Anda di halaman 1dari 27

Referat

HUMAN SEXUALITY AND


SEXUAL DYSFUNCTION

Oleh:

Azzahra Shinta Intansari, S. Ked 04054821820002


Vienna Dwinda Putri, S. Ked 04054821820025

Pembimbing:
dr. H. M. Zainie Hasan. AR, Sp. KJ (K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RS ERINALDI BAHAR PALEMBANG
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
HUMAN SEXUALITY AND SEXUAL DYSFUNCTION

Oleh:

Azzahra Shinta Intansari, S. Ked 04054821820002


Vienna Dwinda Putri, S. Ked 04054821820025

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di Bagian Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Erinaldi Bahar Palembang Periode 17 September hingga 22
Oktober 2018.

Palembang, 5 Oktober 2018

Pembimbing,

dr. H. M. Zainie Hasan. AR, Sp. KJ (K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul “Human
Sexuality and Sexual Dysfunction”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
H. M. Zainie Hasan. AR, Sp. KJ (K), selaku pembimbing yang telah membantu
dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga
referat ini dapat berguna bagi banyak orang dan dapat digunakan sebagaimana
mestinya.

Palembang, 5 Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................ Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 7
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI VENA EKSTREMITAS INFERIOR
Error! Bookmark not defined.
2.2 DEFINISI ................................................ Error! Bookmark not defined.
2.3 EPIDEMIOLOGI .................................... Error! Bookmark not defined.
2.4 ETIOLOGI .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.5 FAKTOR RISIKO ................................... Error! Bookmark not defined.
2.6 PATOFISIOLOGI ................................... Error! Bookmark not defined.
2.7 KLASIFIKASI ........................................ Error! Bookmark not defined.
2.8 MANIFESTASI KLINIS ........................ Error! Bookmark not defined.
2.9 PEMERIKSAAN FISIK .......................... Error! Bookmark not defined.
2.10 DIAGNOSIS ........................................... Error! Bookmark not defined.
2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG ............ Error! Bookmark not defined.
2.12 TATALAKSANA ................................... Error! Bookmark not defined.
2.13 KOMPLIKASI ........................................ Error! Bookmark not defined.
2.14 PENCEGAHAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
2.15 PROGNOSIS ........................................... Error! Bookmark not defined.
BAB III KESIMPULAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................... Error! Bookmark not defined.

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. AnatomiVena Ekstremitas Bawah………………………………….…4


Gambar 2. Perforating Vein………………………………………………………4
Gambar 3. Katup Vena……………………………………………………………6
Gambar 4. Patofisiologi CVI……………………………………………………..9
Gambar 5. Klasifikasi CEAP……………………………………………………12
Gambar 6. EVLT………………………………………………………………..22

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Anatomi…………………………………………………….11


Tabel 2. Komponen Penilaian Derajat Venous segmental disease score (VSDS)..13
Tabel 3. Komponen Penilaian Derajat Venous clinical severity score (VCSS)…..14
Tabel 4. Indikasi Pemakaian Stoking..…………………………………………...18

v
BAB I
PENDAHULUAN

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

B. Disfungsi Seksual
Hal penting pada disfungsi seksual adalah ketidakmampuan merespon
terhadap stimulus atau merasakan nyeri saat tindakan seksual. Disfungsi dapat
diartikan gangguan dalam arti subjektif kesenangan atau hasrat yang biasanya
berhubungan dengan seks, atau oleh kinerja objektif. Menurut ICD-10, disfungsi
seksual merujuk terhadap ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi pada
hubungan seksual sebagaimana dia menginginkannya.
Pada DSM-5, disfungsi seksual termasuk gangguan hasrat seksual hipoaktif
pada pria, gangguan minat atau gairah seksual pada wanita, gangguan ereksi,
gangguan orgasme pada wanita, ejakulasi yang terlambat, gangguan penetrasi atau
nyeri genitopelvik, dan disfungsi seksual yang tidak terklasifikasikan. Disfungsi
seksual didiagnosis hanya ketika mereka menjadi bagian utama dari gejala klinis.
Jika terdapat lebih dari satu disfungsi, maka seluruhnya harus didiagnosis.
Disfungsi seksual dapat berlangsung lama atau didapat, menyeluruh atau
situasional, dan hasil dari faktor psikologis, fisiologis, campuran keduanya, dan
berbagai pemicu lainnya termasuk adat istiadat yang dilarang, kesehatan dan
masalah pasangan, serta konflik hubungan. Jika disfungsi disebabkan sepenuhnya
pada kondisi organik, penggunaan zat, atau efek samping dari pengobatan, maka
didiagnosis sebagai disfungsi seksual akibat kondisi medis atau disfungsi seksual
yang diinduksi oleh penggunaan zat. Pada DSM-5, derajat disfungsi ditentukan dari
tingkat stres pasien apakah ringan, sedang, atau berat.
Disfungsi seksual sering berhubungan dengan gangguan mental lainnya,
seperti gangguan afek (depresif), gangguan kecemasan (ansietas), gangguan
kepribadian, dan skizofrenia. Disfungsi seksual dapat didiagnosis bersamaan
dengan gangguan psikiatrik lainnya. Jika disfungsi seksual umumnya disebabkan
oleh gangguan psikiatrik yang mendasarinya, maka gangguan yang mendasari
tersebut yang harus didiagnosis. Disfungsi seksual umumnya terjadi terus-menerus
pada dirinya, dengan pasien yang semakin mengalami kecemasan yang sedang

7
berlangsung seiring dengan ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan. Dalam
hubungan, pasangan yang normal sering merasakan kesulitan atau kemarahan
akibat perasaan kekurangan atau perasaan bahwa pasien merupakan pasangan
seksual yang tidak cukup menarik atau memadai. Pada beberapa kasus, klinisi harus
mempertimbangkan apakah masalah seksual didahului atau timbul akibat kesulitan
suatu hubungan dan menimbang apakah diagnosis disfungsi seksual yang relevan
terhadap masalah hubungan lebih tepat.
1) Gangguan Hasrat, Minat, dan Gairah
 Gangguan Hasrat Seksual Hipoaktif pada Laki-Laki
Gangguan ini dikarakteristikkan oleh defisiensi atau tidak adanya
fantasi seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual untuk
durasi minimal 6 bulan. Dimana kondisi ini berlangsung seumur hidup dan
tidak pernah mengalami pemikiran seksual atau erotis. Pemikiran seksual
spontan atau hasrat seksual yang minimal sebelum pengalaman seksual
tidak dianggap gangguan yang dapat didiagnosis pada wanita, terutama jika
hasrat dipicu selama hubungan seksual. Prevalensi rendanya hasrat ini
paling banyak pada usia lebih muda atau lebih tua pada ujung usia, dengan
2% laki-laki berusia 16 hingga 44 tahun yang terkena gangguan ini.
Dilaporkan 6% laki-laki berusia 18 hingga 24 tahun, dan 40% laki-laki
berusia 66 hingga 74 tahun, memiliki masalah dengan hasrat seksual.
Beberapa laki-laki mungkin mengacaukan dengan penurunan gairah saat
aktivitas seksual. Pikiran dan fantasi erotis tetap ada, namun tidak lagi
bertindak akibat masalah kesehatan, tidak adanya pasangan, atau disfungsi
seksual lain seperti gangguan ereksi.
A. Defisiensi (atau absensi) pemikiran atau fantasi seksual atau erotis dan
hasrat untuk melakukan aktivitas seksual secara persisten atau rekuren.
Penilaian adanya defisiensi dilakukan oleh klinisi, mempertimbangkan
faktor penyebab yang mempengaruhi fungsi seksual, seperti konteks
usia, umum, dan sosiokultural pada kehidupan individu.
B. Gejala pada kriteria A berlangsung setidaknya selama 6 bulan.

8
C. Gejala pada kriteria A menyebabkan gangguan signifikan secara klinis
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan
mental nonseksual atau sebagai konsekuensi dari gangguan hubungan
berat atau masalah pasangan dan tidak berhubungan dengan efek suatu
zat atau obat atau kondisi medis lainnya.
Spesifikasi diantaranya:
Lifelong: gangguan telah terjadi sejak individu aktif secara seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual normal yang
relatif.
Spesifisitas diantaranya
Menyeluruh: tidak terbatas terhadap tipe stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situasional: hanya pada stimulasi, situasi, atau pasangan tertentu.
Derajat Keparahan:
Ringan: adanya bukti distres ringan terhadap gejala pada kriteria A.
Sedang: adanya bukti distres sedang terhadap gejala pada kriteria A.
Berat: adanya bukti distres berat hingga ekstrim terhadap gejala pada
kriteria A.
Berbagai faktor penyebab dapat berhubungan dengan nafsu seksual
yang rendah. Pasien dengan masalah hasrat sering menggunakan inhibisi
terhadap hasrat secara defensif, untuk pertahanan terhadap ketakutan yang
tidak disadari tentang seks. Sigmund Freud menghubungkan hasrat seksual
yang rendah sebagai hasil dari inhibisi ketika perkembangan fase
psikoseksual phallic dan konflik oedipus yang tidak terselesaikan. Beberapa
laki-laki, terpaku terhadap perkembangan masa phallic, memiliki ketakutan
akan vagina dan mempercayai bahwa mereka akan dikebiri apabila
mendekatinya. Freud menamakan konsep ini vagina dentata, ia kemudian
menganalisa bahwa laki-laki menhindari kontak dengan vagina ketika
mereka secara tidak sadar mempercayai bahwa vagina mempunyai gigi.

9
Kehilangan hasrat dapat juga terjadi akibat stres kronik, kecemasan, atau
depresi.
Penahanan nafsu terhadap seks utnuk jangka waktu lama kadang
menyebabkan supresi terhadap impuls seksual. Kehilangan hasrat dapat
juga merupakan ekspresi kebencian terhadap pasangan atau tanda
memburuknya hubungan. Adanya nafsu tergantung dari berbagai faktor,
yaitu faktor biologis, harga diri yang baik, kemampuan untuk menerima diri
sebagai makhluk seksual, ketersediaan pasangan yang tepat, dan hubungan
yang baik dalam area nonseksual dengan pasangan. Kerusakan, atau tidak
adanya, faktor-faktor tersebut dapat menurunkan hasrat.
Dalam diagnosis, klinisi harus mengevaluasi usia, kesehatan secara
umum, adanya penggunaan obat-obatan, dan stres kehidupan pasien. Klinisi
harus dapat menetapkan kapan gangguan mulai terjadi. Kebutuhan kontak
seksual dan kepuasan bervariasi terhadap seseorang dan dari waktu ke
waktu.

 Gangguan Nafsu atau Hasrat Seksual pada Wanita


Kombinasi dari keinginan dan hasrat ke dalam satu kategori disfungsi
mencerminkan bahwa wanita tidak perlu bergerak selangkah demi
selangkah dari nafsu dan hasrat, namun kadang mengalami nafsu yang
dengan atau bahkan diikuti dimulainya perasaan gairah. Hal ini terjadi pada
wanita dengan hubungan jangka panjang. Sebagai hal yang wajar, wanita
merasakan disfungsi seksual dapat mengalami ketidakmampuan untuk
merasakan keinginan atau hasrat, kesulitan untuk mencapai orgasme, atau
merasakan nyeri. Beberapa dapat merasakan disfungsi terhadap seluruh
respon atau kesenangan seksual. Keluhan pada kategori ini bervariasi
sebagai penurunan atau pengurangan perasaan, pemikiran, atau fantasi
erotis, penurunan impuls untuk memulai seks, penurunan atau tidak adanya
penerimaan terhadap penawaran pasangan, atau ketidakmampuan untuk
merespon stimulasi pasangan.

10
A. Kekurangan, atau penurunan signifikan, minat atau hasrat seksual,
sebagai manifestasi oleh setidaknya tiga berikut ini:
1. Penurunan atau tidak adanya ketertarikan terhadap aktivitas seksual.
2. Penurunan atau tidak adanya pemikiran atau fantasi seksual atau
erotis.
3. Penurunan atau tidak adanya inisiasi untuk melakukan aktivitas
seksual, dan khususnya tidak menerima tawaran pasangan untuk
memulai aktivitas seksual.
4. Penurunan atau tidak adanya kepuasan atau kesenangan seksual
ketika aktivitas seksual pada hampir seluruh atau seluruhnya (sekitar
75-100%) aktivitas seksual (pada konteks situasional atau, jika
menyeluruh pada seluruh konteks).
5. Penurunan atau tidak adanya ketertarikan atau gairah seksual
sebagai respon terhadap berbagai isyarat internal atau eksternal
(misal tulisan, verbal, visual).
6. Penurunan atau tidak adanya sensasi kelamin atau nonkelamin
ketika aktivitas seksual pada hampir seluruh atau seluruhnya (sekitar
75-100%) aktivitas seksual (pada konteks situasional atau, jika
menyeluruh pada seluruh konteks).
B. Gejala pada kriteria A berlangsung setidaknya selama 6 bulan.
C. Gejala pada kriteria A menyebabkan gangguan signifikan secara klinis
pada individu.
D. Disfungsi seksual tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan
mental nonseksual atau sebagai konsekuensi dari gangguan hubungan
berat atau masalah pasangan dan tidak berhubungan dengan efek suatu
zat atau obat atau kondisi medis lainnya.
Spesifikasi diantaranya:
Lifelong: gangguan telah terjadi sejak individu aktif secara seksual.
Acquired: gangguan dimulai setelah periode fungsi seksual normal yang
relatif.
Spesifisitas diantaranya

11
Menyeluruh: tidak terbatas terhadap tipe stimulasi, situasi, atau pasangan
tertentu.
Situasional: hanya pada stimulasi, situasi, atau pasangan tertentu.
Derajat Keparahan:
Ringan: adanya bukti distres ringan terhadap gejala pada kriteria A.
Sedang: adanya bukti distres sedang terhadap gejala pada kriteria A.
Berat: adanya bukti distres berat hingga ekstrim terhadap gejala pada
kriteria A.
Faktor penyulit pada diagnosis ini adalah rasa subjektif dari gairah
sering tidak terlalu berhubungan dengan lubrikasi genital bahkan ketika
kongesti dan lubrikasi vagina telah dilakukan. Wanita akan mengeluh
pengurangan gairah dapat melakukan lubrikasi pada vagina, namun tidak
dapat mengalami rasa subjektif dari kesenangan. Studi psikologis dari
disfungsi seksual ini menunjukkan bahwa pola hormon dapat berkaitan
terhadap respon wanita yang memiliki disfungsi gairah. William Masters
dan Virginia Johnson menemukan bahwa wanita umumnya ingin
melakukan seks sebelum onset menstruasi. Selain itu perasaan kesenangan
seksual terbaik langsung sesudah mentruasi atau saat ovulasi. Perubahan
terhadap kadar testosteron, estrogen, prolaktin, dan tiroksin dapat
berpengaruh pada gangguan gairah seksual pada wanita. Sebagai tambahan,
pengobatan dengan antihistamin atau antikolinergik dapat menyebabkan
penurunan pada lubrikasi vagina.
Faktor seperti stres kehidupan, penuaan, menopause, stimulasi
seksual yang adekuat, kesehatan secara umum, dan penggunaan pengobatan
harus dievaluasi sebelum mendiagnosis. Masalah hubungan secara umum
berhubungan terhadap gangguan gairah atau minat yang didapat. Pada suatu
studi didapatkan bahwa penurunan interaksi seksual paling sering terjadi
akibat perkawinan.

 Gangguan Ereksi

12
Gangguan ereksi dinamakan impoten, namun sebutan ini lebih
mengarah terhadap kondisi medis, namun

13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

2) sdnkfndsk

3) p

26
BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

27

Anda mungkin juga menyukai