Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

DIAGNOSIS LABORATORIUM BEBERAPA PENYAKIT PARASITER

Oleh :
Nama : Karnia Rosmiati
NIM : B1J014059
Kelompok : 3
Rombongan : I
Asisten : Dewi Saroh

LAPORAN PARASITOLOGI

KEMENTERIANRISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diagnosis suatu penyakit dapat dilakukan dengan mengacu pada gejala klinik
yang ditemukan, terutama pada penyakit yang memiliki gejala klinik yang cukup
spesifik. Diagnosis demikian dikenal sebagai diagnosis klinik. Pada penyakit yang
tidak memiliki gejala klinik khas perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosisnya dinamakan diagnosis laboratorium. Dalam mendiagnosis penyakit
yang disebabkan oleh parasit, banyak cara yang harus dilakukan. Kebanyakan
penyakit yang disebabkan oleh parasit tidak memiliki gejala klinik spesifik sehingga
diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit tersebut secara
mikroskopis dari bahan pemeriksaan. Diagnosis laboratorium ini merupakan
diagnosis pasti (Natadisastra et al.,1996).
Identifikasi maupun diagnosis parasit yang tepat memerlukan pengalaman
dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga
memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang
mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan
bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang
telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk
cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses,
sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun
imunologis (Kadarsan, 1983).
Penyakit cacing pada hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi
produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan kematian namun bersifat
menahun yang dapat menurunkan berat badan, prodeuktivitas dan kelemahan otot
pada hewan (levine & Norman, 2001).
Genus nematoda yang hidup di saluran pencernaan diantaranya adalah
Strongyloides sp., Oesophagustomum sp., Trichuris trichiura, Ancylostoma sp,
Trichostrongylus sp., Enterobius sp., dan Ascaris sp, Larva infektif dari masing -
masing cacing dapat menginfeksi induk semang melalui oral maupun dengan
menembus kulit induk semang. Apabila larva telah berada di dalam induk semang,
mereka segera menetap di dalam lokasi akhir, berkembang menjadi stadium dewasa,
dan akhirnya akan menimbulkan penyakit cacingan. Cacing ini umumnya menular
melalui melalui tanah (Soil transmitted helmith), air, dan makanan yang berupa
rerumputan atau buah-buahan (Nasution et al., 2013).
Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing yang sudah menginfeksi
lebih dari satu milyar orang didunia. Infeksi Trichuris trichiura dialami oleh
795000.000 orang, Ancylostoma dan Necator americanus dialami oleh740.000.000
orang. Infeksi cacing STH pada negara - negara tropis- sub tropis didukung oleh
faktor kurangnya sanitasi dan kemiskinan (Phuc et al., 2015).
Identifikasi parasit memerlukan beberapa metode yang tepat untuk
memperoleh hasil yang benar. Bahan yang akan digunakan untuk mengidentifikasi
keparahan suatu penyakit tergantung pada jenis penyakitnya dan metode yang
digunakan, untuk mengidentifikasi telur cacing digunakan sampel feses dengan
metode nativ atau apung, sedang untuk mengidentifikasi larva cacing digunakan
sampel feses dengan metode harada mori.

B. Tujuan
1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit melalui pemeriksaan feses.
2. Mengetahui teknik pemeriksaan telur pada feses.
3. Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasit (telur, larva, dan dewasa).
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikumDiagnosis Laboratorium Beberapa


Penyakit Parasiter yaitu baki preparat, object glasss, cover glass, plastik, lidi beaker
glass, tabung reaksi, beker glass, saringan teh, kertas saring, label, mikroskop, dan
jepitan baju
Bahan yang digunakan dalam praktikum Diagnosis Laboratorium Penyakit
Parasister diantaranya adalah NaCl jenuh, akuades, feses manusia, feses ayam, feses
kambing, feses bebek, dan feses sapi.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum Diagnosis Laboratorium Beberapa


Penyakit Parasiter kali ini adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan secara native
a. Larutan NaCl diteteskan ke atas gelas ojek yang bersih.
b. Feses diambil dengan lidi secukupnya, kemudian ditaruh di atas gelas objek
yang bersih.
c. Diratakan terlebih dahulu dengan lidi sebelum diberi gelas penutup.
d. Periksa di bawah mikroskop.
2. Pemeriksaan dengan metode apung
a. 10 gram feses dicampur dengan 20 ml larutan NaCl jenuh, kemudian diaduk
sampai larut dan ditunggu sampai mengendap, apabila terdapat serat-serat
selulosa disaring terlebih dahulu dengan saringan teh.
b. Larutan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh, yaitu sampai
terbentuk cembungan air pada tabung. Diamkan selama 10 menit, cover glass
diletakkan daiatas cekungan dan segera angkat, selanjutnya letakkan di atas
object glass
c. Diamati di bawah mikroskop
3. Pemeriksaan Harada Mori
a. Plastik diisi akuades steril kurang lebih sebanyak 5ml.
b. Feses dioleskan dengan lidi bambu pada kertas saring sampai mengisi
sepertiga bagian tengahnya.
c. Kertas saring dimasukkan kedalam plastik es mambo, cara memasukkan
kertas saring dilipat membujur dengan ujung kertas menyentuh permukaan
akuades dan feses jangan sampai tercelup akuades.
d. Plastik diberi label, kemudia plastik ditutup dan digantung pada tali rafia
dengan menggunakan penjepit baju.
e. Disimpan pada suhu kamar selama 3-7 hari
f. Setelah 3-7 hari akuades didalam plastik dipanaskan terlebih dahulu selama 5
menit dengan water bath, kemudian dimasukan ke dalam beaker glass dengan
cara menggunting bagian ujung plastik.
g. Larutan dieteskan ke atas object glass yang steril.
h. Preparat diperiksa di bawah mikroskop.
I. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Telur dan Larva Cacing Parasit


Metode
Kelompok Feses
Direct slide Metode apung Harada mori
Ayam - - Ascaridia galli
(1)
Sapi - - -
1
Kambing - Telur dan acari -
Bebek - - -
Manusia - - -
Ayam - - Ascaridia galli
Sapi - - -
2 Kambing - - -
Bebek - telur -
Manusia - - -
Ayam - - -
Sapi - - -
Kambing - - -
3
Bebek - Ascaris
lumbricoides
Manusia - - -
Ayam Ascaris sp - -
Sapi - - -
4 Kambing - - Ascaris sp.
Bebek - - -
Manusia - - -
Gambar 1. Telur cacing pada feses bebek

Gambar 2.Cacing Ascaris sp. pada feses bebek

Gambar 3.Telur cacing pada feses kambing

Gambar 4. Larva pada feses bebek


B. Pembahasan

Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing


ataupun larva yang infektif. Teknik pemeriksaan tinja (feses) terdiridari 2 macam
metode yaitu metode pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif (Winita et al., 2012).
Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode natif (direct slide),
metode apung, dan metode harada mori. Sedangkan pemeriksaan kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan metode kato (Beaver et al., 1984)
Pemeriksaan feses secara kualitatif merupakan pemeriksaan yang
didasarkan pada ditemukkannya telur pada feses spesies tertentutanpa dihitung
jumlahnya. Metode kualitatif adalah pemeriksaan hanya untuk menentukan ada atau
tidaknya cacing parasit pada hewan dan manusia dengan melalui pemeriksaan feses.
Pemeriksaan feses secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feses yang didasarkan pada
penemuan telur pada tiap gram feses. Pemeriksaan secara kuantitatif lebih
dimaksudkan untuk menentukan jumlah parasit yang ada dalam tubuh hospes
(Gandahusada, 2000). Pemeriksaan feses pada praktikum Diagnosis Laboratorium
Beberapa penyakit parasiter dilakukan dengan beberapa metode yaitu
Metode pertama yang digunakan adalah Teknik Natif (direct slide)
merupakan teknik pemeriksaan feses untuk untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
pada infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%,
dalam praktikum hanya digunakan NaCl fisiologis. Metode natif memiliki beberapa
kelebihan diantaranya yaitu mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua
spesies, biaya yang di perlukan sedikit serta peralatan yang di gunakan sederhana dan
mudah didapat. Kekurangan dari metode ini adalah hanya dapat untuk menditeksi
infeksi berat, sedangkan untuk infeksi ringan sulit terditeksi. (Soejoto & Soebari,
1996).
Metode kedua yang dilakukan yaitu Teknik Apung. Teknik apung (flotation
method) merupakan salah satu metode untuk mengetahui infeksi cacing parasit usus
yang bersifat ringan. Metode ini didasarkan pada teori adanya berat jenis telur yang
lebih ringan dari pada berat jenis larutan yang terbuat dari 200 ml NaCl jenuh atau
larutan gula jenuh sehingga, telur cacing terapung dipermukaan larutan. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur
yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur
Ascaris yang infertil. Kelebihan teknik ini diantaranya adalah telur yang ditemukan
lebih jelas terlihat karena dengan metode ini infeksi ringan dapat terdeteksi, namun
teknik ini memiliki kelemahan yaitu teknik ini dapat mengalami kesalahan apabila
terkena guncangan atau pemberian NaCl yang terlalu banyak (Soejoto & Soebari,
1996).
Metode pemriksaan feses yang dilakukan selanjutnya adalah Harada mori.
Harada mori meruupakan sebuah metode tabung filter kertas yang digunakan untuk
mengidentifikasi cacing Ancylostoma duodenale. Namun sejak diperkenalkan sampai
sekarang, telah terjadi beberapa modifikasi dari metode ini. Modifikasi Harada Mori
teknik kultur menggunakan kertas filter telah digunakan untuk diagnosis parasit
lainnya seperti Strongyloides stercoralis dan infeksi cacing tambang (Kavana et al.,
2015).
Dalam teknik ini dilakukan inkubasi selama 1 minggu. Inkubasi ini
dimaksudkan untuk membiarkan telur cacing berkembang menjadi larva infektif
pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan
ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik. Teknik Harada-
Mori memiliki kelebihan yaitu mudah dilakukan dan tidak banyak menggunakan
peralatan. Teknik ini mudah dilakukan karena teknik pemeriksaan ini hanya untuk
mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar di sehingga
lebih mudah ditemukan daripada telur. Kekurangan metode ini adalah hanya dapat
mengidentifikasi infeksi cacing tambang, dan memerlukan waktucukup lama (Bala,
2010).
Berdasarkan praktikum kali ini, didapatkan hasil kelompok 3 bahwa dengan
metode natif ditemukan telur cacing pada feses ayam, dan larva serta telur cacing
pada feses kambing. Metode Apung didapatkan larva pada feses ayam dan kambing.
Metode Harada Mori didapatkan telur cacing pada feses ayam dan larva pada feses
bebek. Spesies yang didapatkan tidak dapat teridentifikasi secara jelas. Hal ini
kurang sesuai dengan Muslim (2005) yang menyatakan bahwa feses ayam yang
kemungkinan didapatkan larva cestoda seperti Railletina sp. maupun cacing
nematoda. Feses manusia yang kemungkinan didapatkan larva nematoda seperti
Ascaris. Larva dapat digunakan untuk membedakan antara N. americanus dan A.
duodenale dengan melihat larva filariform pada apusan feses pada kertas saring
setelah inkubasi selama 5-7 hari (Gantz et al., 2006).
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk
memeriksa dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan
yang telah dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira
ukuran dari bermacam-macam parasit (Kurt, 1999). Kurang sesuainya hasil yang
didapat dibandingkan dengan pustaka pada praktikum kali ini kemungkinan
disebabkan beberapa faktor antara lain (Neva & Brown, 1994):
a. Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit
usus).
b. Kurang ketelitian saat praktikum. Misalnya pada metode natif pada saat menusuk-
menusukkan lidi bambu pada feces telur yang terdapat pada feces tidak menempel
pada lidi.
c. Metode apung, pada saat larutan feses didiamkan pada tabung reaksi, tabung
reaksi goyang sehingga telur yang sudah terapung mengendap lagi.
d. Kurangnya pemahaman pada bentuk morfologi telur cacing parasit maupun
larvanya.
e. Kurang pemahaman tentang urutan kerja pada masing-masing metode.
f. Saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur
pada feses.
Muslim (2005), mengatakan untuk mendiagnosis infeksi dari cacing
N.americanus dan A. duonenale adalah dengan menemukan telur dalam feses dan
menemukan larva dengan pembiakan Harada-Mori. Lingkungan yang paling cocok
sebagai habitatnya (larva rabditiform dan filariform), yaitu daerah dengan suhu dan
kelembapan tinggi (perkebunan dan pertambangan). Penyebaran infeksi berkolerasi
dengan kebiasaan defekasi di tanah. Suhu optimum untuk perkembangan larva N.
Americanus berkisar 29-320C, sedangkan untuk A. duodenale berkisar 23-250C. Hal
ini sesuai praktikum ini feses diinkubasikan dengan suhu kamar, sehingga
dimungkinkan untuk larva-larva cacing ini dapat hidup.
Infeksi cacing parasit pada usus hewan ternak seperti sapi dan kambing akan
mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus dalam transport glukosa dan metabolit
lain. Apabila ketidakseimbangan ini cukup besar, akan menyebabkan menurunnya
nafsu makan, serta tingginya kadar nitrogen di dalam tinja yang dibuang karena tidak
dipergunakan. Oleh karena itu infeksi cacing parasit usus akan bersifat patogenik,
terutama jika bersamaan dengan kondisi pakan ternak yang buruk (Nofyan, 2010).
Parasit pada saluran pencernaan ayam merupakan salah satu masalah yang
cukup serius. Produksi ayam menjadi menurun karena adanya infeksi tersebut. Dari
pemeriksaan beberapa ayam ditemukan beberapa telur cestoda dan beberapa telur
nematoda. Teknik sedimentasi digunakan untuk mendeteksi telur trematoda (Mwale,
2011). Ascaridia galli pada feses ayam, cacing memiliki penghisap pre anal,
mempunyai papilla-papilla pada tepi tubuh bagian posterior. Panjang spikulum 4
mm, betina lebih panjang dari pada yang jantan. Telur keluar bersama tinja, dan
berkembang menjadi stadium infaktif (mengandung stadium larva kedua), diatas
tanah dalam waktu 8-14 hari, pada kondisi biasa, telur infaktif tertelan oleh ayam dan
menetas di dalam proventrikulus atau usus halus.
Tinggi rendahnya frekuensi penularan cacing nematoda gastrointestinal ini
berhubungan erat dengan tercemarnya tanah dengan feses yang mengandung telur
cacing, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui adanya
pencemaran di suatu tempat yang diperkirakan dapat menularkan parasit nematoda
gastrointestinal (Nasution, 2013).
II. KESIMPULAN

1. Cacing yang ditemukan pada pemeriksaan feses baik menggunakan metode


natif, apung maupun Harada mori sebagian besar ialah jenis Ascaridia.
2. Teknik pemeriksaan telur pada feses dapat dilakukan dengan metode natif,
apung maupun metode Harada mori
3. Cacing yang ditemukan (Ascaridia galli) mendiagnosa adanya infeksi cacing
parasit melalui pemeriksaan feses berbentuk gilig memanjang pada ayam.
DAFTAR REFERENSI

Bala, A.Y. 2010. Relative Prevalnece Of The Human Hookworm Species, Necator
Americanus And Ancylostoma Duodenale In Jos-North Local Government
Area Of Plateau State. Research Journal of Parasitology. Vol 5 (1): 18-22.

Beaver, P.C., Yung. R. C., Cupp. E. W. 1984. Clinical Parasitoly 9 Edition,


Philadelpia.

Gandahusada, S.W . Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran.


Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Gantz, Nelson M Richard B. Brown, Steven L. Brk, James W. Myers. 2006. Manual
of Clinical Problems in Infectious disease. Lippncott Williams And Wilkins.
USA.

Kadarsan, S. 1983. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.

Kavana, N. J, A.A. Kassuku, C. J. Kasanga. 2015. Incubation of Spirometra Eggs at


Laboratory Condition by Modified Harada- Mori Menthod. Huria Journal.
Vol. 19 : 29-36.

Muslim, M. 2005. Parasitologi Untuk Keperawatan. Buku kedokteran EGC, Jakarta.

Mwale, 2011. Point prevalence study of gastrointestinal parsites in village chickens


of Centane district, South Africa. African Journal of Agricultural Research.
Vol. 6(9): 2033-2038.

Nasution, I.T, Y. Fahrimal , M. Hasan. 2013. Identifikasi Parasit Gastrointestinal


pada Feses Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Karantina Batu Mbelin
Sibolangit Provinsi Sumatera Utara. Journal Medika Veterinaria. Vol 7(2):
67-70.
Soejoto, Matono & Soebari. 1996. Parasitologi Medik jilid I (Protozoologi dan
Helmintologi), Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai