Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tinjauan Teori
1.1 Pengertian
Trauma abdomen merupakan suatu kondisi yang sulit untuk di evaluasi walau dirumah sakit
sekalipun, lebih – lebih bila dilapangan. Trauma tembus abdomen sudah pasti memerlukan
tindakan pembedahan. Trauma tembus abdomen mempunyai ancaman jiwa yang sama yaitu
perdarahan dan infeksi (Donna, 2014 ; 83).
Trauma abdomen adalah cidera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2002).
1.2 Etiologi
1
b. Luka tusuk abdomen
Luka tusuk abdomen angka kematian relatif rendah (1-2%) kecuali bila tusuk tepat
mengenai pembuluh darah besar atau organ seperti hati atau limfa. Penderita luka
tusuk mula-mula tak menunjukkan gejala klinis ditempat kejadian. Walaupun
demikian ada kemungkinan penderita akan menunjukkan peritonitis setelah beberapa
jam kemudian. Luka tembus abdomen memerlukan evaluasi yang hati-hati di rumah
sakit. Harus di ingat selalu bahwa jalur dari luka tembus tak selalu lurus dengan luka
dikulit. Luka didada dapat mengenai organ abdomen, begitu pula sebaliknya. Jalur
dapat melalui banyak struktur pada region tubuh yang berbeda. Pada fase pra Rumah
Sakit, harus diingat adanya pendarahan intra abdominal yang menyebabkan syok
akibat pendarahan (Donna, 2014 ; 85-86).
c. Kecelakaan motor
d. Jatuh
e. Pukulan (smeltzer, 2000: 2476)
1.3 Klasifikasi
1.3.1 Trauma Lambung
Cedera pada lambung relative jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh trauma
tembus, terutama penusukan. Cedera akibat trauma tumpul biasanya meningkat secara
mendadak tekanan intraabdomen. Lambung juga dapat mengalami cedera ketika terjadi
laserasi diagfragma dan lambung megalami herniasi melalui robekan tersebut. Iritasi
kimia akibat kebocoran asam lambung menyebakan nyeri abdomen dan peritonitis.
Cedera vascular pada arteri lambung dapat terjadi, terutama pada cedera tembus (Donna,
2014: 316)
2
dengan 30% curah jantung disimpan dalam hati pada waktu tertentu, menyebabkan
terbentuknya koam besar darah untuk perdarahan. Cedera dapat terjadi akibat benturan
langsung, perlambatan cepat atau cedera tembus. Kandung empedu juga rentang terhadap
efek ledakan dan luka tembak atau perangkat ledakan. Kandung empedu adalah organ
yang berisi cairan yang berespon terhadap gelombang tekanan ( Donna, 2014: 322)
3
belakang lumbal dengan atau tanpa cedera tulang belakang dapat berkaitan dengan cedera
sabuk pengaman dan hiperfleksi abdomen.
Cedera tembus, terutama luka tembak dapat menyebabkan perforasi atau cedera
serosal disatu tempat atau lebih. Efek ledakan dari luka tembak dapat mengakibatkan
memar pada daerah terpisah dari perforasi. Cedera duodenum dapat berkaitan dengan
cedera pancreas, saluran empedu, dan robekan vena cava termaksud saluran pancreas.
Cedera jejunum paling sering terjadi pada umbilicus ( Donna, 2014: 317)
4
penurunan hematokrit, abnormalitas masa protombin(PT) dan massa tromboplastin
parsial (PTT) (Donna, 2014 : 322).
3. Trauma ginjal
Tanda dan gejala jika ada terdiri atas hematuria, nyeri, hematuri makroskopik,
atau ekimosis di atas pinggang. Karena perdarahan terjadi di retroperitoneum, dapat sulit
untuk di deteksi.
4. Trauma limpa
Nyeri tekan/nyeri pada kuadran kiri atas , nyeri alihan ke bahu kiri, terutama
ketika terlentang, kekakuan, distensi, guarding, nyeri tekan, Hipotensi, penurunan
hematokrit, bunyi tumpul pada perkusi diatas kuadran kiri atas (Donna, 2014:326)
a. Kesulitan berkemih
b. Hematuria
c. Sistogram (CT sistogram)-ekstravasi positif (Nayduch,2014: 334)
5
8. Trauma pankreas
Nyeri abdomen yang menyebar, menjalar sampai kepunggung, iritasi peritoneal, distensi,
bising usus, bising usus menurun atau tidak ada, amylase yang terus meningkat,
peningkatan lipase (lebih spesifik) (Donna, 2014:329)
1.5 Patofisiologi
Trauma pada abdomen dibagi menajdi trauma tumpul dan tembus. Trauma
tumpul abdomen disebabkan konfresi dan deselerasi. Kompresi rongga abdomen oleh
benda-benda terfiksasi, seperti sabuk pengaman atau setir kemudi akan meningkatkan
tekanan intraluminal dengan cepat, sehingga mungkin menyebabkan ruktur usus atau
pendarahan organ padat. Gaya deselerasi( perlambatan) akan menyebabkan tarikan atau
renggangan antara struktur yang terfiksasi dan yang dapat bergerak. Deselerasi dapat
menyebabkan trauma pada mesenterium, pembuluh darah besar, atau kapsul organ padat,
seperti ligamentum teres pada hati. Organ padat, seperti limfa dan hati merupakan jenis
organ yang sering mengalami terluka setelah trauma tumpul abdomen terjadi.
Trauma tumpul pada abdomen juga disebbkan oleh penguntingan, penghancuran
atau kuatnya tekanan yang menyebabkan rupture pada usus atau struktur abdomen yang
lain. Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan pada setiap struktur didalam abdomen.
Tembakan menyebabkan perforasi pada perut atau usus yang menyebabkan peritonitis
dan sepsis.
1. CT Scan
CT Scan lebih spesifik, tetapi kurang sensitive dibanding DPL. Biasanya, baik media
kontras oral dan IV diberikan untuk menegaskan spesifitas pemeriksaan. CT Scan
memberikan informasi yang berhubungan dengan cedera organ spesifik dan luasnya serta
memberi informasi yang berhubungan dengan pelvis dan retroperitoneum. Bila CT Scan
menunjukkan cairan bebas, DPL dapat dilakukan untuk mengevaluasi sifat cairan.
Keuntungan CT Scan versus DPL harus dipertimbangkan dengan cermat agar dapat member
perawatan optimal bagi pasien cedera. Bahkan pasien dengan stabilitas hemodinamik, tetapi
dengan pemeriksaan abdomen inpresif menunjukkan tanda peritoneal mungkin dicalonkan
6
untuk DPL. Pertimbangan lainnya adalah ketersediaan sumber di fasilitas dan waktu yang
diperlukan untuk menjalankan sumber-sumber ini bagi pasien, sebagai ganti memindahkan
pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi. Keputusan ini harus dibuat secara kolabolatif
dengan dokter yang bertanggung jawab, dokte yang menerima, dan perawat yang
bertanggung jawab, dokter yang menerima, dan perawat yang bertanggung jawab
berdasarkan kondisi pasien dan fasilitas dengan sumber yang tersedia yang paling cocok
untuk kebutuhan pasien (Pamela, 2010 : 751-753)
1.6 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan kedaruratan trauma tajam:
1. Berikan posisi Trendelenburg, dengan menengadahkan kaki lebih tinggi dari pada kepala
2. Untuk memperbaiki sirkulasi berikan infus ringer laktat isotonis dengan pemberian
hionatremik, hipovolemia atau alkalosis metabolik
3. Pemberian resusitasi cairan pada syok hipovolemik berupa cairan kristaloid, keuntungan
cairan tersebut antara lain tidak menyebabkan reaksi alergi.
7
4. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan; gerakan dapat menyebabkan
fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi massif.
a. Pastikan kepatenan jalan nafas dan kestabilan pernapasan serta system syaraf
b. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar X leher didapatkan
c. Gunting baju dari luka
d. Hitung jumlah luka
e. Tentukan lokasi masuk dan keluar
5. Control perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan dilakukan
a. Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada
b. Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki
dinamika sirkulasi
c. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfuse; ini sering
merupakan tanda adanya perdarahan internal
d. Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
6. Aspirasi lambung dengan selang nasigastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka
lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritoneum, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
7. Tutup visera abdomen tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutab
salin basah untuk menvcegah kekeringan visera.
a. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protuksi lanjut
b. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltic dan muntah
8. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan
pantau haluaran urin
9. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital , haluaran urine, pembacaan
tekanan vena sentral pasien ( bila diindikasikan), nilai hematokrit dan status neurologic\
10. Siapakan untuk parasentesis atau lavase peritoneum ketika terdapat ketidak pastian
mengenai perdarahan intraperitonium.
11. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritoneum pada kasus
luka tusuk
a. Jahitan dilakukan disekeliling luka
b. Kateter kecil dimasukan kedalam luka
8
c. Agens kontras dimasukan melalaui kateter ; sinar X menunjukan apakah penetrasi
peritonium telah dilakukan
d. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan
12. Berikan antibiotic spektrum luas sampai ketentuan untuk mencegah infeksi. Trauma
dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, but akteri eksogen
dari lingkungan pada waktu cedera dan maneuver diagnostic dan terapeutik (infeksi
nosokomial)
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah,
adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi , atau hematuria.
(Brunner & suddarth, 2001: 2476)
9
- Tekan daerah nyeri , tekan maksimal (minta pasien menunjuk daerah luka)
- Angkat jari dengan cepat: nyeri pada daerah yang dicurigai menandakan iritasi
peritoneum.
g) Observasi pada peningkatan distensi abdomen. Ukur lingkar abdomen setinggi umbilicus
pada saat masuk; ini bertindak sebagai data dasar di mana adanya perubahan dapat
ditentukan.
h) Tanya tentang nyeri yang menyebar. Ini membantu dalam mendeteksi cedera
intraperitonium. Nyeri pada bahu kiri dapat dialami pada pasien yang mengalami
perdarahan karena rupture limpa; nyeri pada bahu kanan dapat diakibatkan laserasi hati.
i) Auskultasi bising usus (bising usus menghilang menyertai iritasi peritonium)
j) Catat hilangnya bunyi pekak diatas rongga padat (hati atau limpa), yang menandakan
adanya udara bebas. (bunyi pekak diatas region normal mengandung gas) menunjuk
adanya gas.
3. Bantu periksa rectal atau vagina untuk diagnosis cedera pada pelvis, kandung kemih dan
dinding usus.
4. Pantau tanda vital dengan sering dan hati-hati. Ini dapat menunjukan tanda perdarahan
intraabdomen.
5. Siapkan pasien untuk prosedur diagnostic
a. Pemeriksaan Labiratorium meliputi:
1. Urinalisis: sebagai pedoman untuk kemungkinan infeksi saluran urinari (hematuria)
2. Seri kadar hematokrit: cenderung menggambarkan ada atau tidaknya perdarahan.
3. Hitung darah lengkap (HDL): jumlah sel darah putih meningkat pada trauma adalah
umum.
4. Penentuan amilase serum: peningkatan kadar menandakan cedera ankreas atau
perforasi sauran gastrointestinal.
b. Pemeriksaan sinar x:
1. Pemindaian tomografi komputer (CT): memungkinkan evaluasi detil tentang isi
abdomen dan pemeriksaan retroperitoneal.
2. Sinar x dada dan abdomen: menunjukkan udara bebas dibawah diafragma, yang
menunjukkan ruptur viskus berongga (organ interior besar)
10
6. Siapkan lavase peritoneum diagnostic untuk menguji perdarahan intraperitonial; laserasi atau
perdarahan didiagnosa dengan pemeriksaan lengkap dan mikroskopi terhadap aliran balik
cairan setelah lavase peritoneum.
7. Bantu pemasangan selang nasogastrik untuk kmencegah muntah dan aspirasi. Ini juga
membantu dalam membuang cairan dan udara dari saluran gastrointestinal.
(Brunner&suddarth, 2001: 2476)
1.7 Komplikasi
1. Trauma hati
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera hati adalah abses hati atau perihepatik,
sumbatan atau kebocoran kandung empedu, sepsis, ARDS, dan KID (Morton, 2011: 526).
2. Trauma Ginjal
Komplikasi utama terdiri atas thrombosis arteri dan vena dan gagal ginjal akut.
Komplikasi lain mencakup perdarahan, abses perinefrik, pembentukan fistula urinarius, dan
awitan lambat hipertensi (Morton, 2011: 527).
3. Trauma kandung kemih
Komplikasi jarang terjadi namun infeksi akibat kateter urine atau sepsis akibat
perembesan urine yang terinfeksi dapat terjadi. Pasien dapat mengeluh tidak dapat berkemih
atau mengalami nyeri bahu (disebabkan oleh perembesan urine ke dalam ruang peritoneum)
(Morton, 2011: 527).
4. Trauma lambung atau usus halus
Intoleransi terhadap pemberian makan lewat selang, Peritonitis, Perdarahan pasca
pembedahan, Hipovolemia, Pembentukan vistula atau obstuksi
11
Kolon transversal rentan terhadap cedera tembus karena lokasinya yang menonjol.
Cedera pada kolon menyebabkan kontaminasi fekal yang signifikan dan selanjutnya terjadi
sepsis, yang menyebabkan cedera mematikan jika dibiarkan tanpa disadari (Nayduch,2014:
319).
12
Bab 2
2.1 Pengkajian
1) Identitas
Trauma adalah penyebab utama kematian selama 4 dekade pertama kehidupan meskipun
secara historis orang muda yang menjadi pasien trauma, trauma adalah masalah yang banyak
terjadi pada populasi geriatrik mekanisme cidera berbeda pada usia ini. Pasien yang lebih
muda sering terlibat dalam kecelakaan bermotor (pengemudi, penumpang, dan pejalan kaki
atau pengendara sepeda) atau kekerasan. Jatuh adalah penyebab utama cedera pada populasi
geriatric (Pamela, 2010: 725).
2) Keluhan Utama
Adanya darah dan cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri
tekan, nyeri ketok, dan nyeri lepas, dan kekakuan dinding perut. Biasanya bising usus lemah
atau menghilang (Mansjoer, 2000 : 303).
13
2. Aktivitas dan istirahat
Kelemhan, lelah
3. Eliminasi
Pasien trauma abdominal mengalami konstipasi, atau diare. Hematuria tidak terjadi
pada semua pasien dengan cedera hginjal. Selain itu, tingkat hematuria tidak
berhubungan dengan tingkat cedar, namun adanya hematuria berhubungan dengan
kecenderungan adanya cedera intra-abdomen lainnya,kesulitan berkemih (Nayduch,
2014: 333; Doenges, 2010: 307).
4. Hygine Personal
Pasien trauma abdominal tidak mampu melakukan hygine personalya sehingga perlu
bantuan keluarga dan perawat
6) Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breath)
Dipsneu, takipneu, pernapasan cuping hidung
2. B2(Blood)
Hipotensi, membrane mukosa kering, takikardi,CRT >2 detik (Talbot, 1997:179,177)
3. B3(Brain)
Penurunan tingkat kesadaran, nyeri tekan (Morton, 2011 :318)
4. B4(Blader)
Hematuri, penurunan frekuensi berkemih (Morton, 2011 :331)
5. B5(Bowel)
Bising usus biasanya melemah atau hilang, terjadi peningkatan distensi abdomen, muntah
darah, mual muntah, adanya luka (tusuk, bacok, dll) pada area perut yang terjadi pada
trauma tajam dan memar pada trauma tumpul (Morton, 2011 :318)
6. B6(Bone)
Terdapat luka memar pada abdomen atau bekas tusukan, kekakuan otot, kulit pucat
(Talbot, 1997:178)
14
2.2 Diagnosa, Intervensi dan Rasional Keperawatan
Intervensi :
15
R/ penurunan perfusi sistemik dapat menyebabkan iskemia ginjal dan kegagalan.
dimanifestasikan oleh urin menurun. nekrosis tubular akut (ATN) dapat berkembang jika
negara hipovolemik berkepanjangan
6. Perhatikan laporan sakit perut, terutama yang tiba-tiba, sakit parah atau sakit yang
menjalar ke bahu
R/ rasa sakit yang disebabkan oleh luka lambung sering setelah perdarahan akut karena
penyangga efek darah. nyeri tiba-tiba mungkin mencerminkan iskemia karena
vasokonstriksi , perdarahan ke saluran empedu (hematobilia), atau perforasi dengan
timbulnya peritonitis
7. Memonitor GDA dan pulse oximetry. memberikan oksigen tambahan, jika diindikasikan.
mengelola cairan IV
R/ mengidentifikasi hipoksemia dan efektivitas untuk terapi. tanda hipoksemia dan
asidosis selama perdarahan akut. mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi.
pedoman untuk penggantian cairan adalah 3 mL cairan untuk setiap 1 mL darah yang
hilang.
Intervensi :
1. Perhatikan laporan nyeri, termasuk lokasi, durasi, dan intensitas (skala 0-10)
R/ nyeri tidak selalu hadir, tetapi jika ada, harus dibandingkan dengan gejala nyeri klien
sebelumnya. perbandingan ini dapat membantu dalam diagnosis etiologi perdarahan dan
pengembangan komplikasi
16
2. Kaji faktor-faktor yang memperburuk atau mengurangi rasa sakit
R/ isyarat nonverbal mungkin baik fisiologis dan psikologis dan dapat digunakan
bersama dengan petunjuk verbal sampai batas evalue dan keparahan masalah
Kolaborasi
R/ membantu menghilangkan rasa sakit akut atau parah. morfin juga mengurangi
aktivitas peristaltik.
Tujuan: tidak terjadinya infeksi pada luka tusukan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil :
Intervensi
1. Gunakan tehnik asepsis yang ketat ketika memasang kateter, penghisapan, pemberian
obat parentelar, atau melakukan prosedur invasive lainnya.
17
R/ penggunaan tehnik asepsis selama prosedur invasif menurunkan resiko masuknya
organisme.
R/ perubahan posisi, batuk , dan nafas dalam dapat mengurangi resiko komplikasi pada
integument dan pernafasan.
R/ Tanda- tanda vital sebagian besar suhu badan meningkat mengindikasikan adanya
infeksi
4. Observasi luka yaitu bau, kemerahan, panas, bengkak, dan drainase yang banyak atau
drainase purulen
5. Kaji status imunisasi dan berikan toksoid tetanus atau human toxin antitoxin (TAT)
sesuai dengan yang diresepkan
R/ tetanus yang disebabkan oleh etotoxin dihasilkan oleh clostridium tetani, biasanya
masuk melalui luka terbuka.
R/ hygine tangan tetap menjadi faktor yang paling penting dalam mencegah penyebaran
infeksi.
7. Gunakan tindakan pencegahan standard an tehnik aseptic yang tepat ketika merawat luka
R/ tindakan pencegahan standar sangat penting untuk melindungi pasien dan perawat dari
infeksi
R / cairan yang adekuat, kalori, dan protein penting untuk penyembuhan luka sehingga
resiko infeksi dapat di minimalkan.
18
(Priscilla, 2015 : 309)
Intervensi :
1. Pertahankan keseimbangan intake dan outpun cairan
2. Pasang kateter urine untuk memantau output cairan
3. Monitoring status hidrasi( kelembapan membrane mukosa, keadekuatan pulsasi dan
tekanan darah.
4. Monitoring tanda-tanda vital
R/ untuk mengidentifikasi deficit cairan
5. Monitoring status nutrisi
6. Monitor ketat intake dan output cairan
7. Observasi terjadinya dehidrasi(Turgor kulit, CRT, kelembapan membrane mukosa dan
outpun urine)
8. Rencanakan pemberian cairan parenteral isotonic untuk rehidrasi extra seluler
R/ untuk mengidentifikasi perdarahan
9. Rencanakan pemberian cairan hipotonis untuk rehidrasi intraseluler
19
- Klien tidak mengunakan otot bantu nafas, cuping hidung
Intervensi :
1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya ketidakefektifan pola
nafas
R/ ketidakefektifan pola naafs terjadi karena distensi abdomen yang menekan
diagfragma sehingga extansi toraks tidak maksimal
2. Ajarkan klien nafas dalam
R/ untuk meningkatkan kenyamanan
3. Berikan posisi semi fowler( jika ada kontraindikasi)
R/ untuk meningkatkan expansi dinding dada
4. Kalaborasi dengan dokter dalam pemberian O2
R/ untuk memenuhi kebutuhan oksigen, untuk membantu pernafasan adekuat, Bantu
intubasi jika pernafasan semakin memburuk dan siapkan pemasangan ventilator
sesuai indikasi
5. Observasi pernafasan, nafas cuping hidung, dan penggunaan otot bantu nafas
R/ untuk mengetahui derajat gangguan yang terjadi dan untuk menentukan intervensi
6. Observasi adanya sesak atau dipnue
R/ untuk mengetahui keadaan pernafasan pasien
Intervensi :
1. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
R/ keletihan dapat menurunkan nafsu makan.
2. Awasi pemasukan jumlah kalori, tawarkan makanan sedikit tapi sering
20
R/ adanya trauma abdomen dapat menekan saluran gastrointestinal dan menurunkan
kapasitasnya
3. Pastikan kepatenan dari pipa nasogatrik atau intestinal,
R/ mempertahankan dekompresi dan mendorong penyembuhan dan mengembalikan
fungsi usus besar
4. Kalaborasikan dengan dokter, ahli diet, dan ahli farmasi
R/ memperkirakan kebutuhan metabolisme pasien pada dasar jenis cedera, tingkat
aktifitas
5. Observasi timbangan BB pasien
R/ mengevaluasi kecenderungan penurunan berat badan pada pasien
Intervensi:
1. Monitor tanggapan pysiological, seperti takipnea, palpitasi, pusing, sakit kepala, sensasi
kesemutan, dan isyarat perilaku, seperti kegelisahan atau perilaku menyerang.
21
3. Mengakui bahwa ini adalah situasi yang menakutkan dan bahwa orang lain telah
menyatakan kekhawatiran yang sama
R/ ketika klien mengekspresikan ketakutan sendiri, validasi bahwa perasaan ini adalah
normal dapat membantu klien untuk merasa kurang terisolasi.
4. memberikan informasi yang akurat, informasi konkret tentang apa yang sedang
dilakukan, termasuk sensasi yang diharapkan dan prosedur yang biasa dilakukan
5. Memberikan kesempatan yang signifikan bagi yang lain untuk mengekspresikan perasaan
dan kekhawatirannya. mendorong kepentingan lainnya untuk proyek positif, sikap
realistis.
R/ membantu kepentingan lainnya untuk menangani kecemasan sendiri dan rasa takut
mati dapat ditularkan ke Klien mempromosikan sikap mendukung yang dapat
memfasilitasi pemulihan.
R/ Memindahkan klein dari stres luardan memberikan efek relaksasi yang dapat
meningkatkan keterampilan koping
R/ obat penenang dan zat anti ansietas dapat digunakan kesempatan untuk mengurangi
kecemasan dan promotor istirahat, terutama pada klien dengan an ulcer.
8. Membantu klien mengidentifikasi dan memulai perilaku koping positif digunakan dengan
sukses di masa lalu
R/ perilaku sukses dapat dibina dalam menangani ketakutan saat ini, meningkatkan rasa
klien kontrol diri dan memberikan jaminan.
22
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Trauma abdomen merupakan suatu kondisi yang sulit untuk di evaluasi walau
dirumah sakit sekalipun, lebih – lebih bila dilapangan. Trauma tembus abdomen sudah
pasti memerlukan tindakan pembedahan. Trauma tembus abdomen mempunyai ancaman
jiwa yang sama yaitu perdarahan dan infeksi (Donna, 2014 ; 83). Trauma abdomen dibagi
menjadi trauma tumpul dan trauma tajam, kecelakaan motor, jatuh dan pukulan. Tanda
dan gejala trauma abdomen itu sendiri berbeda di lihat dari lokasi mana yang terkena
cedera.
23