PENDAHULUAN
1
cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted
helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Di Indonesia prevalensi
kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi
lingkungan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Askariasis adalah suatu infeksi pada usus kecil yang disebabkan oleh suatu
jenis cacing besar, Ascaris lumbricoides.
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya
bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan
mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus,
mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan
penyerapan makanan.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh
dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa
daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya
lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 – 10 tahun sebagai host
(penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi. Cacing dapat
mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot ini. Jika
otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan
dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal.
2.2 Epidemologi
3
Frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang
dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan karena kesadaran anak-anak akan
kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke
tahap itu. Sehingga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris
misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung
dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host
merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi
dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva
cacing, selain itu manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di
pedesaan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya
sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja
manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga
terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang
rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang
kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva
cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah
endemik.
Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik
dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah
yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan
angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke
lingkungan
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan
bahwa tingkat ascariasis di seluruh dunia pada 2005 adalah sebagai berikut: 86
juta kasus di Cina, 204 juta di tempat lain di Asia Timur dan Pasifik, 173 juta di
sub-Sahara Afrika, 140 juta di India, 97 juta di tempat lain di Asia Selatan, 84 juta
dalam bahasa Latin Amerika dan Karibia, dan 23 juta di Timur Tengah dan Afrika
Utara.
4
Seseorang dapat terinfeksi penyakit askariasis setelah secara tidak sengaja
atau tidak disadari menelan telur cacing. Telur menetas menjadi larva di dalam
usus seseorang. Larva menembus dinding usus dan mencapai paru-paru melalui
aliran darah. Larva tersebut akhirnya kembali ke tenggorokan dan tertelan. Dalam
usus, larva berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina dewasa yang dapat
tumbuh lebih panjang mencapai 30 cm, dapat bertelur yang kemudian masuk ke
dalam tinja. Jika tanah tercemar kotoran manusia atau hewan yang mengandung
telur, maka siklus tersebut dimulai lagi. Telur berkembang di tanah dan menjadi
infektif setelah masa 2-3 minggu, tetapi dapat tetap infektif selama beberapa bulan
atau tahun.
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides,
jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan
pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam
vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung
kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa
migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus
dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke
faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui
epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus
halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing
dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua
bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu
mengeluarkan 200.000 – 250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang
diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut
penelitian stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar
bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami perubahan dari stadium larva I
sampai stadium III yang bersifat infektif.
Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak
5
terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang
lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar
dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar
dimanamana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila
makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam
tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi
cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan
yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.
6
Gejala awal ascariasis, selama migrasi paru awal, termasuk batuk,
dyspnea, mengi, dan nyeri dada. Nyeri perut, distensi, kolik, mual, anoreksia, dan
diare intermiten mungkin manifestasi dari obstruksi usus parsial atau lengkap oleh
cacing dewasa. Penyakit kuning, mual, muntah, demam, dan nyeri perut berat
mungkin mengarah pada kolangitis, pankreatitis, atau apendisitis.
Mengi dan takipnea dapat terjadi selama migrasi paru. Urtikaria dan
demam mungkin juga terjadi terlambat dalam tahap migrasi. Distensi abdomen
tidak spesifik tetapi adalah umum pada anak dengan ascariasis. Nyeri perut,
terutama di kuadran kanan atas, hypogastrium, atau kuadran kanan bawah,
mungkin mengindikasikan komplikasi ascariasis. Bukti untuk kekurangan gizi
karena ascariasis paling kuat untuk vitamin A dan C, serta protein, seperti
ditunjukkan oleh penelitian albumin dan pertumbuhan pada anak yang diamati
secara prospektif. Beberapa penelitian belum mengkonfirmasi keterlambatan
perkembangan gizi atau karena ascariasis.
Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat
pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang
kena infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup
besar (hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi,
selain itu cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan
reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan
tanda alergi seperti urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan
bagian atas.
Dapat pula dilakukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan
keberadaan Ascariasis sebagai berikut :
1. Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan tinja dengan cara :
- Cara sederhana
- Cara konsentrasi (Cara kato)
- Cara kuantitatif (Kato katz)
2. Pemeriksaan khusus
7
- Radiologi : dapat dilihat adanya infiltrat bila larva sementara
bermigrasi dalam paru paru (sindrom loeffler, pneumonitis
eosinovili)
- Secara keseluruhan dapat dideteksi dengan USG atau foto perut.
Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti
obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke
organ-organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat
menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan
manifestasi berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut:
1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam
apendiks, saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Untuk menegakkan diagnosis pasti
harus ditemukan cacing dewasa dalam tinja atau muntahan penderita dan telur
cacing dengan bentuk yang khas dapat dijumpai dalam tinja atau didalam cairan
empedu penderita melalui pemeriksaan mikroskopik.
Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun
sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi
imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada
di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat
yang sama menghindar dari reaski imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada
kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks
sampai terjadinya kematian.
8
Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas cukup
memadai efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit. Gambaran reaksi
imun terhadap infeksi cacing adalah eosinofilia dan peningkatan jumlah IgE. Pada
manusia, jumlah IgG dalam serum dapat meningkat dari normal 100ng/ml
menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini merupakan tanda dari adanya reaksi
terhadap limfokin tipe Th2.
Kenaikan yang luar biasa dari IgE memperkuat pandangan bahwa IgE
merupakan parameter penting dalam pertahanan. Rangsangan antigen spesifik
untuk untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya
eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk
semuan kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil.
Dalam perjalanannya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil
padat elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran
imunitas seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC
kelas II dan IgG-mediated ADCC ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF. Bukti lain
tentang keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa proteksi menggunakan
transfer pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat dengan pemberian serum
antieosinofil sebelumnya. Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam
penyembuhan dari infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah
divaksinasi mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA.
Selanjutnya kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada
produksi limfokin tipe Th1 seperti IFNγ dari TH2 yang menghasilkan IgE.
9
seluluer dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk. Penelitian pada
tikus (ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi menyebabkan kerusakan
pada cacing, sel T donor imun juga diperlukan untuk terjadinya ekspulsi kuat yang
mungkin terjadi melalui kombinasi stimulasi motilitas usus oleh sel mastoid dan
aktivasi sitokin dari sel goblet usus yang berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini
menghasilkan campuran molekul glycosilated dengan berat molekul tinggi yang
membentuk gel viskoelastik disekeliling cacing, sehingga terjadi proteksi
permukaan kolon dan usus halus dari invasi. Pada parasit yang bertahan bertahun-
tahun menghadapi reaksi imunologik, interaksi dengan antigen asing sering
menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang
disebabkan adanya TNFα yang memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler
intestinal kedalam lumen usus untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu.
10
menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan
cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul
enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan
pada infeksi cacing. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang
subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE
dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif
dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih
toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang
diproduksi neutrofil dan makrofag.
Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang non-
spesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah
menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. Cacing biasanya terlalu besar
untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen
menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing
hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein
kationik, dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan
melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. Meskipun
berbagai cacing mengaktifkan imunitas non-spesifik melalui mekanisme yang
berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembangbiak dalam
pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun
pejamu.
Respon imun non spesifik utama terhadap cacing adalah fagositosis, tetapi
banyak parasit tersebut yang resisiten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan
beberapa diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Banyak cacing memiliki
lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil
dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen jalur alternatif.
Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis
komplemen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi
sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan
permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan
11
mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil
sering ditemukan pada infeksi cacing.
2.7 Penatalaksanaan
Edukasi kesehatan memberikan pesan berikut akan mengurangi jumlah
orang yang terinfeksi penyakit askariasis:
- menghindari kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi
kotoran manusia;
- mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum mengambil makanan;
- mencuci, mengupas atau memasak semua sayuran mentah dan buah-
buahan;
- melindungi makanan dari tanah dan mencuci atau memanaskan
makanan apapun yang jatuh di lantai.
- Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah di cuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
12
Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah:
1. Mebendazol.
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang
baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari, tanpa melihat
umur, dengan menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi
migrasi ektopik.
2. Pirantel Pamoat.
Dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan adalah efektif untuk
menyembuhkan kasus lebih dari 90 %. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan
dan obat ini biasanya dapat diterima (“welltolerated”). Obat ini mempunyai
keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat
berspekturm luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi multipel berbagai
cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
3. Levamisol Hidroklorida.
Obat ini agaknya merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang
menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis
tunggal yaitu 150 mg untuk orang dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat
badan <10 kg. Efek sampingan lebih banyak dari pada pirantel pamoat dan
mebendazol.
4. Garam Piperazin.
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif, juga untuk
Enterobius vermicularis, tetapi tidak terhadap cacing tambang. Piperazin sitrat
diberikan dalam dosis tunggal sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750
mg piperazin). Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. Ada kalanya dilaporkan gejala susunan syaraf pusat seperti berjalan
tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo.
5. Albendazole
Albendazole mempunyai aktivitas anthelmintik yang besar. Selain bekerja
terhadap cacing dewasa, Albendazole telah terbukti mempunya aktivitas larvisidal
dan ovisidal obat ini secara selektip bekerja menghambat pengambilan glukosa
oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal. Akibatnya terjadi
13
pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit yang mana menyebabkan
berkurangnya pembentukan adenosine triphosphate (ATP). ATP ini penting untuk
reproduksi dan mempertahankan hidupnya, dan kemudian parasit akan mati.
Spektrum aktivitasnya sangat luas yaitu meliputi Nematoda, Cestoda dan
infeksi Echinococcus pada manusia.Jadi, albendaroze aktif terhadap Ascaris
lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, Taenia saginata dan solium
strongloides stercoralis, Hymenolepis nana dan diminuta serta Echinococcus
granulosus .
Albendazole merupakan obat yang aman, hanya sedikit jarang, ditemukan
efek samping berupa mulut kering, perasaan tak enak di epigastrium, mual, lemah
dan diare. S.C.Jagota (1986) meneliti efikasi Albendazole terhadap soil
transmitted helminthiasis dengan dosis 400 mg dosis tunggal dan tinja diperiksa
ulang pada minggu ketiga setelah pemberian obat pada penelitian ini diperoleh
angka kesembuhan 92.2% untuk Ancylostoma duodenale; 90 5% untuk Trichuris
trichiura dan 95.3% untuk Ascaris lumbricoides.
2.6 Komplikasi
1. Alergi.
Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah,
sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris.
Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma
bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler
merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang
menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan
cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai
tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%).
Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen
alveolus, diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di
indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat
jarang terdapat, sedangkan di daerah denagn jumlah penderita askariasis yang
rendah, kadang-kadang juga ditemukan sindrom ini.
14
2. Traumatik action
Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian
peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul
dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak
dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan
pemeriksaan dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya
dengan tindakan ini cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya
sehingga obstruksi dapat dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka
dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-
garis panjang dan gelap (filling defect).
3. Errantic action
Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual,
muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila
cacing dapat keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba
Eustachii sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila
terjadi perforasi, cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari
nasofaring dapat menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi
afiksia. Askaris dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila
menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat
juga menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah
banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan menyebabkan diare yang
berat sehingga dapat timbul apendisitis akut.
4. Irritative Action
Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun
kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi
dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
2.7 Pencegahan
15
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan sangat
mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi cacing ini. Suatu pengalaman oleh
E. Kosin pada tahun 1973, yang mana telah dilakukan suatu penelitian kontrol
ascariasis di suatu desa di daerah Belawan, Sumatera Utara,yang mana diketahui
prevalensi cacinggelang pada anak 85%> setelah pengobatan massal, angka
infeksi menurun drastis menjadi 10%. Akan tetapi 3 bulan kemudian, saat anak-
anak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang sangat mengejutkan yaitu
angka infeksi naik menjadi 100%. Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing
yang berhasil dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang tempat
dan terjadi pencemaran tanah dengan telur cacing dam ini merupakan sumber
infeksi.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama
bertahuntahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun
daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup
cacing misalnya memakai jamban/WC.
4. Makan makanan yang dimasak saja.
5. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan
tinja sebagai pupuk.
2.8 Prognosis
Prognosis sangat baik untuk pengobatan ascariasis tanpa gejala. Dalam
beberapa kasus, pengobatan kedua mungkin perlu untuk sepenuhnya menghapus
cacing. Hal ini telah dibuktikan secara signifikan mengurangi jumlah komplikasi.
Perhatian di negara-negara endemik adalah infeksi ulang yang akan terjadi.
16
Pada anak-anak di negara-negara endemik, hasil pengobatan dalam
perbaikan ditunjukkan dalam perkembangan kognitif, kinerja sekolah, dan berat
badan.
Prognosis baik untuk pasien dengan obstruksi usus parsial yang tidak memiliki
toksisitas dan yang nonseptic, asalkan pasien diperlakukan secara awal dengan
manajemen konserva
DAFTAR PUSTAKA
17
8. Sudarmo,SS.Garna Herry. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan
Penyakit Tropis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI,
Jakarta.
10. Soedarto, 2005. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta
18