ABLASIO RETINA
Disusun Oleh:
Bella Desra Andae (01073170006)
Dibimbing Oleh:
dr.Sihol Enades, Sp.M
Retina merupakan jaringan paling kompleks pada organ mata, yang memiliki lapisan
fotoreseptor berupa sel – sel batang dan kerucut. Fotoreseptor mampu mengubah rangsangan
cahaya membentuk suatu impuls yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf melalui saraf optikus
ke korteks penglihatan. 1 Retina sendiri adalah suatu selaput jaringan neural tipis, semitransparan.
Retina memanjang sampai pada bagian anterior dari Ciliary Body, tepatnya pada bagian ora
serata. Sebagian besar retina dan epitel pigmen retina mudah terpisahkan untuk membentuk
ruang subretinal, misal terjadi pada Ablasio Retina. Tetapi pada regio diskus optik dan ora
serrata, retina dan epitel pigmen retina terikat erat, sehingga membatasi penyebaran cairan
subretinal pada ablasi retina.2
Ablasio Retina (retinal detachment ) adalah kondisi serius yang dapat menyebabkan
kebutaan total, dimana terjadi pemisahan antara retina sensorik, yakni lapisan fotoreseptor (sel
kerucut dan batang) dan jaringan bagian dalam, epitel pigmen retina dibawahnya. Ablasio retina
dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu ablasio regmatogenosa, ablasio traksi, dan ablasio
serosa atau hemoragik. 3
Pada suatu penelitian, Insiden ablasio retina pada populasi umum adalah 1:10.000
populasi, yaitu sekitar 8.000 kasus baru setiap tahun di Jerman. Sedangkan di Amerika Serikat,
angka kejadian ablasio retina terjadi sekitar 1 hingga 2 orang per 10 000 populasi, dan lebih
sering terjadi pada usia lanjut yaitu usia 40-70 tahun.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ablasi retina adalah terjadinya pemisahan bagian sensoris dari retina, yaitu lapisan
fotoreseptor dan lapisan bagian dalam retina, dari epitel pigmen retina yang mendasarinya.5
Ablasio retina merupakan suatu kondisi emergensi serius dikarenakan dapat menyebabkan
kebutaan. Lapisan fotoreseptor pada retina menerima oksigen dan nutrisi dari koroid. Jika retina
terlepas dari koroid, fotoreseptor tidak dapat berfungsi. Fovea tidak memiliki pembuluh darah
retina dan bergantung sepenuhnya pada oksigen dari koroid, sehingga apabila macula terlepas
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sel kerucut dan batang di pole posterior, dan
kehilangan penglihatan.4
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, multilapis yang
melapisi bagian dalam dari dua pertiga bagian poster dinding orbital mata. Retina membentang
ke bagian anterior dari Ciliary Body, dan berakhir pada bagian ora serata. Sebagian besar retina
dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretinal, misal terjadi
pada Ablasio Retina. Tetapi pada diskus optik dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina
saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretinal pada ablasi retina. Retina
memiliki tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.1
Retina menerima suplai darah dari dua sumber utama yaitu Khoriokapilari di luar
membran Bruch, yang memperdarahi sepertiga bagian luar retina, termasuk lapisan luar
plexiform, fotoreseptor, dan epitel pigmen retina; dan cabang-cabang arteri retina sentral, yang
memasok dua pertiga bagian dalam.1
2.3 Fisiologi
Ablasio rertina merupakan terpisahnya neurosensory retina (NSR) dari retinal pigment
epithelium (RPE). Dua lapisan tersebut berasal dari neuroektoderm yang melapisi vesikula optic
selama embryogenesis. Saat vesikel optik berevolusi membentuk optic cup, dua lapisan muncul.
Lapisan bagian dalam berdiferensiasi menjadi NSR dan lapisan luar menjadi RPE. Tidak ada
persimpangan anatomis sejati antara 2 lapisan ini . Oleh karena itu, perlekatan dari kedua lapisan
tersebut lemah, dan rentan terjadi pelepasan retina yang dapat membuka kembali ruang potensial
antara dua lapisan tersebut.12
Kekuatan adhesi antara dua lapisan tersebut dapat dibagi menjadi mekanik dan
metabolik. Faktor mekani dibagi menjadi bagian luar dan bagian dalam ruang subretinal (SRS).
Kekuatan mekanik bagian luar SRS meliputi tekanan cairan dan vitreous. Cairan keluar
dari mata melalui trabecular meshwork. Namun sebagian kecil cenderung keluar dari vitreous ke
choroid berdasarkan tekanan oncotic intraocular dan choroidal. Karena retina dan RPE secara
substansial menolak pengangkutan cairan, vektor keluar dari gerakan cairan cenderung
mendorong retina melawan RPE. Demikian pula, obat yang meningkatkan tekanan onkotik
vitreous cenderung menarik cairan ke vitreous dari koroid melalui retina. Vektor ke arah dalam
dari gerakan cairan ini dapat menyebabkan pemisahan retina dari RPE karena aliran resistensi
retina.
Vitreous berindak sebagai pertahanan terhadap robeknya retina dan secara tidak langsung
membantu mencegah pelepasan retina dan mempertahankan adhesi antara retina dan RPE.
Apakah vitreous memainkan peran langsung dalam perlekatan retina, belum ditentukan
meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa struktur fisik vitreus mungkin penting dalam
mempertahankan aposisi retina.
Kekuatan mekanik di dalam SRS termasuk bahan matriks antara NSR dan RPE dan
interdigitasi antara mikrovili RPE dan fotoreseptor.
Sebuah matriks hadir di antara segmen luar photoreceptor dan disebut matriks
interfotoreseptor (IPM), yang terdiri dari glikosaminoglikan. Matriks ini dapat bertindak sebagai
lem yang mengikat NSR dan RPE. IPM juga memiliki komponen struktural yang tetap melekat
baik pada RPE dan sel kerucut jika NSR terlepas dari RPE. Molekul adhesi sel atau reseptor
mungkin terlibat dalam interaksi antara matriks dan membran sel. Faktor metabolik yang
mempengaruhi adhesi retina termasuk oksigenasi.
2.4 Epidemiologi
Insiden ablasio retina pada populasi umum adalah 1 dalam 10.000 populasi, yaitu sekitar
8.000 kasus baru setiap tahun di Jerman.3 Sedangkan di Amerika Serikat, angka kejadian abalsio
retina terjadi sekitar 1 hingga 2 orang per 10 000 populasi. Ablasio retina lebih sering terjadi
pada kisaran usia 40-70 tahun (kisaran usia 57 pada laki – laki, pada wanita kisaran usia 62
tahun). Hanya 3-4% angka kejadian ablasio retina pada anak dibawah 16 tahun. Ablasio retina
secara umum lebih sering terjadi pada laki – laki, namun non traumatik ablasio retina lebih
sering terjadi pada wanita. 5 Sebuah penelitian di Inggris mengatakan Ablisio Retina terjadi tiga
kali lipat lebih rendah pada ras Asia dibandingkan dengan ras Kaukasia. Beberapa laporan juga
mengatakan kejadian RRD pada ras Kulit Hitam lebih rendah dibandingkan dengan ras
Kaukasia.4
2.5 Pathogenesis
Terdapat tiga cara yang menyebabkan terjadinya ablasio retina, diantaranya adalah6 :
1. Terjadi robekan pada retina, sehingga cairan yang berasal dari rongga vitreus masuk
melewati retina ke ruang potensial di bawah retina, yang menyebabkan pemisahan retina
dari koroid (Ablasio Retina Rhegmatogenosa).
2. Jika retina tertarik oleh jaringan parut pada permukaan retina, misalnya seperti pada
retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (Ablasio Retina Traksi)
3. Jauh lebih jarang lagi adalah Ablasio Retina eksudatif; di mana penyebab yang mendasari
adalah terjadinya disfungsi pada Barrier yang menyebabkan gangguan dalam transportasi
cairan pada retina misalnya dalam kasus tumor intraokular atau penyakit pembuluh darah
(Ablasio Retina Eksudatif ).
Penyebab paling umum dari Ablasio Retina Rhegmatogenous adalah degenerasi dari
tubuh vitreous. Vitreous terdiri hampir seluruhnya air (98%) dan distabilkan oleh fibril kolagen
yang meluas ke lapisan retina. Degenerasi fisiologis dari vitreous ini telah dimulai sejak
beberapa tahun pertama kehidupan. Seiring bertambahnya usia, serat kolagen akan mengeras dan
menyebabkan hilangnya elastisitas. Hilangnya elastisitas progresif akhirnya menyebabkan
pemisahan vitreous dari retina. Proses ini digambarkan sebagai "Pemisahan Vitreus Posterior”.3
Robekan terjadi paling sering pada regio Equator. Equator menandai transisi dari pusat
ke retina perifer dan merupakan titik di mana retina berada pada titik tertipis (0,18 mm versus
0,23 mm di pusat), yang menjelaskan kecenderungan untuk terjadinya robekan karena terkait
tegangan pada retina.7
Gambar 4. Patogenesis Ablasio Retina Regmatogenosa
2.5 Klasifikasi
Pada ablasio retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi karena adanya robekan
pada retina sehingga cairan masuk ke ruang belakang antara sel pigmen epitel dengan
retina. Selain itu terjadi pendorongan retina oleh vitreus yang masuk melalui robekan
atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan
menyebabkan retina terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.1
Ketika proses detasemen vitreous berlangsung dan ada bagian dari vitreous yang
tetap melekat pada bagian robekan, robekan tersebut dinamakan a horseshoe tear. Di sisi
lain, jika traksi vitreous cukup kuat dan terlepas dari dasar retina, maka traksi
menghilang.
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah
retina (subretina) dan mengangkat retina tanpa adanya robekan retina atau traksi retina.
Penimbunan cairan disebabkan oleh terjadinya disfungsi pada Barrier yang menyebabkan
gangguan dalam transportasi cairan pada retina.6
Hal ini dapat terjadi pada berbagai penyakit vaskular, inflamasi atau neoplastik
pada retina, RPE, dan choroid di mana cairan bocor di luar pembuluh dan berakumulasi
di bawah retina. Selama RPE mampu memompa cairan yang bocor ke dalam sirkulasi
choroidal, tidak akan ada cairan yang terakumulasi di ruang subretinal dan tidak akan
terjadi pelepasan retina. Namun, jika prosesnya berlanjut dan aktivitas pompa RPE
normal menjadi kewalahan, atau jika aktivitas RPE menurun karena kehilangan pasokan
metabolik (misalnyan pada kasus iskemia), maka cairan akan menumpuk dan
menyebabka pelepasan retina.
Jenis retina ini detasemen bisa juga karena penumpukan darah di ruang subretinal
(pelepasan retina hemoragik). Penyakit inflamasi yang dapat menyebabkan Ablasio retina
eksudatif termasuk skleritis posterior, ophthalmia simpatik, penyakit Harada, pars
planitis, dan penyakit vaskular kolagen. Penyakit vaskular termasuk hipertensi maligna,
oklusi vena retina, penyakit Coats, penyakit angiomatous retina, dan berbagai bentuk
neovaskularisasi koroid termasuk vaskulopati choroidal polypoidal.
Tumor choroidal yang mungkin terkait dengan Ablasio retina eksudatif meliputi
beberapa nevi, melanoma, hemangioma , limfoma, dan tumor metastatik. Kondisi lain
yang terkait dengan Ablasio retina eksudatif termasuk korioretinopati serosa sentral,
vitreoretinopati eksudatif familial, penyakit Norrie, sindrom efusi uveal.
2.6 Diagnosis
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma
b. Periksa ketajaman penglihatan, pada pasien dengan ablasio retina dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan
c. Periksa konfrontasi lapangan pandang
d. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada vitreus
(Shafer’s sign)
e. Periksa tekanan bola mata
3. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Metode terbaik untuk mendiagnosis ablasio retina adalah dengan oftalmoskopi
tidak langsung. Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan edema,
kehilangan sifat transparansinya, dan ditandai oleh hilangnya refleks fundus dan
terjadinya peningkatan retina. Pada ablasio regmatogen, robekan retina berwarna merah
terang dapat terlihat. Biasanya muncul pada setengah bagian atas retina pada regio
degenerasi ekuator. Pada ablasio tipe traksi, ablasio akan terlihat bersamaan dengan
untaian retina berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat adanya deposit lemak
massif dan biasanya disertai dengan perdarahan intraretina.9
Anamnesa dapat membantu membedakan ablasio retina dari kondisi lain dengan gejala serupa.
Floaters yang disebabkan oleh Ablasio Retina, terjadi lebih tiba-tiba dan dramatis
daripada floaters yang dialami orang-orang selama masa hidup mereka. Kilatan cahaya dapat
menandakan sakit kepala migrain, tetapi pada sakit migrain biasanya terjadi secara bilateral
(meskipun sering dalam satu bidang bidang visual). Photopsia yang disebabkan oleh gerakan
mata dapat menunjukkan neuritis optik.10
Gangguan penglihatan yang disebabkan oleh Ablasio bersifat mendadak, biasanya di
awali di perifer, dan berkembang menuju pusat sumbu visual dari hitungan jam hingga minggu;
pasien dapat menggambarkan ini sebagai “bayangan” atau “tirai” yang redup. Kehilangan
penglihatan yang disebabkan oleh stroke atau gangguan pada sistem saraf pusat lainnya selalu
bersifat bilateral, stabil, dan homonim.10
2.8 Tatalaksana
Umumnya Ablasio retina ditangani dengan penyegelan mekanis dari semua lubang di
retina. Beberapa prosedur yang berbeda sekarang tersedia dan dapat digunakan secara tunggal
atau dalam kombinasi: koagulasi laser atau cryocoagulation untuk induksi bekas luka dan Scleral
Buckling atau vitrektomi untuk menutup lubang pada retina.3
1. Scleral Buckling
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama
tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina,
menangani robekan dengan cryoprobe (laser), dan selanjutnya dengan scleral buckle
(sabuk).3 Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Pertama – tama
dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan
epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada
robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini
akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.
Bergantung pada situasinya, prosedur scleral buckling mencapai tingkat keberhasilan
sebesar 85% hingga 90%. Komplikasi yang paling sering terjadi pada prosedur ini adalah
deformasi yang terjadi pada bola mata dengan perubahan refraksi.3
2. Vitrectomi
Dengan operasi menggunakan mikroskop, korpus vitreus dan semua traksi epiretina
dan subretina dapat disingkirkan. Retina kemudian dilekatkan kembali dengan
menggunakan cairan perfluorocarbon dan kemudain digantikan dengan minyak silikon
atau gas sebagai tamponade retina. Operasi kedua dibutuhkan untuk membuang minyak
silikon. Kelebihan dari teknik ini adalah mampu melokalisasi lubang retina secara tepat,
eliminasi kekeruhan media, terbukti dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak,
penyembuhan langsung traksi vitreus, dan membuang serat-serat pada epiretina dan
subretina. Keberhasilan prosedur ini dapat mencapai angka sebesar 85 – 90%.11
Komplikasi yang sering ditimbulkan dari prosedur ini adalah katarak (77% muncul
setelah menjalani operasi pertama), dan timbulnya lubang retina baru selama operasi
berjalan. Komplikasi langka yang muncul adalah perdarahan kedalam vitreus humor
(muncul dalam 1% kasus), dan inflamasi pada mata dalam.11
3. Pnematic Retinopexy
Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan cara ini,
retina akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau sesudah injeksi gas
atau koagulasi laser dilakukan di sekitar defek retina setelah perlekatan retina.
Metode ini sangat cocok digunakan pada kondisi ablasio dengan satu robekan
retina pada bagian atas perifer fundus (arah jam 10 hingga jam 2).1
2.8 Progonosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan sesudah
operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan makula maka akan sulit
menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang ada sekitar 87 % dari operasi yang
melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula
yang terlibat hanya sepertiga atau setengah dari makula tersebut.3
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina yang
melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level sebelumnya
dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor seperti irreguler astigmat akibat
pergeseran pada saat operasi, katarak progresif, dan edema makula. Komplikasi dari pembedahan
misalnya adanya perdarahan dapat menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.3
BAB III
KESIMPULAN
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel
batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina lebih banyak terjadi pada usia 40-70
tahun. Faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia, operasi katarak (afakia,
pseudofakia), dan trauma okuler.
Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan tajam
penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami ablasio tampak
sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat
adanya robekan retina berwarna merah.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali lapisan
neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan. Namun, pada ablasio
retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai dengan etiologinya.
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio, diagnosisnya
dan tindakan bedah yang dilakukan. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka
prognosis buruk.
DAFTAR ISI
1. Riordon P, Cunningham E. Vaughan & Ashbury's General Ophthalmology. 18th ed. New
York: McGraw-Hill; 2011.
2. Gupta M, Herzlich A, Sauer T, Chan C. Retinal Anatomy and Pathology. Developments
in Ophthalmology. 2016;55:7-17.
3. Feltgen N, Walter P. Rhegmatogenous Retinal Detachment. Deutsches Aerzteblatt
Online. 2014;111(1):12 - 22.
4. Mitry D, Charteris D, Fleck B, Campbell H, Singh J. The epidemiology of
rhegmatogenous retinal detachment: geographical variation and clinical associations.
British Journal of Ophthalmology. 2009;94(6):678-684.
5. Chang H, Lynm C, Golub R. Retinal Detachment. American Medical Association.
2012;307(13):1447.
6. Jalali S. Retinal Detachment. Community Eye Health. 2003;16(46):25 - 6.
7. Yorston D, Jalali S. Retinal detachment in developing countries. Eye 2002; 16: 352-358.
8. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-2008.
Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
9. Lang GK. In : Opthalmology A Short Textbook. New York : Thieme Stuttgart. 2002.
Page 328-30
10. Gariano R, Hee C. Evaluation and Management of Suspected Retinal Detachment.
American Family Physician. 2004;69(7):1691-99.
11. Sehu KW, Lee WR. In : Opthalmology Pathology An Ilustrated Guide For Clinician.
New York : Blackwell Publishing. 2005. Page 204, 236-8.
12. Steinberg RH, Wood I. Pigment epithelial cell ensheathment of cone outer segments in
the retina of the domestic cat. Proc R Soc Lond 1974; B.187: 461–478.