Anda di halaman 1dari 3

PATOGENESIS PSORIASIS

Imunopatogenesis psoriasis sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai perubahan pada


sistem imun innate (keratinosit, sel dendritik, histiosit, neutrosit, mastosit, sel endotel) dan sistem
imun didapat (limfosit T). Aktivasi sel sistem imun innate menghasilkan growth factor, sitokin dan
kemokin yang berpengaruh pada sistem imun didapat dan sebaliknya (Sanchez, 2010). Pada fase
awal, terjadi aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik dan keratinosit) oleh berbagai faktor
lingkungan seperti trauma mekanis, infeksi, obat-obatan maupun stres emosional. Keratinosit
kemudian melepaskan sitokin (IL-1 dan TNF-α) serta protein syok termis. Senyawa ini
mengaktivasi sel dendritik (sel langerhans dan sel dendritik residen) pada epidermis dan dermis.
Antigen agen infeksius yang berikatan dengan toll-like receptor pada DC (dendritic cell) dan
keratinosit juga dapat mengaktivasi sel-sel tersebut, yang kemudian melepaskan berbagai mediator
inflamasi (Sanchez, 2010).

Gambar 1 Protein utama yang dihasilkan oleh sel dentritik (CD) dan sel dendritik myeloid
tipe inflamatori (CDi), limfosit Th tipe 1 (Th1), limfosit Th tipe 17 (Th17) dan keratinosit
(K) pada psoriasis. FG: growth factor; iNOS: inducible nitric oxide synthase (Sanchez, 2010).
Setelah inisiasi kaskade inflamasi, disregulasi jalur sinyal IL-23 dapat memicu ekspansi
dan aktivasi sel T tipe Th17 dan Th22 (Gambar 2.2). Efek produk sitokin mereka, seperti halnya
TNF dan IFN-γ pada keratinosit, dapat menginduksi sirkuit inflamatori kompleks yang
menstimulasi proliferasi keratinosit, proliferasi vaskuler, dan akumulasi serta aktivasi leukosit
lanjutan pada lesi psoriasis. Variasi genetik pada lokus IL-4/IL-13 dapat menyebabkan
berkurangnya respons Th2 dan meningkatkan aktivitas Th17/Th1. Berkurangnya efisiensi
regulator negatif NF-κB, TNFAIP3 dan TNIP1 dapat mempertahankan inflamasi yang diinisiasi
oleh TNF, IL-1, ligasi TLR, dan IL-17 pada individu yang rentan (Nograles dkk., 2010).
Gambar 2. Model interaksi imun pada lesi psoriasis. Antigen-presenting cell (APC)
memproduksi IL-23 dan menstimulasi sel T tipe Th17 dan Th22 (dan mungkin juga sel Tc17)
untuk melepaskan IL-17 dan IL-22. IL-17 memicu keratinosit untuk meningkatkan kemokin
proinflamasi yang menarik sel T, neutrofil dan sel mononuklear pada lesi. IL-22
menyebabkan akantosis epidermal. Kedua sitokin tersebut meningkatkan produksi anti-
microbial protein (AMP). IFN-γ dari sel Th1 memodulasi gen responsif KC, dan
menstimulasi APC untuk melepaskan IL-23 (Nograles dkk., 2010).
Adanya faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, obat, sinar ultraviolet,
stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap psoriasis [PSORS1, late cornified
envelope-3C1 (LCE3C1) dan, late cornified envelope-3B (LCE3B), interleukin (IL)-23R, IL-23A,
IL4/IL13] akan memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Komplek ini akan memicu
sintesa interferon-α (IFN-α) oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik myeloid
menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan migrasi ke limfonodi dan memproduksi
berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi sel T naif menjadi sel T helper 1 atau
Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (seperti IL-6, tumor growth faktor- β1 atau TGF-β1 dan IL-23), sel
Th22 (seperti TNF-α, IL-6). Baik sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1(tumor necrosis faktor- α
atau TNF-α, IFN-γ, IL-21) dan Th17 ( IL-17A, IL-17F, IL-22, IL-21) akan menstimulasi
proliferasi keratinosit untuk memproduksi CCL20, suatu kemokin atraktan yang mengekspresikan
reseptor CCR6 dari sel dendritik dan sel T, yang akan memicu proliferasi keratinosit. Keratinosit
memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang berperan pada meningkatnya
aktivasi sel dendritik dan ekspansi inflamasi lokal. Tumor necrosis faktor-α akan menginduksi
ekspresi molekul adhesi seperti intracelluler adhesion molecules-1 (ICAM-1) dan vascular
endothelial growth faktor (VEGF) pada kulit, yang akan mengatur lalu lintas sel. Selain itu TNF-
α dapat meningkatkan ekspresi IL-8 yang merupakan salah satu anggota dari kemokin, dimana
pada keratinosit berperan meningkatkan infiltrasi sel T ke dalam epidermis. Secara singkat
pembentukan lesi psoriasis tipe plak melalui 3 langkah berbeda yaitu aktivasi sel T, migrasi sel T
ke dalam lesi kulit, pelepasan sitokin yang diaktivasi oleh sel T pada kulit.
Dalam studi imunohistokimia, ditemukan bahwa keratinosit pada psoriasis lesional dan
nonlesional mengekspresikan kadar NGF (nerve growth factor) yang tinggi dibandingkan kontrol.
Fantini dkk mengamati tingginya kadar NGF pada lesi psoriasis. Nerve growth factor sering
dihubungkan dengan peningkatan nNOS (neuronal nitic oxide synthase) yang diisolasi dari sel
neuron namun bekerja tidak spesifik pada sel-sel neuron saja. Beberapa fungsi NGF sesuai dengan
proses inflamasi dan proliferasi pada psoriasis. Nerve growth factor memicu proliferasi keratinosit
dan mencegah apoptosis keratinosit. Nerve growth factor juga mendegranulasi sel-sel mast dan
memicu migrasi sel-sel ini, dimana kedua proses ini terjadi pada awal perkembangan lesi psoriasis.
Selanjutnya NGF mengaktivasi limfosit T dan menarik infiltrat sel-sel inflamasi. Nerve growth
factor diketahui menginduksi ekspresi sitokin potensial berupa RANTES pada keratinosit.
RANTES merupakan kemotaksis bagi sel T memori CD4+ dan mengaktivasi selsel T memori.
Peningkatan kadar RANTES, suatu keratinosit psoriatik dan βkemokin. Penigkatan kadar
RANTES dipicu oleh NGF juga berkontribusi untuk aktivasi sel-sel T (Raychaudhuri dan Farber,
2000). Peningkatan ekspresi NGF pada kulit non lesi kemungkinan berperan dalam terjadinya
fenomena reaksi Köbner. Peningkatan NGF pada kulit yang luka telah terbukti. Proliferasi
keratinosit yang dipicu adanya perlukaan menghasilkan kadar NGF yang lebih tinggi pada kulit
non lesi dibandingkan kulit kontrol. Peningkatan NGF memicu respon inflamasi berupa proliferasi
saraf dan peningkatan neuropeptida seperti substansi P (SP) dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP). Neuropeptida dan NGF memicu proliferasi keratinosit (Raychaudhuri dan Farber, 2000).

Gambar 3. Peranan ekspresi NGF dalam patogenesis psoriasis (Raychaudhuri dan Farber,
2000).
Peristiwa stres dapat mengubah kadar SP dalam sistem saraf pusat dan tepi. Pada model hewan,
telah dilaporkan bahwa stres dapat meningkatkan kadar SP pada kelenjar adrenal dengan
mangaktivasi saraf autonom desending dan merangsang pelepasan neuropeptida. Oleh karena itu
inflamasi neurogenik berperan penting dalam berkembangnya lesi psoriatik serta
bertanggungjawab pada eksaserbasi psoriasis selama kejadian stres selama hidup (Raychaudhuri
dan Farber, 2000).

Anda mungkin juga menyukai