Anda di halaman 1dari 6

Biografi Dr. K.R.T.

Rajiman Wedyodiningrat

Gambar dr. Radjiman Wedyodiningrat


Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat,
seorang dokter yang merupakan penggagas kemerdekaan Indonesia yang
sekarang namanya merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia. Dr
Radjiman Wedyoningrat dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879, dia lahir dari
keluarga biasa. Ayahnya seorang penjaga toko di Yogyakarta yang bernama Ki
Sutrodono dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang berdarah Gorontalo.
Semasa kecil dia sangat berbakat, terlihat dari kecerdasannya dan ambisinya
dalam menempuh pendidikan. Dia memperoleh gelar K.R.T (Kanjeng Raden
Tumenggung) dari kasultanan Yogyakarta karena jasanya telah bekerja di rumah
sakit Yogyakarta pada masa Hindia-Belanda.
Semasa kecil dia pernah belajar dari mendengarkan di bilik jendela SD, ia
menginginkan untuk bersekolah pada saat itu, namun terhambat karena dia
merupakan anak seorang pribumi, pada masa itu Belanda membatasi pendidikan
pada kaum pribumi, dan hanya seorang keturunan bangsawan sajayang dapat
memperoleh pendidikan. Aksi mengintip dr. Radjiman akhirnya diketahui oleh
seorang guru Belanda, dan karena kasihan dia memperbolehkan Radjiman masuk
kelas dan mendengarkannya. Radjiman sudah kehilangan orang tuanya di masa
kecilnya. Tetapi, karena keprihatinannya dan melihat bakat dan cita - cita tinggi
yang tetanam pada dirinya, maka Dr Wahidin Soehirohoesodo mengangkat
sebagai anaknya dan membiayai pendidikannya untuk menyekolahkan pemuda
berbakat tersebut ke pendidikan yang lebih tinggi. Dia lalu disekolahkan di
STOVIA (Pendidikan Dokter Bumiputera Pada masa Hindia- Belanda) dan lulus
dengan gelar "Dokter Jiwa" pada tahun 1898. Kemudian dia menempuh karirnya
sebagai dokter jiwa di Banyumas, Madiun, Purworejo, dan Semarang selama
beberapa tahun. Selepas itu, maka dia memutuskan untuk meneruskan
pendidikannya dan menjadi asisten di STOVIA dan lulus sebagai Indisch Arts.

Kemudian dia bekerja di rumah sakit di Sragen, dan menjadi asisten Dokter
Kasunanan Surakarta, dan juga menjadi seorang dokter jiwa di Lawang Jawa
Timur, dan namanya dijadikan sebagai nama rumah sakit tersebut dengan nama
RSJ Radjiman Widiodiningrat. Pada tahn 1909 kemudian dia melanjutkan
pendidikan dokternya ke negeri Belanda. Dia lulus dengan hasil memuaskan dan
dia dipercaya menjadi dokter untuk mengkhitan putra - putra susuhunan
Surakarta. Dia kemudian menjadi Dokter di Istana Kasunanan Surakarta pada
tahun 1911. Kedudukan dokternya menjadi setara dengan dokter - dokter lulusan
Belanda. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit untuk di capai oleh seorang anak
pribumi seperti dirinya. Selain di Belanda dia juga melanjutkan opendidikannya
di Prancis dan Jerman. Selain ahli jiwa dia juga merupakan ahli bersalin, ahli
penyakit kandungan.

Dia kemudian kembali aktif berpolitik dan bergabung dengan Boedi


Utomo dan menjabat sebagai ketua selama setahun pada periode 1914-1915. Dia
mewakili organisasi tersebut hingga tahun 1931 di Volkskraad (Dewan Rakyat
Masa Hindia Belanda). Dia memilkiki peranan yang besar dalam kemerdekaan
Indonesia. Dia menjadi ketua BPUPKI (Badan Penyidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada jaman penjajahan Jepang. Dia juga sempat
menanyakan kepada Soekarno tentang ideologi bangsa Indonesia setelah
merdeka dan kemudian dijawab oleh soekarno dengan tegas yaitu "Pancasila".
Hal tersebut berdasarkan uraian buku pengantar penerbitan buku Pancasila yang
pertama di tahun1948 di desa Dirgo, Ngawi tahun 1948.

Dia sebagian besar menghabiskan waktunya di desa Dirgo, Kecamatan


Wedodaaren Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dia memutuskan menetap disana
karena keprihatinan melihat warga Ngawi terserang penyakit pes. Saat itu juga
dia mengabdikan sebagai dokter ahli penyakit pes. Disana dia memiliki peranan
besar, jiwa sosialnya tinggi. Disana dia menolong masyarakat yang
membutuhkan. Di Ngawi, dr. Radjiman menularkan ilmunya kepada anak - anak
yang membutuhkan. Karena disana mereka tidak bisa mengenyam pendidikan
karena kekurangan biaya. Kemudian dia juga mendirikan sekolah dasar, dan
jejaknya masih ada hingga sekarang, yaitu SD Negeri 3, 4, 5 Kauman Dia sangat
peduli dengan kesehatan masyarakat, dia juga menularkan ilmu ahli
kandungannya dengan memberdayakan dukun beranak untuk mencegah
kematian ibu saat bersalin. Oleh karena itu, dia memiliki andil yang besar
menolong masyarakat pribumi yang kekurangan.
Pada tanggal 20 September 1952 pada umur 73 tahun dia menghembuskan nafas
terakhirnya di desa Dirgo, Kabupaten Ngawi. Dan jenazahnya dikebumikan di
tanah kelahirannya Yogyakarta di Desa Melati, Sleman Yogyakarta. Makamnya
bedekatan dengan ayah angkatnya yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Bentuk Perjuangan Dalam Proklamasi
Dokter dan tokoh pergerakan Indonesia yang berperan penting pada masa
awal kelahiran Republik Indonesia. Pada akhir Mei 1945, dengan terbentuknya
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas inisiatif Jepang, ia menjadi
ketuanya. Lahir di Yogyakarta tanggal 21 April 1876, putera Ki Sutodrono,
ibunya seorang keturunan Gorontalo. Setamat ELS tahun 1893 ia melanjutkan
pendidikan dalam bidang kedokteran sampai mencapai gelar "dokter Jawa"
(1898). Setelah itu, ia mengabdi sebagai dokter di Banyumas Purworejo, dan
Semarang. Belum puas dengan gelar dokter Jawa, ia melanjutkan ke STOVIA di
Jakarta sampai meraih gelar Indisch Art (dokter pribumi) tahun 1904. Setelah
bekerja di Lawang, Jawa Timur, pada tahun 1906 ia melanjutkan ke Sekolah
Dokter Tinggi, Amsterdam, sampai meraih gelar Arts (dokter) tahun 1910.
Dengan keberhasilan ini, ia mencapai kedudukan yang sejajar dengan para dokter
bangsa Belanda.
Ia termasuk salah seorang tokoh pergerakan yang utama dan anggota Boedi
Oetome sejak berdirinya organisasi itu (1908) dan tetap menjadi anggotanya
setelah berubah menjadi Partai Indonesia Raya (akhir 1935). Pada tahun 1918 ia
menjadi salah seorang anggota pertama Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan
pemerintah Hindia Belanda dan duduk selama beberapa periode hingga tahun
1931. Pada masa kemunculan berbagai studie club pada tahun 1925-an, sebagai
anggota salah satu perkumpulan itu, ia memimpin penerbitan majalah tengah
bulanan Timbul (1926-1930). Di majalah ini ia banyak menulis, terutama
mengenai kesenian Jawa dan Kawruh Jawa.
Pada zaman pendudukan Jepang ia duduk sebagai anggota Syu Sangi-Kai
(Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun dan kemudian ditarik ke pusat menjadi
anggota Chua Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Pusat) dengan sebutan Gi-in atau
anggota (1943). Setelah Poetera (poesat Tenaga Rakjat) terbentuk, ia pun duduk
dalam Majelis Pertimbangan. Situasi di tanah air berkembang cepat. Setelah
terdesak dalam medan pertempuran di pasifik, Jepang membentuk Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKl) di Jawa
pada akhir Mei 1945 dan menunjuk Dr.Radjiman sebagai ketuanya. Beberapa
waktu kemudian dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritsu Zyunbi
Inkai dengan Ketua Ir.Soekarno dan wakil Drs.Mohammad Hatta, sedangkan
Dr.Radjiman duduk sebagai salah seorang anggota.
Pada awal kemerdekaan, ia menjadi anggota KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dan kemudian anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik
Indonesia. Dalam perkembangannya, seluruh badan perwakilan, baik yang
didirikan RI maupun Belanda digabung dalam DPR-RI. Sebagai anggota tertua,
mendapat kehormatan memimpin rapat pertama lembaga itu. Pada tahun 1950-
1952 menjadi anggota DPR di Jakarta. Walaupun telah berusia lanjut, pikirannya
masih jernih sehingga diangkat sebagai Sesepuh.

Karier di Boedi Oetomo


Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat
menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915.

Menjadi ketua BPUPKI


Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah
satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa
dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI.
Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan
milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat)
dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman
masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.

Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar
negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung
Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua
BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama
tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.
Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang
memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus
Pancasila.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta
ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur
Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan
Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan
kekosongan kekuasaan di Indonesia.

Karier selanjutnya
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi
anggota DPA, KNIP dan pemimpin sidang DPR pertama di saat Indonesia
kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
DAFTAR PUSTAKA

Sugito SH, A. T. Drs., DR. KRT. RAJIMAN WEDYODININGRAT : Hasil Karya


dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1998.
http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2489
http://id.wikipedia.org/wiki/Radjiman_Wedyodiningrat
http://desimpunj.blogspot.co.id/2016/04/biografi-dr-krt-rajiman-
wedyodiningrat.html?m=1
http://afrizalna.blogspot.co.id/2015/11/biografi-dr-krt-rajiman-
wedyodiningrat.html

Anda mungkin juga menyukai