Anda di halaman 1dari 7

AKUNTANSI INTERNASIONAL

PERISTIWA YANG MENGUBAH KEBIJAKAN AKUNTANSI

Oleh:

NAMA : I GEDE OMY WIRA DHARMA


NIM : 1502622010321 (25)
KELAS : AKUNTANSI C

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2018
PENGARUH BREXIT TERHADAP KEBIJAKAN AKUNTANSI INGGRIS

Isu akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Britain Exit/Brexit) bukanlah sesuatu yang

baru, tetapi kini mencuat kembali setelah diputuskan bahwa referendum terkait hal itu

akan diselenggarakan pada 23 Juni 2016. Segera setelah pengumuman tersebar,

sejumlah tokoh menetapkan sisi mana yang akan didukungnya; yes brexit atau no

brexit. Hasilnya, sebagian pemuka partai yang berkuasa malah mendukung Brexit.

Polling pun menunjukkan kedua kubu bersaing ketat; mengindikasikan bahwa apabila

referendum dilaksanakan, maka hasil akhirnya akan sulit diperkirakan. Akibatnya,

Pounds sontak anjlok.

1.1 Pro-Kontra Brexit

Utamanya, ada lima poin yang diperdebatkan golongan tolak Brexit dan pro

Brexit. Berikut uraiannya, sebagaimana dilansir The Economist:

1. Perdagangan Luar Negeri

a. Tolak Brexit: Sebagian besar ekspor Inggris dikirim ke negara Uni Eropa

yang lain. Sebagai anggota UE, Inggris bisa bebas dari tarif ekspor, hambatan

non-tarif, dan mendapatkan kemudahan lain dari UE.

b. Pro Brexit: Inggris bisa menegosiasikan hubungan dagang baru dengan UE

tanpa ikatan keanggotaan UE, dan juga bisa membuat kesepakatan dagang

baru dengan negara-negara penting lain seperti Amerika, China, dan India.
2. Iuran Keanggotaan Uni Eropa

a. Tolak Brexit: Rata-rata Inggris hanya membayar 340 pounds per rumah

tangga per tahunnya ke UE, padahal manfaat yang didapat diestimasikan

mencapai 3,000 pounds per tahunnya. Jadi, Inggris masih untung besar.

b. Pro Brexit: Inggris bisa berhenti mengirim total 350 juta pounds tiap pekan ke

UE, dan mengalihkan penggunaannya untuk riset ilmiah dan pengembangan

industri-industri baru.

3. Regulasi Terpusat Uni Eropa

a. Tolak Brexit: Banyak regulasi EU mengubah standar nasional Inggris menjadi

standar Eropa, sehingga mengurangi hambatan non-tarif dan menguntungkan

bisnis Inggris. Jika masih dalam UE, maka Inggris bisa memperjuangkan

regulasi yang lebih baik.

b. Pro Brexit: Meninggalkan EU berarti Inggris bisa mengambil alih regulasi

tentang ketenagakerjaa, kesehatan, dan keamanan, yang mana cenderung lebih

disukai perusahaan-perusahaan Inggris, menurut riset terbaru dari lembaga

Business for Britain.

4. Imigrasi

a. Tolak Brexit: Meninggalkan UE tidak lantas berarti arus imigrasi akan

berkurang.

b. Pro Brexit: Jika keluar dari UE, maka Inggris bisa menyingkirkan sistem

imigrasi UE yang telah memaksa Inggris untuk membuka pintu bagi imigran
dari sesama negara UE (yang kualitas SDM-nya diragukan), dan akhirnya

Inggris dapat menyambut imigran non-UE yang bisa berkontribusi lebih

besar.

5. Peran Internasional

a. Tolak Brexit: Jika tetap menjadi anggota UE, maka di kancah internasional,

Inggris bisa diwakili dua orang: oleh perwakilan dari Inggris sendiri, dan oleh

perwakilan UE.

b. Pro Brexit: Inggris punya pengaruh yang sangat kecil dalam UE. Padahal jika

keluar dari UE, maka Inggris bisa mengambil alih sendiri kursi-kursi di

lembaga internasional dan memosisikan diri sebagai negara berpengaruh

dalam perdagangan bebas dan kerjasama internasional.

1.2 Hubungan Dagang Dan GDP (Gross Domestic Product)

Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, pasar finansial biasanya

berfokus pada sisi ekonomi; bagaimana dampak ekonomi jika Inggris keluar dari

Uni Eropa? Hal ini bisa ditengok dari aspek perdagangan dan sektor finansial.

Hubungan dagang diantara keduanya sudah terjalin amat erat, tetapi

faktanya, lebih dari 50 persen ekspor Inggris ditujukan ke UE, dan jika Brexit

terjadi, maka semua barang ekspor tersebut akan dihadapkan pada hambatan-

hambatan tarif dan non-tarif yang lebih besar. Di sisi lain, ekspor EU ke Inggris

hanya 6.6 persen saja.


Inggris pasca Brexit akan harus menegosiasikan banyak hal dengan UE

untuk membangun jalinan kerjasaman baru, dan ada ketidakpastian yang muncul

bersama situasi tersebut.

Sudah ada beberapa negara tetangga UE lain yang telah berhasil

menjalin hubungan lancar dengan UE tanpa menjadi anggotanya, diantaranya

adalah Swiss dan Turki. Swiss merupakan negara anggota European Free Trade

Area (EFTA), tetapi bukan termasuk Uni Eropa, dan memiliki sekitar 120

perjanjian bilateral mayor dan minor dengan UE. Sedangkan Turki telah

membangun hubungan custom union dengan UE. Selain itu, masih ada sjeumlah

alternatif lain yang bisa ditempuh Inggris apabila sungguh keluar dari UE.

Namun, perjalanan menuju tercapainya kesepakatan itu takkan mudah, terjal dan

penuh ketidakpastian.

Nah, dampak ekonomi jika Inggris keluar dari Uni Eropa, akan

bergantung pada perjanjian macam apa yang bisa terbangun. Menurut beberapa

skenario yang dibuat oleh lembaga swadaya Open Europe, dalam skenario

terburuk, GDP Inggris tahun 2030 tanpa UE akan 2.2 persen lebih rendah

dibanding jika tetap dalam UE; sedangkan dalam skenario terbaik dimana

kesepakatan optimum tercapai, maka GDP Inggris justru bisa lebih maju 1.55

persen dibanding jika tetap dalam UE.

1.3 Pendapat Bank-Bank


Analis dari bank-bank besar dunia cenderung menyebutkan skenario

terburuk yang mungkin terjadi jika Inggris keluar dari UE.


Goldman Sachs, misalnya, mengatakan Poundsterling akan kehilangan

20% nilainya, ambrol ke 1.15 atau 1.20 terhadap Dolar apabila itu terjadi,

dikarenakan terinterupsinya aliran dana investasi masuk Inggris. Hal senada

disiratkan Bank of England, yang pada rapat terakhirnya awal Februari

menyebutkan, kekuatiran akan Brexit telah membebani Pounds. Investor kini

mengamati lebih dekat referendum mendatang, sehingga Pounds melemah

karena meningkatnya penghindaran risiko (risk aversion).

Tak mau kalah, Nomura memperingatkan Brexit bisa mendorong

Inggris masuk resesi, dan UBS memperkirakan Inggris akan kehilangan 0.6-

2.8% GDP-nya. Deutsche Bank, HSBC, dan JP Morgan Chase pun mengatakan

akan memindahkan kantor pusatnya keluar Inggris, sehingga bisa mengakibatkan

pengangguran dan kerugian finansial besar. Lebih jauh lagi, Citibank menilai

Inggris bisa kehilangan 75,000 lapangan kerja jika keluar dari UE.

Di satu sisi, ini bisa jadi cuma langkah bank-bank besar untuk menakut-

nakuti massa saja, mengingat mereka selama ini telah menggunakan Inggris

sebagai landasan ekspansi di Eropa, dan bisnisnya bisa terganggu jika Brexit

terjadi. Perlu dicatat bahwa London adalah pusat perdagangan forex dunia,

dimana 40% transaksi dunia dilakukan. Inggris juga pusat perdagangan

komoditas dan derivatif. Jadi, ancaman akan keluar dari Inggris pun bisa jadi ya

hanya ancaman. Dibanding ini, hitung-hitungan Open Europe diatas tadi, dimana

dampak akan bergantung pada kesepakatan pasca Brexit, lebih masuk akal.

Namun di lain pihak, pendapat sektor perbankan penting bagi Inggris,

karena sektor finansial merupakan salah satu kunci penggerak perekonomiannya.


Sekitar 8 persen GDP Inggris berasal dari sektor finansial, dan sektor itu pun

menyerap sekitar 3.4 persen tenaga kerja di Inggris.

Sumber: The Economist, CNN Money, OpenEurope.org.uk

Anda mungkin juga menyukai