Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ananda Dwi Anggraeni

NPM: 01.2015.1.04985
Lapangan Terbang (A)

RUANG UDARA

1. Pengertian Ruang Udara

Ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar
wilayah negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi.
Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah
meratifikasi Konvensi Geneva 1944 (Convention on International Civil Aviation) sehingga
kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan
eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.
Jadi tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu
negara tanpa izin negara yang bersangkutan.

Wilayah dirgantara adalah wilayah udara yang merupakan willayah kedaulatan negara
kolong. Didalam konsepsi kedirgantaraan nasional terkandung pemahaman terhadap wilayah
nasional, yaitu wilayah yang berada dibawah kedaulatan dan yurisdiksi negara yang
berdimensi daratan, perairan dan dirgantara, yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan
hukum nasional dengan memperhatikan hukum internasional yang berlaku.

Berikut adalah pelayanan untuk ruang udara :


No. NAMA PELAYANAN NAMA KETERANGAN
UNIT
1. UN UTTENDED Belum ada Ruang Komunikasi
Aerodrome nama ruang Udara
udara FIR(Aerodrome
Flight Information
Region)
2. Aerodrome Flight Hanya diberikan Pelayanan
Information Services Informasi belum diberikan
(AFIS) nama ruang Pelayanan Pemanduan LLP,
udara FIR (Aerodrome apabila jumlah Traffic
Flight Information Pesawat meningkat Status
Region) Ruang Udara Ditingkatkan
Menjadi ADC (Aerodrome
Control Service)
Aerodrome Control Aerodrome Pengaturan hanya sebatas
Service (ADC)nama Control jarak pandang ATC diTower,
3. ruang udara ATZ Tower apabila Pesawat diluar jarak
(Aerodrome Traffic (TWR) pandang ATC maka Ruang
Zona) dari Ground s/d Udara perlu Ditingkatkan
2500/4000 feet menjadi APP

Approach Control Approach Pengaturan Lalu Lintas Udara


Services (APP) Terbagi Control Apabila Diluar jarak Pandang
4. 2 (dua) : Office Tower ATC

1.TMA (Terminal
Control Area).

2.CTR (Control Zone)


5. Area Control Service Area Control Ruang Udara Lapis Atas dari
(ACC) Terbagi 2 (dua) : Center mulai ketinggian Fl 245
(Flight Level) s/d Fl 460
1. Control Area

2. Upper Control Area

2. Flight Information Servicedan Alerting Service (FIR)

FIR merupakan suatu ruang udara yang telah ditetapkan dimensinya di mana di dalamnya
diberikan Flight Information Servicedan Alerting Service. Flight InformationService adalah
pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara
penuh untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Alerting Service adalah pelayanan yang
diberikan pada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/penerbangan yang
membutuhkan pertolongan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian
dan pertolongan

Terbentuknya FIR didasarkan kepada Konvensi Chicago 1944 khususnya dalam Annex 11
tentang Air Traffic Services. Dalam bagian ketentuan ini menjelaskan bahwa setiap negara
ICAO wajib menentukan bagian-bagian dari wilayah udaranya tempat pemberian pelayanan
lalu lintas udara untuk kepentingan keselamatan. Setiap negara harus mengatur pelayanan
lalu lintas udara, jika tidak mampu maka harus mendelegasikan tanggung jawab tersebut
kepada negara lain. Batas FIR tidak harus sama dengan batas administrasi atau batas teritorial
suatu negara.
Sesuai Konvensi Chicago Artikel 22, 68 dan Annex 11 Paragraf 2.1, jika suatu negara
mendelegasikan ruang udaranya kepada negara lain, maka tanggung jawab terhadap
pengelolaan ATS tersebut di atas teritori negara yang bersangkutan, tidak akan
mengesampingkan kedaulatan negara yang mendelegasikan. Dengan kata lain, negara lain
yang mengelola hanya terbatas pada permasalahan teknis dan operasional, dan tidak akan
keluar dari konteks keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas yang menggunakan airspace
dimaksud. Selanjutnya dibutuhkan suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang berisi
persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat pelayanan
yang akan diberikan.

FIR Indonesia yang ada saat ini terbagi menjadi 2 area, FIR Jakarta di barat dan FIR
Ujungpandang di timur. Sejak tahun 1946 dikarenakan perlengkapan dan SDM penerbangan
Indonesia yang masih sangat minim saat itu menyebabkan terjadinya pendelegasian
pengelolaan FIR di area Kepulauan Riau kepada Singapura dan Malaysia.

Pendelegasian inipun diperkuat dengan kesepakatan RAN I (Regional Air Navigation)


pada tahun 1973 di Honolulu, Malaysia menguasai sektor B yang juga bersinggungan dengan
sektor A dan C yang dikuasai oleh Singapura. Pertemuan RAN ini diadakan oleh ICAO
dengan periode 10 tahun sekali dan hingga pertemuan RAN yang terakhir pun masalah FIR
sector A,B dan C masih belum dapat kembali kepada Indonesia.

Pasal 458 UU No. 1 Tahun 2009, Indonesia menegaskan bahwa wilayah udara RI yang
pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi
dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15
tahun sejak UU tersebut berlaku. UU No 1 Tahun 2009 mulai berlaku tanggal 12 Januari
2009 dan artinya pada 12 Januari 2024, ruang udara Kepulauan Natuna harus beralih dari FIR
Singapura menjadi FIR Jakarta.

Pada medio November 2015, Presiden RI telah mencanangkan pengambilalihan ruang


udara tersebut dari Singapura dalam 3-4 tahun ke depan. Hal ini menarik dan menjadi
perbincangan hangat karena jika mengacu kepada UU No.1/2009 maka pencanangan ini
adalah percepatan dari hal yang sudah direncanakan sebelumnya. Persiapan dan kesiapan
tentunya harus diselaraskan sesuai dengan instruksi presiden terakhir ini.
Banyaknya pihak yang mengesampingkan bahwa masalah FIR ini menyangkut
kedaulatan negara terkesan menunjukkan pesimisme akan kemampuan bangsa ini dalam
mengelola ruang udaranya. Memang batas FIR tidak harus sesuai dengan batas territorial,
tetapi jika pemerintah Indonesia kemudian menetapkan beberapa batas udara sesuai dengan
batas territorial yang ada maka tinggal memerlukan kesepakatan antar negara yang kemudian
disahkan oleh ICAO. Dalam hal ini pengendalian wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan
Natuna yang masih berada di bawah kontrol Singapura jelas akan melemahkan Indonesia
dalam hal pertahanan udaranya. Indikasi melintasnya black flight di wilayah teritori Indonesia
tetapi berada di FIR Singapura akan sangat mungkin terjadi.

Pendelegasian wilayah udara sector A,B dan C sebenarnya menyangkut masalah teknis
dan operasional keselamatan penerbangan sipil. Insiden yang pernah mengemuka terjadi pada
tahun 1991 dimana pesawat yang mengangkut Jenderal L.B. Moerdani ditolak mendarat di
Natuna karena tidak mendapatkan izin dari otoritas penerbangan Singapura. Setelah
bernegosiasi akhirnya diizinkan mendarat di Natuna. Menggelikan jika hal ini masih terjadi
sampai sekarang, bagaimana bisa seorang pejabat tinggi negara harus mendapatkan izin dari
negara lain saat akan melakukan kunjungan kerja ke daerah yang wilayah udaranya dikelola
oleh negara lain? Tentunya secepatnya hal ini harus dihentikan.

Dalam hal wilayah udara Indonesia yang masih dikelola oleh pihak asing tentunya
Indonesia pun harus mempersiapkan banyak hal antara lain :

 Mendefinisikan secara jelas mengenai Reallignment wilayah udara yang merupakan


batas teritorial Indonesia berdasar UNCLOS 1982. Working Paper No.55 pada tahun
1993 perlu dikaji ulang. Hal ini memerlukan pijakan perundangan mengenai kedaulatan
udara Republik Indonesia. Penyempurnaan UU No.1 Tahun 2009 perlu untuk dilakukan
agar pemerintah dapat melaksanakan amanat undang - undang secara tegas dan terukur.
 Pembentukan Task Force Reallignment FIR yang terkoordinasi dibawah kementerian
yang ditunjuk. Pembentukan task forceini akan melaksanakan misi realignment secara
terpadu baik dalam hal perundingan antar negara ataupun lobi secara internasional di
ICAO.
 Kegiatan bersama sebagai Strategic Partnership antara otoritas penerbangan negara
kawasan mengenai pengelolaan FIR. Kegiatan dimaksud sebagai langkah kerja sama
kawasan dan mempromosikan keunggulan Indonesia dalam pengelolaan FIR. Premise
untuk hal ini sudah jelas menjadi tugas besar insan penerbangan Indonesia karena kita
masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak dalam memperbaiki hasil audit ICAO
USOAP agar jauh melebihi pencapaian rata-rata dunia penerbangan.
 Membenahi infrastruktur dan SDM penerbangan yang handal, tidak hanya sekedar
memenuhi persyaratan minimum yg dipersyaratkan tetapi melebihi dari persyaratan
minimum yang ada. Hal ini bermanfaat dalam menjaga kontinuitas dan konsistensi
menjaga kualitas mutu penerbangan nasional kita. Perlu diingat jika perkembangan dunia
penerbangan sangat pesat dan kita memerlukan manusia dan peralatan yang handal
dalam mengikuti perkembangan ini.
 Membuat policy dan prosedur yang dinamis dalam penerbangan. Seringkali kita
menemukan celah dalam hal policy dan prosedur dikarenakan langkah antisipasi yang
kurang tajam atas berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di saat
pembentukan policy dan prosedur tesebut. Sangat disayangkan jika banyak terjadinya
perubahan dilakukan setelah terjadinya suatu permasalahan.
 Detterent Power yang memadai. Sebagai bentuk konsistensi dalam menjaga kedaulatan
negara sangat memerlukan dukungan militer secara nyata. Komitmen pemerintah dalam
membangun pangkalan militer di wilayah terluar dan pengembangan wilayah terluar
Indonesia sangat diperlukan. Kemampuan negara dalam mengatasi dan melakukan
intersepsi terhadap banyaknya black flight di wilayah udara Indonesia sangat diperlukan
kehadirannya. Pembangunan pangkalan udara tipe A di wilayah terluar pun harus seiring
dengan pembangunan wilayah yang direncanakan. Sudah merupakan suatu doktrin jika
keamanan dan pertahanan dilakukan secara selaras dan berimbang antara sipil dan militer.

Konsistensi dan kontinuitas dalam melaksanakan instruksi presiden mengenai


pengambilalihan ruang udara territorial Indonesia yang dikelola oleh negara asing sangatlah
dibutuhkan. Reallignment yang dicanangkan memerlukan pemikiran, strategi dan kegiatan
yang intens sehingga "memerdekakan" wilayah udara (FIR) Indonesia pada 2019 dapat
terwujud. Jika belum terwujud pada tahun 2019 maka kesempatan berikutnya akan jatuh pada
RAN meeting tahun 2023 dengan implementasi di tahun 2024 sesuai amanat Undang -
Undang No.1 Tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai