Kebenaran yang ada di dunia itu relatif, setidaknya itulah yang memang sekarang terjadi.
Membicarakan suatu hal tidak lantas bisa dipandang itu benar ataupun salah. Tidak seperti
penghitungan dalam rumus matematika yang langsung bisa dilihat kebenarannya saat selesai
dikerjakan. Bahkan bisa dilihat kesalahannya saat tengah dikerjakan. Melihat kejadian sosial
masyarakat juga tidak bisa dikatakan mana yang benar dan mana yang salah dari satu sudut
pandang saja, namun setidaknya pendapat yang bisa digulirkan terkait fenomena yang terjadi di
masyarakat seputar aksi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, elemen masyarakat dan
juga buruh ini bisa sedikit memberi keterangan yang cukup.
Dari segi hukum akan berbeda melihat kenaikan BBM ini dibandingkan dilihat dari sisi
ekonomi. Dari hukum adanya peraturan terkait undang-undang migas dan juga APBN 2012 bisa
diubah asalkan keadaan menghendaki dan mengharuskan adanya perubahan. Sehingga bila
proses itu benar maka dikatakan sah sesuai hukum. Itu dilihat secara normatif yang ada di
Indonesia. Bagai dua keping mata uang hukum melihat dari satu sisi dan ekonomi juga melihat
pada sisi lain, namun keduanya tidak bisa dipisahkan.[3] Sedikit mengutip pula dari buku Prof
Satjipto rahardjo mengenai hukum dan ekonomi. Para pelaku ekonomi merupakan pelaku
dominan dalam diskusi mengenai liberalisme dan kapitalisme dalam kaitannya dengan arah
pembangunan negara. Ekonomi dalam masyarakat secara konkret berurusan dengan produksi
dan pendistribusian barang-barang, sehingga menjadi peka terhadap pikiran keadilan. Pemikiran
inilah yang mungkin mendasari pemikiran bahwa kenaikan BBM itu tidaklah harus dialami oleh
masyarakat, karena itu imbas dari kegiatan ekonomi yang dipandang liberalis semata. Sedang di
Indonesia kenaikan BBM ini dinilai sebagai suatu upaya untuk melindungi APBN dari
pengeluaran dana untuk subsidi bahan bakar minyak khususnya premium.
Dibalik aksi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa terkadang ditumpangi berbagai
kepentingan para pihak yang mencari keuntungan atas hal itu. dan kecenderungan anarkisme
yang dilakukan juga bisa merupakan suatu bentuk masuknya kepentingan lain tersebut kedalam
setiap aksi mahasiswa. Dalam setiap aksi yang dilakukan mahasiswa pasti ada koordinator
lapangan dimana koordinator tersebut mengendalikan setiap gerakan kelompok mahasiswa, dan
dalam aksi yang dilakukan mahasiswa guna menolak kenaikan BBM ini ada koordintor pula.
Tidak bisa pula mahasiswa disalahkan atas tindakan yang dipandang masyarakat sebagai aksi
anarkis atau yang oleh media pemberitaan dikatakan sebagai gerakan yang merusak. Georges
sorel yang kemudian mengkristalkan ide penggunaan kekerasan dalam perjuangan politik
melalui gagasannya "anarcho-syndicalism". Dengan teori ini mungkin mahasiswa melakukan
tindakan anrkisme guna mendapatkan daya dorong yang kuat kepada pemerintah untuk lebih
diperhatikan apa yang mereka sampaiakan.
Beberapa pendapat yang dimuat dalam harian medan pos mengatakan ada provokasi dari
polisi, sehingga jiwa muda mahasiswa berontak. "Dari dulu mahasiswa seperti itu. Bagi anak
muda itu biasa. Tetapi, apakah perlu polisi memakai baju anti peluru menghadapi mahasiswa.
Musuhnya polisi itu siapa. Harusnya pakai pasukan anti huru-hara," kata Wibisono.
Terkadang pemberitaan di media masa juga menyumbang terhadap perspektif pemirsa
jadi sedikit terarah pada gambaran yang buruk saja. Dengan melihat apa yang dilakukan
mahasiswa di daerah lain sehingga diimitasi kedalam tindakan yang anarkis pula. Namun tidak
semua mahasiswa anarkis di dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM ini. Di medan misalnya,
kelompok aktivis mahasiswa setuju untuk menghindari tindakan kekerasan dan anarkisme dalam
aksi unjukrasa menentang kenaikan harga BBM yang dilaksanakan secara masal di Kota
Medan.[4]
Tindakan mahasiswa yang anarkis dengan merusak fasilitas umum secara hukum pidana
jelas terbukti melanggar hukum positif ( Pasal 170 KUHPidana dan Pasal 160 KUHPidana).
Kepolisian dalam melakukan penyidikan hukum terhadap massa yang melakukan demonstrasi
BBM yang menuai anarkis dan merusak fasilitas umum dan juga kendaraan serta mencederai
orang lain. Polri dalam menahan pendemo BBM yang anarkis tersebut sangat wajar untuk
melakukan penyidikan dan penerapan sosiologis hukum untuk melanjutkan ke pengadilan, tetapi
dengan syarat di bebani kepada pendemo dan pimpinannya untuk membayar ganti rugi dan wajib
lapor dengan kurun waktu tertentu.
Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Adnan Buyung
Nasution, menyatakan protes terhadap sikap polisi saat menciduk mahasiswa di kantor LBH
Jakarta. Namun demikian, pihaknya berjanji tidak akan melindungi mahasiswa yang bertindak
anarki saat demonstrasi beberapa hari lalu yang berujung kericuhan. Adnan mengimbau agar
mahasiswa tetap menghormati hukum dalam melakukan aksi demonstrasi. Ia juga meminta polisi
agar tidak sewenang-wenang dalam menangani demonstran.[5]
Pihak penyidik yang menerapkan pasal 170 KUHPidana ini adalah pasal yang sangat
merugikan tersangka pendemo BBM yang anarkis. Sebab penyidik harus menguasai latar
belakang dari gerakan demonstrasi tersebut yang tujuannya mulia unuk tidak di naikkan harga
BBM. Dalam insiden yang terjadi di tanah air terhadap pendemo yang anarkis telah di lakukan
penahanan.Untuk itulah, maka secara ilmiah hukum walaupun ada Protap Kapolri tahun 2010
untuk penanggulan tindakan anarkis, tetapi perlu di jabarkan secara politis dan juga sosiologis.
Perjuangan mahasiswa dan juga LSM untuk melakukan demo agar harga BBM tidak di naikkan
adalah sangat mulia dan juga tujuan hanya berdemo. Tetapi karena situasi lapangan terjadi
benturan dan kekerasan yang sengaja di provokasi yang akhirnya emosional memuncak dan
sering mengalami korban baik kelompok pendemo maupun pihak kepolisian atau petugas
lainnya. Hal ini adalah insiden yang bersifat manusiawi yang harus menjadi pertimbangan
penyidik agar tidak terjadi kesenjangan sosial dari perlakuan penahanan terhadap kelompok
pendemo tersebut.
Lebih baik jika kepolisian RI menerapkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan juga pasal 14 Ayat 1
tentang Kepolisian dapat memberikan wewenangnya untuk bertindak dan memberikan penilaian
terhadap suatu peristiwa. Jika Pasal 16 Ayat 1 Huruf a UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
di berikan wewenangnya untuk penghentian penyidikan. Diharapkan dapat kiranya kepolisian
mengedepankan penyelesaian secara sosiologis hukum terhadap pendemo anarkis yang di tahan.
Bukan dengan pendekatan yang yuridis yang bermuara untuk diadili terhadap pendemo anarkis
tersebut. Bertitik tolak dari Pasal 14 UU No.2 Tahun 2002 pihak kepolisian harus melakukan
penyelesaian terhadap pendemo BBM yang anarkis dengan pendekatan dapat memberikan
kesadaran hukum yang tinggi untuk mewujudkan pembinaan hukum yang nasional yang serasi
melalui penghukuman wajib lapor dengan waktu yang tertentu dan di bebani pembayaran ganti
rugi, membakar kerusakan fasilitas umum, mengobati terlukanya orang lain. Di mana ganti
ruginya dengan di bebani secara kolektif yang di libatkan orangtua atau keluarga dari pendemo
anarkis yang meminta izin maupun yang tidak meminnta izin instansi kepolisian serta dari
pendemo anarkis tersebut.
Dengan penerapan sosiologis hukum kepada pendemo BBM yang anarkis yang di tahan,
maka instansi kepolisian dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Juga menumbuhkan
tertib sosial masyarakat tidak melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum. Sebab
pendekatan sosiologis hukum tersebut dapat merusak norma-norma hukum yang baru yang
sangat ideal yang di pedomani oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jika kebijkan
tersebut dapat di terima dan di sepakati secara umum oleh masyarakat, maka hal tersebut
merupakan suatu norma yang kedepannya dapat membuat efek jera dan juga menumbukan tertib
sosial masyarakat dalam melakukan demonstras