Anda di halaman 1dari 24

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135

PRESENTASI KASUS
APENDISITIS AKUT
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mengikuti Kepanitraan Klinik Bagian Bedah
Di RSUD Yogya

Diajukan kepada Yth:


dr. Yunada Hadiyono Riwukaho Sp.B-K.BD

Diajukan oleh :
Nadifa Maulani Fadilla (20184010063)
Chandra Maulana Marka (20184010082)

BAGIAN ILMU BEDAH


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD YOGYA
2018

1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
IDENTITAS PASIEN
Inisial : Tn. Te

Usia : 23 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Status pernikahan : Belum Menikah

Alamat : Papua

Pekerjaan : Mahasiswa

Masuk RS (IGD) : 5 Juli 2018

Keluar RS : 21 Juli 2018

Bangsal : Bougenville

Indikasi rawat inap : Suspect Appendicitis + ISK

DPJP : dr. Yunada Hadiyono R. Sp.B-KBD

Ko-asisten : Nadifa Maulani Fadilla (20184010063)

Chandra Maulana Marka (20184010082)

A. SUBYEKTIF AUTOANAMNESIS (6 Juli 2018 pukul : 07.15 WIB)


1. Keluhan Utama
Nyeri perut melilit dan mual

2. RPS
Pasien datang IGD RS Jogja dengan keluhan nyeri perut di seluruh lapang abdomen,
nyeri dirasakan >4 hari SMRS dan memberat sejak tadi malam, setelah berobat di IGD
membaik namun kambuh kembali, pagi ini pasien merasa sangat nyeri di regio umbilical,
hipogastric, dan inguinal dextra dengan skala nyeri VAS 5, nyeri memberat ketika pasien
berjalan dan berkurang ketika istirahat berbaring.
Pasien mengeluhkan mual (+), tidak enak makan, muntah (-), demam (-), pusing (-),
seminggu tidak dapat BAB, BAK normal.
3. RPD
 Riwayat penyakit : Malaria usia 18 tahun, gastritis sejak 3 tahun yang lalu

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135

 Riwayat mondok ( - )
 Riwayat Operasi ( - )
 Riwayat penyakit serupa ( - )
 Riwayat hipertensi ( - )
 Riwayat alergi obat ( - )
4. RPK
 Riwayat penyakit jantung ( ‒ )
 Riwayat hipertensi ( - )
 Riwayat diabetes Mellitus ( ‒ )
 Riwayat penyakit atopik ( ‒ )
 Riwayat tumor atau keganasan ( - )
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien sering minum-minuman beralkohol, soft drink dan jarang mengkonsumsi air
putih. Menyukai semua makanan. Tidak merokok dan jarang berolahraga. Tinggal di asrama
papua dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik.

6. Review System
 Sistem Saraf Pusat : penurunan kesadaran (-), kejang (-), pusing (-), demam (-),
nyeri kepala (-)
 Kardiovaskular : palpitasi (-), nyeri dada (-), pucat ( – )
 Respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak napas (-), mengi (-)
 Pencernaan : mual (+), muntah (-),diare (-), konstipasi (+), nyeri perut (+)
 Urogenital : nyeri miksi (-), hematuria (-)
 Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), lemas (-), kesemutan (-)
 Integumentum : sianosis (-), ikterik (-)
B. OBYEKTIF
a. PEMERIKSAAN FISIK (6 Juli 2018 pukul 07.20 WIB)
1. Keadaan Umum
 Tampak kesakitan
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital Signs
o Tekanan Darah : 130/90 mmHg

3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
o Suhu Tubuh : 36,5 °C
o Frekuensi Napas : 24 x/menit
o Frekuensi Nadi : 74 x/menit
 Status Gizi : Normal

2. Kepala
 Mata
o Conjunctiva anemis :-/-
o Sklera ikterik :-/-
o Pupil isokhor :+/+
o Conjunctival suffusion :-/-
 Telinga
o Discharge :-/-
o Gangguan pendengaran :-/-
 Mulut
o Mukosa bibir kering (+)
o Lidah kotor (-)
o Stomatitis (-)
3. Leher
 Benjolan (-)
 Limfonodi (-)
4. Thorax
 Inspeksi
o Simetris (+)
 Palpasi
o Benjolan (–)
 Perkusi
o Sonor (+)
 Auskultasi Paru
o Vesikuler (+/+)
o Wheezing (‒/‒)
o Ronkhi (‒/‒)
 Auskultasi Jantung
4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung (–)

5. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (+), Darm contour (-), Darm steifung (-), tidak tampak
hematom, warna kulit sama dengan permukaan sekitarnya.
 Auskultasi : Bising usus ( + ) normal, metallic sound (-)
 Perkusi : timpani
 Palpasi
o Nyeri tekan ( + ) seluruh lapang abdomen, mc burney (+), rebound tenderness (+)
o Defans muscular (+)
o Masa abdomen (-)
o Hepar/lien tidak teraba

6. Ekstremitas
 Akral hangat (+)
 Nadi kuat reguler
 Perfusi CRT < 2’’
 Edema (–)
7. Anogenital
a. Rectal touché : tidak dilakukan
b. Genitalia : dalam batas normal
8. Alvarado Score
Migration of pain (+) 1 Elevated temperature (-) 0
Anoreksia (+) 1 Leukocytosis (+) 2
Nausea (+) 1 Shift to the left (+) 1
Tenderness McBurney (+) 2 Total Score 9 : Pasti Apendisitis
Rebound tenderness (+) 1

C. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Lab Darah Rutin ( Kamis, 5 Juli 2018 ) : Pre operasi
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Leukosit 13.3 4.4 – 11.3 10^3/uL

5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
DIFFERENTIAL TELLING
Neutrofil% 88.7 50 – 70 %
Neutrofil# 11.81 2-7 10^3/uL
IMUNO-SEROLOGI
HbsAg (-) Negatif ( - )
KIMIA GINJAL
Ureum 15 10 – 50 mg/dl
Creatinin 1,4 <1.1 mg/dl
HEMATOLOGI
Golongan Darah A Rhesus (+)
URINALISA
Warna Kuning Keruh
PH 6.0
Protein Positif (+ +)
Urobilin (+)
Kristal Amorf (+)
Leukosit (+)
Epithel (+)

 Pemeriksaan Lab Darah Rutin ( Senin, 9 Juli 2018 : 14.40 WIB ) : Post Operasi
Parameter Hasil NilaiRujukan Satuan
HEMATOLOGI
Leukosit 14.0 4.4 – 11.3 10^3/uL
DIFFERENTIAL TELLING
Neutrofil% 90.20 50 – 70 %
Neutrofil# 12.64 2-7 10^3/uL
Monosit % 4.2 2-4 %
KIMIA GINJAL
Ureum 172 10 – 50 mg/dl
Creatinin 13.0 <1.1 mg/dl

 Pemeriksaan Kimia ginjal ( Selasa, 10 Juli 2018 : 11.47 WIB) : Pre hemodialisis
Parameter Hasil NilaiRujukan Satuan
KIMIA GINJAL
Ureum 228 10 – 50 mg/dl
Creatinin 14.7 <1.1 mg/dl

6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135

 Pemeriksaan Lab Darah Rutin ( Selasa, 10 Juli 2018 : 22.05 WIB ) : Post Hemodialisis
Parameter Hasil NilaiRujukan Satuan
HEMATOLOGI
Leukosit 12.6 4.4 – 11.3 10^3/uL
DIFFERENTIAL TELLING
Neutrofil% 81.7 50 – 70 %
Monosit % 4.8 2-4 %
Neutrofil# 11.04 2-7 10^3/uL
KIMIA GINJAL
Ureum 182 10 – 50 mg/dl
Creatinin 11.4 <1.1 mg/dl

 Pemeriksaan Lab Darah Rutin ( Rabu, 11 Juli 2018 : 13.30 WIB )


Parameter Hasil NilaiRujukan Satuan
DIFFERENTIAL TELLING
Neutrofil% 84.4 50 – 70 %
Monosit % 6.8 2-4 %
Neutrofil# 8.59 2-7 10^3/uL
KIMIA GINJAL
Ureum 224 10 – 50 mg/dl
Creatinin 12.3 <1.1 mg/dl

 Pemeriksaan appendicogram
Kontras mengisi ileum s.d rectum, tak tampak pengisian appendix
Kesan : non filling appendix
DD : menyokong klinis appendicitis
Agenesis
D. ASSESSMENT
Diagnosis kerja:
Peritonitis ec. Appendicitis gangrenous adhesi
Diagnosis banding:
Gastroenteritis
Pelvic Inflamatory Disease
Kehamilan Ektopik Terganggu

7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
Ureterolithiasis
Diverticulitis
Crohn Disease
E. PLANNING
1. Non Farmakologi :
Bed Rest
Infus RL makro 16 tpm
Kateter
NGT
Appendicogram
Bedah : 7 Juli 2018
 Laparatomi appendektomi + adhesiolisis
Hemodialisis : 10 Juli 2018, 12 Juli 2018, dan 14 Juli 2018
2. Farmakologi :
IGD : Inj. Dexketoprefen, Inj. Omeprazole, Sucralfat II cth.
Bangsal :
7-15 Juli 2018
5-7 Juli 2018 12 Juli 2018 Cefim 1 gr/ 8 Jam
Inj. Ceftriaxon 2x1 Vipalbumin Metronidazole 1500/24
Inj. Ketorolac 2x1 N-Ace jam
Inj. Ranitidin 2x1 Anemolat Ranitidin 1x/12 jam
Paracetamol 1gr/8 jam
16-19 Juli 2018 20-21 Juli 2018
10-12 Juli 2018
Merepenem Vip albumin
Force Furosemid 5 Amp
Metronidazole Anemolat
dalam 50 CC NaCl
Ranitidin Ambacym
(5cc/jam)
Ketorolac
Omeprazol
3. Monitor :
Tanda – tanda Vital, hasil pemeriksaan lab
4. Diet :
Diet puasa preop + post op (H+3)
Diet bubur sum sum (11-12 Juli 2018)
8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Apendisitis akut merupakan peradangan yang terjadi di apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab tersering nyeri akut abdomen serta menghasilkan jenis operasi yang paling sering dilakukan
di dunia.1 Apendisitis akut mampu berkembang menjadi perforasi apendiks yang nantinya dapat
mengakibatkan 67% kematian pada kasus-kasus apendisitis akut.2
Apendektomi yang dini telah lama direkomendasikan sebagai pengobatan apendisitis akut
dikarenakan risiko progresivitas apendisitis menuju pada perforasi.3 Perforasi apendiks akan
menyebabkan sepsis yang tidak terkontrol (akibat peritonitis), abses intra-abdomen atau septikemia
gram negatif.4
B. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun.5
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari
rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.6
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana
terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.
C. Anatomi
Appendix Vermiformis terletak di fossa iliaca eksterna dan, dalam hubungannya dengan
dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan Spina
Iliaca Anterior Superior dan Umbilicus (titik McBurney) di dalam Abdomen, dasar Appendix
Vermiformis dapat mudah ditemukan dengan mencari taenia colli caecum dengan mengikutinya
sampai Appendix Vermiformis, dimana taenia ini bersatu dengan membentuk tunica muscularis
longitudinalis yang lengkap.7
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm),
dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun
demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65%

9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkin apendiks untuk bergerak, dan
ruang geraknya bergantung pada mesoapendiks penggantungnya.7
Pada kasus lainnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang
kolon ascendens, atau di tepi lateral kolon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak
apendiks.7

Gambar 1. Anatomi Apendiks

Gambar 2. Letak Apendiks

1. Cabang a.mesenterika superior, 2. Ileum terminale, 3. A. Apendikularis retroperitoneal, 4. A.


Apendikularis dalam mesoapendiks, 5. Posisi pelvika, 6. Apendiks intraperitoneal ujungnya bisa ke
arah mana saja, 7. Posisi pada caecum intraperitoneal, 8. Posisi retrosekal, 9. Pertemuan tiga taenia
merupakan pangkal apendiks

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.7

10
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
Perdarahan Appendix Vermiformis didapatkan dari Arteria Appendicularis yang merupakan
cabang dari Arteria Ceacalis Psoterior. Begitu pula dengan venanya, Vena Appendicularis mengalirkan
darahnya menuju Vena Caecalis Posterior. Sedangkan pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe
mesoappendix dan akhirnya bermuara di nodi mesenterici superiores. Perdarahan apendiks berasal dari
arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.7

Gambar 3. Vaskularisasi dan Inervasi Apendiks


D. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 -2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan dalam patogenesis apendisitis.7
Appendiks merupakan organ imunologis yang berperan dalam menyekresikan imunoglobulin.
Terutama imunoglobulin A (IgA). Imunoglobulin itu sangat efektif sebagi pelindung terhadap infeksi.
Walaupun appendiks memiliki komponen integral yang berhubungan dengan sistem jaringan limfoid
pencernaan (Gut-Associated Lymphoid Tissue/GALT), namun fungsinya tidak essensial dan tindakan
appendektomi tidak berhubungan dengan berbagai kondisi penurunan daya tahan tubuh/imunitas,
karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan seluruh tubuh.7
E. Epidemiologi
Apendisitis bisa terjadi pada semua usia namun pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan, kejadian apendisitis ini meningkat pada usia remaja dan dewasa. Insidens tertinggi pada
kelompok usia 20 – 30 tahun, setelah itu menurun.7

11
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
Usia 20 – 30 tahun bisa dikategorikan sebagai usia produktif, Dimana orang yang berada pada
usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan. Hal ini menyebabkan orang tersebut mengabaikan
nutrisi makanan yang dikonsumsinya. Akibatnya terjadi kesulitan buang air besar yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya menyebabkan sumbatan pada
saluran apendiks.
Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20 – 30 tahun,
insidens laki-laki lebih tinggi. Risiko jenis kelamin pada kejadian penyakit apendisitis terbanyak
berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 72,2% sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya
27,8%. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja
dan lebih cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa
komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan masalah pada sistem pencernaan salah
satunya yaitu apendisitis.8
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Namun,
dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari – hari.
F. Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini
umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini
diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.7
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah sera dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya
penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut.7
G. Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat
sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

12
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi
pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks
tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk
terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
H. Patofisiologi
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24 – 48 jam pertama. Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses
radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikulaer yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Didalamnya, dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.7
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan
parut yang melengket dengan jaringan disekiratnya. Perlengkatan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
mengalami eksaserbasi akut.7
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin
lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Konsekuensinya, terjadi iskemia dinding apendiks,
13
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan invasi bakteri ke dinding apendiks. Bakteri
intestinal yang ada didalam apendiks bermultiplikasi, hal ini meyebabkan rekuitmen dari leukosit,
pembentukan pus dan tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24 – 36 jam, kondisi ini dapat semakin
parah karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan perforasi dan gangren
apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Skema Patofisiologi Appendicitis

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,

14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-
anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
I. Manifestasi klinis
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah (titik
McBurney) berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Disini nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak
terlalu tinggi. Kadang tidak terdapat nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi dan penderita merasa
memerlukan obat pencahar, tindakan tersebut berbahaya karena akan mempermudah perforasi.7

Gambar 4. Gejala dan tanda apendisitis akut


1. Perasaan kurang enak, nyeri, dan mual, 2. Nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans musculer setempat
di titik McBurney, 3. Tanda Rovsing dan Blumberg

Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena apendiks terlindung oleh sekum. Radang pada
apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat dan berulang. Jika

15
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
apendiks menempel di kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan
apendiks terhadap dinding kandung kemih.7
Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat
bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya menunjukan
gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam
kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
apendistis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.7
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian
bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan, spasme otot,
dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan
nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi abdomen
akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
J. Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37.50C – 38.50C. bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bila terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1 0C. Pada
inspkesi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
peripendikular.7
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas.
Defans muskular menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
16
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal dan retroileal diperlukan palpasi
lebih dalam untuk menetukan rasa nyeri.7
Peristaltis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik pada
peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari
telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.7

Gambar 5. Pemeriksaan colok dubur pada orang dewasa


1.Rongga peritoneum, 2. Peritoneum parietale, 3. Sekum, 4. Apendiks (apendisitis akut)

K. Diagnosa
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri
viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi N. Vagus.
Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi.
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan
bawah terlihat pada apendikuler abses.
Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus.

17
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi
nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau
titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah
nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
 Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri
tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
 Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks.
 Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan
kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan
apendiks terletak pada daerah hipogastrium.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan
terdapat nyeri pada jam 9-12.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:
Skor Alvarado
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka
1
kanan
Anoreksia 1
Nausea (Mual atau Muntah) 1
Tenderness (Nyeri RLQ McBurney) 2
Rebound tenderness (Nyeri lepas) 1
Elevated Temperature (>37,5C) 1
Leukocytosis ≥ 10 x 109/L 2
Shift to the left (Neutrofilia dari ≥ 75%) 1
Total 10
Interpretasi score :

18
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
0-4 : low likelihood appendicitis (discharge)
5-6 : Consider further imaging
≥ 7 : high likelihood of appendicitis

L. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah
pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap
sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75
%. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12
jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain
adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan apendicolith serta perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak.
M. Diagnosa Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.7
1. Gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut sifatnya lebih ringan
dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperitalsis. Panas dan leukositosis kurang
menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.
2. Demam dengue, demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit
19
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leed, trombositopenia, dan peningkatan hematokrit.
3. Limfadenitis Mesenterika, limfadenitis mesenterika yang biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis, ditandai dengan nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan
nyeri tekan parut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah kanan.
4. Kelainan Ovulasi, folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menyebabkan nyeri perut kanan
bawah di tengah siklus mentruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu.
Tidak ada tanda radang, nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungin dapat mengganggu
selama dua hari.
5. Infeksi Panggul, salpingitis akut karena sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul
pada wanita biasanya disertai dengan keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul
nyeri hebat dipanggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu
untuk diagnosis banding.
6. Kehamilan Ektopik Terganggu, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan
timbul nyeri yang mendadak difus didaerah pelvis dan mungin terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Doughlas dan pada kuldosentesis
didapatkan darah.
7. Kista Ovarium Terpuntir, timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut. Colok vagina, atau colk rektal. Tidak terdapat
demam. Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis.
8. Endometriosis Eksterna, endometrium diluar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul ditempat itu karena tidak ada jalan keluar.
9. Urolitiasis Pielum, ada riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi,
menggigil, nyeri kostovertebral disebelah kanan, dan piuria.
10. Penyakit saluran cerna lainnya.
N. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan
cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan
dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi
20
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi
yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendektomi terbuka, insisi Mc.Burney
banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.6

Gambar 6. Pengelolaan penderita tersangka appendisitis akut


Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa,
dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat
tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan
aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti
barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan
rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto
abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari
tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Dekompresi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang menandakan
bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi
kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
21
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang berat
dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi
mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan
oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam,
syok hipertermia, atau gangguan pernapasan, angkat sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam
lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
O. Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.7

a) Massa Periapendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/lekuk usus halus. Pada Massa Periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
b) Apendisitis Perforata
Perforasi Apendiks akan mengakibatkan peritonotis purulenta yang ditandai dengan
demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi kembung dan

22
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135
tegang. Nyeri tekan dan defans muskular terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan
pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristaltis usus apat menurun sampai menghilang
akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiagfragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.
Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam
dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinyu.6

P. Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun
komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam
rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi appendisitis tergantung dari usia
pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan
keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut ini
menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan
komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis
dibiarkan dan tidak diobati secara benar.

23
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
PRESENTASI KASUS NO. RM: 732135

DAFTAR PUSTAKA

1. Penhold R, Chisolm D, Nwomeh B, Kelleher K. Geographic disparities in the risk of


perforated appendicitis among children in Ohio: 2001–2003. Int J Health Geogr. 2008;7:56.
2. Heber FR. Perforating inflammation of the vermiform appendix: with special reference to its
early diagnosis and treatment. Trans Assoc Am Physicians. 1886;1.
3. Alder AC, Fomby TB, Woodward WA, Haley RW, Sarosi G, Livingston EH. Association of
viral infection and appendicitis. Arch Surg. 2010 Jan;145(1):63–71.
4. Jaffe BM, Berger DH. The appendix. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR,
Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, dkk., penyunting. Schwartz’s principles of surgery.
Edisi ke-9. Philadelphia: McGraw-Hill Co.; 2010.
5. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
6. Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
7. Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
8. Sirma F, dkk, 2013, Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Rumah Sakit Umum Daerah Kab.
Pangkep Stikes Nani Hasanuddin Makassar.
9. Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai