Anda di halaman 1dari 14

Abdomen akut: Peritonitis

Abstrak

Peritontis adalah peradangan peritoneum dan mewakili penyebab penting dari morbiditas dan

mortalitas pembedahan. Penyakit ini dapat terlokalisasi atau meluas, dan dianggap melewati

tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan dari rongga peritoneum ke dalam

sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergis antara bakteri aerob dan anaerob; dan ketiga,

sistem pertahanan tubuh mencoba melokalisasi infeksi. Peritonitis biasanya disebabkan oleh

bakteri, tapi dapat disebabkan secara kimiawi (aseptik), bilier, tuberkulosis, klamidia, drug-

induced atau disebabkan oleh lain-lain, jarang ditemukan. Peritonitis bakteriallis

disubklasifikasikan menjadi primer atau sekunder pada dasar apakah ada atau tidak adanya

integritas dari traktus gastrointestinal menjadi berbahaya. Khususnya, pasien dengan

peritonitis mengeluhkan nyeri abdomen yang parah dan mungkin menunjukkan ciri

Hippocratic facies. Palpasi abdomen menunjukkan nyeri tekan, adanya tahanan dan nyeri

rebound (memantul). Pemeriksaan laboratorium awal harus memasukkan pemeriksaan urea

dan elektrolit, hitung darah lengkap dan analisa gas darah. Pemeriksaan radiologi dada berdiri

akan menunjukkan adanya pneumoperitoneum pada sekitar 70-80% perforasi viseral. CT

scan sering memegang peranan penting dalam mengonfirmasi diagnosis spesifik (misal abses

subfrenik). Tatalaksana segera harus memasukkan resusitasi cairan, oksigen aliran tinggi,

antibiotik yang tepat (intravena) dan analgesik. Tatalaksana definitif adalah pembedahan

kecuali pada kelompok kecil pasien yang diindikasikan tatalaksana konservatif dengan cairan

(intravena) dan antibiotik (intravena). Tatalaksana pembedahan dapat dilakukan denga cara

laparotomi atau, di beberapa kondisi, laparoskopi. Kontrol area primer sepsis adalah penentu

utama keberhasilan. Kebanyakan pasien pulih cepat. Bagaimanapun, kebanyakan peritonitis


generalisata dikaitkan dengan disfungsi/kegagalan organ, dan angka mortalitasnya dapat

mencapai 30-40% di UK.

Kata kunci antibiotik; bakteri; terapi konservatif; pembedahan darurat; tahanan; peradangan;

laparotomi; mesotelium; peritonitis; nyeri rebound; relaparatomi; sepsis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum dan dapat lokalisata atau generalisata.

Patofisiologi

Peritonitis dianggap berkembang alam tiga fase.1

Fase I melibatkan pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari rongga peritoneum

menuju sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi

bergerak cephalad sebagai respons terhadap gradien tekanan yang dihasilkan oleh diafragma.

Cairan yang melewati stomata di peritoneum diafragmatika dan diabsrobsi ke lakuna

limfatik. Aliran limfa menuju duktus limfatik utama melalui nodus substernal. Septikemia

yang dihasilkan terutama mengandug anaerob fakultatif gram negatif dan dikaitkan dengan

morbiditas yang tinggi.

Fase II melibatkan interkasi yang sinergik antara bakteri aerob dan anaerob sebagaimana

mereka menghadapi pertahanan tubuh dan fagosit. Aktivasi komplemen adalah langkah lini

pertama pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan acquired immunity; aktivasi

terutama terutama oleh jalur klasik, dengan dukungan jalur alternatif dan lektin. Surfaktan

fosfolipid diproduksi oleh sel mesotelial peritoneum yang bekerja secara sinergis dengan

,komplemen untuk meningkatkan opsonisai dan fagositosit. Sel mesotelial peritoneum juga

adalah sekretor mediator proinflamasi yang poten (ampuh), termasuk di sini interleukin-8,
dan interleukin-8, monosit kemoatraktan protein-1, makrofag inflamasi protein-1 α, dan

tumor nekrosis faktor α.2 Karena itu, sel mesotelial peritoneum memegang peranan penting

dalam jalur sinyaling sel mengantarkan pada pengerahan fagosit ke rongga peritoneum dan

peningkatan regulasi sel mast dan fibroblast di submesotelium.

Fase III adalah usaha yang dilakukan oleh pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi

(Tabel 1), terutama melalui produksi eksudat fibrinosa yang menangkap mikroba di dalam

matriksnya dan mendorong mekanisme fagosit lokal. Ia juga berfungsi untuk

mempromosikan perkembangan abses. Regulasi formasi dan degradasi fibrin penting dalam

proses ini. aktivitas aktivasi plasminogen dihasilkan oleh sel mesotelial peritoneum yang

menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisisikan atau diatur ke

dalam adhesi fibrosa. Khususnya, tumor nekrosi faktor α merangsang produksi plasminogen

aktivator inhibitor 1 oleh sel mesotelial peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.

Manifestasi klinis peritonitis adalah ketidakseimbangan metabolik dan perpindahan cairan.

Denyut jantung dan laju pernapasan awalnya meningkat sebagai hasil dari refleks volumetrik,

intestinal, diafragmatika dan nyeri. Asidosis metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron,

hormon antidiuretik dan katekolamin selanjutnya mengubah cardiac output dan pernapasan.

Protein rusak dan glikogen hepatik dimobilisasikan ketika tubuh memasukin status tinggi

katabolik. Ileus paralitik berkembang, mengantarkan pada sequestrasi cairan besar-besaran

dan kehilangan elektrolit dan eksudat yang kaya akan protein. Distensi abdomen nyata

menyebabkan elevasi diafragmatika, dengan hasil atelektasi dan pneumonia. Kegagalan

multi-organ, koma, dan kematian dapat terjadi jika peritonitis masih terjadi dan gagal untuk

dilokalisasi.
Etiologi

Peritonitis bakterialis dikelompokkan sebagai primer dan sekunder

 Peritonitis primer adalah infeksi bakteri difusa tanpa adanya kehilangan integritas dari

traktur gastrointestinal. Ini jarang ditemukan, tapi terjadi pada perempuan dewasa dan

Streptococcus pneumoniae biasanya menjadi organisme penyebab.

 Peritonitis sekunder adalah infeksi peritoneum akut berasal dari hilangnya integritas

dari traktus gastrointestinal atau nekrosis pankreatis terinfeksi. Bakteri aerob dan

anaerob sering terlibat, bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Eschericia coli

dan Bacteroides fragilis.

Invasi bakteri – bakteri mungkin dapat menginvasi rongga peritoneum melalui 4 jalur.

 Invasi langsung dari lingkungan luar (misal luka tusuk abdomen, infeksi ketika

laparatomi)

 Translokasi dari visera intraabdomen yang rusak (misal perforasi viskus (misal

ulkus duodenal perforata), gangren viskus (apendistis), trauma, iatrogenik (misal

kebocoran anastomosis)).

 Melalui sirkulasi dan/atau translokasi usus: peritonitis primer dapat terjadi tanpa

sumber infeksi yang nyata (misal peritonitis streptokokus beta hemolitikus primr pada

anak-anak dan pasien-pasien pasca splenektomi, peritonitis bakterialis spontan pada

pasien dengan kegagalan hepar dan asites).

 Melalui saluran genital perempuan (misal ekstensi langsung dari lingkungan luar,

peritonitis pneumokokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus oleh intrauterine

device).

Peritonitis kimiawi (aseptik) memegang sekitar 20% seluruh kasus peritonitis di UK, dan

biasanya sekunder dari perforasi duodenum atau ulkus gaster. Peritonitis steril akan
berkembang menjadi peritonitis bakterialis dalam beberapa jam diikuti dengan perpindahan

mikroorganisme (misal dari handuk)

Peritonitis bilier adalah bentuk yang relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat berasal

dari sejumlah penyebab:

 Iatrogenik (misal kelicinan pengikat duktus sistikus setelah kolestektomi)

 Kolestitis akut

 Trauma

 Idiopatik

Bentuk lain peritonitis steril: terdapat empat bentuk.

Pancreatic juice -- misal disebabkan oleh pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis

mungkin menjadi penyebab laparatomi diagnostik (tapi tidak penting) pada pasien yang tidak

menunjukkan peningkatan konsentrasi amilase serum.

Darah – misal ruptur kista ovarium, kebocoran aneurisma aorta

Urin – misal ruptur kandung kemih intraperitoneum

Mekoneum – campuran sel epitel steril, musin, garam, lemak, dan bilirubin yang

terbentuk ketika fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis mekoneum berkembang jauh

pada masa intrauterine atau pada masa perinatal ketika mekoneum memasuki rongga

peritoneum melalui perforasi usus. Perforasi adalah bentuk sekunder dari beberapa bentuk

obstruksi intestinal neonatal pada >50% kasus di UK.

Peritonitis tuberkulosis jarang di UK, tapi mungkin masih banyak ditemukan pada pasien-

pasien imunokompromis atau imigran. Menyebar ke peritoneum terjadi dengan cara:


 Secara langsung dari nodus limfa mesenterikal, regio ileocaecal atau piosalping

tuberkulosa

 Infeksi yang ditularkan melalui darah berasl dari tuberkulosis pulmoner.

Tampilan klinis dapat jadi akut (onset menyerupai peritonitis bakterialis) atau kronik (onset

lebih menakutkan, dengan nyeri abdomen, demam, penurunan berat badan, asites, keringat

malam, massa abdomen). Secara makroskop, ada 4 bentuk penyakit ini:asitis, ensistik, plastik

atau purulen. Tatalaksana berdasarkan kemoterapi anti-tuberkulosis, dilakukan bersama

dengan laparotomi (jika diindikasikan) untuk komplikasi intraabdomen.

Peritonitis klamidia: sindrom Fitz-Hugh-Curtis dapat terjadi mengikuti penyakit peradangan

pelvis (PID) dan ditandai dengan nyeri hipokondriak kanan, pireksi, dan hepatic rub.

Obat-obatan dan benda asing: penggunaan isoniazid, practolol (sekarang penggunaannya

ditarik di UK), dan kemoterapi intraperitonneal telah dikaitkan dengan gejala klinis yang

menyerupai peritonitis akut. Talc dan starch mungkin merangsang perkembanga benda asing

granulomata jika mulai memasukin ke dalam rongga peritoneum (misal sarung tangan

pembedahan)

Penyebab lain termasuk keracunan timbal, hiperlipidemia, porfiria intermiten akut, infeksi

amuba dan demam Mediterania familial.

Diagnosis

Tampilan klinis

Nyeri adalah gejala yang paling bayak dan mungkin terlokalisasi atau menyebar; biasanya

konstan dan tajam, dengan rasa khas seperti tusukan. Perforasi viseral menyebabkan nyeri

yang parah dan tiba-tiba yang biasanya pertama dinnilai di daerah terjadinya perforasi, tapi
kemudian menjadi lebih menyeluruh menjadi penyebaran kontaminasi peritoneum. Nyeri

akan menjalar ke ujung bahu ipsilateral jika peritoneum diafragmatika terlibat. Anoreksia,

malaise, nausea dan muntah biasanya adalah tanda yang terkait dengan peritonitis. Konstipasi

biasanya muncul, kecuali telah terjadi abses pelvis (yang mana dapat menyebabkan diare).

Pemeriksaan

Umum: seorang pasien peritonitis akan ditemukan pucat, keletihan dan cemas; mata cekung

karena dehidrasi. Pemeriksaan teratur akan menunjukkan tanda systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) atau, lebih buruk lagi, syok sepsis, syok hipovolemik atau

kegagalan multiorgan.

Abdomen: pasien akan berbaring supinasi dan cenderung tidak banyak bergerak dengan

ekskursi pernapasan yang dangkal. Lutut dalam kondisi fleksi dan tertatik agar mengurangi

tekanan pada dinding abdomen. Pada peritonitis difusa, spasme otot-otot abdomen akan

menyebabkan kekakuan seperti papan dan kegagalan abdomen untuk bergerak ketika

bernapas.

Palpasi abdomen mempertajam nyeri dan karena itu harus dilakukan secara hati-hati

dan lembut. Palpasi abdomen akan menunjukkan nyeri atau ketidaknyamanan, tahanan, dan

nyeri rebound; daerah dengan nyeri maksimal biasanya berkaitan dengan tempat patologis.

Tahanan awalnnya akan terjadi volunter, sebelum menjadi refleks involunter sebagai proses

peradangan yang terjadi. Tanda patognomonik khas dari penyakit ini dapat dibuktikan secara

klinis (misal tanda Rovsing pada apendisitis akut). Pemeriksaan digital rektum akan

menunjukkan nyeri pada bagian anterior pada peritonitis pelvis. Auskultasi akan memastikan

adanya peningkatan ileus dengan menurunnya bising usus dan pada akhirnya berhenti.
Pemeriksaan lanjutan

Peritonitis terutama adalahh diagnosis klinis dan laparotomi segera tidak boleh ditunda untuk

pemeriksaan lain yang tidak diperlukan.

Pemeriksaan darah didiskusikan di bawah

Darah lengkap akan menunjukkan leukositosis

Urea dan elektrolit akan memastikan adanya dehidrasi dan kegagalan ginjal akut;

berakhir pada penggunaan panduan penggantian cairan dan elektrolit.

Uji fungsi hati dan serum amilase – konsentrasi amilase serum adalah diagnostik

pada pankreatitis akut, tapi konsentrasi meningkat sedang dapat disebabkan oleh katastropik

intraabdomen lain (misal ulkus duodenum perforasi)

Analisa gas darah menggambarkan asidosis metabolik, sering didahului dengan

tegangan rendah karbon dioksida disebabkan oleh hiperventilasi.

Pemeriksaan darah—laparatomi mungkin diindikasikan dan karena itu darah

crosmatch dibutuhkan.

Pencitraan

Radiologi dada tegakakan menunjukkan pneumoperitoneum pada sekitar 70-80%

perforasi viseral. Radiologi abdomen dekubitus lateral kiri adalah pilihan untuk mereka yang

tidak dapat berdiri. Radiologi abdomen supinasi kurang informatif, tapi akan memberikan

tampilan ‘ground glass’ pada kasus peritonitis difusa.

Ultrasonografi mungkin memegang peranan penting dalam mengonfirmasi atau

mengeluarkan diagnosis spesifik (misal abses subfrenikus)

Computerized Tomography (CT) jauh lebih akurat dalam prediksi negatif

dibandingkan ultrasonografi, dan menggantikan blind secara besar, laparotomi diagnosis


dalam pencarian sepsis yang tersembunyi. Akurasi diagnosis baik itu ultrasonografi dan CT

telah ditegaskan pada beberapa kasus apendisitis akut yang terlihat samar secara klinis.

Diagnosis banding

Pneumonia basal, infark miokard, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi traktur urinarius dapat

salah diagnosis sebagai peritonitis. Penyebab lain nyeri abdomen yang parah (misal obstruksi

intestinal, kolik ureter atau kolik bilier) mengarah ke penyebab kegelisahan.

Tatalaksana

Konservatif

Tatalaksana pengobatan diindikasikan jika:

 Infeksi terlokalisasi (misal massa apendiks)

 Penyebab peritonitis tidak membutuhkan pembedahan (misal pankreatitis)

 Pasien tidak cocok dengan anestesi umum (misal usia tua, pasien yang hampir

meninggal dengan komorbiditas yang parah)

 Fasilitas kesehatan yang tidak mendukung tatalaksana pembedahan yang aman.

Unsur penting tatalaksana pengobatan adalah hidrasi cairan (intravena) dan antibiotik

spektrum luas. Perawatan suportif harus memasukkan makanan enteral dini (sebagai pilihan

dari nutrisi parenteral total) untuk pasien dengan sepsis abdomen kompleks di ICU.

Segera

Oksigen aliran tinggi adalah penting untuk pasien syok. Hipoksia dapat dipantau

dengan oksimetri nadi atau penilaian analisa gas darah

Resusitasi cairan dapat diawali dengan kristaloid (intravena), volum tidak

tergantung pada derajat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit (terutama kalium)
mungkin dibuthkan. Pasien harus dikateter agar memantau output urin perjam. Pemantauan

tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik mungkin tepat pada sepsis yang parah atau

pasien dengan komorbid.

Analgesik – analgesik opium (intravena) dan antiemesis yang tepat akan

dibutuhkan.

Antibiotik harus yang spektrum luas, mencakup bakteri aerob dan anaerob dan

diberikan secara intravena. Sefalosforin generasi ketiga dan metronidazol adalah strategi

primer yang biasa digunakan. Untuk pasien dengan peritonitis bawaan di rumah sakit (misal

kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan ICU, terapi lini kedua dengan meropenem

atau kombinasi piperasilin dan tazobaktam disarankan. Terapi anntifungi harus

dipertimbangkan untuk mengatasi kemungkinan spesies Candida. Penggunaan antibiotik

secara dini dan tepat adalah kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan syok

septik yang berkaitan dengan peritonitis.

Nasogastric tube dan aspirasi meringankan muntah dan distensi abdomen serta

mengurangi risiko aspirasi pneumonia.

Definitif

Pembedahan

Laparatomi biasanya dilakukan melalui insisi midline atas atau bawah (tergantung

pada dugaan area patologi).

Tujuannya adalah untuk:

 Menetapkan penyebab peritonitis

 Mengatur asal sepis dengan membuang organ yang meradang atau iskemik (atau

penutupan viskus yang perforasi)

 Melakukan bilas peritoneum yang efektif.3


Mengontrol sumber sepsis primer itu penting. bagaimanapun, ada kecenderungan untuk

melakukan anastomosis primer pada pasien-pasien dengan peritonitis (tersedia untuk pasien

dengan hemodinamik yang stabil dan tidak memiliki faktor risiko lain yang signifikan). Ada

sedikit bukti keuntungan klinis untuk dilakukan irigasi peritoneum, kemungkinan karena

resistensi koloni mikroba peritoneum untuk pembilasan, atau kerusakan bersamaan

berdampak pada sel mesotelial. Dibandingkan irigasi kuat dari roggan peritoneum,

pembuangan debris, material purulen atau fekal mungkin cukup. Penutupan massa abdomen

dilakukan menggunakan benang monofilame kontinyu atau terputus. Antibiotik dilanjutkan

selama lima hari pasca pebedahan pada kasus-kasus peritonitis geeralisata atau kompleks.

Laparatomi ulang menjadi peranan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan

peritonitis sekunder yang parah yang, setelah laparatomi pertama, mengalami sepsis atau

perburukan gejala. Operasi kembali mungkin dilakukan ‘sesuai kebutuhan’, atau dalam

strategi ‘terrencana’ yang lebih agresif dengan interval yang teratur. Laparatomi ulang

terrencana sering melibatkan meninggalkan dinding abdomen terbuka dengan selembar mesh

sintetis in situ untuk mencegah eviserasi. Modifikasi adalah ‘tatalaksana primer terbuka’, dan

pendekatan semi terbuka seperti ‘perbaikan abdomen’. Bagaimanapun, beberapa penelitian

belakangan telah menyimpulkan bahwa survival rate jangka panjang dan selama perawatan

lebih tinggi pada pasien yang ditangani dengan laparatomi ulang sesuai kebutuhan

dibandingkan dengan mereka dengan penyakit yang memiliki keparahan yang sama yang

ditangani dengan laparatomi ulang yang direncanakan.4 Mengombinasikan data klinis dengan

pencitraan CT rutin adalah kunci untuk memberikan pilihan yang tepat dan tepat waktu untuk

pasien yang membutuhkan laparatomi ulang sesuai kebutuhan. Bagaimanapun, hal ini harus

selalu diingat bahwa banyak pasien sepsis tidak membutuhkan laparatomi ulang tapi

sederhananya hanya membutuhkan masa ventilasi mekanis yang lebih lama, antibikrob dan

dukungan organ. Mendapatkan kontrol sepsis yang efektif pada saat pembedahan pertama
secara vital penting karena setiap operasi yang berurutan ditemukan dengan peningkatan

risiko morbiditas dan mortalitas.

Laparoskopi – risiko teoretis hiperkapnea maligna dan syok septik sekunder

terhadap absorpsi karbon dioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang inflamasi belum

disetujui. Oleh sebab itu, laparoskopi telah terbukti efektif dalam mengatasi apendisitis akut

dan ulkus duodenum perforasi. Tindakan ini dapat digunakan pada kasus-kasus dengan

perforasi koloni, tapi tingkat konversi terhadap laparotomi masih tinggi. Syok atau ileus besar

adalah kontraindikasi laparoskopi,

Drain cenderung efektif jika digunakan untuk mengeringkan ruang yang

terlokalisasi, tapi secara umum cepat ‘bertembok’ dan gagal untuk mengeringkan

keseluruhan rongga peritoneum. Masih terdapat sedikit bukti untuk mendukung penggunaan

profilaksis drain tubes setelah laparotomi.

Prediktor keparahan dan prognosis

Tidak ada satu uji laboratorium yang dengan mudah tersedia untuk memprediksi keparahan

atau prognosis pasien-pasien dengan peritonitis. Konsentrasi interleukin-18 intraperitoneum

dan kultur fungi berhubungan dengan outcome yang buruk, tapi uji ini memiliki penerapan

klinis yang kecil.

Sistem skorin telah dianjurkan sebagai prediktor prognostik, tapi utamanya dalam konteks

pemeriksaan dan uji klinis melibatkan kelompok besar pasien, sebagai contoh:

 Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Score (APACHE II)

 Simplified Acute Physiology Score.

 Sepsis Severity Score.

Mannheim Peritonitis Index dan Peritonitis Index Altona II spesifik untuk peritonitis.

Pemilihan tatalaksana dengan memperhatikan operasi ulang didukung oleh Prognostic


Peritonitis Model dan Abdominal Re-operation Predictive Index. Sebaliknya, Ranson and

Modified Imrie Scores mungkin digunakan sebagai penilaian keparahan penyakit pada kasus

pankreatitis akut perseorangan.

Komplikasi

Syok septik—pasien membutuhkan tatalaksan di ICU.

Abses intraabdomen/sepsis abdomen menetap—dengan adanya kehadiran tanda

sedang terjadinya sepsi (misal pireksia, peningkatan hitung sel darah putih), pemeriksaan

harus memasukkan CT dengan kontras luminal (terutama jika anastomosis in situ).

Laparatomi ulang dibutuhkan jika peritonitis generalisata adalah diagnosis. Drainase

perkutaneus dengan antibiotik ‘tamu terbaik’ adalah pilihan tatalaksana jika infeksi

terlokalisasi ditemukan. Terapi antibiotik harus disesuaikan dengan respons sebagai umpan

balik dari kultur diambil pada saat dilakukan drainase. Sepsis abdomen menyebabkan

mortalitaas sekitara 30-60%.3 Outcome seringnya buruk setelah dibawa ke ICU. Faktor yang

berkaitan dengan mortalitas termasuk:

 Usia

 Skor APACHE II

 Syok septik

 Penyakit kronik terdahulu

 Jenis kelamin wanita

 Sepsis yang berasal dari gastrointestinal atas

 Kegagalan membersihkan sumber sepsis5

Perlekatan dapat menyebabkan obstruksi atau volvulus

Tabel 1. Faktor pendukung peritonitis lokalisata atau generalisata


lokalisata Generalisata

 Eksudat fibrin  Perforasi viseral tiba-tiba

 Kompartmen anatomis peritoneum  Peristalsis hebat

 Omentum mayus (melekat ke struktur  Infeksi organisme virulen

yang meradang)  Perlakuan pengumpulan lokalisata

yang tidak tepat

 Imunokompromis

Anda mungkin juga menyukai