Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


2.1.1 Definisi (PGK)
Ginjal merupakan salah satu organ vital yang berperan
dalam mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam
basa dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit
dan non elektrolit dan mengeksresikan kelebihannya dalam
bentuk urin. Ginjal mengeluarkan produk sisa metabolisme
seperti urea, keratinin, asam urat serta zat kimia asing. Selain itu,
ginjal juga mensekresi renin, bentuk aktif vitamin D3 (calcitriol)
dan eritropoietin. Penyakit ginjal terjadi apabila ginjal tidak
mampu menjalankan fungsinya.10 18
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi kerusakan
ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih berupa laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2 dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.2 Penyakit ginjal kronis merupakan
proses patofisologis menurunnya fungsi ginjal secara progresif
dan lambat dengan etiologi yang beragam dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Hal ini ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel hingga pada akhirnya tidak mampu
lagi bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan
menjaga keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh.21
2.1.2 Etiologi (PGK)
Berbagai kelainan bisa menyebabkan penyakit ginjal.
Penyebab terbanyak dari penyakit ginjal kronis adalah diabetes
melitus, hipertensi, dan glomerulonefritis. Dalam sebuah studi
disebutkan bahwa diabetes merupakan penyebab utama penyakit
ginjal kronis sebesar 47%, hipertensi 41%, dan glomerulonefritis
9%.18 19
Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi
penyakit kronis lain, seperti diabetes mellitus atau hipertensi.
Penyakit lain yang dapat menyebabkan rusaknya ginjal
diantaranya penyakit autoimun seperti Systemic Lupus
Erythematosus dan scleroderma, kelainan bawaan pada ginjal
seperti polycystic kidney disease dimana terdapat kista berukuran
besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya, toksin
kimiawi, glomerulonefritis, pielonefritis kronik, nofrosklerosis
benigna, nofrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis,
foliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif,
hiperparatiroidisme, amiloidosis, obstruksi yang disebabkan oleh
batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat pada pria,
infeksi saluran kemih yang berulang, kelainan pada arteri yang
memperdarahi ginjal, obat-obatan analgesik dan obat-obatan
4 5
lainnya seperti obat kanker dan reflux nephropaty. Penyebab
lain diantaranya adalah karena gaya hidup yang tidak baik. Faktor
gaya hidup yang tidak baik antara lain penyalahgunaan obat-
obatan, kurang minum air putih, pola makan tidak sehat, pola
tidur tidak teratur, malas berolahraga, kebiasaan merokok, serta
kebiasaan mengkonsumsi alkohol. 18
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis Atas Dasar
Diagnosis Etiologi
Penyakit tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes diabetes tipe 1 dan 2
penyakit ginjal non diabetes penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)

penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah


besar, hipertesni, mikroangiopati)

penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronis,


batu, obstruksi, keracunan obat)
penyakit kistik (ginjal polikistik)
penyakit pada transplantasi rejeksi kronik, keracunan obat (siklosporin/
takrolimus) penyakit recurrent (glomelular)
transplant glomerulophaty)

2.1.3 Gambaran Klinis (PGK)


1. Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi : 17 18

a. Sindrom uremia
Terdiri dari lemah, letargi, mudah lelah, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, perubahan warna kuku, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
b. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes
melitus, hiperuremia, hipertensi, dan lain-lain.

c. Gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, asidosis


metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
2.1.4 Klasifikasi (PGK)
Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus, Penyakit ginjal kronik
terbagi atas 5 stadium. 10 21

Tabel 2.2 Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi


gromerulus.
Stadium Deskripsi LFG (mL/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan ≥ 90
LFG normal atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan 60 – 89
LFG ↓ ringan
3 Kerusakan ginjal dengan 30 – 59
LFG ↓ sedang
4 Kerusakan ginjal dengan 15 – 29
LFG ↓ berat
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

a. Stadium 1
Pada stadium ini, terjadi tahap awal kerusakan ginjal dengan
kondisi ginjal 90% dari keadaan normal namun ginjal masih
dapat mempertahankan fungsi normalnya. Kadar urea dan
kreatinin dalam darah normal dan asimtomatis. Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) pada stadium ini ≥ 90mL/menit/1,73m2.
b. Stadium 2
Tidak jauh berbeda dengan stadium 1, pada stadium ini telah
terjadi penurunan fungsi ginjal namun tidak terlihat gejala-gejala
yang khas. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal
ataupun sedikit meningkat. 60-89% ginjal masih berfungsi
normal dengan Laju filtrasi Glomerulus (LFG) 60-89
mL/menit/1,73m2.
c. Stadium 3
Pada stadium ini, laju filtrasi glomerulus ginjal telah menurun
hingga 30-59 mL/menit/1,73m2. Stadium ini terbagi atas 2,
yaitu stadium 3a (45-59 mL/menit/1,73m2) dan stadium 3b (30-
44mL/menit/1,73m2). Pada stadium 3a, penyakit ginjal kronis
masih bersifat asimptomatis sehingga banyak penderita masih
belum menyadari bahwa fungsi ginjal mereka telah mengalami
penurunan sementara pada stadium 3b, gejala klinis sudah mulai
terlihat seperti hipertensi, penurunan penyerapan kalsium,
berkurangnya eksresi fosfat oleh ginjal, peningkatan hormon
paratiroid, perubahan metabolisme lipoprotein, berkurangnya
penyerapan protein, anemia, hipertrofi ventrikel kiri, retensi
garam dan air serta penurunan ekskresi kalium oleh ginjal.
d. Stadium 4
Stadium 4 adalah stadium dimana ginjal telah mengalami
kerusakan berat dengan laju filtrasi 15-29 mL/menit/1,73m2.
Gejala-gejala klinis pada stadium ini mirip dengan gejala pada
stadium 3b. Pada stadium ini gejala asidosis metabolik seperti
anoreksia, pernapasan kussmul, mual dan kelelahan mulai
terlihat seiring dengan memburuknya kondisi ginjal.
e. Stadium 5
Stadium ini disebut dengan gagal ginjal kronis menurut National
Service Framework for Renal Service. Dengan laju filtrasi
glomerulus ≤ 15 mL/menit/1,73m2, ginjal dinilai tidak lagi
mampu berfungsi normal sehingga membutuhkan terapi
pengganti ginjal seperti hemodialisis untuk menopang
kehidupan. Gejala-gejala klinis seperti retensi garam dan air
yang mengakibatkan edema dan gagal jantung, anoreksia, mual,
pruritus (rasa gatal tanpa penyakit kulit), meningkatnya kadar
urea dalam darah serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini disebut
245
dengan sindrom uremik.
2.1.5 Patofisiologis (PGK) 10 20
Patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya
tergantung penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masih tersisa. Proses ini akhirnya di ikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-
angiotensin- aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut.

2.1.6 Pemeriksaan Penyakit Ginjal


a. Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) 10
Salah satu indeks fungsi ginjal yang terbaik adalah laju filtrasi
glomerulus (LFG). Terdapat banyak cara dalam mengukur LFG,
salah satunya adalah uji bersihan inulin yang dianggap
merupakan cara paling teliti dalam mengukur LFG. Namun, uji
ini jarang dilakukan di klinik karena melibatkan proses infus
intra vena dengan kecepatan yang konstan dan pengumpulan
urin pada saat-saat tertentu dengan kateter.
Cara lain yang lazim digunakan adalah menggunakan
persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan
persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan-persamaan ini dapat
mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin dan
etnis.
Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
saat ini lebih sering digunakan dalam mengukur LFG
menggantikan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan ini dapat
menyesuaikan empat variabel sekaligus yaitu, luas area
permukaan tubuh normal (1,73 m2), ras, jenis kelamin dan usia
sehingga dapat meminimalisir ketidak akuratan.
Persamaan MDRD.
GFR = 175 x (Scr - 1,154 x (Usia) - 0,203

x 0,742 (jika perempuan) atau x 1,212 (jika negroid)


Persamaan Cockcroft- Gault equation
GFR = ( 140 – umur) x BB
72 x kreatinin plasma
= (jika perempuan hasil x 0, 85)

Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah


125 ± 15 mL/menit/1,73m2 sedangkan pada perempuan muda
normal adalah 110 ± 15 mL/menit/1,73m2. Laju filtrasi glomerulus
(LFG) dinyatakan dalam mL/menit/1,73m2. LFG dapat berkurang
seiring bertambahnya usia dan hal ini dianggap normal.10
b. Serum Kreatinin
Konsentrasi serum kreatinin dapat digunakan sebagai
petunjuk laju filtrasi glomerulus. Serum kreatinin merupakan
indeks yang lebih cermat dibandingkan pemeriksaan urea
nitrogen darah dalam menentukan laju filtrasi glomerulus
dikarenakan kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi
dari massa otot sehingga jarang sekali mengalami perubahan.
Konsentrasi serum kreatinin normal adalah 0,7-1,5 mg/dl.
Seseorang dapat dikategorikan menderita penyakit ginjal sedang
apabila konsentrasi serum kreatinin berada pada nilai 2,5-5,0
mg/dl dan dikategorikan menderita gagal ginjal kronik apabila
konsentrasi serum kreatinin > 5,0 mg/dl. 10 20

d. Pemeriksaan konsentrasi ureum plasma


Nilai normal ureum adalah 20-40mg%. Peningkatan ureum
terjadi ketika eksresi urin lambat/ kondisi terganggunya ginjal.

e. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

Gambaran radiografi yang bisa dilihat pada pasien penyakit


ginjal kronis adalah: 20 21
a. Foto Polos Abdomen, terlihat batu radiopaque.
b. Ultrasonografi ginjal, bisa membantu dalam memperlihatkan
ukuran ginjal yang mengecil, korteks ginjal yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi, ataupun
lokasi jaringan ginjal untuk keperluan biopsi.
c. Renografi, untuk pemeriksaan pemindai ginjal bila ada indikasi.
d. Foto panoramik, membantu dalam melihat kelainan-kelaianan di
dalam rongga mulut pasien seperti kehilangan tulang alveolar dan
gambaran radiopaque yang terlihat di interproksimal gigi yaitu
kalkulus.
2.1.7 Penanganan (PGK)
Perawatan yang dilakukan untuk penderita penyakit ginjal
kronis bervariasi sesuai dengan tahapan penyakit ginjal kronis yang
dideritanya. Perawatan penyakit ginjal kronis berdasarkan tahapan
kerusakan ginjal adalah sebagai berikut: 17 21
1. Penyakit ginjal kronis tahap 1
Pada tahap ini, perawatan yang dilakukan bertujuan untuk
memperlambat proses penyakit ginjal kronis dan mengurangi
resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
2. Penyakit ginjal kronis tahap 2
Pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),
tetapi sudah terjadi peningkatan kadar kreatinin serum dan urea.
Perawatan yang dilakukan pada tahap ini adalah bertujuan untuk
menghambat terjadinya penurunan fungsi ginjal yang lebih parah.
3. Penyakit ginjal kronis tahap 3
Penyakit ginjal kronis mulai berkembang disertai dengan
anemia dan hiperparatiroidisme sekunder. Pasien mulai
mengeluhkan nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang, dan penurunan berat badan. Namun, yang dilakukan
pada tahap ini adalah terapi komplikasi dan evaluasi keparahan
penurunan fungsi ginjal.
4. Penyakit ginjal kronis tahap 4
Pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Selain itu juga
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada tahap ini dilakukan persiapan untuk
terapi pengganti ginjal.
5. Gagal ginjal
Seseorang disebut gagal ginjal apabila ginjalnya sudah
tidak berfungsi dengan baik dan disertai dengan terjadi komplikasi
yang serius, sehingga pasien harus memerlukan terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy). Transplantasi ginjal merupakan
terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir. Semua
pasien gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon
resipien transplantasi ginjal kecuali jika mengidap keganasan
sistemik, infeksi kronis, penyakit kardiovaskular yang berat atau
gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu pasien dalam
mengkonsumsi obat imunosupresif.
Terapi pengganti ginjal berikutnya adalah peritoneal
dialisis. Peritoneal dialisis merupakan salah satu bentuk dialisis
untuk membantu penanganan pasien gagal ginjal akut dan gagal
ginjal kronis. Dialisis ini menggunakan membran peritoneum yang
bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah difiltrasi.
Keuntungan peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis
adalah secara teknik peritoneal dialisis lebih sederhana, cukup
aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus,
sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit.
Terapi ginjal yang ketiga adalah hemodialisis. Hemodialisis
dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.
Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan
kompartemen dialisat. Komponen dialisat dialiri cairan dialisis
yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit
mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah sampai
konsentarasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke
kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikan tekanan
hidrostatik negatif pada komponen dialisat (ultrafiltrasi).
Pada umumnya indikasi gagal ginjal kronik adalah fungsi
ginjal kurang dari 15 mL/mnt/1,73m2 namun keadaan pasien tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai
salah satu gejala seperti keadaan umum buruk dan gejala klinis
nyata, K+ serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah
< 7, anuria berkepanjangan (>5 hari) dan fluid overloaded. Di
Indonesia, hemodialisis biasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4
hingga 5 jam per sesi.
Tabel 2.3 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai
Dengan Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbit, evaluasi
pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan
(progression) fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

2.1.9 Komplikasi (PGK)


a. Anemia
Anemia adalah berkurangnya satu atau lebih komponen sel
darah merah yang terdiri dari konsentrasi hemoglobin,
hematokrit atau jumlah sel darah merah. WHO mendefenisiskan
anemia ketika nilai hemoglobin kurang 13 g/dl pada laki-laki
dan kurang 12g/dl pada wanita. Gejala anemia pada penyakit
ginjal kronis terjadi ketika Laju Filtrasi Glomerulus dibawah 60
ml/menit/1,73m2 permukaan luas badan .21
Anemia pada penyakit ginjal kronis menghasilkan berbagai
mekanisme seperti defisiensi besi, asam folat, atau vitamin B12,
perdarahan pada saluran gastrointestinal, hiperparatiroid yang
parah, proses inflamasi akut atau kronis, usia sel darah merah
yang pendek akibat hemolisis, berkurangnya sintesis
eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular kapiler
endotelial pada ginjal yang sangat penting, dan hal ini menjadi
penyebab penyakit ginjal kronis yang behubungan dengan
anemia. Anemia pada penyakit ginjal kronis juga disebabkan
karena terjadinya penekanan sum-sum tulang akibat substansi
uremia.10
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
kurang dari 10% atau hematokrit kurang 30%, meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas
ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis dan lain sebagainya. 5
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utama,
di samping penyebab lain bila ditemukan. Pengobatan dengan
pemberian eritropoietin merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian eritropoietin, status besi harus selalu mendapatkan
perhatian, karena eritropoietin memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal
kronis harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi
yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang
dilakukan dengan tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin yang yang direkomendasikan adalah 11-12
g/dl pada pasien penyakit ginjal kronis, pencapaian Hb yang
maksimum sangat baik untuk mengurangi komplikasi dari
anemia. 20
b. Kelainan Tulang dan Mineral
Penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan kelaianan
tulang dan mineral disebut juga osteodistrofi renal terdiri dari
kelainan pada tulang dan metabolism mineral dan atau
kalsifikasi ekstrasekeletal sekunder pada patofisologi penyakit
ginjal kronis. Ginjal meupakan tempat pertama untuk ekskresi
asam fosfat dan hidroksilasi dari vitamin D. Pada penyakit ginjal
kronis akan terjadi penyimpanan fosfat berlebihan
(hiperfosfatemia) akibat kemampuan ekresi fosfat pada ginjal
berkurang, berkurangnya kemampuan aktivasi ginjal pada
vitamin D, terjadi hipokalsemia yang berkembang menjadi
hiperparatroid sekunder. Peningkatan level fosfor juga terjadi
pada penyakit ginjal kronis tahap 3.
c. Penyakit Kardiovaskuler
hipertensi merupakan salah satu faktor resiko pada penyakit
kardiovaskuler yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis.
d. Dislipidemia
Profil lipid bervarasi pada setiap pasien,menggambarkan
tingkat kemampuan fungsi ginjal dan nilai proteinuria. Pada
pasien penyakit ginjal kronis terjadi pengurangan aktiviatas
lipase lipoprotein dan triglesirida hepatik lipase. 11
e. Manifestasi Oral pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Manifestasi pada mukosa oral dikarenakan kondisi anemia
yang dimiliki pasien penyakit ginjal kronis. Pada mukosa akan
terlihat ulser, lesi putih, pigmentasi mukosa, petekie, dan
ekimosis akan terlihat pada mukosa oral pasien penyakit ginjal
kronis. Stomatitis, mukositis, dan glositis merupakan inflamasi
yang kadang terlihat pada lidah dan mukosa oral. Stomatitis
uremia disebabkan oleh efek perawatan atau medikasi serta
respon dari jumlah nitrogen dalam pembentukan urea dalam
darah (blood urea nitrogen). Yang dibagi menjadi
eritemopultaseus berupa warna kemerahan dan permukan
mukosa seperti terbakar yang ditutupi lapisan abu-abu, ulseratif,
hemoragik, dan hiperkeratosis. Hal ini tampak pada permukaan
tengah lidah dan permukaan anterior mukosa. 10
Pada pasien yang menjalani perawatan transplantasi ginjal, akan
menyebabkan keadaan immunosupresi sehingga pasien mudah
terkena infeksi, hiperplasia, ulserasi, dan infeksi seperti
kandidiasis oral.11
Manifestasi oral pada pasien peyakit ginjal kronis akan
lebih terlihat pada stadium 3, stadium 4 dan stadium 5 dari
klasifikasi penyakit ginjal kronis. 2

2.2 ANEMIA
2.2.1 Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya
penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin pada darah sampai
dibawah normal, hal ini terjadi apabila keseimbangan antara
kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan
produksi darah terganggu.11
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman
O2 ke jaringan menurun.11
Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau
hemoglobin dalam darah menurun dan mengakibatkan penurunan
fungsi utamanya.
Tabel Nilai normal hemoglobin
Pria Dewasa 13,5 – 17,5 g/dl

Wanita Dewasa 11,5 – 15,5 g/dl

Infant 15,0 – 21,0 g/dl

3 Bulan 9,5 – 12,5 g/dl

1 tahun – pubertas 11– 13,5 g/dl

2.2.2 Etiologi Anemia


Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :14,15
1) Gangguan pembentukan eritrosit Gangguan pembentukan
eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti
mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino,
serta gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan
total sel darah merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan
menjadi tiga jenis anemia:13,16
1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan
akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada
sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai
dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal
pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35
%), bentuk dan ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal.
(Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC
= > 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi
vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non
megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.
(Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.

2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan


Hemoglobinopati.

3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

2.2.4 Manifestasi Klinis Anemia


Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat, takikardi, sakit dada, dyspnea, nafas pendek, cepat lelah,
pusing, kelemahan, tinitus, penderita defisiensi yang berat
mempunyai rambut rapuh dan halus, kuku tipis rata mudah patah,
atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak
lesu lemas pucat, licin, mengkilat, merah daging meradang dan
sakit (Guyton, 1997).
2.2.5 Patofisiologi Anemia
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat
digolongkan pada tiga kelompok:16
 Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang
atau gagal
 Anemia akibat penghancuran sel darah merah
 Anemia akibat kehilangan darah
2.2.4.1 Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu
sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi
dengan baik. Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah
merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar
produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi
yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia,
gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi,
vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang
mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses
eritropoesis.
2.2.4.2 Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu
bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan
hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia hemolitik.
Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain:
 Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia
 Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan,
atau beberapajenis makanan
 Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
 Autoimun
 Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka
bakar, paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan
trombosis
 Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak
sel darah merah dan menghancurkannya sebelum sempat
bersirkulasi.
2.2.4.3 Anemia Akibat Kehilangan Darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun
pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis.
Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan
gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker
saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan
ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses
kelahiran.

2.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa
pertumbuhan yang cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan
tidak adekuat malabsorpsi besi
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung,
penyakit Crohn, colitis ulserativa) .
2. Pemeriksaan fisis
a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa
pembesaran jantung
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
menurun
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi
menurun
d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin
(FEP) meningkat
e. sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

2.2.7 Penatalaksanaan Anemia


Menurut Engram, (1999). penatalaksanaan pada pasien dengan
anemia yaitu :
1. Memperbaiki penyebab dasar.
2. Suplemen nutrisi (vitamin B12, asam folat, besi)
3. Transfusi darah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik pada anemia adalah:
1. Jumlah darah lengkap (JDL) di bawah normal (hemoglobin,
hematokritdan SDM).
2. Feritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi.
3. Kadar B12 serum rendah pada anemia pernisiosa.
4. Tes Comb direk positif menandakan anemia hemolitik autoimun.
5. Hemoglobin elektroforesis mengidentifikasi tipe hemoglobin
abnormal pada penyakit sel sabit.

Anda mungkin juga menyukai