Disusun oleh:
Kelompok A9
Tutor: dr. Mutiara Budi Azhar.SU.M.Med, Sc
Anggota:
Lathifah Nadiah 04011281520147
Rizki fadillah 04011181520076
Aulia Syukraini 04011181520066
Karina Bella 04011181520074
Ine Santia 04011281520122
Ahadi Aulia Rahman 04011281520148
Neubrina Raseuky.S 04011181520079
Fatimah Azzahra 04011181520179
Ezra Reinhard 04011281520153
Rizka Aulia 04011181520075
Zaimah Shalsabilla 04011181520071
Melina Indah Sari 04011181520025
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario A Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Hana Marsinta Uli,
Sp.Rad. yang telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil
tutorial dan telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan
masalah skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Kelompok 9
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SKENARIO
Yudi, anak laki-laki 2 tahun, BB 12 kg. TB 87 cm dibawa ibunya ke UGD RSMH
karena mengalami kesulitan bernafas. Tiga hari sebelumnya, Yudi menderita panas tidak
tinggi disertai batuk pilek. Batuk terdengar kasar, seperti anjing menyalak.
Pada penilaian umum terlihat :
Anak sadar, menangis terus dengan suara sekali sekali terdengar parau. Masih bisa
ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu anak hendak diperiksa anak berontak dan langsung
menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak
motled. Nafas terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas. Terdengar stridor inspirasi.
Kemudian dokter melakukan survey primer :
Jalan nafas tidak terlihat lendir maupun benda asing, tonsil T1/T1 dan farinx dalam
batas normal. Respiratory Rate: 45 kali/menit. Nafas cuping hidung (+) gerakan dnding
dada simetris kiri dan kanan, tampak retraksi supra sternal dan sela iga. Suara nafas
vesikuler. Tidak terdengar ronkhi. Tidak terdengar wheezing. SpO2 95%. Bunyi jantung
dalam batas normal, bising jantung tidak terdengar. Nadi brachialis kuat, nadi radialis
kuat, laju nadi 135 kali/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, capillary refill time
kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan kelainan pada survey Disability
Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak
menolak, menghindar serta berontak.
5
2.2 KLARIFIKASI ISTILAH
NO. ISTILAH KLARIFIKASI
Panas
1 tidak tinggi Atau low grade fever, didefinisikan sebagai
1. temperature tubuh yang sedikit meningkat diantara
37,50C-38,3 0C melalui pengukuran oral yang
bertahan selama atau lebih dari 24 jam.
(healthline.com)
Barking
2 cough A brassy and harsh cough that indicates edema of the
2. larynx and surrounding tissue which can rapidly lead
to airway occlusion (portable sign and symptoms)
Parau
3 Hoarseness is a symptoms not a disease as general
3. term get describes abnormal voice changes. When
hoarse, the voice may sounds breathing raspy,
strained, or there maybe changes in volume or pitch
(my.clevelandclinic.org)
Sianosis
4 Perubahan warna kebiruan atau keunguan pada kulit
4. karena kekurangan oksigen dalam darah (Merriam-
webster)
Stridor
5 inspirasi Bunyi kasar saat inspirasi karena penyempitan
5. saluran udara pada orofaring, subglotis, atau trakea.
Jika sumbatan berat, stridor juga bisa terjadi saat
ekspirasi. Penyebab utam stridor yang berat adalah
viral croup, benda asing, akses retrofaringeal, difteri
dan trauma laring. (buku saku pelayanan kesehatan
anak dirumah sakit)
Nafas
6 cuping hidung Pelebaran cuping hidung ketika bernafas dan dapat
6. menjadi tanda kesulitan bernafas, biasanya terjadi
pada anak-anak dan bayi baru lahir (healthline.com)
Suara
7 nafas vesikuler Vesicular breath sounds are soft and low pitched with
7. a rustling quality during inspiration and are even
softer during expiration.(easyauscultation.com)
Ronkhi
8 Suara nafas tambahan bernada rendah sehingga
8. bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy),
terjadi pada saluran nafas besar seperti trakea bagian
bawah dan bronkus utama disebabkan karena udara
melewati penyempitan, dapat terjadi pada saat
inspirasi maupun ekspirasi (respirology EGC)
Wheezing
9 Kesulitan bernafas yang disertai dengan suara seperti
9. siulan (Merriam-webster)
6
SpO2
1 Saturasi dari darah arteri yang beroksigen yang
10. diukur dengan pulse oxymetri memiliki satuan dalam
bentuk persentase (Medicaldictionary.com)
capillary
1 refill time A rapid clinical test for assessing blood flow through
11. peripheral tissues (Segen’s medical dictionary)
7
dnding dada simetris kiri dan kanan, tampak retraksi supra sternal dan sela iga.
Suara nafas vesikuler. Tidak terdengar ronkhi. Tidak terdengar wheezing. SpO2
95%. Bunyi jantung dalam batas normal, bising jantung tidak terdengar. Nadi
brachialis kuat, nadi radialis kuat, laju nadi 135 kali/menit. Kulit berwarna merah
muda, hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan kelainan
pada survey Disability.
5. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak
menolak, menghindar serta berontak.
8
2. Pada penilaian umum terlihat:
Anak sadar, menangis terus dengan suara sekali sekali terdengar parau dan masih bisa
ditenangkan oleh ibunya. Sewaktu hendak diperiksa, anak berontak dan langsung
menangis memeluk ibunya. Bibir dan mukosa anak tidak sianosis, kulit tidak pucat dan
tidak motled. Nafas anak terlihat cepat dengan peningkatan usaha nafas dan terdengar
stridor inspirasi.
a. Mengapa suara Yudi sesekali terdengar parau?
Jawab:
Penderita croup dapat mengalami suara serak (parau) karena terjadi peradangan
difus, eritema, dan edem pada trakhea. Akibat, mobilitas pita suara terganggu.
Disamping itu, area subglotis juga mengalami iritasi.
b. Mengapa terjadi peningkatan usaha nafas dan nafas terlihat cepat?
Jawab:
Peningkatan usaha nafas yang terjadi merupakan betuk kompensasi akibat
munculnya stridor.
c. Mengapa suara nafas Yudi terdengar stridor saat inspirasi?
Jawab:
Penyempitan di daerah area subglotis menyebabkan penyempitan saluran napas.
Inilah yang menjadi penyebab terjadinya turbulensi aliran yang melewati saluran
pernafasan atas. Akibatnya, timbul stidor. Kesulitan bernafas ini akan dikompensasi
oleh anak dengan bernafas lebih cepat dan dalam.
d. Mengapa bibir dan mukosa Yudi tidak sianosis, kulit tidak pucat dan tidak
motled?
Jawab:
Yudi masih memiliki sirkulasi yang baik, aliran darah ke perifer masih cukup. Hal
ini menunjukkan bahwa aliran darah dan perfusi perifer pada Yudi masih adekuat.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada gangguan sirkulasi pada Yudi. Tidak motled
artinya tidak ada spasme pembuluh darah.
9
radialis kuat, laju nadi 135 kali/menit. Kulit berwarna merah muda, hangat, capillary
refill time kurang dari 2 detik. Tidak ditemukan kelainan pada survey disability.
a. Bagaimana melakukan survey primer pada anak?
Jawab :
1) Segitiga penilaian pediatrik (PAT: Pediatric Assessmen Triangle)
a) Penampilan anak
Penampilan anak seringkali merupakan cerminan kecukupan ventilasi
dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain dapat pula
mempengaruhi penampilan anak seperti hipoglikemi, keracunan, infeksi otak,
perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf
pusat.
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘ticles’
meliputi penilaian tonus (T= tone), interaktisi (I= interactiveness),
konsolabilitas (C= consolability), cara melihat (L= look/gaze) dan berbicara
atau menangis (S= speech/cry) (tabel 3).
10
b) Upaya napas
Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi gangguan oksigenasi dan
ventilasi. Karakteristik hal yang dinilai adalah (tabel 4):
Suara napas yang tidak normal
Posisi tubuh yang khas
Retraksi
Cuping hidung
c) Sirkulasi kulit
Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah jantung dan perfusi ke organ
vital. Hal yang dinilai (tabel 5):
Pucat
Mottling
Sianosis
Tabel 3. Penilaian sirkulasi kulit
11
Gawat Napas
Gagal Napas
Syok
Sirkulasi kulit
Sirkulasi kulit N
12
2) Metoda ‘ABCDE’
Teknik ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada anak. Komponen
pemeriksaan:
A= airway
B= breathing
C= circulation
D= disability
E= exposure
Suara napas tidak ada Obstruksi jalan napas Benda asing asthma
dengan upaya napas yang total berat, pneumotoraks,
14
meningkat hemotoraks
Gangguan transmisi suara Efusi pleura, pneumonia,
pneumotoraks
c) Circulation (sirkulasi)
Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung denyut jantung,
perfusi organ dan tekanan darah.
Denyut jantung normal sesuai usia dapat dilihat dalam tabel 8.
Takikardi dapat merupakan tanda awal hipoksia atau perfusi yang buruk.
Namun dapat juga terjadi pada demam, nyeri, ketakutan, dn emosi yang
meningkat. Bradikardi dapat memerikan indikasi hipoksia atau iskemia.
Perfusi organ dapat dinilai dengan menilai denyut nadi perifer,
capillary refill time dan tingkat kesadaran. Produksi urine juga merupakan
indikator yang baik, namun biasanya kurang diperhatikan orang tua.
Perhatikan kualitas nadi. Bila nadi brakial kuat, biasanya anak tidak
mengalami hipotensi. Bila denyut nadi perifer tidak teraba, cobalah meraba
di femoral atau karotis. Tidak adanya denyut nadi sentral merupakan indikasi
untuk segera dilakukan tindakan pijat jantung. Capillary refill time normal
kurang dari 2-3 detik. Namun demikian capillary refill time dipengaruhi juga
oleh faktor lingkungan, misalnya suhu udara yang dingin.
15
Tabel 6. Nilai normal denyut jantung sesuai usia
16
‘Pain’ Nyeri Sesuai Menghindar rangsang
Tidak sesuai Mengeluarkan suara tanpa
tujuan atau dapat melokali-sasi
nyeri
Patologis Posture
‘Unres Tak ada respon yang dapat dilihat terhadap semua rangsang
ponsive’
e) Exposure (paparan)
Untuk melengkapi perlu juga dinilai hal lain yang dapat langsung
terlihat, contoh: ruam akibat morbili, hematoma akibat trauma dsb. Ketika
melakukan pemeriksaan jagalah agar anak (terutama bayi) tidak kedinginan.
Memutuskan untuk tindakan selanjutnya
Setelah melengkapi tahap ‘PAT’ dan ‘ABCDE’, sekaligus resusitasi bila
dibutuhkan, petugas medis harus memutuskan tindakan selanjutnya yang
meliputi:
Meneruskan resusitasi
Melakukan pemeriksaan / pemantauan lebih lanjut
Merujuk
Proses ini amat tergantung pada kemampuan petugas, fasilitas yang ada
dan sistim penanggulangan kegawatan medis setempat. Bila fasilitas terbatas,
lebih baik untuk cepat melakukan rujukan untuk anak berisiko, antara lain:
Cedera berat
17
Riwayat penyakit berat (contoh: serangan asma yang berat yang tidak
memberikan respon adekuat terhadap pengobatan)
Kelainan fisiologi yang terdekteksi pada pengamatan awal
Kelainan anatomis yang dapat memberikan akibat fatal
Nyeri hebat
18
Penilaian:
Status neurologis AVPU
A = Alert (waspada), membuka mata spontan, fungsi motorik dan verbal
baik.
V = Verbal (memberikan reaksi pada suara)
P = Pain (respon dengan rangsangan nyeri)
U = Unconscious (tidak sadar)
4. Dokter jaga memutuskan memberikan O2 dengan sungkup rebreathing, tetapi anak menolak,
menghindar serta berontak.
a. Apa saja indikasi pemberian terapi oksigen pada anak?
Jawab :
Menurut buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, indikasi
pemberian oksigen adalah:
1. Jika tersedia, pemberian oksigen harus dipandu dengan pulse oxymetry.
Berikan oksigen pada anak dengan kadar SaO2 < 90%, dan naikkan pemberian
oksigen untuk mencapai SaO2 hingga > 90%. Jika pulse oxymetry tidak
tersedia, kebutuhan terapi oksigen harus dipandu dengan tanda klinis, yang
tidak begitu tepat.
2. Bila persediaan oksigen terbatas, prioritas harus diberikan untuk anak dengan
pneumonia sangat berat, bronkiolitis, atau serangan asma yang:
Mengalami sianosis sentral, atau
Tidak bisa minum (disebabkan oleh gangguan respiratorik).
3. Jika persediaan oksigen banyak, oksigen harus diberikan pada anak dengan
salah satu tanda berikut:
Tarikan dinding dada bagian bawah yang dalam
Frekuensi napas 70 kali/menit atau lebih
Merintih pada setiap kali bernapas (pada bayi muda)
Anggukan kepala (head nodding).
Menurut American Collage of Chest Physicians and National Heart
Lung and Blood Institute, rekomendasi pemberian terapi oksigen adalah pada
beberapa keadaan sebagai berikut :
Cardiac-respiratory arrest
Hipoksemia (PaO
19
Cardiac-respiratory arrest
Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 90%)
Hipotensi
Curah jantung rendah dan asidosis metabolic
Distress respirasi
b. Apa saja prinsip pemberian terapi oksigen pada anak?
Jawab:
Tujuan dilakukannya terapi oksigen adalah untuk mencapai adekuat oksigenasi
jaringan dengan menggunakan FiO2 sekecil mungkin. Suplementasi oksigen akan
memperbaiki fungsi sel tubuh yang memerlukan oksigen untuk berfungsi secara
normal seperti sistem sitokrom p450, nitric oxide synthase, dan sistem imun. Jika
pasien pediatrik terlihat memerlukan oksigen, maka O2 harus diberikan terlebih
dahulu baru menggali penyebabnya.
FiO2 yang diberikan sebagai terapi tidak boleh melebihi kadar 0,50.
Perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh apabila diberikan >0,50 yaitu kerusakan
epitel kapiler, edema interstisial, penebalan membran kapiler alveolus, kerusakan sel
alveolus, pembentukan eksudat serta terjadinya physiologic shunting. Ada 2 jenis
aliran udara yang digunakan pada terapi oksigen:
1) Low flow
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran
rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal
500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit. Oksigen diberikan
dengan konsentrasi 21-90%. Sistem aliran oksigen adalah dengan nasal
cannula, simple mask, partial rebreather mask, dan nonbreather mask.
2) High flow
Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2
yang lebihtepat dan teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan
ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung
20
akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2
sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan aliran udara
yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 – 14 L/mnt dengan
konsentrasi 30 – 55%.
c. Apakah ada cara lain dalam pemberian terapi oksigen pada kasus ini?
Jawab:
Metode Pemberian Oksigen
Terdapat tiga metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen yaitu
dengan menggunakan nasal prongs, kateter nasal dan kateter nasofaring. Nasal
prongs atau kateter nasal lebih sering dipakai dalam banyak situasi. Nasal
prongs merupakan metode terbaik dalam pemberian oksigen pada bayi muda dan
anak dengan croup yang berat atau pertusis.
Penggunaan kateter nasofaring membutuhkan pemantauan ketat dan reaksi
cepat apabila kateter masuk ke esofagus atau timbul komplikasi lainnya.
Penggunaan sungkup wajah atau headbox tidak direkomendasikan.
21
a) Nasal prongs
Nasal prongs adalah pipa pendek yang dimasukkan ke dalam cuping hidung.
Letakkan nasal prongs tepat ke dalam cuping hidung dan rekatkan dengan
plester di kedua pipi dekat hidung (lihat gambar). Jaga agar cuping hidung anak
bersih dari kotoran hidung/lendir, yang dapat menutup aliran oksigen.
Pasang aliran oksigen sebanyak 1–2 liter/menit (0.5 liter/menit pada bayi
muda) untuk memberikan kadar-oksigen-inspirasi 30–35%. Tidak perlu
pelembapan.
b) Kateter Nasal
Kateter berukuran 6 atau 8 FG yang dimasukkan ke dalam lubang hidung
hingga melewati
bagian belakang rongga hidung. Tempatkan kateter dengan jarak dari sisi
cuping hidung hingga ke bagian tepi dalam dari alis anak.
Pasang aliran oksigen 1–2 liter/menit. Tidak perlu pelembapan.
c) Kateter Nasofaring
Kateter dengan ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan ke dalam faring tepat di bawah
uvula. Letakkan kateter pada jarak dari sisi cuping hidung hingga ke arah
telinga (lihat gambar B). Jika alat ini diletakkan terlalu ke bawah, anak dapat
tersedak, muntah dan kadang-kadang dapat timbul distensi lambung.
Beri aliran sebanyak 1–2 liter/menit, yang memberikan kadar-oksigen
inspirasi 45-60%. Perlu diperhatikan kecepatan aliran tidak berlebih karena
dapat menimbulkan risiko distensi lambung. Perlu dilakukan pelembapan.
22
5.2 KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN
What I don’t What I have How I will
Pokok Bahasan What I Know
know to prove learn
Gejala- gejala Mekanisme
Pengertian Interpretasi
yang dialami gejala
Diagnosis
banding
Algoritma
penegakkan
diagnosis
Epidemiologi
Etiologi dan
faktor resiko Patofisiologi
Croup Definisi
Manifestasi Pencegahan
klinis
Tatalaksana
Journal
Komplikasi
Text book
Prognosis
Pakar
Pemeriksaan
Internet
penunjang
SKDI
Anatomi sistem Nama saluran Saluran pernapasan
Topografi
pernapasan pernapasan atas dan bawah
Diagnosis
banding
Algoritma
penegakkan
Respiratory Mekanisme
diagnosis
Distress Abnormal
Epidemiologi
Etiologi dan
faktor resiko
Manifestasi
23
klinis
Tatalaksana
Komplikasi
Prognosis
Pemeriksaan
penunjang
SKDI
24
a) Trakea
Sebuah tabung kartilaginosa dan membranosa yang dapat bergerak. Dimulai
sebagai lanjutan larynx dari pinggir bawah cartilage cricoidea setinggi corpus
vertebrae cervicalis VI. Trakea berakhir pada carina dengan cara membelah
menjadi bronchus principalis dextra et sinistra. Membrana mucosa trakea dilapisi
oleh epitel silinder bertingkat semu bersilia serta mengandung banyak sel goblet
dan glandula mucosa tubular.
b) Bronkus
Trakea bercabang dua di belakang arcus costae menjadi bronkus principalis
dextra et sinistra. Bronkus principalis dextra meninggalkan trakea dengan
membentuk sudut sebesar 25 derajat dengan garis vertikal. Bronkus principalis
sinistra meninggalkan trakea dengan membentuk sudut 45 derajat dengan garis
vertikal. Bronkus terus menerus bercabang dua sehingga akhirnya membentuk
jutaan bronkiolus terminalis yang berakhir di dalam satu atau lebih bronkiolus
respiratorius. Setiap bronkiolus respiratorius terbagi menjadi 2 sampai 11 duktus
alveolaris yang masuk ke dalam saccus alveolaris. Alveoli timbul dari dinding
sebagai diverticula
Bronchus Principalis Dextra
Bronchus principalis dexter lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal
dari bronchus principalis sinister dan panjangnya lebih kurang 2,5cm. Vena
azygos melengkung di atas pinggir superiornya. Bronchus lobaris superior
25
dimulai sekitar 2cm dari pangkal bronchus principalis di carina. Kemudian
bronchus principalis dexter masuk ke hilus paru-paru kanan, dan bercabang
dua menjadi bronchus lobaris medius dan bronchus lobaris inferior.
Bronchus Principalis Sinistra
Bronchus principalis sinister lebih sempit, lebih panjang dan lebih
horizontal dibandingkan bronchus principalis dexter dan panjangnya lebih
kurang 5cm. Pada waktu masuk ke hilus pulmonalis sinistra, bronkus
principalis sinistra bercabang menjadi bronkus lobaris superior dan bronkus
lobaris inferior.
c) Bronkiolus
Setelah masuk segmenta bronchopulmonalia, setiap bronchus segmentalis
terbagi dua berulang ulang. Pada saat bronchus menjadi lebih kecil, kartilago yang
berbentuk U yang ditemui sejak dari trakea perlahan lahan diganti dengan
lempeng karilago yang lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya. Bronchus yang
paling kecil membelah dua menjadi bronkiolus. Bronkiolus tidak mempunyai
kartilago di dalam dindingnya dan dilapisi oleh epitel silinder bersilia. Lapisan
submukosa mempunyai serabut otot polos melingkar yang utuh. Bronkiolus
kemudian membagi dua menjadi bronkiolus terminalis, yang mempunyai kantong
kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas yang terjadi antara darah dan
udara terjadi pada dinding kantong-kantong tersebut, karena itu dinamakan
bronkiolus respiratorius.
Trakea
26
Trakea merupakan saluran kaku yang menghubungkan laring dengan bronkus pada
paruparu. Trakea terdiri atas tiga lapisan utama, yaitu mukosa, submukosa, dan tulang
rawa hialin.
Mukosa trakea dilapisi oleh epitel selapis silindris semu bersilia dan bersel goblet,
yang terletak pada lamina basal. Epitel trakea terletak diatas jaringan ikat lamina
propria. Permukaan trakea di lapisi oleh silia yang tidak selalu tampak ketika diamati
dengan mikroskop. Lamina propria trakea mengandung serat elastin longitudinal yang
jelas. Lapisan submukosaberada tepat dibawah lamina propria. Submuokosa tersusun
atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak kelenjar campur seromukosa.
Tulang rawan hialin pada trakea berbentuk menyeruapi cincin huruf C. Di antara
ujung tulang rawan hialin terdapat anyaman berkas serat otot polos. Tulang rawan
hialin pada traea disusun oleh sel-sel hialin dan dilapisi perikondrium pada kedua
permukaannya.
27
Paru-paru
28
Bronkiolus (kecil), Bronkiolus Terminalis, dan Bronkiolus Respiratorius. Perbesaran
100x. H&E
.
Bronkiolus Terminalis dengan Lipatan Mukosa. Perbesaran 400x. H&E.
29
Alveolus Paru-paru. Perbesaran 1000x.H&E.
C. Respiratory distress
1. Definisi
Respiratory distress in the newborn is recognized as one or more signs of
increased work of breathing, such as tachypnea, nasal flaring, chest retractions, or
grunting (Reuter, Moser, & Baack, 2014).
2. Karakteristik gangguan pernapasan pada bayi
30
3. Patogenesis
31
1) Respiratory distress syndrome (hyaline membrane disease)
32
Sumber: Adapted with permission, from Wiswell TE, Bent RC.
Meconium staining and the meconium aspiration syndrome. Pediatr Clin
North Am 1993;40:957; and Bacsik RD. Meconium aspiration syndrome.
33
5. Faktor risiko
6. Pemeriksaan laboratorium
34
7. Tatalaksana
35
D. Croup
1. DK
Yudi, anak laki-laki berumur 2 tahun, mengalami kesulitan bernafas disertai
demam tidak tinggi, batuk kasar seperti anjing menyalak, dan pilek disebabkan
croup derajat sedang.
2. DD
36
3. Algoritma Penegakkan Diagnosis
4. Definisi
Croup merupakan penyakit dengan kelainan pada saluran pernafasan bagian atas,
dengan manifestasi klinis berupa sesak nafas, suara serak, batuk menggonggong,
stridor inspirator yang kadang disertai dengan distres pernafasan. (Johnson, 2016)
5. Epidemiologi
Sindrom croup terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi sindrom croup dapat juga terjadi
pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan rasio 3:2. Angka kejadian
meningkat di musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat
terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan
infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada
usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran
respiratori atas. Hampir 15% pasien memiliki riwayat keluarga dengan penyakit
yang sama. Di Indonesia, sekitar 15% anak biasanya berusia antara 6 bulan dan
37
5–6 tahun, akan menderita croup. Croup merupakan sekitar 5% penyebab
perawatan di rumah sakit untuk kelompok usia ini.
6. Etiologi
Croup biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Virus penyebab croup yang paling
sering adalah parainfluenza virus. Virus parainfluenza tersering adalah tipe 1,
sedangkan virus parainfluenza tipe 3 adalah penyebab kedua terbanyak.
7. Faktor Resiko
a. Berat badan lahir rendah (BBLR)
b. Faktor usia: anak berumur kurang dari 2 tahun lebih mudah terserang croup
dikarenakan imunisasi yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relative sempit.
c. Anak dengan defisiensi vitamin A yang dapat menghambat pertumbuhan
balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan.
d. Faktor gizi: malnutrisi
e. Faktor pendidikan ibu rendah
f. Polusi udara
8. Klasifikasi
Kondisi pasien croup bervariasi sesuai dengan derajad distres pernafasan yang
diderita. Berdasarkan derajad kegawatan, Croup dibagi menjadi 4 katagori, yaitu:
ringan, sedang, berat dan gagal nafas mengancam.
a. Ringan
Pada croup derajad ringan, hanya ditemukan adanya batuk keras,
menggonggong yang kadang-kadang muncul. Sebaliknya stridor tidak
38
terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi dengan
dinding dada
b. Sedang
Keluhan berupa batuk menggonggong yang sering timbul. Stridor juga
mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, Sebaliknya,
retaksi dinding dada hanya sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat nafas
(respiratory distress).
c. Berat
Pada croup derajad berat ini, batuk menggonggong sering timbul. Ketika
pasien beristirahat, stridor inspirasi terdengar jelas. Kadang-kadang, pada
croup derajad berat ini disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding
dada, dan gawat nafas.
d. Gagal Nafas
Pada derajad ini, batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar. Namun, stridor
kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat. Disamping itu,
ditemukan gangguan kesadaran, dan letargi.
Nilai skor:
< 4 derajad ringan
4-6 derajad sedang
>6 derajad berat
39
9. Manifestasi Klinis
Croup ringan:
a. Demam
b. Suara serak
c. Batuk menyalak seperti anjing menggonggong
d. Stridor yang hanya terdengar saat anak gelisah
Croup berat
a. Stridor terdengar walau anak dalam keadaan tenang
b. Napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
10. Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus dimulai dari nasofaring
dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Invasi virus ke dalam mukosa laring
menyebabkan inflamasi, hiperemis dan edema. Peradangan difus, eritema, dan
edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas
pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara
pasien menjadi serak (parau). Area subglotis mengalami penyempitan sehingga
aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Biasanya anak akan mengkompensasi keadaan ini dengan bernapas
lebih cepat dan dalam. Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.
Gambar 1. Inflamasi dan edema pada salurna pernafasan atas (Gardner, 2008)
40
11. Patofisiologi
Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi
langsung dari sekret yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi partikel
yang masuk melalui hidung. Pada infeksi dengan etiologi virus, perjalanan infeksi
dimulai dari nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah
masa inkubasi 2-8 hari yang akan berujung pada laryngotrakeitis,
laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia. Peradangan yang
difus ini menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran
pernapasan. Laring adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang
membuatnya sangat rentan untuk terjadinya obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan outcome yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm
akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan
75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan
gejala sesak napas.
Turbulensi udara pada airway yang terjadi karena peradangan menyebabkan
stridor diikuti retraksi dinding dada yang terjadi selama inspirasi. Pada
laryngotrakeitis edematous akut, pemeriksaan histologis menunjukkan
terbentuknya infiltrat selular di lamina propria, submukosa dan advensisia.
Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil.
Pergerakan dinding dada dan dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.
12. Tatalaksana
41
13. Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal
jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya
tidak adekuat.
42
14. Pemeriksaan Penunjang
Untuk kepentingan diagnosis, beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan,
baik pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan pencitraan. Namun,
pemeriksaan tersebut diperlukan terutama pada kasus berat. Untuk kasus croup
secara umum, pemeriksaan penunjang yang lebih khusus tidak begitu diperlukan
karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dngan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan fisis. Terdapat dua pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada
kasus croup. Kedua pemeriksaan penunjang tersebut adalah: Foto rontgen leher
dan CT-Scan leher. Pada pemeriksaan radiologis leher posisi posteroanterior,
pada kasus croup, dapat ditemukan udara steeple sign (seperti menara) yang
menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis. Untuk mempertegas
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, maka pada kasus tertentu
diperlukan pemeriksaan CT-Scan leher. Dengan pemeriksasan penunjang ini, kita
dapat lebih jelas mendeteksi penyebab obstruksi pada pasien dengan keadaan
klinis yang lebih berat. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah laringoskop atau
bronkhoskopi. Kedua pemeriksaam ini biasanya tidak diperlukan pada kasus
dengan gejala yang khas, atau diagnosis dapat dibuat dengan mudah. Pemeriksaan
laringoskop atau bronkhoskopi dibuat bila kecurigaan croup mengenai bayi
kurang dari 6 bulan.
16. SKDI
3A
Bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
43
5.4 KERANGKA KONSEP
44
5.5 SINTESIS
45
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Yudi, anak laki-laki berumur 2 tahun, mengalami kesulitan bernafas disertai demam tidak
tinggi, batuk kasar seperti anjing menyalak, dan pilek disebabkan croup derajat sedang.
46
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Parainfluenza Viral Infections. Pickering LK, ed. Red
Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases. 26th ed. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. 479-81.Bakhtiar. 2016.
Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis dan Tatalaksana Croup pada
Anak. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA. Vol. 16. No. 3. hal. 1-6.
Bambang Hermani, Syahrial M Hutauruk. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
p. 209-214.
Bjornson, CL; Johnson, DW. "Croup in children.". CMAJ : Canadian Medical Association
[Journal de l'Association medicale canadienne]. 2013. 185 (15): 1317–23.
Boediman, Muljono Wirjodiardjo. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respiratorik. Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008
Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan
Penerbit IDAI: 2008. p 320-328
Cherry, James D. 2008. Croup. The New England Journal of Medicine. 358(4): 384-391
Dominic A dan Henry A Kilham Fitzgerald, 2003, Croup: Assesment and Evidence-Based
Management. Medical Journal The Australia. MJA 2003; 179 (7) : 372-377
Damayanti Soetjipto, Endang Mangunkusumo, Retno S. Wardani. Sumbatan Hidung. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 96-100.
Edward R. Carter, Susan G. Marshall. In: Darmawan Bs, Rifan Fauzle, editor. Sistem
Respiratori. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. 6th edition. Singapura: Elsevier;
2011
Elbuluk O, Shiba T, Shapiro NL. Laryngomalacia presenting as recurrent croup in an infant.
Case Rep Otolaryngol. 2013. 2013:649203.
Marcdante, K. J. dkk. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi enam. Singapore:
Elsevier.
Latief, A. dkk. 2016. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Available at:
http://www.ichrc.org/12-catatan-untuk-penilaian-tanda-kegawatdaruratan-dan-
prioritas diakses pada tanggal 25 September 2018)
Uliyah, M. dan Hidayat, A. 2008. Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta:
Salemba Medika
Wahyuningsi, H.P. dan Kusmiyati, Y. 2017. Anatomi Fisiologi. Available at:
(https://perpus.poltekkesjkt2.ac.id/ diakses pada tanggal 25 September 2018)
47
Hermansen, C. L., & Lorah, K. N. (2007). Respiratory distress in the newborn. American
Family Physician, 76(7), 987–994. https://doi.org/10.1001/jama.1980.03300370050028
Mwakyusa, D. H., & Mukama, W. (2007). Standard Treatment Guidelines (STG) And The
National Essential Medicines List (NEMLIT) For Mainland Tanzania, (1), 1–5.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Reuter, S., Moser, C., & Baack, M. (2014). Respiratory Distress in the Newborn. American
Academy of Pediatrics, 35(10). https://doi.org/10.1542/pir.35-10-417
Shields, M. D., Bush, A., Everard, M. L., McKenzie, S., & Primhak, R. (2008).
Recommendations for the assessment and management of cough in children. Thorax
BMJ, 63(SUPPL. 3), 1–16. https://doi.org/10.1136/thx.2007.077370
Top Alberta Doctors. (2008). Diagnosis and Management of Croup Clinical Practice
Guideline. Toward Optimized Practice, 53(January), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku satu,
RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61
Guidelines for the diagnosis and management of croup. 2008 update. Alberta Medical
Association. 2011.
Mandal A, Kabra SK, Lodha R. Upper Airway Obstruction in Children. Indian J Pediatr.
82(8):737-44.
Rusmarjono, Bambang Hermani. Nyeri Tenggorok. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
p. 190-194.
Victor P. Eroschenko, Ph.D. Sistem Pernapasan. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi
Fungsional. 9th edition. Jakarta: EGC; 2003
Gardner, J., 2008. Viral croup in children. Nursing (Lond). 38, 57–58.
https://doi.org/10.1097/01.NURSE.0000314800.68714.00
Kaswandani, N., 2012. Croup, in: Trihono, P.P., Windiastuti, E., Gayatri, P., Sekartini, R.,
Indawati, W., Idris, N.S. (Ed.), Kegawatan pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu
48
Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta, hal. 86.
Kementerian Kesehatan RI, 2009. Batuk dan Kesulitan Bernapas, in: RI, K.K. (Ed.), Buku
Saku Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, hal.
83.
Sarkar, M., Madabhavi, I., Niranjan, N., Dogra, M., 2015. Auscultation of the respiratory
system. Ann. Thorac. Med. 10, 158–168. https://doi.org/10.4103/1817-1737.160831
Zoorob, R., Sidani, M., Murray, J., 2011. Croup: An overview. Am. Fam. Physician 83,
1067–1073.
Hellen, B. and July, C. (2007) Portable signs and symptoms. Lippincot William & Willkins.
Landau, T. and Maxx, L. (2008) Pediatric Respiratory Medicine. second edi. Philadelphia:
Elsevier.
Mustafa, M. et al. (2015) ‘Acute Laryngitis and Croup: Diagnosis and Treatment’, IOSR
Journal Of Pharmacy (e)-ISSN, pp. 2250–3013.
Subcommittee, A., Tchorz, K. M. and group, I. A. working (2013) ‘Advanced trauma life
support (ATLS®): the ninth edition’, The journal of trauma and acute care surgery,
74(5), p. 1363.
Walsh, B. K. and Smallwood, C. D. (2017) ‘Pediatric oxygen therapy: a review and update’
, Respiratory care. Respiratory Care, 62(6), pp. 645–661.
Scan, C. T. (2016) ‘Manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan tatalaksana
croup pada anak’, pp. 1–6.
49