menjadi mitos saja.
Mangingat akan pandangan terhadap hukum seperti itu, para pencari keadilan,
baik kaum rentan ketidakadilan atau bukan, semakin tidak bisa untuk ikut berpartisipasi
ke dalam mesin-mesin keadilan yang sudah sangat tehnis dan rumit itu, yang umumnya
dioperasikan antara lain oleh hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan NGO. Karena itu,
penerapan doktrin verplichte procurer stelling (aturan wajib pakai advokat) semakin
memiliki arti yang penting, yang saat ini di Indonesia pada umumnya belum diterapkan.
Akan tetapi, penerapan doktrin verplichte procurer stelling tersebut menjadi semakin
riskan, dan keadilan semakin tidak terjangkau, serta harga dari sebuah keadilan semakin
mahal, manakala tidak diimbangi dengan penyediaan yang seluas-luasnya terhadap jasa-
jasa bantuan hukum cuma-cuma. Inilah salah satu alasan tentang urgensinya kenapa
harus segera diaplikasi kewajiban pemberian bantuan hukum cuma-cuma ini.
Seandainyapun keadilan tidak sampai menjadi mitos, paling tidak, mahalnya
harga sebuah keadilan juga dipicu oleh fenomena onesideness (partisan) yang tidak
rasional dari para penegak hukum. Dalam hal ini, diperlukan the othersideness
(pandangan pihak lain) yang kuat sehingga putusan-putusan para penegak hukum dapat
menjadi objektif, atau setidaktidaknya mendekati nilai objektif. Untuk kasus-kasus di
pengadilan, diperlukan para advokat-advokat profesional yang handal yang dapat
mempresentasi kasusnya dengan baik dan mengikuti serta mengarahkan alur-alur pikir
hukum yang berlaku secara formal. Masalahnya dengan demikian, harga dari keadilan
tentu menjadi semakin mahal, dan tidak semua para pencari keadilan dapat membayar
harga dari sebuah keadilan yang mahal seperti itu. Maka, jawabannya, sekali lagi adalah
bantuan hukum cuma-cuma.

7
Dalam hubungan dengan posisi jangkauan keadilan dari golongan rentan
ketidakadilan dan kaum terpinggirkan lainnya, arah perkembangan di berbagai bidang
saat ini juga semakin jelas, yakni gerakan yang berkembang ke arah yang semakin
membiarkan keberagaman, melalui pemikiran dan gerakan politik dan kemasyarakatan
secara identitas. Aneka rupa keberagaman kelompok masyarakat memerlukan
penanganan sendiri-sendiri. Misalnya dengan adanya “a cry” (teriakan) yang sangat
nyaring dari kelompok rentan, seperti teriakan korban serangan Bangsa Israel (Yahudi)
terhadap warga Palestina di jalur Gaza, yang sepertiganya adalah anakanak, yang terjadi
di akhir tahun 2008 berlanjut ke awal tahun 2009. Mereka adalah golongan rentan yang
butuh keadilan secara universal. Dan dunia yang beradab ini tidak boleh berpangku
tangan tetapi harus memberikan keadilan kepada mereka. Keadilan adalah “hak” mereka,
bukan belas kasihan.
Karena itu, keragaman golongan rentan ketidakadilan tersebut membutuhkan
keadilan yang beragam pula, sehingga perlu dipikirkan pembentukan dari berbagai
varian dari bantuan hukum cuma-cuma, misalnya dalam bentuk Lembaga-lembaga
Bantuan Hukum Khusus, seperti LBH khusus untuk korban lingkungan, LBH khusus
untuk wanita, LBH khusus untuk anak-anak, LBH khusus untuk konsumen, LBH khusus
untuk golongan miskin perkotaan, LBH khusus untuk korban penggusuran, LBH khusus
tenaga kerja luar negeri, LBH khusus untuk korban perang dan pemberontakan
bersenjata, dan sebagainya.

E. Penutup

Dalam perjalanannya, pelaksanaan hukum mengalami berbagai tantangan dan


rintangan, sehingga sering kali pelaksanaan hukum menjadi tidak maksimal. Berbagai
fenomena ketidakadilan dalam penerapan hukum seringkali terjadi dalam kehidupan ini.
Ketika kasus hukum melibatkan pejabat Negara, sering kali prosesnya menjadi panjang
dan akhirnya hilang tanpa proses, sementara jika hukum berhubungan dengan rakyak
lemah, penerapan hukum terlihat sangat keras. Pada dasarnya, sebuah hukum dapat
dilaksanakan secara baik paling tidak dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu; adanya aturan
yang telah diformalkan, lembaga yang melaksanakan hukum dapat berjalan dan
menjalankan hukum dengan baik serta berkeadilan, dan terakhir adanya kesadaran
masyarakat dalam menjalankan ketentuan hukum tersebut. Begitu pula dengan proses
bantuan hukum dengan Cuma-Cuma, haruslah dipertimbangan sesuai ketentuan
perundang-undangan dan etika, kesadaran dan mentalitas penegak hukumnya.

8
F. Daftar Pustaka

Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar
Maju. Bandung. 2001. hlm.19.

H.M.A. Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. UMM Press. Malang. 2003.
hlm.160.

Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES Indonesia. Jakarta.


2007. hlm.5.

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia , Jakarta : Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988, hlm.20.

Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar
Maju. Bandung. 2001. hlm.30.

Anda mungkin juga menyukai