Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan
karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus
listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung
berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu
singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen
yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan
mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari
10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami
kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena
itu GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita
yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan
pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan
yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung
adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
BTLS didirikan dengan latar belakang masih tingginya tingkat kematian dan
kecacatan akibat kegawatdaruratan (Emergency Case) pada kejadian kecelakaan
transportasi, industri, rumah tangga, gejolak sosial (terorisme, konflik masyarakat,
kejahatan dan kekerasan) dan bencana yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini.
Selain itu kegawatdaruratan medis seperti penyakit kardiovaskular, jantung, hipertensi
dan stroke masih menduduki peringkat lima besar penyebab kematian di Indonesia.
Penyebab tingginya angka kematian dan kecacatan akibat kegawatdaruratan medis
tersebut adalah tingkat keparahan, kurang memadainya peralatan, sistem yang belum
memadai dan pengetahuan penanganan penderita gawat darurat yang kurang mumpuni.
Pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat memegang porsi besar dalam
menentukan keberhasilan pertolongan. Pada banyak kejadian banyak penderita gawat

1
darurat yang justeru meninggal dunia atau mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh
kesalahan dalam melakukan pertolongan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain:
1.2.1 Apa itu Basic Life Support (BLS) dan Basic Trauma Life Support (BTLS)?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuannya antara lain:
1.3.1 Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan Basic Life Support (BLS) dan Basic
Trauma Life Support (BTLS)

2
BAB II

KONSEP DASAR

2.1 BLS (Basic Life Support)


2.1.1 Pengertian BLS (Basic Life Support)
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung
paru otak dibagi dalam tiga fase :bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut,
bantuan hidup jangka lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan
pada Bantuan Hidup Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat
dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau
memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock.
Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation,
breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari
kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan
berhenti selama 3-4 menit.

2.1.2 Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB)


1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak
adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel.
2. Melakukan panggilan darurat.
3. Circulation :
a. Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak
ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi
dada.
b. Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk
memeriksa denyut nadi korban.

3
c. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
d. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari
tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang
satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.
Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan
tiupan nafas agar tidak menekan dada.

Gambar 1 Posisi tangan

e. Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping


korban jika korban berada di tempat tidur

Gambar 2 Chest compression

f. Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18


detik)
g. Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan
untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau
sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).

4
4. Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan
meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke
belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt)
Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun
jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas
melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi
Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.

Gambar 3 Head Tilt & Chin Lift

Gambar 4 Jaw Thrust

5. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan


jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk
memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke
mulut langkahnya sebagai berikut :
a. Pastikan hidung korban terpencet rapat
b. Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
5
c. Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
d. Berikan satu ventilasi tiap satu detik
e. Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu
detik.

Gambar 5 Pernafasan mulut ke mulut

f. Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut


korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
g. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
h. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi
dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
i. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau
sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2
menit.
j. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus
dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
6. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun,
atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan
sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat
defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
6
7. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah
alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang
telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya
lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan
RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah
tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang,
atau korban mulai bergerak.
Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB

No ABC CAB

1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien


termasuk ada/tidaknya nafas
secara visual.

2 Melakukan panggilan darurat dan Melakukan panggilan darurat


mengambil AED

3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada


dilakukan sebanyak satu siklus
30 kompresi, sekitar 18 detik)

4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)


dilanjutkan memberi 2x ventilasi
dalam-dalam)

5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing ( memberikan


nafas buatan (30 : 2)) ventilasi sebanyak 2
kali, Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2))

6 Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :


a. Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan
kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan

7
adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless
Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang
paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi
otomatis segera (early defibrillation).
b. Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda
karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan
ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat
pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka
kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit
tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal
dilakukan sekitar 18 detik).
c. Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP
dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun
salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway
adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang
awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat
menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa
mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut
ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.

2.1.3 Penggunaan Sistem ABC Saat ini :


1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan
RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum
mengaktivasi sistem respon darurat.
2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem
pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali
terdapat penyebab jantung yang diketahui.

2.1.4 Emergency Medical Service


Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang
sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung
pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling

8
mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan
(outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses
evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan
penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di
bawah ini :

Pre Hospital Hospital Stage Rehabilitation


Injury &
Stage
Dissaster

First Emergency Fisical


Responder Room
Psycological
Ambulance Operating
Social
Service 24 jam Room

Intensif Care
Unit

Ward Care

Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan


sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital
Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan
saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang
optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat
dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan
dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke
rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The
Golden periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga
dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi
kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan
pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3
faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup
penderita nantinya yaitu :
1. Siapa penolong pertamanya
9
2. Berapa lama ditemukannya penderita,
3. Kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan
dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama
di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang
tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi
penderita gawat darurat. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi
tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana transport
dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama
di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang
utama jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas
kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya
sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit
ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen
penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita
dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral,
ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah
sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa
keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu
penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor
sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara
harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam
satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan
gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus
mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat
terpadu.

10
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :

1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan,
akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita.
Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko
penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang
berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya.
Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis
kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat
dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan
mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi untuk
mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki
kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika
penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat
sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara
tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung
kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang
ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber
perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi &
tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam
yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar
yaitu :
a. Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
b. Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
c. Menguasai teknik mengontrol perdarahan
d. Menguasai teknik memasang balut-bidai
e. Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena
bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim
SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain yaitu menguasai
kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi :
11
a. Penyakit anak
b. Penyakit dalam
c. Penyakit saraf
d. Penyakit Jiwa
e. Penyakit Mata dan telinga
f. Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan
kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara
formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal
di intansi-intansi harus diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum
yang sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang sama.
Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan
dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana
masal.
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan
personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan
udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan
dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang
baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan
ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis
ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk
pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang
kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta
memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang
berada memiliki asuransi jiwa
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.

12
2.2 Basic Trauma Life Suport (BTLS)
2.2.1 Pengertian Basic Trauma Life Suport (BTLS)
BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS
(Advanced Trauma Life Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan
lainnya tidak diminta untuk memberikan tatalaksana sesuai diagnosis
definitifnya tapi hanya memberikan kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan nantinya. Intinya pada tahap ini, dokter atau pelayan
kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien untuk tetap hidup atau
membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap berlangsung.
Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai
secermat mungkin hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic
yang sering membantu antara lain:

A : Airway with c-spine control

B : Breathing and ventilation

C : Circulation with haemorrage control

D : Disability (neurologic evaluation)

E : Exposure and Environment

1. Airway with c-spine contol.


Hal pertama yang harus diperiksa dalam penyelamatan seorang pasien.
Pelayan kesehatan diharapkan bisa memberikan distribusi oksigen dalam
kurang waktu 8-10 menit.
Assessmentnya :
Kalau pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara
tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya airway is
clear. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan
jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar
dari hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada
saluran pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak
langsung menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.

13
Kalau pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian Look - Listen -
Feel. Lihat gelisah atau tidak, gerakan dinding dada, dengarkan ada atau
tidak suara nafas, rasakan hembusan nafas pasien dari pipi dalam satu waktu.
Kalau terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasanya
disebabkan obstruksi akibat benda asing. Tindakan yang dapat dilakukan
antara lain memberikan penekanan pada dinding abdomen melalui manuver
Heilmicth atau Manuver Abdominal Trust. Kalau untuk anak kecil bisa
dibantu dengan membalik posisi anak secara vertikal agar mempermudah
keluarnya benda asing. Tindakan yang disebutkan diatas dilakukan pada
pasien sadar. Sementara pada pasien tidak sadar yang bisa dilakukan antara
lain : finger sweep, abdominal trust, dan instrumental.

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi
nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
a. Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran
nafas. Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni,
yang elastic dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah

14
diarahkan. Jangan melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring
sehingga tidak timbul vagal refleks.

b. Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
Penanganan pertama nya dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

c. Snorg (mengorok) = biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien
dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka
mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti
dengan membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak
amam karena memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau
melalui bantuan instrumen.

15
d. Tidakan berikutnya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk
pasien tidak sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai
tambahan info, bahwa pada oropharingeal tube terdapat tiga jenis ukuran
sehingga sebelum memasangnya dokter harus menentukan ukuran yang
sesuai. Cara mudahnya dengan menyamakan ukuran dengan panjang dari
lubang telinga ke sudut mulit atau panjang dari sudut telinga ke lubang
hidung, Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.

e. C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang


mengalami trauma basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada Duramater). Cirinya adalah keluar darah atau cairan
bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan
dengan indikasi:
1) Multiple trauma
2) Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3) Penurunan kesadaran.
4) Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.

16
2. Breathing and Ventilation
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien
sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan
dada pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan
pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan
perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh
pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.
Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di
daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.

Jika terdapat henti napas :


Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan
melalui :
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).

17
Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :
a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.

b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.

c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask


inilah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran


mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan
vena jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung

3. Circulation and haemorage control


Assessment :
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien
mengalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi
darah yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah atau tidak
teraba. Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock hemoragik.
Jadi dalam penatalaksanaannya yang pertama adalah tangani status cairan
pasien dan cari sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan. Berikan
cairan intravena kemudian tutup luka dengan kain kassa,
immobilisasi. Pemberian cairan intravena harus pada suhu yang hangat agar
tidak memperberat kondisi pasien (pemasukan cairan yang memiliki suhu
lebih rendah daripada suhu tubuh menyebabkan vasokontriksi sehingga
nantinya menurunkan perfusi). Status hidrasi pasien juga harus diukur
melalui output cairannnya sehingga sering diikuti dengan pemasangan
kateter.
Namun pemasangan kateter dikontraindikasikan pada pasien yang
mengalami ruptur uteri. Cirinya terdapat lebam pada perineal atau skrotum.
18
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain luka
pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.
Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.

4. Disability

Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien.


Status neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan
keadaan pupil serta kecepatannya.

Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)

a. Eye

4. Membuka spontan

3. Membuka terhadap suara

2. Membuka terhadap nyeri

1. Tidak ada respon

b. Verbal

5. Berorientasi baik

4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat

3. Berbicara kacau atau tidak sinkron

19
2. Suara merintih atau menerang

1. tidak ada respon

c. Motorik

6. Mengikuti perintah

5. Melokalisir nyeri

4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

3. Fleksi abnormal (dekortikasi)

2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)

1. tidak ada respon (flasid)

Kesadaran baik >13, sedang 9 -12, Buruk /koma < 8

Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka
kemungkinan terdapat cedera kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat
maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

2.2.2 Exposure dan Enviroment


Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat
kemungkinan adanya multiple trauma. Kemudian selimuti pasien agar mencegah
hipothermi.
Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan
kembali Secondary Survey Pelayan Kesehatan diharapkan memeriksan kembali
dari awal, anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan neurologi yang
komplit (tes refleks, CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan
lainnya.

20
2.2.3 Deskripsi
Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1 dan
44 tahun.pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya di
lampaui oleh kanker dan kardiovaskular. Bagaimana pun kerugian akibat trauma
dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi kerugian yang
ditimbulkan oleh kanker dan penyakit kardiovaskular. Sebagai penyebab utama
kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi masalah kesehatan dan social
yang signifikan.
Kemajuan dalam bidang perawatan pasien trauma telah dicapai dalam
beberapa dekade terakhir. Pengembangan pusat-pusat pelayanan trauma telah
menurunkan mortalitas dan morbiditas diantara korban kecelakaan. Perawatan
dan sarana angkutan prarumah sakit yang semakin baik telah menyebabkan
kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan keadaan kritis sampai ke rumah sakit
dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien yang tiba di unit perawatan kritis
cenderung mengalami cedera serius yang menlibatkan banyak organ, dan mereka
sering kali membutuhkan asuhan keperawatan yang ekstensif dan kompleks.

2.2.4 Pengkajian Awal dan Penatalaksanaan Awal


Orang yang mengalami cedera barat harus dikaji dengan cepat dan
efisien. Kriteria dan protokol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi,
dan triage untuk korban trauma telah dikembangkan oleh “American college of
surgeons, committee on trauma”.
1. Prarumah Sakit
Penatalaksanaan awal sering kali menentukan hasil akhir. Fase ini
dimulai pada tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap cedera-
cedera yang mengancam keselamatan jiwa. Setelah jalan nafas dipastikan,
kemudian pernafasan dan sirkulasi dievaluasi dan didukung. Resusitasi
sirkulasi awal termasuk kontrol terhadap hemoragi eksternal, melakukan
terapi cairan intravena, dan adakalanya pemasangan pneumatic antishock
garment (PASG). Potensi terhadap fraktur juga harus diimobilisasi sebelum
dipindahkan.

21
2. Rumah Sakit
Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya di rumah sakit
dibagi ke dalam empat fase : evaluasi primer, resusiitasi, pengkajian
skunder, dan perawatan definitive.
a. Evaluasi Primer
Seperti halnya pada pengkajian prarumah sakit, evaluasi primer
mendeteksi masalah-masalah jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi, dan
menentukan kemungkinan ancaman terhadap jiwa dan anggota badan.
Informasi tentang mekanisme terjadinya cedera dan gambaran tentang
keadaan kecelakaan (spt,stang roda mobil yang bengkok )akan
memberikan petunjuk tentang kemungkinan terjadinya cedera serius.
Pemeriksaan neurologic yang seksama juga dilakukan.
b. Resusitasi
Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer
dan mencakup tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam
keselamatan jiwa. Pasien dapat memerlukan intubasi endotrakeal,
pemberian oksigen, terapi cairan intravena, dan kontrol terhadap
hemoragi. Kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa,
misalnya tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, dan
tamponade jantung, diatasi dengan cepat kecuali adanya kontraindikasi,
kateter urin dan selang nasogastrik dipasang.
c. Pengkajian sekunder
Apabila kondisi pasien sudah berhasil distabilkn, riwayat
kesehatan yang lengkap, termasuk informasi tentang mekanisme
terjadinya cedera, harus diperoleh dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh harus dilakukan. Pemeriksaan dapat mencakup
elektrokardiogram (ECG), berbagai uji laboratorium, dan pemeriksaan
radiologic (Table 44-1).jika diduga adanya cedera abdomen, maka
lavage peritoneal diagnostic (DPL) juga diperlukan dilakukan.
1) Pola-pola cedera
Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera sering
kali akan sangat membantu dalam mendiagnosa kemungkinan
gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan

22
kenderaan bermotor (KKB) dan jatuh, sedangkan trauma tusuk
(penetrasi) seringkali di akibatkan oleh luka tembak, atau luka
tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang tetrlibat di dalam
suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi (mis,KKB
kecepatan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat
yang sangat tinggi).
Trauma tumpulm pada kecelakaan kenderaan mobil, badan
kenderaan memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi
dari hasil benturan tabrakan. Pengendara atau penumpang yang tidak
menggunakan sabuk pengaman. Bagaimanapun akan terlempar dari
mobil dan dampaknya mendapatkan cedera tambahan. Pengendara
sepeda motor mempunyai perlindungan yang minimal dan seringkali
akan menderita cedera yang parah apabila terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat
menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur
tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas
dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga, organ-organ
abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mensenteri.

Prosedur-prosedur Radiologi pada Trauma

Prosedur Dugaan Cedera


Radiografi
Dada Pneumotoraks
Hemothoraks
Fraktur iga
Kontusio pulmonal
Cedera trakeobronkial
Cedera pembuluh besar
Pelvis Fraktur
Ekstremitas Fraktur
Angiogram Cedera pembuluh besar
Cedera ginjal
Cedera vascular pelvis

23
Cedera vascular ekstremitas
Tomografi Komputer Dera abdomen
Cedera retroperitoneal
Cedera ginja
Fraktur pelvic
Serangkaian gastrografin Hematoma atau laserasi
GI bagian atas Duodenal
Skan hepar/limpa radio- Cedera seplenik
Nuklida Cedera Hepatik
Pielogram intravena Cedera ginjal
Uretrogram Retrograd Cedera uretra
Sistogram retrograde Cedera kandung kemih

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan


oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat
tetrhimpit diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan
pancreas juga sering tertekan terhadap tulang belakang. Cedera
karena benturan seringkali menyebabkan kerusakan internal dengan
sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendraan seringkali memberikan petunjuk-
petunjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi
kenderaan yang bengkok atau rusakmemperbesar dugaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang
atau abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang
servikal, dan cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada
kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral dapat
menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan pintu
atau jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
2) Lavage periotoneal Diagnostik (LPD)
Tujuan : untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal
Indikasi-indikasi :
a) Cedera tumpul dengan abdominal
b) Perubahan respons nyeri
24
Penurunan : cedera kepala atau medula spinalis ; adanya
alcohol dan obat-obatan.
Peningkatan : fraktur pelvik, tulang belakang lumbar atau iga
bawah.
c) Hipovolemia yang tidak dapat dijelaskan pada korban trauma
multiple
d) Trauma abdomen penetrasi (jika eksplorasi tidak dikasikan)
Kontraindikasi :
a) Riwayat operasi abdomen multiple
b) Kebutuhan laparotomi segera
Prosedur :
a) Pasang kateter lavege kedalam rongga peritoneal melalui
insisi 1-2 cm.
b) Coba mengespirasi cairan peritoneal.
c) Infus normal salin atau Ringer laktat dengan bantuan gaya
gravitasi.
d) Ubah posisi pasien dari satu sisi kesisi yang (kecuali jika ada
kontraindikasi)
e) Beriakan cairan mengalir kembali kekantung dengan bantuan
gaya gravitasi.
f) Kirim spesimen ke laboratorium.
Hasil-hasil positif :
a) 10-20 ml darah nyata pada aspirasi awal
b) Lebih besar dari 100.000 SDP/mm³
c) Lebih besar dari 500 SDP/mm³
d) adanya bilirubin, bakteri, atau bahan feses.
Trauma penetrasi, Luka tembak berkaitan dengan derajat
kerusakan yang lebih tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat
menyebabkan luka di sekitar jaringan dan dapat terpecah atau
merubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan
cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur
kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.

25
Dengan menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan
kewaspadaan pada mekanisme terjadinya cedera, perawat unit
keperawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi
cedera yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
d. Perawatan definitive
Meskipun perawatan definitif dapat dimulai pada unit gawat
darurat atau ruang operasi. Perawatan ini sebagian besar terdiri atas
perawatan yang diberiakan pada unit rawat itensif, dan yang konstan
adalah penting dalam memudahkan penatalaksanaan masalh-masalah
yang ada. Elemen penting lainnya dari perawatan definitif termasuk
evaluasi tanda-tanda serta gejala-gejala baru, penatalaksaan terhadap
kondisi-kondisi medis yang sudah ada terlebih dahulu, identifikasi
cedera yang terlewatkan selama tindakan terhadap masalah-masalah
yang mengancam jiwa.

2.2.5 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma yang Terjadi


1. Trauma Torak
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera torakik yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest), dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak
ditangani, maka akan mengancam jiwa.
2. Cedera pada Paru dan Iga
a. Pneumotoraks dan Hemotoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks
atau hemotoraks Seringkali, satu-satunya tindakan yang diperlukan
adalah pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500 ml pada
awalnya atau >100-200 ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan
selang dada untuk mengembangkan kembali paru-paru sering kali sudah
memadai tamponade dengan sumber pendarahan yang lebih kecil.
Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus
pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara yang
tidak terkontrol.

26
Selain memberikan perawatan rutin posoporasi (spirometri, batuk,
latihan nafas dalam), perawat unit perawatan kritis harus mengkaji fungsi
pernafasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan cedera paru
mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi pulmonal
seperti etelekstatis, peneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji
patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase menjadi
berlebihan. Untuk kehilang darah dalam jumlah besar dari selang dada,
mungkin harus dilakukan ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur
multiple iga, menyebabkan ketidak stabilan dinding dada. Iga melayang
berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks, kontusio pumonal,
kontusio miokardial. Tujuan utama daari perawatan terhadap iga
mengambang adalah untuk meningkatkan fentilasi yang ade kuat. Jika
status pernafasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cidera terjadi,
maka ada indikasi pemasang intibasi dan fentilasi mekanis. Mungking
juga digunakan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada kejadian
yang langka, mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan kawat dan
staples. Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya
akan mengutangi pul monal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri yang hebat. Control
nyeri yang ade kuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa
memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi
parenteral, intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgetik
sistemik, bagaimanapun tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga
melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk menghilangkan
nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasiaen denga iga melayang ditujukan
pada pengkajian dan pengontrolan nyeri, disertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang ade kuat. Hipoventilasi. Akibat nyeri
meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernafasan, termasuk
atelektasis dan peneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki
fungsi pernafasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan panas dalam,

27
spirometrik, drainase dan chapping, mukolitik, bronkodilator, pernafasan
tekanan positif intermiten (PTPI). Suksionendotrakeal dan nasotrakeal,
bronkoskopi terapeutik.
Serangkain pengkajian pulmonal, termasuk sinar-x dada, gas-gas
aterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang pemantauan dengan
oksimetrik adalh penting.

Prosedur-prosedur antara Kontusio Pulmonal dan ARDS

Kontusio Pulmonal ARDS

Awitan gagal pernapasan Awitan gagal pernapasan mendadak


bertahap
Perubahan-perubahan gambaran Perubahan-perubahan gambaran
radiografi dapat segera terlihat radiografi sering kali tertunda 2-3
hari setelah timbul gejala-gejala
Infiltrate setempat Infiltrate menyebar
Dapat mengarah pada Dapat mengaah pada fibrosis
terbentuknya rongga dan abses pulomanal kronis

c. Kontusio Pulmonal
Kontusio Pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali
akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto
dada awal: bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus
mengarah pada dugaan kemungkinanadanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan
dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan
protein ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Tanda-tanda dan
gejala-gejalanya termasuk dispnea, rales, hemoptitis, dan takipnea.
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat.
Perlu sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau
oksimetri nadi. Intervensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian
pernapasan yang kerap, perawatan pulmonal, dan kontrol nyeri.

28
d. Cedera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma
tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada
esophagus dan vascular. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai
angka kematian yang tinggi, bagaimanapun dengan bertambah baiknya
perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-akhir ini, maka makin
banyak pasien ini yang bertahan hidup.
Cedera jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya
termasuk dispnea (ada kalanya satu-satunya tanda), hemoptisis, batuk,
dan emfisema subkutan. Perbaikan operasi dengan ventilasi mekanis
pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan
diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap
oksigenisasidan pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonalyang
tepat. Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek, sedangkan stenosis
trakeal dapat terjadi kemudian.

3. Cedera Pada Jantung


a. Kontusio Miokardial
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan
dada pada batang stir atau dashboard selama KKB. Gejala-gejala
kontusio jantung bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada
gagal jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma,
keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus dievaluasi dengan cermat.
Secara histology, kontusio jantung mirip dengan infark
miokardial. Diagnosa bias sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya
dilakukan serangkaian pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran
keratin kinaseinsoenzim miokardial. Yang lebih umum dari kontusio
miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar)
yang dapat pulih. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer
(mis; takikardia, kontraks premature) akan terlihat tanpa adanya

29
perubahan dalam insoenzim. Manakala kontusi sudah dipastikan, maka
tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark miokardial akut.
b. Cedera penetrasi
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,
hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang
mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya
muskulatur ventrikuler.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal (Swan-Ganz)
dan selang arterial dipasang unutk memudahkan pemantauan
hemodinamik dengan cermat. Pada peristiwa transfusi multipel, risiko
terhadap ARDS dan koagulasi intravascular diseminata makin tinggi
(Tabel 44-4). Hipotensi berkepanjangan meningkatkan kemungkinan
terjadinya gagal renal.

Komplikasi yang Berhubungan dengan Transfusi Darah Multipel


ARDS
Koagulopati
KID
Hipokalemia atau Hiperkalemia
Hipokalsemia
Metabolik asidosis
Hipotermia
Kelebihan volume
Reaksi Transfusi
Penularan infeksi
Cedera pada Pembuluh Darah Besar

c. Tamponade
Tamponade jantung dapat terjadi akibat trauma penetrasi
maupun trauma tumpul. Tanda-tanda awal dapat mencakup penurunan
tekanan darah, peningkatan tekanan vena sentral sebagaimana yang
ditunjukan oleh distensi vena leher, dan bunyi muffle pada jantung.

30
Asuhan keperawatan pasca pembedahan mirip dengan tindakan cedera
penetrasi jantung
Sebagian besar pasien dengan transeksi atau robekan pada aorta
mengalami pengeluaran darah sebelum sampai dirumah sakit. Tempat
yang paling umum terjadinya cedera adalah dekat ligamentum
arteriosum. Kematian mendadak dapat dihindari jika hemoragi benda
didalam adventisia aortic. “Aneurisma palsu” ini dapat pecah setiap saat,
sehingga memerlukan diagnosa dan tindakan yang cepat.
Kecurigaan akan cedera pada aorta atau pembuluh darah lainnya
meningkat dengan adanya fraktur iga pertama dan kedua atau
hemotoraks masif sebelah kiri. Tanda-tanda diagnostik tambahan,
meskipun tidak selalu ada, termasuk hipertensif ekstremitas atas dengan
penurunan nadi ekstremitas bawah. Cedera pada subklavia atau arteri
innominata dapat menyebabkan penurunan nadi pada ekstremitas atas.
Komplikasi-komplikasi serius termasuk gagal ginjal karena
iskemia, disertai dengan ARDS dan KID karena transfuse multipel. Pada
kasus yang langka, perbaikan atau pengkleman silang aorta totatik
asending dapat menyebabkan iskemia medula spinalis, mengakibatkan
paralysis pemanen dari ekstremitas bawah.
d. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun
yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan
kerusakan yang serius organ-organ padat, dan trauma penetrasi sebagian
besar melukai organ-organ berongga. Secara umum, organ-organ padat
berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga
pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal,
menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien
yang memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam
peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-
gejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dngan pembedahan.
Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut;
distensi, rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan

31
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-
gejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah
memperoleh popularitas dan sering digunakan, atau sebagai tambahan
LPD. Namun skan CT tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi
cedera pada rongga-rongga berongga.
4. Cedera pada Lambung dan Usus Halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus
lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan oleh
trauma penetrasi. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum
Treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya perlambatan. Cedera
tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan adanya darah pada
aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Cedera penetrasi biasanya
menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi
secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda masukan per oral),
pembedahan biasanya diperlukan untuk memperbaiki luka-luka penetrasi.
Dekompresi pascaoperasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang
lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Selang pemberi makan
dapat dipasangkan segera pascaoperasi. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap sepsis
adalah kecil, namun pemberian anti biotik profilaktik dapat dilakukan kapan
saja terjadi perforasi usus.
Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk perdarahan
pascaoperasi. Hipovolemia karena “spasium ketiga” serta timbulnya fistula
atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan adanya tindakan
pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang terjadi kecuali jika lebih
dari 200 cm usus telah diangkat.
5. Cedera pada Duodenum dan Pankreas
Pankreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena
keduanya adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan
fisiologi mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar
untuk mencederai organ-organ ini, karena organ-organ ini terlindung dengan
baik, jauh di dalam abdomen. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat mencakup

32
abdomen akut, peningkatan kadar amylase serum, nyeri epigastrik yang
menjalar ke punggung, mual, dan muntah-muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan
drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan perbaikan pembedahan.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus-kasus ini termasuk
pankreotikoduodenektomi, anastomosis Roux-en-Y, dan pada keadaan yang
langka, dilakukan pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pascaoperasi adalah sama untuk
berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan pasien dipantau
terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah penting jika
fistula telah terbentuk, karena tingginya kandungan enzim dari getah
pankreatin. Awitan Diabetes Militus jarang terjadi kecuali jika dilakukan
pankreatektomi total.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan
anastomosis primer atau Billroth II. Trauma tumpul pada duodenum juga
dapat mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas. Obstruksi
menyeluruh umumnya memerlukan drainase pembedahan dari hematoma.
6. Cedera pada Kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat
dari cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi eksplorasi.
Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Kolon
mempunyai jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra-abdominal, dan pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pascaoperasi difokuskan pada pencegahan
infeksi. Pada kasus perbaikan kolon eksterior, dan dilakukan anastomosis
ujung-ke-ujung dan tempat perbaikan eksterior untuk memudahkan
identifikasi kebocoran. Karena sepsis adalah komplikasi utama pada cedera
kolon, mungkin diperlukan serangkaian prosedur radiografi dan pembedahan
untuk menemukan dan mengalirkan abses.
7. Cedera pada Hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat

33
menyebabkan cedera. Pada banyak kasus, baik sifat dari cedera atau LPD
positif atau skan CT digabung dengan kondisi klinis pasien akan menuntut
dilakukannya pembedahan. Cedera pada hepar juga memrlukan drainase
empedu dan darah pascaoperasi melalui drain.
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan
koagulopati. Dengan koagulopati, perdarahn timbul dari berbagai tempat,
sedangkan dengan hemostasis inkomplit perdarahan terutama berasal dari
tempat pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk penggantian produk
darah sambil memantau hematokrit dan pemeriksaan koagulasi. Pengkajian
tipe dan jumlah selang drainase, disertai keseimbangan cairan, juga adalah
penting. Potensial komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau
perihepatik, obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis, ARDS dan
KID.
8. Cedera pada Limpa
Limpa adalah oragan abdomen yang paling umum mengalami cedera.
Lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Tanda-tanda dan gejala-gejala
yang ditunjukkan termasuk nyeri kuadran kiri atas menjalar sampai ke bahu
kiri, syok hipovolemik, dan temuan-temuan nonspesifik dengan peningkatan
jumlah sel darah putih. LPD, skan CT abdominal, atau pemeriksaan
radionuklida biasanya penting untuk diagnosa.
Orang dewasa dengan cedera minor atau kebanyakan anak-anak
ditangani tanpa tindakan operasi, dengan observasi (serangkaian pemeriksaan
abdomen, hematokrit) dan dekompresi nasogastrik. Tindakan pembedahan
terdiri atas splenorafi atau splenektomi. Ototransplantasi splenik, suatu
prosedur yang masih sangat baru dan controversial, terdiri atas implantasi
fragment-fragment splenik ke dalam kantung omentum.
Komplikasi dini termasuk perdarahan berulang, abses subfrenik, dan
pankreatitis karena trauma pembedahan. Komplikasi akhir terdiri atas
trombositosis dan sepsis berat postplenektomi (SBPS). Penyuluhan harus
difokuskan pada deteksi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala dari infeksi.
Autotransplantasi splenik terbukti dapat bermanfaat dalam menurunkan
insiden SBPS.

34
9. Cedera pada Ginjal
a. Cedera Vaskular
Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada hemoragi “bebas”,
hematoma terkandung, atau berkembangnya trombus intraluminal.
Tanda-tanda dan gejala-gejala, jika ada, terdiri atas hematuria, nyeri, dan
massa panggul. Skan CT, pielogram intravena, atau engiogram biasanya
dapat membantu dalam menegakkan diagnosa. Laserasi yang lebih kecil
diperbaiki, sedangkan cedera yang lebih besar mengharuskan dilakukan
nefrektomi.
Pengkajian pascaopersi dan dukungan fungsi ginjal adalah penting.
Mungkin diberikan dopamine dosis rendah, dan keseimbangan cairan
optimal harus dipertahankan untuk menjamin perfusi ginjal. Komplikasi
utama terdiri atas trombosis arterial atau vena dan gagal ginjal akut.
b. Cedera Parenkin
Trauma tumpul atau penetrasi dapat menyebabkan laserasi atau
kontusio parenkin ginjal atau pecahnya system koligentes. Diagnosanya
serupa dengan cedera vskular ginjal. Pembedahan diperlukan untuk
cedera yang lebih besar. Komplikasi lainnya termasuk perdarahan, sepsis
(terutama dengan ekstravasasi dari urine yang terinfeksi),
berkembangnya fistula uriner, dan awitan lambat hipertensi.
10. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kandung kemih
seringkali berhubungan dengan fraktur pelvic. Adanya hematuria, nyeri
abdomen bawah, atau ketidakmampuan berkemih memerlukan
pemeriksaan terhadap cedera uretra dengan uretrogram retrogad sebelum
pemasangan kateter urine.
Cedera pada kandung kemih dapat menyebabkan ekstravasasi urine
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ekstravasasi ekstraperitoneal sering
dapat ditangani dengan drainase kateter. Komplikasi jarang terjadi namun
dapat saja terjadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat
ekstravasasi urine.

35
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang
tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paling sering dari
kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas.
Angiogram seringkali diperlukan untuk menemukan letak dan
menyumbat sumber perdarahan.
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Transfusi multipel dan pemantauan
hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf
pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang
berkepanjangan dan rehabilitsi yang sering.
11. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakala radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka
harus dilakukan stabilitasi atau perbaikan fraktur. Fiksasi internal fraktur
sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cedera multipel
yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring
berkepanjangan (ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian status
neurovaskuler, sejalan dengan perawatan luka dan pin. Asuhan
keperawatan harus diarahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini
tentang masalah-masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama dengan
terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan mobilisasi dini.
b. Cedera Vaskular
Cedera vaskular sering kali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma
penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Angiogram juga dapat
digunakan untuk menentukan tempat cedera dan mengidentifikasi fistula
arteriovenosa, pseudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan
perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskuler.

36
Segera setelah periode pasceoperasi, terdapat resiko perdarahan
berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh. Perawat harus mengkaji
nadi distal, warna kulit, sensasi, gerakan, dan suhu ekstremitas yang
cedera. Indeks ankle-brakial (ABI) seringkali berguna dalam mendeteksi
perkembangan oklusi setelah trauma ekstremitas bawah. Penurunan ABI
menunjukan peningkatan gradient tekanan yang menembus pembuluh.
Metode ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya
meraba nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom
kompartemen.

2.2.6 Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma Lanjutan


1. Trauma Torak
Trauma torak sering ditemukan, sekitar 25% dan penderita multi-trauma
ada komponen trauma toraks. 90% pada penderita dengan trauma toraks ini
dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter rumah sakit (atau
paramedic dilapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.
2. Pemeriksaan Fisik Paru
a. Inspeksi
Pemeriksaan paru dilakukan dengan melihat adanya jejas pada kedua sisi
dada,serta ekspansi kedua paru simektris atau tidak
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan kedua tangan memegang kedua sisi dada.Nilai
peranjakan kedua sisi dada penderita apakah teraba simektris atau tidak
oleh kedua tangan pemeriksa.
c. Perkusi
Dengan mengetukan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang
diletakan mendatar di atas dada.Pada daerah paru berbunyi sonor,pada
daerah jantung berbunyi redup (dull),sedangkan diatas lambung (dan
usus) berbunyi timpani.Pada keadaan pnuemothorax akan berbunyi
hipersonor,berbeda dengan bagian paru yang lain.Pada keadaan
hemotorak akan berbunyi redup (dull).

37
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula,(pada
garis mid-klavikularis) ,dan pada kedua mid-aksila (kosta 4-5) bunyi
nafas harus sama kiri sama dengan kanan.
3. Jenis Trauma Torak
a. Manifestasi : gangguan airway (obstruksi)
Penekanan pada trakea didaerah toraks dapat terjadi karna mislnya
fraktur seternum.Pada pemeriksaan klinis penderita aka nada gejala
penekanan airway seperti stridor inspirasi dan suara serak.
b. Manifestasi : gangguan breathing (sesak)
Ada 4 gangguan breathing :
a. Pneumotoraks terbuka /open pneumo-thorax (sucking chest wound)
Depek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumo-thorax terbuka.Tekanan didalam rongga pleora akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfer.
b. Tension pneumothorax
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan fentilasi mekanik (fentilator) dengan fentilasi tekanan
positif pada penderita yang ada kerusakan pada pleura
visceral.Tension pneumothorax juga ditandai dengan gejala nyeri
dada,sesak yang berat,distress pernafasan takikardea,hipotensia
deviasi trakea,hilang suara nafas pada satu sisi,dan ditensi venaleher
c. Hematothorax massif
Pada keadaan ini terjadi perdrahan hebat dalam rongga dada.Pada
keadaan ini akan terjadi sesak karna darah dalam rongga pleura dan
sok karna kehilangan darah.Pada perkusi dada akan dull karan adarah
dalm rongga pleura (pada pneumothorax adalah hipersonor)
d. Flail chest
Terjadinya flail chest dikarnakan fraktur iga multiple pada dua atau
lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur.Adanya sigmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada.Pada ekspirasi segman akan menonjol
keluar,pada inspirasi justru akan masuk kedalam ini dikenal sebagai

38
pernafasan paradogsal. Flail chest mungkin tidak terlihat pada
awalnya, karna spilnthing pada awalnya (terbelat) dengan dinding
dada.Gerkan pernafasan menjadi buruk dan torak bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi.Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membentuk
diagnosis.
c. Manifestasi : circulation (shok)
Cirdera torak yang akan mempengaruhi sirkulasi yang harus
ditemukan pada primary survey adalah hemotorak mosip karna
terkumpulnya darah dengan cepat dirongga pleura.Juga dapat terjadi pada
tampo nade jantung,walaupun penderita tidak dalam keadaan sesak
namun dalam keadaan shok ( syok nonhemoragik ) terjadi paling sering
karna luka tajam jantung,walaupun trauma tumpul juga dapat
menyebabkannya.
4. Trauma Abdomen
Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi-trauma.
Sering kali terjadi bahwa diagnostic akan adanya cedera intra-abdomen
terlambat karna:
a. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat.
b. Adanya penurunan kesadaran karna ada cedera kepala yang bersamaan,
sehingga gejala nyeri abdomen tidak ada.
c. Adanya cedara spinal, sehingga tidak adanya rasa nyeri.
d. Pemakaian obat-obatan atau minuman keras.
5. Insiden
Trauma abdomen bisa disebabkan karna trauma tajam dan trauma
tumpul. Trauma tajam di Indonesia cukup sering terjadi umumnya
disebabkan oleh luka tikam, luka bacok atau luka tembak. Penderita
umumnya pria dari kelompok usia produktif. Pada luka bacok biasanya
penderitanya mengalami luka-luka ditempat lain, misalnya dikepala, dileher,
dada, extremitas dan kadang-kadang menimbulkan syok hypovolemik.
6. Mekanisme trauma
Luka tikam bisa dibedakan oleh pisau, golok, obeng, pisau lipat, kaca
atau benda-benda yang menancap.

39
Luka tembak bisa disebabkan menjadi 2 (dua) jenis :
a. Kecepatan rendah : < 1000 feet/detik, umumya pada senjata sipil/polisi
b. Kecepatan tinggi : > 3000 feet/detik, umumnya pada senjata standar
militer.
7. Gejala Dan Tanda Trauma Abdomen
Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu mendeteksi cedera
yang potensial pada organ-organ intra abdomen. Pemeriksaan color dubur
sangat penting pada trauma tajam abdomen dan bila ditemukan adanya darah
pada sarung tangan berarti ada cedera pada usus. Bila pada pemeriksaan
tidak ditemukan tanda dan gejala klinis yang positif kita harus hati-hati dan
tetap waspada.atau team harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat
mungkin.
Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada
kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen antara lain :
a. Perdarahan yang tidak diketahui
b. Riwayat syok
c. Adanya trauma dada mayor
d. Adanya trauma pelvis
e. Penderita dengan penurunan kesadaran
f. Adanya hematuri
g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas diabdomen (luka lecet, kontusio,
dan perut distensi)
h. Mekanisme trauma yang besar.
1) Inspeksi
Semua pakaian harus dilepas.abdomen bagian depan dan belakang diteliti
apakah mengalami ekskoriasi atau memar, adakah laserasi, tusukan dan
sebagainya dengan cara log roll
2) Auskultasi
Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atautidak.
3) Perkusi
Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada tympani karna dilatasi
lambung akut dikwadran kiri atas ataupun adanya perkursi redup bila ada
hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan peritoneum dan

40
mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullness (adanya darah dalam
abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.
4) Palpasi
Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan
besarnya uterus dan usia kehamilan.
8. Penanganan Trauma Abdomen
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan dan tajam,
penanganan awal tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu
prosedur ABCDE. Disini penolong atau tim harus melakukan resusitasi dan
stabilisasi secepat mungkin.
a. Airway dan breathing
Ini diatasi terlebih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu
area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan
airway dan breathing terlebih dahulu.
b. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa
pada fase pra-RS namun terhadap syok yang menyertainya perlu
penanganan yang agresif
c. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selal
periksa tingkat kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil
anisokor dan motorik yang lebih lemah satu sisi).
d. Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi) cukup denga
menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering.
Apabila ada benda menancap, jangan dicabut tetapi dilakukan fikasi
benda tersebut terhadap dinding perut.
9. Trauma Termal
Kulit manusia banyak fungsinya, antara lain menghindari terjadinya
kehilangan cairan. Apabila terjadi lka ternal maka kulit akan mengalami
denaturasi protein yang ada dalam sel, sehingga kehilangan
fungsinya,kematian sel di dalam jaringan, dan kemudian terjadi luka.
Semakin banyak kulit yang hilang maka semakin berat kehilangan cairan.

41
Saat ini luka ternal (luka bakar) masih merupakan masalah yang cukup besar,
dan pertolongan pertama yang baik akan sangat membantu prognosis
penderita.
a. Penanganan Luka Bakar
Pada saat penderita ditemukan, biasanya api sudah mati, apabila
penderita masih dalam keadaan terbakar,maka dapat ditempuh dengan
cara :
1) Menyiram air dengan jumlah yang banyak apabila api disebabkan
karena bensin atau minyak, kerana apabila dalam jumlah sedikit
hanya akan memperbesar api.
2) Menggulingkan penderita pada tanah yang datar, kalau bisa dalam
selimut basah (penolong jangan sampai turut terbakar).

a) Survei primer
(1) Airway
Pada permulaan airway biasa tidak terganggu. Dalam keadaan
ekstrim bisa saja airway terganggu, misalnya karena lama berda
dalam ruangan tertutup yang terbakar sehingga terjadi pengaruh
panas yang lama terhadap jalan nafas. Menghisap gas atau pertikel
korban yang terbakar dalam jumlah juga dapat mengganggu airway.
Apabila obsruksi parsial dibiarkan, maka akan menjadi total dengan
akibat kematian penderita indikasi klinis adanya trauma inhalasi
anatara lain :
a. Luka bakar yang mengenai wajah dan leher
b. Alis mata dan bulu hidung hangus
c. Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut orofaring
d. Sputum yang mengandung karbon atau arang
e. Suara serak
f. Riwayat gangguan mengunyah dan terkurung dalam api
g. Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
(2) Breathing
Gangguan breating yang timbul cepat, dapat disebabkan karena :

42
(a) Inhalasi partikel panas yang menyebabkan proses peradangan
dan edema pada saluran jalan nafas yang paling kecil.
Mangatasi sesak yang terjadi adalah dengan penangan yang
agresif, lakukan airway definitive untuk menjaga jalan nafas.
(b) Keracuanan Co (karbondioksida). Asap dan api mengandung
Co. apabila penderita berada dalam ruangan tertutup yang
terbakar maka kemungkinan keracunan Co cukup besar.
(3) Circulation
Kulit yang terbuka akan menyebabkan penguapan air yang berlebih
dari tubuh, dengan akibat terjadi dehidrasi.
(4) Disability
Jangan lupa memeriksa skor GCS dan tanda lateralisasi (pupil dan
motorik). Kepanikan mungkin menimbulkan benturan sehingga
perdarahan intracranial dapat saja terjadi.
(5) Eksposure
Pada eksposure selaluperhatikan penderita jangan sampai
hipotermi.
b) Survey Sekunder
(1) Anamnesis
Penting untuk menanyakan dengan teliti hal sekitar kejadian. Tidak
jarang terjadi bahwa disamping luka bakar akan ditemukan pula
perlukaan lain yang disebabkan usaha melarikan diri dari dari api
dalam keadaan panic tersebut.
(a) Pemeriksaan ujung rambut sampai ujung rambut sampai ujung
kaki.Pemeriksaan teliti di lakukan apabila ada waktu. Apabila
ditemukan kelainan maka diberikan pertolongan sesuai.
(b) Luka bakarnya sendiri Tidak perlu dilakukan apa-apa,selain
menutup dengan kain bersih. Menyemprot dengan air hanya
dilakukan bila tiba sebelum 15 menjangan memecit setelah
kejadian.Pada fase pra-RS hkan bula atau vesikula
b. Penatalaksanaan Luka
Perawatan luka dilakukan segera setelah tindakan resusitansi jalan
nafas dan mekanisme bernafas serta resusitasi cairan dilakukan

43
melakukan tindakan debridement, nekrotomi, dan pencucian luka.
Tentunya tindakan ini di lakukan di Ruang Operasi Luka Bakar.
c. Luka Bakar Listrik
Luka listrik cukup sering di temukan. Yang harus di perhatikan adalah :
1) Yang menyebabkan kematian adalah kuat arus (ampere)dan bukan
voltase.
2) Apabila penderita datang masih dalam keadaan terkena arus listrik
,yang perlu diperhatikan adalah :
a) Matikan listrik dari sumber listrik
b) Apabila tidak mungkin,maka coba lepaskan penderita dengan
perataran kayu kering,baju kering dsb.
3) Luka bakarnya sendiri
Bahaya gamgguan irama jantung juga selalu ada ,betapapun kecil
arus listrik,karena selalu pasang EKG.Bila ada kelainan berikan terapi
yang sesuai.
4) Bila sudah meninggal,selalu berikan RJP(kecuali bila kematian pasti.
5) Masalah luka karena arus listriknya : dianggap sebagai luka bakar.
Patut di tambhakan bahwa luka karena aruskan listrik akan masuk
kekulit.
d. Luka Bakar Kimia
1) Zat yang bersifat basa kuat lebih berbahaya di bandingkan zat bersifat
asam kuat. Semakin asam atau basa, semakin berbahaya pula.
2) Apabila menemukan penderita masih dalam keadaan terkena zat
kimia :
a) Selalu proteksi diri
b) Apabila zak kimia bersifat cair, langsung semprot dengan air
mengalir.
c) Apabila sifat kimia bersifat bubuk safu dulu sampai zat kimia
tipis baru siram.
3) Luka karna zat kimia diperlakukan sebagai luka bakar.
e. Indikasi rawat
Pada beberapa kasus luka bakar yang perlu dirujuk kepusat luka bakar
sebagai berikut :

44
1) Kasus LB derajat II > l5% persen pada dewasa dan >10% pada anak-
anak.
2) Kasus LB derajat II pada muka, tangan dan kaki. Perinium, sendi.
3) Kasus LB derajat III >2% pada dewasa, setiap derajat III pada anak-
anak.
4) Kasusu LB disebabkan oleh listrik disertai cedera, jalan nafan atau
komplikasi lain.
f. Cedara akibat cuaca dingin: efeknya pada jaringan local
Ada 3 jenis truma dingin :
1) Frostnip, merupakan bentuk paling ringan trauma dingin, ditandai
dengan nyeri, pucat, dan kesemutan pada daerah yang terkena.
2) Frostbite, adalah pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh
pembentukan Kristal es intraseluler dan bendungan mikrofasikuler
sehingga terjadi anoriksia jaringan.
g. Derajat frostbite:
1) Derajat 1 : Kulit tampak memucat, edema tanpa nekrosis kulit.
2) Derajat 2 : Mulai gelembung atau bulae
3) Derajat 3/dalam : Nekrosis seluruh lapisan kulit daan jaringan
sekutan.
4) Derajat 4 : Nekrosis seluruh lapisan kulit dan ganggreng otot serta
tulang.
h. Penanganan
1) Proteksi diri dan lingkungan
2) Selalu mendahulukan hal yang mengancam ABC terlebih dahulu.
3) Penangan harus segara dilakukan untuk memperpendek berlangsunya
pembekuan jaringan
4) Re-warming
5) Jangan lakukan pada frost bite dalam/lanjut
6) Selalu memakapenhangatan lembab jangan kering misalnya mamakai
hair drayer
7) Jika terdapat luka lakukan seperti penangan luka bakar.

45
i. Cedera akibat cuaca dingin : hipotermi sistem
Hipotermi adalah keadaan dimana suhu tubuh inti (core body
temperature) dibawah 35 C tanpa adanya trauma lain, hipotermi dibagi
menjadi ringan sampai berat .Manula lebih rentan terhadap trauma
hipertermi ini di sebabkan terbtasnya kemampuan menghasilkan panas
dan mengurangi kehilangan panas dan mengurangi kehilangan panas
melalui vasokonstriksi.
j. Penanganan
Lakukan penilaian ABCDE cegah hilangnya panas dengan
memindahkan penderita dari lingkungan dingin dan lepaskan baju yang
basah dan dingin serta tutup dengan selimut hangat.Selalu berikan
oksigen sesuai kebutuhan penderita.
10. Trauma Kapitis
Trauma kapitis merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai. Lebih
dari 50% penderita trauma kapitis, bila multi-trauma (cedera lebih dari satu
bagian tubuh), maka 50% penderita ada masalah trauma kapitis.
a. Jenis trauma kapitis
1) Fraktur
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada
hubungan otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian
segera. Yang lebih penting adalah keadaan intra-kranialnya. Fraktur
basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang
ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas.
2) Cedera Otak
Cedera otak dapat berupa Cedera Difus dan Cedera Fokal. Cedera
Difus dapat kehilangan kesadaran yang sebentar (komosio serebri)
atau lebih lama (difuse axonal injury). Cedera otak difus yang berat
biasanya diakibatkan hipoksia,iskemik dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau priode apnu yang terjadi segera setelah trauma.
Cedera Fokal dapat berupa kontusio atau perdarahan intra-kranial.
Perdarahan intra-kranial dapat berupa perdarahan epidural,
perdarahan subdural atau perdarahan intracranial. Paling sering
ditemukan adalah perdarahan perdarahan sub-dural, perdarahan

46
epidural lebih jarang. Perdarahan subdural mempunyai prognosis
lebih buruk karena kerusakan otak dibawahnya.
b. Penilaian Trauma kapitis
1) Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan tanda utama trauma kapitis. Saat ini
penurunan kesadaran dinilai memakai Glosgow Coma Scale (GCS),
dan merupakan keharusan untuk dikuasai oleh setiap para medic.
GCS memakai 3 komponen, yakni Eye (mata), Verbal (kemampuan
berbicara), dan Motorik (gerakan).
a) Eye
(1) Membuka spontan
(2) Membuka terhadap suara
(3) Membuka terhadap nyeri
(4) Tidak ada respon
b) Verbal
(1) Berorientasi baik
(2) Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat
(3) Berbicara kacau atau tidak sinkron
(4) Suara merintih atau menerang
(5) Tidak ada respon
c) Motorik
(1) Mengikuti perintah
(2) Melokalisir nyeri
(3) Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
(4) Fleksi abnormal (dekortikasi)
(5) Ekstensi abnormal (deserebrasi)
(6) tidak ada respon (flasid)
d) Keadaan koma apabila diterjemahkan ke GCS adalah :
(1) Tidak membuka mata : Eye =1
(2) Tidak dapat berkata-kata : Verbal =2 atau 1
(3) Tidak dapat mengikut perintah : Motorik = 5
(4) Maka koma adalah GCS 8 atau kurang.

47
e) Tingkatan GCS
(1) GCS Ringan (GCS=14-15)
Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai
riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk
dibuktikan terutama bila dibawah pengaruh alcohol atau obat-
obatan.
(2) GCS Sedang (GCS=9-13)
Penderita masih mampu menuruti perintah sederhana namun
biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat desertai
deficit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-
20% dari penderita cedera otak sedang mengalami
pemburukan dan jatuh dalam koma.

(3) GCS Berat (GCS 3-8)


Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah sederhana walaupun status kardiopulmonalnya telah
stabil.
c. Tanda lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi
otak, seperti misalnya perdarahan intra-kranial.
1) Pupil
Kedua pupil mata harus diperiksa. Biasanya sama lebar (3mm) dan
reaksi sama cepat apabila salah satu lebih lebar (lebih dan 1mm),
maka keadaan ini disebut sebagai anisokoria.
2) Motorik
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai, apabila
salah satu lengan atau dan tungkai kurang atau sama sekali tidak
bereaksi maka disebut sebagai adanya tanda lateralisasi.
d. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial (TIK)
1) Pusing dan muntah
2) Tekanan darah sistolik meninggi
3) Nadi melambat (bradikardia)

48
4) Tanda – tanda peninggian tekanan intra-kranial tidak mudah untuk
dikenali, namun apabila ditemukan maka harus sangat waspada.
e. Pengelolaan cedera kepala
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur sevikal.
1) Airway dan Breathing
Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis
karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang
kemudian akan menyebabkan kerusakan otak skunder. Bila koma
harus dipasang jalan nafas definitive, karena reflex menelan dan
reflex batuk kemungkinan sudah tidak ada sehingga ada bahaya
obstruksi jalan nafas. Oksigen selalu diberikan dan bila pernafasan
meragukan lebih baik memulai ventilasi tambahan.
2) Circulation
Gangguan Circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi
darah keotak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder.
Dengan demikian syok trauma kapitis harus dilakukan penanganan
dengan agresif.
3) Disability
Selalu dilakukan penilaian GCS, pupil dan tanda lateralisasi yang
lain. Penurunan kesadaran dalam bentuk penurunan GCS lebih dan 1
(2 atau lebih) menandakan perlunya konsultasi bedah syaraf dengan
cepat. Selalu ingat upayakan mencegah kerusakan otak sekunder.

2.2.7 Komplikasi-Komplikasi Pada Trauma Multipel Penyebab Kematian Dini


(Dalam 72 Jam)
1. Hemoragi dan Cedera Kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab kematian dini setelah trauma
multipel.

49
Mekanisme yang Mengarah pada Penurunan Perfusi Jaringan

Faktor penyebab (spt, penurunan volume. pelepasan toksin)

Penurunan arus balik vena

Penurunan isi sekuncup

Penurunan curah jantung

Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus dikendalikan.


Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi (pengikatan) dan pembungkusan,
dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan
Transfusi multiple, sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS
dan DIC. Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan
akhirnya terjadi penurunan perfusiorgan (Tabel 44-5). Berbagai organ
memberikan respons yang berbeda terhadap penurunan perfusi yang
disebabkan oleh syok hipovolemik.

1. Penyebab Lambat Kematian


(Setelah 3 Hari)
a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multipel.
Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada
pengumpulan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena.
Pada mulanya, curah jantung meningkat untuk mengimbangi
penurunan tahanan vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme

50
kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan dengan
tekanan darah dan perfusi (y.i. syok septik).
Sumber infektif harus ditemukan dan dibasmi. Diberikan antibiotik,
dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan radiologik.
operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses intra Abdomen merupakan
penyebab sepsis paling sering. Sebagian abses dapat keluarkan
perkutan, sedangkan yang lainnya memerlukan pembedahan. Setelah
pembedahan drainase abses abdomen, insisi dibiarkan terbuka, dengan
drains terpasang, untuk memungkinkan penyembuhan dan menghindari
kekambuhan. Sumber-Sumber infeksi lainnya yang perlu diperhatikan
adalah selang invasif, saluran kemih, dan paru-paru. Diperkirakan
bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat menurunkan perkembangan
sepsis dan gagal organ multipel.
b. Gagal Organ Multipel
Awitan sepsis sering bertepatan dengan awitan gagal organ multipel
(GOM) yang terjadi pada 7% sampai 12% dari Pasien-pasien cedera
kritis. Infeksi dan riwayat Syok hipovolemik diduga dapat
meningkatkan potensi perkembangan GOM. Ditandai dengan
kegagalan dua organ atau lebih, GOM ditandai dengan tingkat
mortalitas 25% samapai 95%. Paru-paru dan Hepar Cenderung untuk
gagal pertama kali, diikuti oleh ginjal, sistem pencernaan,dan jantung.
Gagal pulmonal dalam bentuk ARDS biasanya timbul 5 smpai 7
hari setelah cedera. Gagal Pulmonal ditandai dengan hipoksemia
dengan pemirauan, penurunan komplians paru, takipnea, dispnea, dan
timbulnya infiltrat pulmonal bilateral difus. Sindrom memerlukan
bantuan ventilator intensif. Faktor-faktor penyebab termasuk trauma
pulmonal mayor, tranfusi darah multipel, sepsis dan syok.
Gagal hepar dapat diakibatkan oleh kerusakan awal. Melemahnya
vaskular, syok, dan sepsis. Ikterik adalah indikator umum dari
penyimpangan fungsi hepar, meskipun penyebab lain seperti obstrusi
saluran empedu pasca traumatik harus disingkirkan. Uji Fungsi hepar
merupakan Diagnostik. Gagal hepar dapat mengarah pada penururnn

51
tingkat kesadaran, pemeriksaan pembekuan abnormali, dan
hipoglikemia.
Gagal ginjal dapat dicetuskan oleh cedera ginjal, iskemia, bahan
kontras radiografi, hipovolemia (karena hemoragi, spasium ketiga) atau
sepsis. Tanda-tanda awal termasuk peningkatan nitrogen urea darah dan
kreatinin serum. Gagal ginjal dapat poliurik, oligurik. Dialisis
seringkali diperlukan.
Gagal Gastrointestinal ditunjukkan dengan perdarahan stres yang
membutuhkan tranfusi darah. Netralisasi profolaktik asam lambung
dapat meminimalkan resiko perdarahan.
Gagal Jantung biasanya merupakan kompilkasi akhir,
bagimanapun, adanya kondisi jantung sebelumnya dapat mencetuskan
korban tauma multipel pada awitan dari gagal jantung. Dapat terlihat
hipotensi, penurunan curah jantung, dan penurunan fraksi ejeksi.
Koagulasi intravaskular diseminata dan perubahan-perubahan
sistem syaraf pusat, berkisar dari kekacauan mental sampai obtundasio,
dapat juga merupakan tanda GOM.
Banyak teradapat komplikasi yang berkaitan dengan trauma
multipel. Karena kebanyakan pasien-pasien trauma berada pada unit
perawatan intensif saat komplikasi ini timbul, maka perawat unit
perawatan kritis memainkan peranan penting dalam mendeteksi dan
mencegah akibat ini.
Sifat tak teduga dari trauma cenderung memperkuat rasa takut dan
ansietas. Oleh karena itu, asuhan keperawatan juga harus memeberika
dukungan psikososial terhadap pasien cedera berat dan keluarga
mereka melalui pendekatan multidisiplin yang mengetahui
permasalahan dan sering memberikan penjelasan-penjelasan.

52
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
BTLS (Basic Trauma Life Suport) adalah bagian awal dari ATLS (Advanced
Trauma Life Suport. Pada BTLS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta
untuk memberikan tatalaksana sesuai diagnosis definitifnya tapi hanya memberikan
kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nantinya. Intinya pada
tahap ini, dokter atau pelayan kesehatan lainnya hanya diminta membantu pasien untuk
tetap hidup atau membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap
berlangsung.
Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini dokter diminta menilai secermat
mungkin hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering
membantu antara lain :
A : Airway with c-spine control
B : Breathing and ventilation
C : Circulation with haemorrage control
D : Disability (neurologic evaluation)
E : Exposure and Environment

53
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 .Advanced Trauma Life Support
Seventh Edition.Indonesia: Ikabi

Dorland,2002,Kamus Saku Kedokteran .Jakarta :EGC

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. 2006. Handbook of critical care nursing. New York:
A Wiley

Hudack & Galo. 2006. Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC , Jakarta

Scheets,Lynda J. 2002. Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC

Tabrani. 2008. Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung.

54

Anda mungkin juga menyukai