Anda di halaman 1dari 7

ISLAM TOLERAN

Posted on February 18, 2015 by agus maimun

Agama Islam yang bersumber dari Kalam Allah dan Sunnah Rosulillah serta berisi ajaran dan
nilai-nilai fundamental, ternyata tidak bisa lepas dari persoalan interpre¬tasi, yang pada
gilirannya memunculkan keragaman pandangan. Interpretasi ini merupakan manifestasi dari
keinginan manusia untuk memahami dan memperkokoh keyakinan akan kebenaran
agamanya melalui aktualisasi diri dalam aspek fikir, dzikir, dan amal sholeh.
Timbulnya keragaman pandangan dalam beragama adalah sesuatu yang wajar dan absah
adanya. Kondisi ini terjadi karena manusia tidak mampu berhadapan langsung dengan Allah
untuk menanyakan secara langsung apa yang dikehendaki dalam firman-firman-Nya yang
tertuang dalam kitab suci dengan benar sesuai dengan kehendak dan ilmuNya jika
menghadapi kesulitan pemahaman.
Keragaman pemahaman dan penafsiran tersebut pada gilirannya memunculkan pola-pola
artikulasi keberagamaan, yang oleh Cak Nur dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) aliran, yaitu:
(1) kelompok fundamental yang cenderung sangat literal, dan/atau ketaatan formal dan
hukum agama dieks¬presikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label
keagamaan atau gerakan-gerakan keagamaan; (2) kelompok liberal yang lebih mementingkan
substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit dengan memberikan tafsir teks-teks
agama secara terbuka; dan (3) kelompok moderat yang lebih menekankan pada pemikiran
agama secara toleran dan menghargai perbedaan pemikiran dalam beragama. Kelompok
Islam moderat ini sering juga disebut dengan Islam tawasuth atau Islam toleran, yang
mencoba mencari penafsiran secara seimbang antara teks-teks kitab suci dengan realitas
sosial.
Klaim kebenaran bagi setiap kelompok agama adalah suatu keniscayaan, karena tanpa klaim
tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan sosial, politik, dan budaya tidak akan
memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi setiap pemeluknya. Selain itu, agama
mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang jelas, konkrit,
dan rasional. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri
sebagai umat yang baik, loyal, tanggungjawab, dan bahkan siap meng”infaq”kan jiwa dan
raga untuk berjuang dan berkorban demi agamanya kalau memang diperlukan.
Namun demikian, jika klaim kebenaran difahami secara emosional dan segmentatif, maka
akan menimbulkan banyak masalah. Sejarah telah mengabarkan kepada kita bahwa adanya
perselisihan, pertikaian, konflik dan peperangan antar komunitas agama baik di kawasan
Asia, Afrika, Eropa, maupun Amerika, antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran
yang melebar memasuki wilayah sosial, politik, dan budaya yang bersifat praktis-pragmatis.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat dewasa ini adalah kurangnya memahami Islam
secara toleran, sehingga Islam belum menjadi rahmatan li al’alamin. Islam sebagai agama,
seringkali dipahami sebatas ritual yang tidak bersentuhan dengan kehidupan duniawi.
Padahal Islam kaya dengan berbagai argumen untuk hidup seimbang antara ibadah dan
muamalah, antara keshalehan sosial dan keshalehan individual, berkah dan berbagi, serta
selalu menghargai pendapat orang lain. Akibat dari pemahaman Islam yang segmentatif
tersebut seringkali menjadi faktor penyebab utama dari gerakan radikalisasi agama.
Gerakan radikalisasi agama, semakin lama semakin massif mempertontonkan aksinya.
Banyak kejadian pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan yang disebabkan oleh
sentimen agama dan pemahamaan agama secara segmentatif. Kondisi ini jelas tidak sesuai
dengan semangat kebangsaan yang menghargai pluralitas dan toleransi, yang menjamin
setiap warga negara untuk hidup tenang dan damai dalam menjalankan aktifitas beragama,
berbangsa, dan bernegara.
Kalau kita telusuri secara seksama, dalam ajaran Islam kita terdapat suatu pandangan yang
universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan
tertinggi/termulia (Q.S. al-Tin: 5), serta diciptakan dalam kesucian (fitrah), sehingga setiap
manusia mempunyai potensi benar. Di sisi lain, manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai
makhluk yang dlaif (Q.S. al-Nisa’: 28), sehingga setiap manusia mempunyai potensi salah.
Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada sikap dan perilaku seorang muslim yang
berhak menyatakan pendapat, harus mau mendengarkan dan menghargai pendapat serta
pandangan orang lain, tidak men”tuhan”kan pendapatnya sendiri, serta tidak
mengembangkan sistem kultus individu, fanatisme buta terhadap kelompok, karena kultus
hanya diarahkan kepada Allah semata.
Apabila pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, juga dibarengi
dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual, skriptural, dan
segmentatif karena penjelasan-penjelasan dan arahan dari para guru, dosen, dan tokoh agama
yang bersifat normatif-doktriner serta didukung oleh lingkungan sosio-kultural yang
eksklusif, maka bisa jadi akan melahirkan sikap intoleran dan agama dapat berperan sebagai
faktor pemecah-belah. Suatu hal yang ironi di alam kemerdekaan sekarang ini. Untuk itu,
yang perlu ditumbuhkan sekarang adalah membangun pemikiran keagamaan yang toleran,
agar cita-cita menjadikan Islam sebagai rahmatan li al’alamin dapat terwujud dengan baik di
dunia umumnya dan di bumi pertiwi pada khususnya. Semoga.

Upaya Menanamkan Nilai-nilai Ilahiyah


dan Insaniyah Melalui Pendidikan Agama
di Sekolah
Posted on March 27, 2015 by agus maimun

Dengan melihat realitas, kita akan menyaksikan betapa runyamnya pelanggaran nilai-nilai
agama di belahan muka bumi ini. Misalnya perampasan hak, perkosaan, perampasan
kebebasan, pencurian, penggunaan obat terlarang, minum-muniman keras, perkelahian, dsb.
Ditambah lagi dengan adanya berbagai tindakan yang tidak etis yang dipertontonkan oleh
para pejabat dan tokoh masyarakat yang hampir merajalela di berbagai sektor kehidupan,
mengakibatkan runtuhnya martabat bangsa ini.

Kondisi tersebut menunjukkan indikasi bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama
ini belum memberikan hasil yang optimal dan sesuai sasaran. Ternyata ilmu dan teknologi
tidak mampu memberikan makna peningkatan kecerdasan yang sebenarnya, kalau tidak
disertai dengan pendidikan agama yang kokoh. Untuk itu, disinilah pentingnya pendidikan
dan pembelajaran agama diberikan sejak dini di keluarga dan sekolah, agar mereka
mempunyai kesadaran nilai-nilai agama yang tinggi, yang pada gilirannya diharapkan dapat
memotivasi mereka untuk berperilaku yang baik sesuai dengan kerangka normatif agama.

Di samping itu, perlu disadari bahwa pendidikan dan pembelajaran agama bukan sesuatu
yang hanya ditambahkan, melainkan justeru merupakan sesuatu yang hakiki dalam seluruh
proses pendidikan. Terlebih lagi bila diingat bahwa, arus materialisme dan
konsumerisme secara global terus mengikis nilai-nilai luhur dari kehidupan manusia, tidak
hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah menyentuh desa-desa yang terpelosok
sekalipun. Oleh sebab itu, pendidikan dewasa ini sungguh-sungguh menghadapi tantangan
yang luar biasa berat, terutama dalam membangun kehidupan bersama yang damai dan aman.

Pendidikan dan pembelajaran agama bertujuan mengembangkan dan menanamkan watak


berahlak sesuai dengan kerangka normatif agama dan berusaha merubah perilaku seseorang
dalam arti luas dan jangka waktu yang lama. Untuk itu, pendidikan dan pembelajaran agama
dapat berhasil jika siswa ada disposisi batin yang benar (syahadah) untuk menghayati
sekaligus melaksanakan akan makna kehidupan yang disinari nilai-nilai ilahiyah dan
insaniyah berdasarkan pendidikan agama yang diterima.

Dalam penghayatan dan pelaksanannya, nilai-nilai tersebut tidak dapat dipaksa dari luar,
melainkan masuk ke dalam hati siswa secara lembut ketika hatinya secara bebas membuka
diri (self awareness). Dengan demikian, pendidikan dan pembelajaran agama akan bermakna
kalau dapat menginternalisasi atau mempribadi pada diri siswa.

Disinilah pentingnya penanaman nilai-nilai agama yang kokoh. Dengan nilai-nilai yang
kokoh, maka agama akan mempribadi pada diri siswa, yang pada akhirnya akan menjadi
kekuatan penggerak untuk melakukan amal shaleh dan akhlakul karimah.

Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial yang semakin meningkat
intensitasnya tersebut, GPAI harus mampu berperan secara otimal dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran Tilaar (1998), paling tidak
ada tiga fungsi GPAI , yaitu: (1) sebagai agen perubahan, (2) sebagai pengembang sikap
moral, dan (3) seorang guru profesional.

Pertama, sebagai agen perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada
sosok lain selain GPAI yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen perubahan,
karena GPAI langsung dapat berhadapan dengan siswa (generasi muda) bahkan masyarakat
pada umumnya. Seorang GPAI yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur yang
paling terdepan dan strategis dalam membawa siswa menuju pribadi muslim yang setiap
gerak langkahnya selalu bersendikan nilai-nilai religius.

Kedua, sebagai pengembang sikap moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini
masalah kerjasama antar siswa mulai terabaikan. Pertengkaran antar teman terjadi di mana-
mana, baik di sekolah maupun luar sekolahi. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini,
tidak mustahil akan muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman
keras di lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian, peran GPAI sangat diperlukan
untuk menanamkan sikap saling pengertian dan tolerasi terhadap sesama siswa. Disinilah
diperlukan hubungan antar siswa yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling
menghargai perbedaan dan kekurangan di antara sesama siswa tanpa memandang perbedaan
klas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya.

Ketiga, seorang guru profesional. GPAI adalah salah satu guru pada suatu institusi
pendidikan. Dia dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen
tingkat tinggi (Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, GPAI dikatakan
profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki
komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang GPAI
yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing
and do it right). Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkahlaku dan
tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangun biah islamiyah dan uswah hasanah
di lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas. Bekerja
keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-sungguh, cepat
dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan pertimbangan
peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca “tanda-tanda zaman”, artinya
apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam
upaya pembentukan jiwa religius siswa.

Untuk mendukung tiga fungsi tersebut, maka GPAI harus mempunyai seperangkat
kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sebagai berikut: (1)
bahwa seorang GPAI mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat
membimbing siswanya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya,
mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika
tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) bahwa GPAI dituntut
untuk mampu membawa siswa memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang,
sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil hal itu dapat
dilakukan; (3) bahwa penguasaan metodologis bagi GPAI sangat diperlukan untuk
membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama siswa; dan (4) bahwa
seorang GPAI harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan
dengan mengikuti perkembangan ilmu, teknologi dan seni, karena ilmu pendidikan dan
kependidikan serta perangkat pendukungnya terus berkembang pesat seiring dengan
berkembangnya masyarakat menuju globalisasi dan informasi (Ghofir, 1999).

Keunggulan guru agama dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di sekolah bukan
terletak semata-mata pada pendidikan yang tinggi, tetapi pada keikhlasan, keridlaan dan
komitmen dalam mengabdi yang ditopang dengan profesionalisme dan wawasan yang luas.
Apabila GPAI mampu memenuhi hal tersebut, saya yakin akan mampu melaksanakan
penggilan suci dalam menyiapkan siswa menjadi unggul dalam spiritual, emosional,
intelektual, dan moral. Untuk itu, semua tugas dan tanggungjawab yang diemban hendaknya
tidak dijadikan beban, tetapi harus dinikmati sebagai panggilan suci semata-mata untuk
beribadah kepada Allah swt, sehingga secara terus-menerus akan selalu menjalankan tugas
mendidik dan mengajar dengan tulus dan ikhlas.

Menurut Al-Maududi (1983) pendidikan agama yang mengandung nilai-nilai ilahiyah dan
insaniyah yang patut diajarkan di sekolah yang diambil dari sumber ajaran agama Islam
antara lain adalah :

 Penghayatan akan makna iman dan taqwa, agar anak mempunyai komitmen akan ajaran
agamanya
 Sikap tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, agar anak peka akan realitas sosial yang
terjadi di sekelilingnya
 Sikap khusnudhon (baik sangka), agar nilai-nilai ukhuwwah tetap terjaga
 Menghargai diri dan orang lain, agar nilai-nilai insaniyah dapat bersemayam pada diri setiap
anak
 Menerima tanggungjawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, agar tumbuh kesadaran
bahwa segala amal perbuatan selalu mempunyai efek dan impact dalam kehidupan
 Sikap positif terhadap guru dan teman sekelas, agar tumbuh sikap tawadhu’ kepada orang
yang lebih tua dan toleran kepada sesama
 Menjaga milik sendiri dan menjaga milik teman lain, agar tumbuh jiwa amanah pada diri
anak
 Ketepatan waktu mengerjakan tugas pelajaran, agar tumbuh dan terbiasa sikap disiplin
dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan
 Bersikap jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang lain, agar tumbuh rasa
muru’ah, iffah, dan sajaah pada diri anak.

Sikap-sikap tersebut hendaknya sudah ditanamkan kepada siswa sejak dini. Dengan ini
diharapkan siswa dapat mempersepsi dunia berdasarkan kerangka normatif agama yang
diyakininya.

Semoga Allah swt selalu memberikan taufiq dan hidayah kepada guru-guru kita, khususnya
guru agama, amiin 3X.

TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB GURU


AGAMA DI ERA GLOBALISASI
Posted on March 12, 2015 by agus maimun

Guru agama masa kini, bukan hanya berperan sebagai pengajar dalam arti yang sempit
(transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values). Disamping itu, ia
harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin, pengelola, pembimbing dan pembantu
guna memudahkan proses pembelajaran pendidikan agama, atau diistilahkan sebagai leader
of learning, director of learning, manager of learning, dan sekaligus facilitator of learning.
Dengan peranan tersebut, guru agama diharapkan mampu membangkitkan sikap religius
siswak. Siswa diharapkan mampu merespon perubahan zaman yang terjadi, tetapi tidak
terbawa arus perubahan dunia yang semakin global (Arifin, 1993).
Kritik yang sering muncul, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di sekolah
dianggap belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu
membentuk kepribadian siswa secara utuh. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus
kenakalan siswa dalam berbagai bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun
kenakalan remaja tidak semata-mata disebabkan oleh pendidikan agama yang gagal, tetapi
sering kali guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya akhlakul karimah, sehingga
apabila terjadi kenakalan siswa, guru agama sering menjadi sasaran. Persepsi ini tidak
selamanya benar, dan juga tidak semuanya salah. Karena guru agama dianggap sebagai
“penjaga moral” di lingkungan sekolah, sehingga baik buruknya akhlak siswa sering
dialamatkan kepada guru agama.
Dalam perspektif pembelajaran, persoalan ini kalau ditelusuri secara seksama, sebenarnya
merupakan salah satu indikasi bahwa, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama
selama ini masih dianggap kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya.
Pendidikan agama yang diberikan telah jatuh ke dalam sekedar “pengajaran agama” yang
indoktrinatif-normatif, yang hanya singgah di kepala sebentar menjelang dan saat-saat ujian
dan sesudah itu terlupakan, tidak pernah masuk ke hati para siswa, dan tidak pernah
dilaksanakan dalam kehidupan. Akibatnya, kenakalan siswa terjadi di mana-mana yang
semakin lama semakin meningkat intensitasnya.
Persoalan lain dari keagagalan pendidikan agama adalah guru agama dalam membelajarkan
pendidikan agama lebih banyak menekankan pada ibadah dan syariah dan sering
“mengesampingkan” pendidikan akhlak. Akibatnya siswa punya semangat beribadah dan
mengerti tentang hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Disamping
itu, pendidikan agama sering dipersepsi oleh siswa sebagai ilmu yang tidak mempunyai nilai
praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama dengan ilmu-ilmu
lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama harus diletakkan dalam kerangka
fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek riil siswa dengan meninggalkan
model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar siswa mampu menghadapi dunia
dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh gemerlapnya dunia yang menyesatkan.
Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru agama harus mampu menjadikan pendidikan agama
fungsional dalam kehidupan dan bersemayam dalam nurani siswa. Persoalannya sekarang
adalah, bagaimana upaya guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama, sehingga
agama akan fungsional dalam kehidupan siswa.

Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial, guru agama harus mampu
berperan secara otimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi
pemikiran Tilaar (1998), paling tidak ada tiga fungsi guru agama , yaitu: (1) sebagai agen
perubahan, (2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3) seorang guru profesional.
Pertama, sebagai agen perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada
sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen
perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan siswa (generasi muda)
bahkan masyarakat pada umumnya. Seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi
merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa siswa menuju pribadi
muslim yang setiap gerak langkahnya selalu bersendikan nilai-nilai religius.
Kedua, sebagai pengembang sikap moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini
masalah kerjasama antar siswa mulai terabaikan. Pertengkaran antar teman terjadi di mana-
mana, baik di sekolah maupun luar sekolah. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini, tidak
mustahil muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman keras di
lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian, peran guru agama sangat diperlukan
untuk menanamkan sikap saling pengertian dan tolerasi terhadap sesama siswa. Disinilah
diperlukan hubungan antar siswa yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling
menghargai perbedaan dan kekurangan di antara sesama siswa tanpa memandang perbedaan
klas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya.
Untuk itu, sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada siswa adalah sikap moral
sebagai berikut: (1) tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) khusnudhon (baik sangka)
kepada semua orang, (3) menghargai diri dan orang lain, (4) menerima tanggungjawab bagi
perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif terhadap guru, orangtua, dan teman sekelas, (6)
menjaga milik sendiri dan menjaga milik teman lain, (7) ketepatan waktu belajar dan
mengerjakan tugas pelajaran, dan (8) jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang
lain (Al-Maududi, 1983).
Ketiga, seorang guru profesional. Guru agama adalah salah satu guru pada suatu institusi
pendidikan. Dia dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen
tingkat tinggi (Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, guru agama dikatakan
profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki
komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guru
agama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right
thing and do it right). Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkahlaku
dan tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangun biah islamiyah dan uswah
hasanah di lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas.
Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-
sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu
berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca
“tanda-tanda zaman”, artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini
dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa religius siswa.
ndidikan agama, sehingga agama akan fungsional dalam kehidupan siswa.

Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat
kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, ketrampilan, dan nilai sebagai
berikut: (1) bahwa seorang guru agama mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia
dapat membimbing siswanya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya,
mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika
tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) bahwa guru agama
dituntut untuk mampu membawa siswa memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus
berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil hal
itu dapat dilakukan; (3) bahwa penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperlukan
untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama siswa; dan (4)
bahwa seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara
berkesinambungan dengan mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, karena ilmu
pendidikan dan kependidikan serta perangkat pendukungnya terus berkembang pesat seiring
dengan berkembangnya masyarakat menuju globalisasi dan informasi (Dimyati, 1999).
Apabila guru agama dapat memenuhi semua harapan tersebut, maka tidak mustahil
pembelajaran pendidikan agama akan memberikan hasil yang optimal, yang pada akhirnya
mampu membentuk kepribadian muslim siswa. Dengan demikian, budaya-budaya negatif
yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin. Semoga kita selalu diberi
kekuatan dan kesehatan oleh Allah swt. dalam menjalankan tugas mulia sebagai guru agama.
Amiin 3X yaa rabbal ‘alamin.

Anda mungkin juga menyukai