Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi pada beberapa

spesies Pala Tiap spesies memiliki perbedaan morfologi satu sama lain. Tanaman

pala (Myristica sp.) adalah tanaman asli Indonesia dan termasuk tanaman

perkebunan penting di antara tanaman rempah-rempah, dan menghasilkan dua

produk bernilai ekonomi tinggi, yaitu biji pala dan fuli yang menyelimuti biji.

Kedua produk tersebut menghasilkan minyak pala, atsiri, rempah, dan bahan obat

(Hadad dan Firman, 2003). Daerah yang potensial untuk pengembangan pala adalah

daerah penghasil pala utama di Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara, Papua,

Sulawesi Utara, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Barat dan Jawa Barat

(Nurdjanah, 2007). Luas areal pertanaman pala sebagian besar (99%) berasal dari

perkebunan rakyat, sedangkan sisanya berasal dari perkebunan negara dan swasta.

Tanaman pala yang tumbuh diperkebunan rakyat atau petani umumnya belum

pernah dilakukan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan jenis varietas unggul

dalam karakter produksi maupun kandungan minyak atsiri pala.

Tanaman pala termasuk dalam kelas Angiospermae, subkelas

Dicotyledonae, ordo Ranales, family Myristiceae serta genus Myristica. Tanaman

ini terdiri dari 18 genus dan ±300 species. Dari 300 species hanya beberapa jenis

saja yang telah dimanfaatkan, terutama jenis pala Banda (Myristica fragrans

HOUTT). Ditinjau dari bentuk buahnya, pala yang tumbuh di Maluku mempunyai

bentuk yang bervariasi dari yang sebesar kacang tanah sampai sebesar bola tenis.

1
Setiap jenis pala Maluku tersebut mempunyai karakter yang spesifik baik dari segi

bentuk, warna, aroma, rasa, dan kandungan kimianya.

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan masyarakat lokal (Desa

Wori) ditemukan bahwa dari morfologinya terdapat beberapa jenis tanaman pala

yang tumbuh di Sulawesi Utara khususnya Kabupaten Minahasa Utara yaitu

tanaman pala yang daunnya berbentuk elips sampai oval, demikian pula dengan

bentuk ujung daun ada yang tumpul, runcing hingga meruncing terdapat pada pala

yang diamati. Selain daun, keragaman genetik tanaman pala terdapat juga pada

buahnya. Ada buah yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk oval.

Nurdjanah (2007), mengatakan Sulawesi Utara merupakan salah satu

daerah potensial untuk daerah penghasil pala utama di Indonesia. Oleh sebab itu,

identifikasi dan karakterisasi yang lengkap bagi tanaman pala sangat diperlukan

karena sangat berguna dalam upaya perlindungan plasma nutfah dan

pengembangan varietas. Hal inilah yang membuat para peneliti melakukan

penelitian pada aspek molekuler terhadap tanaman pala. Penelitian sebelumnya

telah dilakukan oleh Nanlohy, dkk. (2017), mengenai posisi setiap spesies dan

rekonstruksi pohon filogeni dari tanaman pala yang berada di Tahuna menggunakan

gen rbcL DNA Kloroplas. Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan oleh

Soeroso, (2012) mengenai Pala (Myristica spp.) Maluku Utara berdasarkan

keragaman morfologi, kandungan atsiri, pendugaan seks determinasi dan analisis

marka SSR.

Penelitian pada tanaman Pala sudah banyak dilakukan oleh para peneliti

namun belum ada informasi yang lebih banyak mengenai keragaman genetik

tanaman pala khususnya di Kabupaten Minahasa Utara. Salah satu upaya untuk

2
mengetahui keragaman genetik suatu tanaman dapat dilakukan menggunakan

penanda molekuler. Penanda molekuler banyak digunakan dalam analisis

keragaman genetik tumbuhan, salah satunya adalah Mikrosatelit. Menurut

Sawadogo (2009), metode ini terbukti akurat serta lebih tepat dibandingkan dengan

teknik molekuler lain dalam mempelajari keanekaragaman genetik tanaman.

Mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik molekuler yang

didasarkan pada urutan DNA pendek yang tiap unit ulangannya terdiri dari satu

sampai enam nukleotida. Lokus mikrosatelit diapit oleh suatu urutan nukleotida

yang terkonservasi, sehingga urutan DNA pengapit ini dapat dijadikan primer

spesifik yang bisa diamplifikasi menggunakan PCR (Treuren, 2000). Powell dkk.

1996, membuktikan bahwa dari empat marka molekuler yang diuji (RFLP, RAPD,

AFLP dan SSR) marka SSR memiliki kandungan informasi (kemampuan untuk

membedakan genotipe) yang paling tinggi untuk mengevaluasi plasma nutfah suatu

tanaman dibandingkan dengan marka molekuler yang lain (Aryantha, dkk, 2005).

Penanda berulang, terutama DNA ruas berulang sederhana Mikrosatelit

adalah suatu penanda DNA yang berkemampuan untuk digunakan dalam analisis

keragaman genetik suatu populasi tanaman, karena dapat memberikan fenotipe

polimorfik yang banyak. Penelitian tentang tanaman pala, tujuh belas pasang primer

mikrosatelit (didesain oleh Hemmila et al. 2010 dan Draheim et al. 2009) berhasil

dirancang untuk mengamplifikasi genomic pala dalam metode PCR (Soeroso,

2012). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik tanaman pala

Kabupaten Minahasa Utara berdasarkan penanda molekuler Mikrosatelit.

B. Identifikasi Masalah

1. Adanya keragaman jenis pala berdasarkan morfologi daun

3
2. Secara empirik masyarakat petani membedakan jenis pala berdasarkan

morfologi yang perlu dibuktikan secara genetik

3. Penanda molekuler Mikrosatelit masih jarang digunakan dalam

mengkarakterisasi suatu tanaman khususnya tanaman pala.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi hanya pada :

1. Keragaman genetik daun tanaman pala (Myristica sp.) Kabupaten Minahasa

Utara

2. Kabupaten Minahasa Utara meliputi: desa Wori, Patokaan dan Kauditan

3. Menggunakan penanda molekuler Simple Sequence Repeat atau

Mikrosatelit

4. Menggunakan primer dengan nomor aksesi yaitu M4s73.

D. Rumusan Masalah

Bagaimana keragaman genetik tanaman pala (Myristica sp.) Kabupaten

Minahasa Utara berdasarkan penanda genetik Mikrosatelit?

E. Tujuan

Mengetahui keragaman genetik tanaman pala (Myristica sp.) kabupaten

Minahasa Utara berdasarkan penanda molekuler Mikrosatelit.

F. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi ilmiah

mengenai keragaman genetik tanaman pala yang ada di daerah Kabupaten

Minahasa Utara. Data tersebut sangat bermanfaat untuk pelestarian tanaman pala

dan pemuliaan tanaman pala.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Pala (Myristica sp.)

Tanaman pala berbentuk pohon berukuran sedang, tajuk pohon umum-nya

konikal atau semi piramida. Tinggi rata-rata antara 4-10 m namun kadang-kadang

dapat mencapai 20 m atau lebih. Tanaman dikembangbiakkan terutama dari benih.

Pohon pala yang berumur lebih dari 30 tahun dapat mencapai lingkar batang 150-

180 cm. Percabangan relatif teratur dengan dedaunan yang rapat dan letak daun

yang berselang-seling secara teratur. Daunnya berwarna hijau mengkilap dan gelap

dengan panjang 5-14 cm dan lebar 3-7 cm. Panjang tangkai daun 0.4-1.5 cm. Sistem

perakaran pala dangkal namun ekstensif, yaitu berupa satu akar tunggang dan

beberapa cabang akar sekunder yang menyebar hanya beberapa cm di atas

permukaan tanah. (Hadad dan Firman, 2003).

Gambar 1. Morfologi Tanaman Pala (Myristica sp.)

Sumber : (Soeroso, 2012)

5
Pembungaan tanaman pala umumnya bersifat dioecious (bunga jantan dan

betina pada tanaman yang berbeda) namun juga dijumpai tanaman monoecious

(bunga jantan dan betina berada pada pohon yang sama). Pengamatan di hutan pala

Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat

tiga tipe tanaman pala yaitu tanaman berbunga betina, tanaman berbunga jantan dan

tanaman berbunga jantan-betina. Dua tipe yang pertama disebut pala dioecious dan

tipe yang terakhir disebut pala monoe-cious (Marzuki dkk. 2006). Pada tanaman

pala tidak ada tanaman/pohon hermaphrodit, tetapi pala memiliki bunga

hermaphrodit.

Buah berbentuk bulat hingga oval atau kadang-kadang agak lonjong,

dengan dinding buah berdaging tebal. Warna daging buah putih kekuningan dan

warna kulit buah kuning sampai kuning kecoklatan agak sedikit kasar. Buah bila

telah tua akan terbelah menjadi 2 bagian. Biji berbentuk bulat hingga agak lon-jong

dan berwarna coklat sampai coklat kehitaman. Biji dibungkus dengan bagian fuli

benih berwarna oranye hingga kemerahan. Kernel biji dilindungi oleh tem-purung

biji yang keras. kernel dengan endosperm banyak mengandung minyak dan pati

dengan sifat perkecambahan biji hypogeal (Arrijani, 2005; Utami dan Brink, 1999).

Tanaman pala (M. fragrans Houtt.) mempunyai nilai ekonomi yang cukup

tinggi, sebab sebagian besar kebutuhan dunia akan pala dipasok dari Indonesia.

Buah pala menghasilkan dua produk penting yang berbeda, yaitu biji pala dan fuli

(mace). Disamping itu dari bagian-bagian tanaman pala dapat dihasilkan ber-

macam-macam produk.

6
a. Kulit Batang dan Daun

Kulit batang dan daun tanaman pala mengandung minyak atsiri.

Minyak atsiri dari kulit batang dan daun pala tidak berwarna dan encer, bau

dan rasanya enak seperti muskat. Demikian halnya minyak atsiri kulit

batang atau daun pala cocok untuk pengganti minyak atsiri biji pala.

b. Fuli (Mace)

Fuli merupakan bagian yang menyelimuti biji buah pala yang

berbentuk anyaman atau jala,yang dalam dunia perdagangan sering disebut

dengan istilah “bunga pala”. Bunga pala dalam bentuk kering banyak dijual

di dalam negeri. Fuli yang sudah kering dapat disortasi menjadi tiga macam

yaitu ; 1) Fuli utuh ber-warna jingga berasal dari buah pala yang telah

masak. Fuli tersebut tergolong memiliki kualitas yang baik. 2) Fuli yang

berwarna hitam berasal dari buah pala yang terlalu masak. Fuli jenis tersebut

termasuk dengan kualitas yang cukup 3). Fuli yang tipis berasal dari buah

pala yang belum masak tetapi buah telah membelah. Fuli ini tergolong

berkualitas sedang atau kurang baik.

c. Biji Pala

Biji pala memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena banyak

dibutuhkan oleh orang-orang dari Negara Barat. Lemak biji pala sebagian

besar diolah di Eropa dan diperdagangkan sebagai volatile oil of Nutmeg.

Lemak yang dihasil-kan dari biji pala akan berwarna seperti mentega

sampai putih, kadar lemak biji pala mencapai 11–34% dan mengandung

minyak atsiri sekitar 6%. Minyak pala digunakan untuk membuat minyak

wangi, parfum dan sabun, pengolahan gula dan makanan banyak

7
menggunakan lemak biji pala. Sifat myristicin yang ter-kandung di dalam

biji pala dapat memabukkan dan dimanfaatkan sebagai obat penenang rasa

sakit. Minyak dan lemak yang dihasilkan dari biji digunakan untuk

membuat minyak wangi dan sabun. Selain itu ada juga yang

menggunakannya sebagai bumbu masakan.

d. Daging Buah Pala

Bentuk buah pala bulat sampai lonjong, berwarna hijau kekuning-

kuningan, apabila masak akan terbelah dua dengan diameter 3-9 cm. Daging

buahnya atau pericarp tebal dan rasanya asam. Daging buah pala

mengandung beberapa nutrisi seperti lemak dan protein nabati. Selain itu

mengandung pektin yang merupakan senyawa fenolik yang dikeluarkan

oleh buah dalam bentuk ge-tah yang berwarna merah kecokelatan. Kulit dan

daging buah pala mengandung 19 minyak atsiri dan zat samak. Daging buah

dapat mengakibatkan rasa kantuk jika dimakan karena mengandung minyak

atsiri myristisin dan mono-terpen. Daging buah dapat dimanfaatkan menjadi

makanan ringan, misalnya asinan pala, manis-an pala, marmelade, selai pala

dan kristal daging buah pala. (Nurdjanah, 2007).

Ada beberapa jenis pala yang tumbuh di Indonesia yaitu:

1. Myristica fragrans, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis

lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Tanaman ini merupakan

tanaman asli pulau Banda dan banyak dibudidayakan di Kabupaten

Minahasa Utara.

8
2. Myristica. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot asli dari

Papua, khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan-hutan,

mutunya dibawah pala Banda.

3. Myristica. scheffert Warb. terdapat di hutan-hutan Papua.

4. Myristica. speciosa, Terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai

nilai ekonomi.

5. Myristica succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak

mempunyai nilai ekonomi.

B. Penanda Keragaman Genetik Tanaman Pala (Myristica sp.)

Pengetahuan tentang keragaman genetik tanaman pala merupakan modal

dasar bagi ahli pemuliaan dan genetika populasi untuk pengembangan dan

perbaikan tanaman. Pengungkapan informasi sifat genetik dapat dilakukan dengan

identifikasi setiap aksesi tanaman pala. Identifikasi untuk pembedaan identitas antar

varietas dapat dideteksi melalui beberapa penanda (genetik markers). Penanda

adalah karakter yang dapat diturunkan yang berasosiasi dengan genotipe tertentu

dan dapat digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe tersebut (Asiedu dkk. 1989

dalam Soeroso, 2012).

Penanda genetik dapat digolongkan atas penanda morfologi, penanda

agronomi dan penanda molekuler (Jonah dkk. 2011 dalam Soeroso, 2012). Setiap

varietas dari suatu spesies tanaman mempunyai deskripsi morfologi yang spesifik.

Beberapa sifat morfologi dapat diidentifikasi langsung berdasarkan pengamatan

dilapangan, dan yang lain tidak dapat karena memerlukan alat bantu pembesar. Sifat

morfologi tersebut dapat berupa sifat-sifat kualitatif maupun sifat kuantitatif.

Karakterisasi merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan data sifat atau karakter

9
morfoagronomis dari aksesi plasma nutfah yang bertujuan untuk membedakan

fenotipe dari setiap aksesi tanaman pala dengan cepat dan mudah serta menduga

seberapa besar keragaman genetik yang dimiliki. Karakterisasi dilakukan

berdasarkan deskriptor tanaman yang telah disusun data morfologi dan agroekologi

serta tipikal karakteristik tanaman. Deskriptor merupakan pedoman pendeskripsian

untuk karakterisasi tanaman yang berguna dalam menggambar-kan karakteristik

sifat umum dan khusus tanaman. Untuk penyusunan sebuah deskriptor pala

diperlukan data lapangan dan laboratorium (Marzuki dkk. 2006).

C. Penanda Molekuler

Penggunaan penanda sebagai alat karakterisasi sangat diperlukan untuk

pengkarakteran tanaman secara genetik. Penanda dapat dikategorikan sebagai

penanda morfologi, sitologi dan perkembangan terakhir adalah penanda molekuler.

Penanda yang banyak dilakukan adalah penanda morfologi, yaitu dengan

mengamati secara langsung karakter morfologi tanaman, namun penanda tersebut

mempunyai kelemahan karena karakter yang diamati kemungkinan dipengaruhi

oleh lingkungan. Suatu motode karakterisasi yang dikenal dengan nama penanda

molekuler telah dikembangkan untuk penanggulangan keter-batasan penanda

morfologi. Pemecahan kendala dalam pemuliaan konvensional mulai mendapat

titik terang dengan ditemukannya marka molekuler. Semakin berkembangnya ilmu

pengetahuan, maka pada awal tahun 1980-an ditemukan teknologi molekuler yang

berbasis pada DNA. Marka molekuler tersebut dapat menutupi kekurangan dari

marka isozim, karena jumlah yang tidak terbatas dan dapat melingkupi seluruh

genom tanaman, tidak dipengaruhi oleh regulasi perkembangan jaringan, sehingga

10
dapat dideteksi pada seluruh jaringan, dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi

dalam menganalisis keragaman karakter antar individu (Smith dan Smith, 1992).

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi yang berbasis marka

DNA, maka saat ini telah ditemukan tiga tipe marka DNA dengan segala kelebihan

dan kekurangan masing-masing. Ketiga tipe marka DNA tersebut adalah (1) marka

yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti Restriction Fragment Length

Polymorphism (RFLP); (2) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase

(Polymerase Chain Reaction, PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen

nukleotida sebagai primer, seperti Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD),

dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP); dan (3) marka yang

berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen

komplementer spesifik dalam DNA sasaran, seperti Sequence Tagged Sites (STS),

Sequence Characterized Amplified Regions (SCARs), Simple Sequence Repets

(SSRs) atau mikrosatelit (microsatellites), dan Single Nucleotide Polymorphism

(SNPs).

Perkembangan teknologi baru telah menjangkau pengujian polimorfisme

DNA untuk pemetaan genetik, marka untuk pemuliaan tanaman, dan eksplorasi

hubungan kekerabatan serta determinasi seks tanaman. Teknologi tersebut meliputi

RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit atau SSR (Powell et al, 1996). Saat ini,

marka DNA yang banyak digunakan dalam program pemuliaan terutama adalah

RAPD, AFLP, SSRs, dan Expressed Sequence Tags (ESTs). Masing-masing marka

tersebut mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Meskipun masih terbatas

penggunaannya pada tanaman, tetapi penggunaan marka molekuler mampu

mempercepat pengembangan marka untuk analisis sidik jari plasma nutfah, sebagai

11
alat bantu seleksi, terutama pada metode silang balik. Peluang pengembangan

teknologi marka DNA secara umum sangat tinggi sebagai alat bantu baru pada

kegiatan genotipik untuk karakterisasi keragaman, pemetaan genetik dan

penggunaan marka sebagai alat bantu pemuliaan dan perlindungan plasma nutfah

tanaman. Disamping itu penggunaan penanda morfologi dan penanda molekuler

tersebut dapat dikombinasikan untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Polimorfisme genetic adalah variasi struktur genetik dalam satu populasi.

Untuk mengetahui aman tidaknya satu populasi, pengungkapan polimorfisme

genetik dapat memberikan gambaran apakah kehidupan suatu populasi tersebut

dalam keadaan aman atau terancam. Suatu populasi dengan polimorfisme genetik

yang rendah cenderung kehidupan jangka panjang terancam, sehingga perlu

pemilihan langkah-langkah penyelamatan populasi ke depan dapat diambil

dengan tepat (Menurut Wandia et al., 2009 dalam Rell dkk, 2013). Materi genetik

berupa DNA dapat dipakai untuk mengungkap polimorfisme genetik. DNA

adalah molekul polimer, yaitu terdiri atas rantai monomer nukleotida. Marka

mikrosatelit merupakan marka genetik yang sering digunakan untuk

mempelajari struktur populasi ,pautan (linkage), dan pemetaan kromoson

(Menurut Silva et al., 1999 dalam Rell dkk, 2013). Berbeda halnya dengan

marka protein, marka mikrosatelit merupakan segmen langsung dari genom

(DNA) sehingga variasi genetik yang ditemukan mencerminkan variasi

genetik yang sebenarnya. Polimorfisme mikrosatelit yang tinggi merupakan

marka molekuler yang baik untuk kajian genetika populasi.

12
 Simple Sequence Repeat (SSR) atau Mikrosatelit

Mikrosatelit yang juga sering disebut dengan SSR merupakan alat

bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian

benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan.

Mikrosatelit tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif,

yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem

dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang

tersebar dan meliputi seluruh genom (Matra, 2010). Mikrosatelit dalam

genetika merupakan suatu urutan basa N pendek pada DNA, biasanya terdiri

dari dua sampai lima basa N (disebut sebagai motif), yang berulang-ulang

tanpa tersela. Sebagai misal, motif GAG atau AT akan berulang-ulang 10

sampai 20 kali tanpa interupsi (misalnya

GAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAG atau ATATATA

TATATATATATAT). Panjang pengulangan ini bervariasi tergantung

individu/varietas dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Mutasi dapat terjadi terhadap banyaknya pengulangan ini sehingga

muncul variasi panjang pengulangan di dalam individu-individu dalam

suatu spesies. Variasi ini membuat mikrosatelit dapat digunakan sebagai

penanda genetik.

Fungsi vital mikrosatelit masih diperdebatkan orang. Gejala

pengulangan ini dapat dijumpai pada semua kelompok organisme hidup,

termasuk bakteri. DNA plastida dan mitokondria pun memilikinya,

sehingga mikrosatelit dianggap sebagai relik evolusi dari masa lalu. Secara

logis, mikrosatelit dapat dianggap sebagai "alat keamanan" apabila terjadi

13
kesalahan dalam proses transkripsi. Banyak mikrosatelit terletak pada

bagian gen yang disebut intron, yang pada tahap pascatranskripsi akan

dibuang, atau pada bagian nontranskripsi (junk DNA). Dengan demikian,

transkripsi akan mengurangi jumlah protein yang tidak berfungsi akibat

kesalahan pembacaan (Menurut Silva et al., 1999 dalam Rell dkk, 2013).

SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi stabil secara

somatik dan diwariskan secara Mendelian oleh karena potensi SSR dalam

melakukan kesalahan replikasi yang mengakibatkan bertambahnya

pengulangan basa nukleotida. Penambahan pengulangan ini terjadi

sebanyak 103 per lokus per gamet (satu pada setiap 1000 gamet). Oleh

karena itu, SSR dapat dikatakan relatif stabil sehingga dapat dijadikan

marka DNA dan akan konsisten menampilkan suatu fragmen yang sama

apabila menggunakan primer yang sama. Penanda SSR bersifat multialellik

dan mudah diulangi, sehingga baik digunakan untuk mempelajari

keragaman genetik diantara genotip-genotip yang berbeda. Selain itu SSR

juga bermanfaat dalam mendeteksi tingkat heterosigositas dari genotip-

genotip yang akan dijadikan sebagai calon tetua hibrida (Moeljopawiro,

2010).

DNA repetitif merupakan komponen integral dari genom eukaryotik

dan dapat mencapai lebih dari 90% dari total genom tanaman tertentu

(Wang et al. 2009). Selanjutnya DNA repetitif dapat diklasifikasikan

sebagai DNA yang berselang-seling (interspersed) dalam genom atau

“Tandemly repeat”. Inter-spersed repeat yaitu pengulangan motif DNA

terjadi pada beberapa bagian (multiple site) dari genom. Pada tandem repeat

14
terdapat dua atau beberapa ribu motif dasar yang tersusun dari ujung kepala

ke ujung ekor dan umumnya tandem repeat merupakan DNA pada daerah

noncoding. Tandem repeat dapat diklasifikasikan berdasarkan panjang dan

jumlah kopi dari dasar elemen berulang serta lokasinya di dalam genom

sebagai berikut : (1) satelit yang terdiri atas pengulangan sangat tinggi (1000

sampai lebih 100.000 kopi) dan biasanya hanya terjadi pada sebagian kecil

lokus, (2) minisatelit yaitu terdiri atas motif yang lebih pendek (910–600

bp) dan menunjukkan pengulangan yang lebih rendah pada lokus tertentu,

(3) Tandem repeat terbentuk dari motif yang sangat pendek ( 1–10 bp), juga

disebut “simple sequence” atau mikrosatelit dan sering disebut repetitive

sequence atau simple Tandem repeat. Motif tersebut menyebar di dalam

banyak lokus genom, dan (4) midisatelit yaitu terdiri atas berbagai macam

satelit (pengulangan yang tersusun panjang pada lokus tunggal genom)

dengan mini-satelit.

Mikrosatelit merupakan sekuen DNA di dalam genom dari

organisme tingkat tinggi, termasuk manusia dan tanaman yang tersusun dari

repetitif tandem berisi motif pengulangan sekuen pendek yang unik,

misalnya (CACACACACACA) Wang, dkk. (2009). Paling umum yang

ditemukan adalah pengulangan dinuk-leotida (CA)n, (CT)n atau (AT)n.

Lokus SSR yang terdapat pada kedelai dan mangga yaitu (AT)n, (AG)n, dan

(CA)n, tetapi motif yang ditemukan pada Avokad dan Cocoa yaitu hanya

(AG)n dan (CA)n (Asworth et al. 2004; Riju et al. 2009). Tandem repeat

(di-, tri-, dan tetranucleotida) di dalam genom Chickpea (Cicer arietinum L)

yaitu (GA)8, (CAA)5, (TCC)5, dan (GGTT)4. (Loridon et al. (2005)

15
mengemukakan bahwa SSR dinukleotida yang paling sering ditemukan

pada Pisum sativum yaitu (CT/AG)5 motif dengan 31 kejadian, dan SSR

trinukleotida yang paling sering ditemukan yaitu motif (GAA/TTC) dengan

26 kejadian, diikuti oleh motif (AAT/ATT) dengan 22 kejadian dan

(CAT/ATG) dengan 14 kejadian.

Powell dkk. 1996, membuktikan bahwa dari empat marka molekuler

yang diuji (RFLP, RAPD, AFLP dan SSR) marka SSR memiliki kandungan

informasi (kemampuan untuk membedakan genotipe) yang paling tinggi

untuk mengevaluasi plasma nutfah kedelai dibandingkan dengan marka

molekuler yang lain

Mikrosatelit merupakan penanda berbasis PCR, sehingga

memerlukan primer. Pembuatan primernya memerlukan informasi urutan

basa sebelum dan sesudah mikrosatelit. Bangunan primer ini menjadikan

penanda mikrosatelit dapat dilacak posisinya dalam suatu genom namun

menjadikannya bersifat spesifik spesies (sukar dipertukarkan antarspesies)

karena urutan basa yang mengapit mikrosatelit berbeda-beda untuk setiap

spesies. Penelitian ini digunakan pasangan primer mikrosatelit yang

menghasilkan polimorfik yang jelas pada tanaman pala maupun identifikasi

seks tanaman. Tujuh belas primer (didesain oleh Hemmila et al. 2010 dan

Draheim et al. 2009) yang digunakan untuk amplifikasi DNA genom pala

dalam analisis keragaman genetik tanaman pala dapat dilihat pada Tabel 1.

16
Tabel 1. Daftar 17 primer spesifik SSR yang digunakan untuk mengamplifikasi

genomic DNA pala dalam PCR

No Produk Tm
Sekuen Primer Pola Ulangan
Aksesi PCR (OC)
F AAGGTCTGGTTTGCTGATGA
M4s73 244–268 63 (ATG)9
R AAGGTCTGGTTTGCTGATGA
F GTTTACCAGATTGGCACACG
M4s14 181–227 63 (GT)9 (GA)28
R GCACATTGAGTGGACAGCA
F GGTTCACTCTGCCCTTTTGT
M2r6 141–159 59 (CAA)11
R GATGCACTTTAGTAAGGTTTCAAGC
F CTCTCCACATGTCTGAGGAACTT
M2r9 208-217 59 (GT)20
R AGGTGATATGGCCCATTTTG
F CCTGACAACTGGAGAAGATGG
M1r6 141-159 59 (AGT)10 (GAA)10
R TGATTTCAAACCCAGTCAAGG
F AGCTTGGGATCAGGTGATATG
M2r31 151-159 59 (GT)16
R CGGCCCAATTGAGCTACTAA
F AAGAAAATGGGGCAGACGTT
M1s75 155-179 60 (TGG)9 (TAG)9
R TGCTGCTAATTCTTCTTTCTCTGAT
F CAGCACGGTGACTACAGCAG
M4s90 203-239 65 (AAG)15
R TTTTTGGTGTCGTGTCCTTG
F GATCTTGGTGTAAGCTTCTTCTTC
M1r10 145-169 58 (ACT)16 (CTT)8
R CATGCCCCAAAATCACTTC
F TCAAACAAAACCACCCATACC
M5r33 141-156 62 (ATG)8
R GGTTTAAAAGAGGCCATGATTC
F CTA GTT GAA CTC ATT TCC AC TGG
Vsur34 283–305 52 (CT)19
R TAT TAG ACT AGC ACT CA
F CTG CTG CAC CAG AGA AAC TCG CAT
Vmul65 158-192 52 (CT)8(CA)12
R TCA TGA GTT CCC A
F CTT CCT TTC TCC GTT GCC CTG AAT
Vsur56 221-237 52 (CT)13
R GCA ACT AGG AGT A
(AC)3G(CA)2A(A
F GCA ATA CGT CTC CAT TTA TC GTT C)2A
Vseb21 226-227 52
R CAC TTT CTG TTG GAT GA (ACACAT)2(TCA
CAT)3
F TAT TCT GAC TTC CAC ATC ATG GTA
Vseb3 224-230 52 (AG)19
R AGA CAA CTT GGC CAT A
F CCT CTT TCA TTG GTG CAA C ATC GTC
Vsur35 285-303 52 (GA)15
R TTC ACT CAA ACA ATC
F GAT ACT GCA TGA TAT AAG GC AAT
Vsur45 289-321 52 (TC)9(TCA)10
R AGA ATG CTT AGT AAC CTA C
Keterangan :

F = primer forward, R = primer reverse

17
D. Kerangka Berpikir

Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah penghasil Pala terbesar di

Indonesia

Tanaman Pala yang tumbuh di Sulawesi Utara khususnya Minahasa Utara

berdasarkan morfologinya memiliki variasi yang berbeda-beda

Keragaman secara fenotipik dapat berpengaruh terhadap genotipenya atau

tidak

Untuk mengetahui keragaman berdasarkan genotipenya maka perlu

dilakukan suatu pengujian menggunakan penanda molekuler

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik tanaman

Pala kabupaten Minahasa Utara berdasarkan penanda molekuler

Mikrostelit

Gambar 2. Kerangka Berpikir

18
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioaktivitas dan Biomolekuler

Jurusan Biologi FMIPA UNIMA pada bulan Januari sampai April 2018.

B. Alat Penelitian

Alat-alat yang akan digunakan berupa label, sentrifuge, mikropipet, tip, tube,

neraca analitik, vortex, thermostat, UV-Cleaner, Rotor-Gene Q Qiagen,

Spektrofotometer, Elektroforesis.

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan muda daun

pala (Myristica sp.) sebagai sampel yang diambil dari tiga lokasi yang berada di

Kabupaten Minahasa Utara yaitu Desa Wori, Desa Patokaan dan Desa Kauditan.

Kit Ekstraksi menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Plant) Geneaid yaitu: Buffer

GP1, RNA-seA, Buffer GP2, Buffer GP3, Buffer W1, Wash Buffer, dan Elution

Buffer. Kit PCR yaitu: My Taq HS Red Mix Bioline, DNA Template, Primer

Mikrosatelit M4s73, dan Double Destilate Water (ddH2O).

D. Prosedur Kerja

1. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel berupa daun tanaman pala yang diambil langsung dari pohon di tiga

daerah yang berada di Kabupaten Minahasa Utara, yaitu Desa Wori, Patokaan dan

Kauditan (lampiran 2). Masing-masing daerah tersebut diambil beberapa helai daun

dari dua pohon yang berbeda, lalu dimasukkan ke dalam kemasan plastik untuk

dibawa ke laboratorium.

19
2. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Plant)

Geneaid

1. Disosiasi Jaringan

Potong jaringan sampel 50 mg (max 100 mg) untuk sampel

segar/sampel yang dibekukan atau 10 mg (max 25 mg) untuk sampel kering.

Hancurkan sampel sampai menjadi serbuk kemudian pindahkan pada

tabung mikrosentrifuse 1,5 ml.

2. Lisis

Tambahkan 400 L buffer GP1 atau buffer GPX1 dan 5 L RNA-

seA pada sampel dalam tabung kemudian divortex. Inkubasi pada suhu 60o

C selama 10 menit selama inkubasi tabung digoyang atau dikocok sedikit

setiap 5 menit. (Pre-heat elution buffer pada suhu 60oC untuk digunakan

pada tahapan ke-5). Tambahkan 100 L buffer GP2 dan campurkan dengan

vortex kemudian inkubasi menggunakan es (gunakan papan es yang ada di

refrigerator) selama 3 menit. Letakkan filter kolom dalam collection tube 2

ml kemudian pindahkan campuran dalam fiter kolom. Sentrifuse selama 1

menit pada 13200 rpm kemudian angkat filter kolom Pindahkan dengan

hati-hati supernatan dan collection tube pada tabung mikro sentrifuse 1,5 ml

yang baru.

3. Binding

Tambahkan 1,5 volume buffer GP3 kemudain vortex cepat selama 5

detik. Letakkan GD kolom pada tabung collection tube 2 ml. Pindahkan 700

L campuran (dan semua sisa presipitasi) pada GD kolom. Sentrifuse pada

13200 rpm selama 2 menit. Angkat GD kolom dan letakkan balik pada

20
tabung collection tube 2 ml. Tambahkan sisa campuran pada GD kolom

kemudian sentrifuse pada 13200 rpm selama 2 menit. Angkat GD kolom

dan letakkan balik pada tabung collection tube.

4. Washing

Tambahkan 400 L buffer W1 pada GD kolom kemudian sentrifuse

pada 13200 rmp selama 30 detik. Angkat GD kolom dan letakkan balik pada

tabung collection tube 2 ml. Tambahkan 600 L wash buffer pada GD

kolom. Sentrifuse pada 13200 selama 30 detik. Angkat GD kolom dan

letakkan balik pada collection tube 2 ml. Sentrifuse selama 3 menit pada

13200 rpm untuk mendapatkan matriks kolom yang kering.

5. Elution

Pindahkan GD kolom kering pada tabung mikrosentrifuse 1,5 ml

yang baru. Tambahkan 100 l pre-heat elution buffer (TE) pada bagian

tengah dari kolom matriks. Biarkan selama 3-5 menit untuk memastikan

elution buffer (TE) diserap sempurna. Sentrifuse pada 13200 rpm selama 30

detik untuk purifikasi DNA.

3. Uji Konsentrasi dan Kemurnian DNA

Penetapan kuantitas dan kemurnian DNA masing-masing contoh sampel

diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm

dan 280 nm. Pembacaan A260 = 1, berarti konsentrasi DNA yaitu 50 μg/ml dan

dianggap sebagai faktor konversi. DNA mempunyai kemurnian yang tinggi bila

rasio nilai absorbansi 260 nm terhadap 280 nm, berkisar antara 1.8 – 2.0 (Sambrook

dkk. 1989 dalam Soeroso. 2012). Tingkat kemurnian DNA ditentukan pula

21
berdasarkan kemampuannya untuk diamplifikasi dengan teknik PCR. Konsentrasi

DNA dihitung berdasarkan rumus :

Konsentrasi (C) = (Absorbansi pada λA260 x Faktor C)

Rasio Kemurnian DNA = (λA260 / λA280)

Keterangan : Faktor C = 50g/ml (Konversi unit DNA untai ganda)

4. Amplifikasi Gen Target metode PCR

Uji PCR sampel DNA pala dilakukan sesuai dengan protokol dan kondisi

yang disertakan oleh produsen primer dengan modifikasi sesuai keperluan. Proses

amplfikasi digunakan sepasang primer khusus yang telah didesain oleh Hemmila

dkk. (2010) dan Draheim dkk. (2009) (Tabel 3.1).

Tabel 2. Urutan Primer Mikrosatelit

Nama Primer Sekuens Primer

F AAGGTCTGGTTTGCTGATGA
M4s73
R AAGGTCTGGTTTGCTGATGA

Reaksi amplifikasi untuk primer Mikrosatelit M4s73dilakukan pada volume

total 50μL yang mengandung 1μL untuk masing-masing primer forward dan

reverse, 2x My Tag HS Red Mix Bioline 25μL, 2 μL DNA template,dan 21μL

DdH2O. Tahapan kondisi PCR untuk marka SSR yaitu: Pre-denaturasi pada suhu

950C selama 3 menit. Dilanjutkan 35 siklus termal yang masing-masing terdiri atas,

denaturasi pada suhu 95OC selama 1 menit, annealing (penempelan primer) pada

suhu 58OC selama 1 menit, elongation (perpanjangan basa) pada suhu 72OC selama

1 menit. Final extention (perpanjangan basa untuk putaran terakhir) pada suhu

72OC selama 7 menit. Akhir siklus termal suhu PCR menurun dari 72 OC menjadi

22
4OC, kemudian diinkubasikan pada suhu 4OC, hingga sampel DNA hasil PCR

digunakan untuk elektroforesis. DNA hasil amplifikasi kemudian dilihat dengan

melakukan running elektroforesis pada gel agarose 1% untuk konfirmasi ada atau

tidaknya produk amplifikasi.

5. Visualisasi Hasil Amplifikasi dengan Elektroforesis Gel Agarose

Elektroforesis akan dilakukan menggunakan QIAxcel Advanced dari

QIAGEN.

6. Analisis Data

Profil pita DNA hasil amplifikasi metode PCR dengan menggunakan primer

yang spesifik (marka SSR) diubah ke bentuk data biner. Karena pita-pita yang

dihasilkan melalui SSR bersifat kodominan yang dapat membedakan genotipe

homozigot dari heterozigot maka data biner dari primer yang dihasilkan kemudian

dibuat data genotipenya. Data yang dihasilkan dari analisis molekuler SSR

selanjutnya dianalisis untuk melihat data hasil profil polimorfisme mikrosatelit

untuk melihat keragaman dari tanaman pala. Setiap pita yang dihasilkan

diinterpretasikan sebagai alel, polimorfis profil pita SSR diskor secara individual

berdasarkan ada atau tidaknya pita. Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data

biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan 1 untuk adanya pita DNA.

Data ini kemudian disalin dalam bentuk dendogram menggunakan program NTSYS

ver 2.1.

23

Anda mungkin juga menyukai