Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu dari tiga pilar utama Program Indonesia Sehat adalah penguatan pelayanan
kesehatan, di antaranya meliputi strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi
sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, dimana salah satu caranya adalah
melalui Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan memerlukan
penanganan yang segera, karena dapat mengancam jiwa atau menimbulkan kecacatan
permanen. Kejadian gawat darurat dapat disebabkan antara lain karena kecelakaan lalu lintas,
penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Lahirnya sistem penanggulangan gawat darurat
terpadu (SPGDT) dilatarbelakangi karena adanya kebutuhan masyarakat akan suatu sistem
penanganan kegawatdaruratan yang standar dan terpadu di Indonesia, dari awal tempat
kejadian, selama perjalanan menuju fasilitas pelayanan kesehatan, selama menerima bantuan
di fasilitas pelayanan kesehatan sampai paska penanganan.
SPGDT akan melibatkan berbagai unsur seperti tenaga kesehatan, pelayanan ambulans,
sistem komunikasi dan masyarakat umum. Untuk mewujudkan SPGDT perlu dibentuk suatu
sistem yang terintegrasi, mulai dari pra-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, intra Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Berkaitan dengan hal tersebut, data Kementerian Kesehatan sampai saat ini baru sekitar 40
Kabupaten/Kota dari total 539 Kabupaten/Kota (7,4%) yang telah membentuk PSC dengan
sistem yang beragam sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
Pelaksanaan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) meliputi stabilisasi
dan transportasi pasien. Keberhasilan dan efektifitas kedua hal tersebut sangat memengaruhi
keberhasilan pasien untuk diselamatkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis menyusun makalah ini dengan memuat konsep
sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), stabilisasi, dan transportasi.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep sistem penanggulangan gawat darurat terpadu
(SPGDT)
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui stabilisasi pasien kegawatdaruratan
2. Untuk mengetahui transportasi pasien kegawatdaruratan

1.3 Manfaat Penulisan


Dengan adanya makalah ini penulis mengharapkan agar dapat memberi manfaat khususnya
untuk mahasiswa keperawatan dan tenaga keperawatan yang diantaranya dapat memberikan
suatu referensi dalam memberikan informasi konsep sistem penanggulangan gawat darurat
terpadu (SPGDT).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)


1. Teori Kegawatdaruratan
a. Pengertian Kegawatdaruratan
Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang serius, yang harus
mendapatkan pertolongan segera.
b. Prinsip dasar penanganan gawat darurat
Dalam menangani kasus gawatdaruratan, penentuan masalah utama (diagnosis) dan
tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang (tidak panik),
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarannya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, tepat dan terarah, (Maryunani & Eka,
2013).
1) Menghormati pasien:
a) Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang
status sosial dan ekonominya.
b) Dalam hal ini petugas juga harus memahami dan peka bahwa dalam situasi
dan konidisi kegawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan kepribadian
adalah wajar bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.
2) Kelembutan
a) Dalam melakukan penegakan diagnosis, setiap langkah harus dilakukan
dengan penuh kelembutan.
b) Dalam hal ini, termasuk dalam menjelaskan keadaan pasien bahwa rasa sakit
atau kurang enak badan tidak dapat dihindari sewaktu melakukan
pemeriksaan dan memberikan pengobatan, tetapi prosedur itu akan dilakukan
selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu di upayakan sedikit
mungkin.
3) Komunikatif
Petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam berkomunikasi, tentunya
dalam bahasa dan kalimat yang mudah dimengerti, mudah dipahami, dan
memperhatikan nilai norma kebudayaan setempat. Menjelaskan kondisi yang
sebenarnya pada paien sangatlah penting.
4) Hak pasien
Hak – hak pasien harus dihormati, seperti penjelasan dalam pemberian
persetujuan tindakan (inform consent).
5) Dukungan keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting bagi pasien. Oleh karena itu, petugas
kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan
penjelasan kepada keluarga pasien tentang kondisi akhir pasien, peka akan
masalah keluarga yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan (finansial),
keterbatasan transportasi, dan sebagainya.

2.2 Stabilisasi dan Transportasi Pasien Gawat Darurat


2.2.1 Stabilisasi Pasien
Setelah kita mengenali kondisi kegawatdaruratan, lakukan stabilisasi keadaan pasien
sebelum melakukan rujukan. Stabilisasi adalah proses untuk menjaga kondisi dan posisi
pasien agar tetap stabil selama pertolongan pertama. Prinsip manajemen trauma: do no
further harm.
1. Elemen – elemen penting dalam stabilisasi pasien, yaitu :
a. Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan respirasi, dan sirkulasi
b. Menghentikan sumber perdarahan dan infeksi
c. Mengganti cairan tubuh yang hilang
d. Mengatasi rasa nyeri atau gelisah
2. Prinsip Stabilisasi
a. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang
dialami
b. Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil
c. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
d. Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
e. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk
lagi
Beberapa stabilisasi pada pasien dengan kegawatdaruratan, yaitu :
1. Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut
survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas
? Jika ada obstruksi maka lakukan :
1) chin lift atau jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
2) Suction / hisap (jika alat tersedia)
3) Guedel airway / nasopharyngeal airway
4) Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
b. Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika
pernafasan tidak memadai maka lakukan :
1) Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
2) Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
3) Pernafasan buatan
4) Berikan oksigen jika ada
c. Circulation
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
1) Hentikan perdarahan eksternal
2) Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
3) Berikan infus cairan
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE :A
RESPONS BICARA (verbal) : V
RESPONS NYERI :P
TAK ADA RESPONS :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus dikerjakan.
2. Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.
a. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)
Adakah hal-hal berikut sianosis, luka tembus dada, flail chest, sucking wounds,
gerakan otot nafas tambahan
b. Palpasi / raba (FEEL)
Apakah adanya pergeseran letak trakhea, patah tulang iga, emfisema kulit, dengan
perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks
c. Auskultasi / dengar (LISTEN)
Suara nafas, detak jantung, bising usus, suara nafas menurun pada pneumotoraks,
suara nafas tambahan / abnormal
d. Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah
dengan memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.
Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi. Jika
dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil. Jika diduga ada
tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan jarum besar
yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan pada ruang
sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan posisi
jarum hingga pemasangan drain toraks selesai. Jika intubasi trakhea dicoba satu
atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung
pada kemampuan tenaga medis yang ada dan kelengkapan alat.
3. Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.
‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada
pasien trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok
didasarkan tanda-tanda klinis : Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat,
ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan
produksi urine.
Prioritas pertama : hentikan perdarahan
a. Cedera pada anggota gerak : Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket
menyebabkan sindroma reperfusi dan menambah berat kerusakan primer.
Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering disalah mengerti. Perdarahan
hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat dihentikan dengan
pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual pada arteri
disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh
bagian anggota gerak tersebut.
b. Cedera dada
Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan
chest tube / pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan
penghisapan berkala, ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru
berkembang kembali sekaligus menyumbat sumber perdarahan. Untuk
analgesia digunakan ketamin I.V.
c. Cedera abdomen
Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila
resusitasi cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90
mmHg. Pada waktu DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk
menekan dan menyumbat sumber perdarahan dari organ perut (abdominal
packing). Insisi pada garis tengah hendaknya sudah ditutup kembali dalam
waktu 30 menit dengan menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan
resusitasi ini hendaknya dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter
yang terlatih (atau mungkin oleh perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil).
Jelas bahwa teknik ini harus dipelajari lebih dahulu namun jika dikerjakan
cukup baik pasti akan menyelamatkan nyawa.
d. Fraktur terbuka.
Setiap luka yang berada dekat fraktur harus dianggap sebagai luka-luka
yang saling berhubungan. Prinsip pengobatan meliputi:
- Menghentikan perdarahan eksternal
- Immobilisasi dan mengatasi nyeri
- Bagian ekstremitas yang teramputasi harus ditutup kasa steril yang
dibasahi NaCl 0,9% kemudian dibungkus dengan kantong plastik steril.
Potongan ekstremitas ini dapat dipertahankan sampai 6 jam tanpa
pendinginan, sedang jika didinginkan dapat bertahan sampai 18 – 20 jam.

Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan ketamin.


a. Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan darah
berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung baik
pada suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika
evakuasi pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca
tropis). Pasien mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali,
karena itu pencegahan hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun
intravena harus dipanaskan 40-42 C. Cairan pada suku ruangan sama dengan
pendinginan.
b. Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian
perdarahan tidak definitive atau tidak meyakinkan volume diberikan dengan
menjaga tekanan sistolik antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi.
c. Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil penelitian terbaru dengan
kelompok kontrol menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid
dibandingkan elektrolit untuk resusitasi cairan.
d. Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan efisien jika pasien
masih memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang diminum
harus rendah gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan penarikan
osmotik dari mukosa usus sehingga timbullah efek negatif. Diluted cereal
porridges yang menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.
e. Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis berulang
0,2 mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak mengurangi
gag reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.

2.2.2 Transportasi Pasien


Prioritas pertama ketika penolong datang untuk pertama kali ialah memastikan lokasi
kejadian aman dari faktor lain yang berpotensi mempersulit proses pertolongan, seperti
kendaraan yang berlalu lalang, benda-benda berbahaya, atau kabel listrik. Penolong harus
memposisikan diri berada di jarak yang aman. Sebelum tiba di rumah sakit, penolong dan
korban harus didekontaminasi untuk mencegah penularan infeksi ke pasien atau tenaga
medis lainnya (Biddinger dan Thomas, 2005).
Memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi pertimbangan
utama. Transportasi melalui udara, darat, dan air dapat dilakukan dengan aman apabila
memperhitungkan prinsip tersebut (American College of Surgeons, 2008).
Ekstrikasi adalah teknik pemindahan pasien secara aman dari tempat kejadian ke alat
transportasi penyelamatan. Ini mungkin menjadi sulit dilakukan pada ruangan yang
sempit, pasien obesitas, dan pasien trauma. Pemindahan benda-benda yang mungkin
masih menjerat pasien juga dilakukan pada proses ekstrikasi. Keterlambatan pada proses
ekstrikasi lebih dari 20 menit dapat berpotensi menimbulkan trauma yang lebih berat
(Biddinger dan Thomas, 2005).
Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, kecuali apabila terhadap pasien telah
dilakukan stabilisasi,tenaga yang cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan
yang terjadi selama transportasi (American College of Surgeons, 2008).
Transportasi pasien-pasien kritis ini berisiko tinggi sehingga diperlukan komunikasi
yang baik perencanaan dan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai. Pasien harus
distabilisasi lebih dulu sebelum diberangkatkan. Prinsipnya pasien hanya ditransportasi
untuk mendapat fasilitas yang lebih baik dan lebih tingggi di tempat tujuan.
1. Pengangkatan dan Pemindahan Penderita
a. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan
b. Berkomunikasi teratur dengan pasangan
c. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya
d. Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
e. Punggung harus selalu dijaga tetap lurus
f. Tangan yang memegang menghadap ke depan. Jarak antar kedua tangan yzng
memegang(mis: tandu) minimal 30 cm
g. Tubuh sedekat mungkin dengan beban yang harus diangkat, bila terpaksa jarak
maksimal tangan ke tubuh kita adalah 50 cm
Pemindahan Korban ada 2 macam:
1) Emergency
- Misalnya : ada api, ledakan
- Ketidakmampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain pada TKP (bahaya
benda jatuh)
- Usaha untuk mencapai penderita lain yg lbh urgent
- Ingat adanya kemungkinan patah tulang leher/cedera cervikal
Pemindahan emergency:
- Tarikan baju
- Tarikan Selimut
- Tarikan Tangan
- Ekstrikasi cepat (Kendrick Emergency Device)
2) Non Emergency
Pemindahan secara langsung oleh 2 atau 3 penolong (tdk ada cedera cervikal).
Pemindahan biasa dilakukan jika keadaan tidak membahayakan penderita maupun
penolong.
2. Perencanaan dan persiapan transportasi pasien meliputi :
- Menentukan jenis transportasi (mobil, perahu, pesawat terbang)
- Menentukan tenaga keshatan yang mendampingi pasien
- Menentukan peralatan dan persediaan obat yang diperlukan selama perjalanan
baik kebutuhan rutin maupun darurat
- Menentukan kemungkinan penyulit
- Menentukan pemantauan pasien selama transportasi
Komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghubungkan :
- Rumah sakit tujuan
- Penyelenggara transportasi
- Petugas pendamping pasien
- Pasien dan keluarganya

Untuk stabilisasi yang efektif diperlukan :


- Resusitasi yang cepat
- Menghentikan perdarahan dan menjaga sirkulasi
- Imobilisasi fraktur
- Analgesia
3. Standarisasi Kendaraan Transportasi Pasien
Menurut Kepmenkes No. 143/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Standarisasi
Kendaraan Pelayanan Medik, jenis kendaraan pelayanan medik meliputi
(Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia, 2001):
1) Ambulans Transportasi
Ambulans ini dipakai untuk penderita yang tidak memerlukan perawatan
khusus/tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa dan diperkirakan tidak
akan timbul kegawatan selama dalam perjalanan.
2) Ambulans Gawat Darurat
Ambulans ini digunakan dengan tujuan pertolongan gawat darurat pra-rumah
sakit, pengangkutan penderita gawat darurat yang sudah stabil dari lokasi
kejadian ke tempat tindakan definitif/rumah sakit, serta sebagai kendaraan
transportasi rujukan.
3) Ambulans Rumah Sakit Lapangan
Dalam keadaan sehari – hari, ambulans ini dipakai untuk melaksanakan fungsi
ambulans gawat darurat. Bila diperlukan, dapat digabungkan dengan ambulans –
ambulans sejenis dan ambulans pelayanan medik bergerak membentuk sebuah
rumah sakit lapangan.
4) Ambulans Pelayanan Medik Bergerak Ambulans ini dipergunakan untuk
pelaksanaan upaya pelayanan medik di lapangan dan dapat dipergunakan sebagai
ambulans transportasi.
5) Ambulans Gawat Darurat Sepeda Motor
Ambulans ini digunakan untuk pertolongan gawat darurat prarumah sakit.
6) Ambulans Pengangkut Jenazah
Ambulans ini digunakan untuk mengangkut jenazah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan memerlukan
penanganan yang segera, karena dapat mengancam jiwa atau menimbulkan kecacatan
permanen. Kejadian gawat darurat dapat disebabkan antara lain karena kecelakaan lalu lintas,
penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah
suatu keadaan yang serius, yang harus mendapatkan pertolongan segera.
Stabilisasi dan transportasi pasien dilakukan agar kondisi pasien dapat dipertahankan dan
dilakukan sekunder survey secara tanggap untuk menghindari adanya pasien mengalami
keadaan yang lebih parah. Prinsip stabilisasi yang harus diperhatikan yaitu :
a. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang dialami
b. Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil
c. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
d. Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
Setelah melakukan stabilisasi maka transportasi pasien dapat dilakukan dengan
menggunakan standar alat transportasi yang telah ditentukan yaitu berupa alat kendaraan
ambulance, baik melalui darat, laut, maupun udara.
DAFTAR PUSTAKA

Woodward GA, Insoft RM, Kleinman ME (eds). 2014. Guidelines for Air and Ground Transport
of Neonatal and Pediatric Patients. 3rd ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of
Pediatrics.
Warren J, Fromm RE Jr, Orr RA, Rotello LC, Horst HM. 2010. Guidelines for the Inter- And
Intrahospital Transport Of Critically Ill Patients. Crit Care Med : 256-262.
Lazear S. Air and ground transport. In: Newberry L, Sheehy SB (eds). Sheehy's Emergency
Nursing: Principles and Practices. 5th ed. St. Louis, MO: Mosby-Year Book Inc.; 2003.
Susan Engman et Al. 2010. Transport Methods for the Critically Ill Patient.

Anda mungkin juga menyukai