Anda di halaman 1dari 59

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap terakhir perkembangan pada

daur kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13

Tahun 1998 (dalam Maryam 2012) tentang kesehatan dikatakan bahwa

usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia

apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan

penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.

Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk

mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis.

Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup

serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Setiap lansia

adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan yang

berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Potter & Perry, 2009).

2.1.2 Karakteristik

Karakteristik lansia adalah seseorang yang sudah memasuki usia

lebih dari 60 tahun dan sudah mulai mengalami beberapa permasalahan

diantaranya masalah sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikosial

7
8

sampai spiritual dan kondisi adaptif sampai maladaptif (Budi Anna Keliat,

1999 dalam Maryam 2012).

Berikut ini adalah karakteristik lansia dalam beberapa literatur sebagai

berikut :

1) Smith dan Smith (1999) menggolongkan bahwa usia lanjut menjadi

tiga yaitu : young old (65-74 tahun), middle old (75-84 tahun) dan old

old (lebih dari 85 tahun).

2) Setyonegoro menggolongkan bahwa yang disebut usia lanjut (geriatric

age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selanjutnya terbagi

ke dalam usia 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old) dan lebih

dari 80 tahun (very old).

3) Menurut BAB I Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 1998

tentang Kesejahteraan Usia Lanjut. Lansia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun ke atas.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia:

1) Pralansia (prasenelis)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3) Lansia resiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60

tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003 dalam

Maryam 2012).
9

4) Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan

yang dapat menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2003 dalam

Maryam 2012).

5) Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003 dalam Maryam

2012).

2.1.4 Tipe lansia

Tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,

kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya (Nugroho, 2009 dalam

Maryam 2012). Tipe tersebut lainnya :

1) Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaiakan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

2) Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.

3) Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan

penuntut.
10

4) Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan

melakukan pekerjaan apa saja.

5) Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal

dan acuh tak acuh.Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, konstruktif,

dependen (tergantung), defensif (bertahan), militant dan serius, tipe

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu),

serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

2.1.5 Proses penuaan

Proses penuaan terdiriatas teori-teori tentang penuaan, aspek biologis pada

proses menua, proses penuaan pada tingkat sel, proses penuaan menurut

sistem tubuh dan aspek psikologis pada proses penuaan.

1) Teori biologis

a) Teori jam genetik

Menurut, Hay Ick (1965 dalam Tamher 2009) secara sudah

terprogram bahwa material di dalam inti sel dikatakan bagaikan

memiliki jam genetis terkait degan frekuensi mitosis. Teori ini

didasarkan pada kenyataan bahwa spesies-spesies tertentu memiliki

harapan hidup (life span) yang tertentu pula. Manusia yang

memiliki rentang kehidupan maksimal sekitar 110 tahun, sel-selnya

diperkirakan hanya mampu membelah sekitar 50 kali, sesudah itu

akan mengalami deteriorasi.


11

b) Teori interaksi seluler

Bahwa sel-sel satu sama lain saling berinteraksi dan

mempengaruhi. Keadaan tubuh akan baik-baik saja selama sel-sel

masih berfungsi dalam suatu harmoni. Akan tetapi, bila tidak lagi

demikian maka akan terjadi kegagalan mekanisme feed-back

dimana lambat laun sel-sel akan mengalami degenerasi (Berger,

1994 dalam Tamher 2009).

c) Teori mutagenesis somatik

Bahwa begitu terjadi pembelahan sel (mitosis) akan terjadi “mutasi

spontan” yang terus menerus berlangsung dan akhirnya mengarah

pada kematian sel.

d) Teori eror katastrop

Baha eror akan terjadi pada struktur DNA, RNA dan sintesis

protein. Masing-masing eror akan saling menambah pada eror yang

lainnya dan berkulminasi dalam eror yang bersifat katastrop (Kane,

1994 dalam Tamher 2009).

e) Teori pemakaian dan keausan

Teori biologis yang paling tua adalah teori pemakaian dan keausan

(tear and wear), dimana tahun demi tahun hal ini berangsung dan

lama-kelamaan akan timbul deterosiasi.

2) Teori Psikososial

a) Disengagement theory

Kelompok teori ini dimulai dari University of Chicago yaitu

Disengagement Theory, yang menyatakan bahwa individu dan


12

masyarakat mengalami disengagement dalam suatu mutual

withdrawl (menarik siri). Memasuki usia tua, individu mulai

menarik diri dari masyarakat. Sehingga, memungkinkan individu

untuk menyimpan lebih banyak aktivitas-aktivitas yang berfokus

pada dirinya dalam memenuhi kestabilan pada stadium ini.

b) Teori aktivitas

Menekankan pentingnya peran serta dalam kegiatan masyarakat

bagi kehidupan seorang lansia. Dasar teori ini adalah bahwa

konsep diri seseorang bergantung pada aktivitasnya dalam berbagai

peran. Apabila hal ini hilang, maka akan berakibat negatif

terhadap kepuasan hidupnya. Ditekankan pula bahwa mutu dan

jenis interaksi lebih menentukan daripada jumlah interaksi. Hasil

studi serupa ternyata menggambarkan pula bahwa aktivitas

informasi lebih berpengaruh daripada aktivitas formal. Kerja yang

menyibukkan tidaklah meningkatkan self esteem seseorang, tetapi

interaksi yang bermakna dengan orang lain inilah yang lebih

meningkatkan self esteem.

c) Teori kontinuitas

Berbeda dari kedua teori sebelumnya, disini ditekankan pentingnya

hubungan antara kepribadian dengan kesuksesan hidup lansia.

Menurut teori ini, ciri-ciri kepribadian individu berikut strategi

kopingnya telah terbentuk lama sebelum seseorang memasuki usia

lanjut. Namun, gambaran kepribadian itu juga bersifat dinamis dan

berkembang secara kontinyu. Dengan menerapkan teori ini, cara


13

terbaik untuk meramal bagaimana seseorang dapat berhasil

menyesuaikan diri adalah dengan mengetahui bagaimana orang itu

melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan selama

hidupnya.

d) Teori subkultur

Pada teori subkultur (Rose, 1962 dalam Tamher 2009) dikatakan

bahwa lansia sebagai kelompok yang memiliki norma, harapan,

rasa percaya dan adat kebiasaan tersendiri, sehingga dapat

digolongkan selaku suatu subkultur. Akan tetapi, mereka ini

kurang terintegrasi pada masyarakat luas dan lebih banyak

berinteraksi antarsesama mereka sendiri. Di kalangan lansia, status

lebih ditekankan pada bagaimana tingkat kesehatan dan

kemampuan mobilitasnya, bukan pada hasil pekerjaan atau

pendidikan atau ekonomi yang pernah dicapainya. Kelompok-

kelompok lansia seperti ini bila terkoordinasi dengan baik dapat

menyalurkan aspirasinya, dimana secara teoritis oleh para pakar

dikemukakan bahwa hubungan antara peer-group dapat

meningkatkan proses penyesuaian pada masa lansia.

e) Teori strati kasi usia

Teori ini yang dikemukakan oleh Riley (1972 dalam Tamher 2009)

yang menerangkan adanya saling ketergantungan antara usia

dengan struktur sosial yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) Orang-orang tumbuh dewasa bersama masyarakat dalam

bentuk kohor dalam artian sosial, biologis dan psikologis.


14

(2) Kohor baru terus muncul dan masing-masing kohor memiliki

pengalaman dan selera tersendiri.

(3) Suatu masyarakat dapat dibagi ke dalam beberapa strata sesuai

dengan lapisan usia dan peran.

(4) Masyarakat sendiri senantiasa berubah, begitu pula individu

dan perannya dalam masing-masing strata.

(5) Terdapat saling keterkaitan antara penuaan individu dengan

perubahan sosial.

Kesimpulannya adalah lansia dan mayoritas masyarakat senantiasa

saling memengaruhi dan selalu terjadi perubahan kohor maupun

perubahan dalam masyarakat.

f) Teori penyesuaian individu dengan lingkungan

Teori ini dikemukakan oleh Lawton (1982 dalam Tamher 2009).

Menurut teori ini, bahwa ada hubungan antara kompetensi individu

dengan lingkungannya. Kompetensi disini berupa segenap proses

yang merupakan ciri fungsional individu, antara lain : kekuatan

ego, keterampilan motorik, kesehatan biologis, kapasitas kognitif

dan fungsi sensorik. Adapun lingkungan yang dimaksudkan

mengenai potensinya untuk menimbulkan respons perilaku dari

seseorang. Bahwa untuk tingkat kompetensi seseorang terdapat

suatu tingkatan suasana atau tekanan lingkungan tertentu yang

menguntungkan baginya. Orang yang berfungsi pada level tekanan

lingkungan yang rendah pula dan sebaliknya. Suatu korelasi yang


15

sering berlaku adalah semakin terganggu (cacat) seseorang, maka

tekanan lingkungan yang diasakan akan semakin besar.

2.1.6 Aspek-aspek yang mempengaruhi proses penuaan

1) Aspek Psikologis

Komponen yang berperan disini adalah kapasitas penyesuaian diri

yang terdiri atas pembelajaran, memori, daya ingat, perasaan,

kecerdasan dan motivasi. Selain hal-hal tersebut, dari aspek psikologis

dikenal pula isu yang erat hubungannya dengan lansia, yaitu teori

mengenai timbulnya depresi, gangguan kognitif, stress dan koping.

a) Teori kebutuhan manusia

Hierarki kebutuhan berturut-turut dari tingkat rendah ke tingkat

yang tinggi terdiri atas kebutuhan siologis, keamanan, keselamatan,

rasa sayang, memiliki, selfesteem dan aktualisasi diri. Disini

berlaku prioritas pemenuhan kebutuhan menurut tingkatan.

Namun, orang senantiasa menginginkan untuk mencapai tingkatan

yang lebih tinggi.

b) Teori keberlangsungan hidup dan perkembangan kepribadian

Menurut teori ini keberlangsungan hidup seseorang terbagi dalam

beberapa tahap dan orang bergerak melewati tingkat-tingkat

tersebut menurut pola tertentu, dimana kesuksesan pada tahap yang

satu menentukan kesuksesan pada tahap berikutnya. Terdapat para

ahli yang berpandangan bahwa kepribadian seseorang tetap stabil

dan menurut mereka terdapat 4 tipe dasar kepribadian, yaitu tipe

integrasi, tipe bertahan, tipe bergantung dan tipe tak terintegrasi.


16

c) Teori kedokteran tentang penuaan (teori geriatri)

Mula-mula teori medis tentang penuaan membatasi diri pada

pertanyaan mengenai hubungan antara penyakit dan usia tua.

Namun, dewasa ini cenderung telah ditinggalkan dan beralih kajian

mengenai peningkatan status fungsional. Biasanya penyakit

cenderung lebih berhubungan dengan usia harapan hidup (life

expectancy).

(1) Teori organ tubuh

Menurut teori ini menua adalah kegagalan pada organ vital

tubuh akibat penyakit atau penurunan organ-organ tubuh. Teori

ini menyatakan seolah-olah bahwa tubuh tidak akan mati andai

kata tidak ada penyakit atau kecelakaan.

(a) Teori Senescence (Kohn, 1982 dalam Tamher 2009)

Teori ini mengatakan bahwa inti teori ini didasarkan pada

studi terhadap 200 jenazah yang meninggal pada usia 85

tahun ke atas, ternyata 26% diantaranya tidak terdapat

penyebab kematian seperti yang terdaftar pada serikat

kematian. Menurut studi ini bahwa andai saja faktor-faktor

penyebabnya mereka, mungkin sekali mereka belum

meninggal. Dengan demikian, bila penyebabnya tidak layak

menimbulkan kematian, berarti kita bisa menyimpulkan

bahwa kematian mereka disebabkan karena usia tua

(senescene). Wacana yang timbul dari teori ini adalah


17

“sindrom penuaan” merupakan sesuatu yang universal,

progresif dan berakhir dengan kematian.

(b) Teori Life Expectancy

Lanjut usia dibedakan atas mereka yang tetap sehat dan

mereka yang sakit-sakitan. Para perencana dan pengambil

keputusan menaruh perhatian pada aspek ini mengingat

usia yang panjang tetapi sakit-sakitan akan menguras

banyak sumber daya. Lansia yang setelah melewati usia 65-

69 tahun hanya memiliki 10 tahun harapan hidup dalam

keadaan aktif, sementara mereka yang berusia diatasnya

maka periodenya lebih singkat lagi.

2) Aspek Biologis

Proses penuan yang ditandai dengan meningkatnya angka

kematian usia khusus merupakan ciri umum pada mamalia, burung,

reptil dan kebanyakan hewan tidak bertulang belakang (Comfort, 1979

dan Vinch 1990 dalam Tamher 2009). Dengan angka kematian khusus

dimaksudkan untuk mengukur angka kematian pada selang usia

tertentu dengan ciri atau karakteristik serupa. Misalnya bayi, balita,

dewasa muda, dewasa tua, lansia dan jompo.

Terdapat tiga pandangan mengenal asal muasal terjadinya

proses penuaan yang diuraikan sebagai berikut :

a) Menua hanyalah sekedar harga yang harus dibayar oleh organisme

tingkat tinggi karena fungsi tubuhnya yang kompleks. Jadi, tidak


18

perlu diliihat proses penuaan secara evolusi, namun ia hanyalah

proses biologis dari pemakaian dan keausan.

b) Adaptasi yang bersifat evolusioner, bahwa penuaan merupakan

suatu program terminasi kehidupan yang dikontrol secara genetik

sejak lahir hingga mati.

c) Sedangkan teori non-adaptif yang mengatakan bahwa menua

adalah proses evolusi sebagai suatu konsekuensi tidak langsung

terhadap kekuatan yang membentuk riwayat kehidupan.

3) Aspek Sosial

Lingkungan sosial sangat memengaruhi proses penuaan,

bahkan pengaruhnya paling besar dalam domain HRQL (High Related

Quality Life) menurut Clark, D.O (2000 dalam Tamher 2009). Lansia

yang seusia dan yang berasal dari tempat yang sama akan memiliki

pengalaman hidup yang hampir serupa, baik pria maupun wanita.

Lima utama penyebab kematian pada lansia adalah penyakit

kardiovaskuler, penyakit kanker, cerebrovascular, pneumonia dan

COPD (Chronic Obstructive Pulmonal Dissease). Namun,penyakit

yang paling mahal adalah golongan penyakit yang menyebabkan

kecacatan namun tidak sampai meninggal. Penyakit atritis merupakan

penyakit kronis yang paling sering dan yang paling banyak

menyebabkan kecacatan. Penyebab kecacatan lainnya adalah

hipertensi, gangguan visual, diabetes dan penyakit CVA (Cerebro

Vascular Accident), serta COPD (Chronic Obstructive Pulmonal

Dissease).
19

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Definisi

Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi keluarga menurut

beberapa ahli.

1) Duvall dan Logan (1986 dalam Sri Setyawati 2008) menguraikan

definisi keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,

kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan,

mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik,

mental, emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga.

2) Bailon dan Maglaya (1978 dalam Sri Setyawati 2008) mendefinisikan

keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah

tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi.

Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, mempunyai

peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu

budaya.

3) Reisner (1980 dalam Sri Setyawati 2008) mendefinisikan keluarga

adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang

masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari

bapak, ibu, adik, kakak, kakek dan nenek.

4) BKKBN (1992 dalam Sri Setyawati 2008) mendefinisikan keluarga

adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau

suami-istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga

adalah :
20

1) Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan

perkawinan atau adopsi.

2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka

tetap memperhatikan satu sama lain.

3) Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing

mempunyai peran sosial suami, istri, anak, kakak dan adik.

4) Mempunyai tujuan : menciptakan dan mempertahankan budaya,

meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.

2.2.2 Ciri- ciri

1) Menurut Robert Mac Iver dan Charles Horton yaitu :

a) Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

b) Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan

hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

c) Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (Nomen Clatur)

termasuk perhitungan garis keturunan.

d) Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-

anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai

keturunan dan membesarkan anak.

e) Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah

tangga.

2) Ciri keluarga Indonesia

a) Mempunyai ikatan yang sangat erat dengan dilandasi semangat

gotong royong.

b) Dijiwai oleh nilai kebudayaan ketimuran.


21

c) Umumnya dipimpin oleh suami meskipun proses pemutusan

dilakukan secara musyawarah.

2.2.3 Tipe

Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari

berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan berbagai

macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial maka tipe

keluarga berkembang mengikutinya. Agar dapat mengupayakan peran

serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan maka perawat perlu

mengetahui berbagai tipe keluarga.

Berikut ini akan disampaikan berbagai tipe keluarga :

1) Tipe keluarga tradisional

a) Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami,

istri dan anak (kandung atau angkat).

b) Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah dengan keluarga lain

yang mempunyai hubungan darah, misalnya : kakek, nenek,

keponakan, paman dan bibi.

c) Keluarga “Dyad” yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami

dan istri tanpa anak.

d) Single Parent yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang

tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat

disebabkan oleh perceraian atau kematian.

e) Single Adult yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang

dewasa (misalnya seorang yang telah dewasa kemudian tinggal

kost untuk bekerja atau kuliah).


22

2) Tipe keluarga non tradisional

a) The unmarriedteenege mother

Keluarga yang terdiri dari orangtua (terutama ibu) dengan anak

dari hubungan tanpa nikah.

b) The Stepparent family

Keluarga dengan orang tua tiri

c) Commune family

Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada

hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber,

fasilitas yang sama dan pengalaman yang sama : sosialisasi anak

dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak

bersama.

d) The nonmarital heterosexual cohibitang family

Keluarga yang hidup bersama dan berganti-ganti pasangan tanpa

melalui pernikahan.

e) Gay and Lesbian family

Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama

sebagaimana suami-istri (marital partners).

f) Cohabiting Couple

Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan

karena berperan alasan tertentu.


23

g) Group-marriage family

Beberapa orang dewasa menggunakan alat-alat rumah tangga

bersama yang saling merasa sudah menikah, berbagai sesuatu

termasuk seksual dan membesarkan anaknya.

h) Group network family

Keluarga inti yang dibatasi set aturan atau nilai-nilai, hidup

bersama atau berdekatan atau sama dengan lainnya dan saling

menggunakan barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan

dan tanggung jawab membesarkan anaknya.

i) Foster family

Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau

saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak

tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali

keluarga yang aslinya.

j) Homeless family

Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang

permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan

keadaan ekonomi dan atau problem kesehatan mental.

k) Gang

Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda

yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai

perhatian terapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam

kehidupannya.
24

2.2.4 Struktur Keluarga

Struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan

fungsi keluarga di masyarakat. Struktur keluarga terdiri dari bermacam-

macam, diantaranya adalah :

1) Patrilineal

Adalah keluarga sedarah yangterdiri dari sanak saudara sedarah dalam

beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis

ayah.

2) Matrilineal

Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam

generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.

3) Matrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah

istri.

4) Patrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah

suami.

5) Keluarga kawin

Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga

dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena

adanya hubungan dengan suami istri.


25

2.2.5 Fungsi

1) Fungsi keluarga yang berhubungan dengan struktur

a) Struktur legalisasi

Masing-masing keluarga mempunyai hak yang sama dalam

menyampaikan pendapat (demokrasi).

b) Struktur yang hangat, menerima dan toleransi.

c) Struktur yang terbuka dan anggota keluarga yang terbuka :

mendorong kejujuran dan kebenaran (homesty and authenticity).

d) Struktur : suka melawan dan tergantung pada peraturan.

e) Struktur yang bebas : tidak ada peraturan yang memaksa

(permissiveness).

f) Struktur yang kasar : abuse (menyiksa, sukar berteman).

g) Suasana emosi yang dingin (isolasi, sukar berteman).

h) Disorganisasi keluarga (disfungsi individu, stress emosional).

2) Friedmann (1986 dalam Setyawati 2008) mengidentifikasikan lima

dasar keluarga, sebagai berikut :

a) Fungsi afektif

Fungsi afekif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga,

yang merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna

untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan

melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan

kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Komponen yang perlu

dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah :


26

(1) Saling mengasuh : cinta kasih, kehangatan, saling menerima,

saling mendukung antar anggota keluarga mendapatkan kasih

sayang dan dukungan anggota lain.

(2) Saling menghargai. Bila anggota keluarga saling menghargai

dan mengakui keberadaan dan hak setiap anggota keluarga

serta selalu mempertahankan iklim yang positif, maka afektif

akan tercapai.

(3) Ikatan dan identifikasi ikatan keluarga dimulai sejak pasangan

sepakat memulai hidup baru. Ikatan antara anggota keluarga

dikembangkan melalui proses identifikasi dan penyesuaian

pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga. Orang tua

harus mengembangkan proses identifikasi yang positif

sehingga anak-anak dapat meniru tingkah laku yang positif dari

kedua orangtua nya.

b) Fungsi sosialisasi

Sosialisasi dimulai sejak manusia lahir. Keluarga merupakan

tempat individu untuk belajar bersosialisasi, misalnya anak yang

baru lahir dia akan menatap ayah, ibu dan orang-orang

disekitarnya. Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga

dicapai melalui interaksi atau hubungan antar anggota keluarga

yang diwujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga belajar

disiplin, belajar norma-norma, budaya dan perilaku melalui

hubungan dan interaksi keluarga.


27

c) Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah

sumber daya manusia. Maka dengan ikatan pernikahan yang sah,

selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis pada pasangan

tujuan untuk membentuk keluarga adalah untuk meneruskan

keturunan.

d) Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi

kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi tempat

tinggal. Banyak pasangan sekarang kita lihat dengan penghasilan

yang tidak seimbang antara suami dan istri hal ini menjadikan

permasalahan yang berujung pernikahan.

e) Fungsi perawatan kesehatan

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek

asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan

kesehatan dan/atau merawat keluarga yang sakit. Kemampuan

keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi

status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan

pemeliharaan kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga

yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup

menyelesaikan masalah kesehatan.

3) Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut (Friedmann 1988

dalam Setyawati 2008):

a) Mengenal masalah kesehatan.


28

b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.

c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.

d) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.

e) Mempertahankan hubungan dengan (menggunakan) fasilitas

kesehatan masyarakat.

4) Fungsi keluarga menurut (Allender 1988 dalam Setyawati 2008)

a) Affection

(1) Menciptakan suasana persaudaraan atau menjaga perasaan.

(2) Mengembangkan kehidupan seksual dan kebutuhan seksual.

(3) Menambah anggota baru.

b) Security and acceptance

(1) Mempertahankan kebutuhan fisik.

(2) Menerima individu sebagai anggota.

c) Identity and satisfaction

(1) Mempertahankan privasi.

(2) Mengembangkan peran dan self image.

(3) Mengidentifikasi tingkat sosial dan kepuasan aktivitas.

d) Affiliation and companionship

(1) Mengembangkan pola komunikasi.

(2) Mempertahankan hubungan yang harmonis.

e) Socialization

(1) Mengenal kultur (nilai dan perilaku).

(2) Aturan atau pedoman hubungan internal dan eksternal.

(3) Melepas anggota.


29

f) Controls

(1) Mempertahankan kontrol sosial.

(2) Adanya pembagian kerja.

(3) Penempatan dan menggunakan sumber daya yang ada.

2.3 Konsep Demensia

2.3.1 Definisi

Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian

beratnya sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas

sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan

kemunduran memori atau daya ingat (pelupa) dan demensia berkaitan erat

dengan usia lanjut.

Demensia adalah sindrom klinis yang meliputi hilangnya fungsi

intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan

disfungsi sehari-hari. Demensia adalah keadaan ketika seseorang

mengalami penurunan daya ingat dan daya pikir lain yang secara nyata

mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.

Demensia juga dapat diartikan sebagai berkurangnya kognisi pada

tingkat kesadaran yang stabil. Dalam revisi DSM-IV ( Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder) edisi ke-4 bahwa demensia

ditandai oleh defek kognitif multipel yang mencakup hendaya memori,

tanpa hendaya kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat terserang demensia

meliputi intelegensi umum, pengetahuan, memori, bahasa, pemecahan

masalah, orientasi, persepsi, atensi, konsentrasi, daya nilai dan


30

kemampuan sosial. Sebagai tambahan, diagnosis demensia menurut DSM-

IV mewajibkan bahwa gejalanya mengakibatkan hendaya yang signifikan

dalam kemampuan berfungsi secara sosial dan okupasional. Bahwa gejala

tersebut menggambarakan penurunan kemampuan berfungsi dari yang

sebelumnya signifikan. Yang penting pada demensia adalah identifikasi

sindrom dan penanganan klinis kausa. Gangguan ini dapat bersifat

progresif atau statis, permanen atau reversibel. Adanya kausa yang

mendasari harus selalu difikirkan meski pada kasus yang jarang

tampaknya mustahil untuk menemukan suatu kausa spesifik. Potensi

reversibilitas demensia berhubungan dengan kondisi patologis yang

mendasari dan ketersediaan serta penerapan terapi yang efektif. Sekitar

15% pasien demensia akan mengalami penyakit yang reversible jika terapi

dimulai sebelum terjadinya kerusakan yang irreversible.

2.3.2 Etiologi

Ada bermacam-macam penyebab walaupun gambaran klinisnya sama

pada sebagian besar demensia. Sering kali tidak ada diagnosis definitif

yang dapat ditegakkan sampai pemeriksaan postmortem selesai. Terdapat

penurunan aktivitas metabolik di otak individu yang mengalami demensia,

tetapi tidak diketahui apakah demensia menyebabkan penurunan aktivitas

metabolik atau apakah penurunan aktivitas metabolik yang menyebabkan

demensia. Demensia memiliki banyak penyebab, namun demensia tipe

Alzheimer dan demensia vaskuler secara bersama mencakup hingga 75%

kasus. Kausa demensia lain yang dirinci dalam DSM-IV adalah penyakit

Pick, penyakit Huttington, penyakit Parkinson, HIV dan trauma kepala.


31

1) Demensia tipe Alzheimer

Pada tahun 1907 Alois Alzheimer pertama kali mendeskripsikan

kondisi yang kemudian disebut dengan namanya. Ia menggambarkan

seorang wanita berusia 51 tahun dengan demensia progresif yang telah

berlangsung selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir penyakit Alzheimer

didasarkan atas pemeriksaan neuropatologis otak.

2) Demensia vascular

Kausa primer demensia vascular yang dahulu disebut demensia multi

infark, diperkirakan adalah penyakit serebral multipel menyebabkan

pola gejala demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemukan pada

pria terutama mereka yang menderita hipertensi yang sudah ada

sebelumya atau faktor resiko kardiovaskuler yang lain. Gangguan ini

terutama memengaruhi pembuluh serebral berukuran kecil dan sedang

yang mengalami infark dan menyebabkan lesi parenkrim multipel yang

tersebar secara luas di otak. Kausa infark mungkin mencakup oklusi

pembuluh oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari asal yang

jauh seperti katup jantung.

3) Penyakit Pick

Penyakit pick berlawanan dengan distribusi parietal-temporal temuan

patologi pada penyakit Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi

dalam jumlah yang lebih besar di region frontotemporal. Region ini

juga mengalami kehilangan neuron, gliosis dan munculnya jissim Pick

neuronal, yaitu massa elemen sitoskeletal. Kausa penyakit Pick belum


32

diketahui secara pasti namun penyakit ini mencakup kurang lebih 5%

dari semua demensia yang reversible.

4) Penyakit Huttington

Penyakit Huttington secara klasik menyebabkan demensia. Demensia

yang tampak pada penyakit ini adalah demensia tipe subkortikal, yang

ditandai oleh lebih banyak abnormalitas motorik dan lebih sedikit

abnormalitas bahasa dibanding pada demensia tipe kortikal. Demensia

pada penyakit ini menunjukkan perlambatan psikomotorik dan

kesulitan tugas yang rumit, namun memori, bahasa dan tilikan relatif

tetap intak pada stadium awal serta pertengahan penyakit.

5) Penyakit Parkinson

Seperti halnya penyakit Huttington, parkinsonisme adalah penyakit

pada ganglia basalis yang umumya dikaitkan dengan demensia dan

depresi. Diperkirakan 20-30% pasien dengan penyakit Parkinson

mengalami demensia dan tambahan 30-40% lainnya mengalami

hendaya kemampuan kognitif yang terukur.

6) Demensia terkait HIV

Infeksi HIV biasanya akan mengarah ke demensia dan gejala psikiatri

lain. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami demensia dengan angka

tahunan sekitar 14%. Timbulnya demensia pada orang yang terinfeksi

HIV sering sejajar dengan keadaan abnormalitas parenkrim pada

pemindaan MRI. Demensia infeksius lain disebabkan oleh

Kriptokokus.
33

7) Demensia terkait trauma kepala

Demensia dapat merupakan sekuele trauma kepala, sebagaimana

halnya serangkaian luas sindrom neuropsikiatri termasuk neurosifilis.

2.3.3 Klasifikasi

Tidak kurang dari 70 macam penyakit atau kelainan yang dapat

menyebabkan demensia. Tidaklah mengherankan bila berbagai macam

klasifikasi diusulkan. Dari segi gambaran klinik dikenal berbagai bentuk

demensia, misalnya yang global, demensia afasik dan visuoperseptif. Dari

segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia

subkortikal. Dari segi etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara

demensia yang reversible dan irreversible.

1) Dari segi anatomi : demensia kortikal dan subkortikal

Tabel 2.1 : Demensia kortikal versus subkortikal


Ciri Demensia kortikal Demensia subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi,
seolah-olah berdansa.
Gerakan Normal Tremor, khorea,
dyskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik,
volume suara lemah.
Berbahasa Abnormal, anomia, Normal
parafasia
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tidak terpelihara
memanipulasi (dilapidated)
pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan
belajar) retrieval)
Kemampuan visuo- Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
spasial konstruksi) gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tidak Abnormal (kurang
memperdulikan, tidak dorongan drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick. Progressive supraneclear
palsy, Parkinson,
penyakit Wilson dan
Huttington.
Dikutip dari Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and
Coy, Boston, 1994, pg 69.
34

2) Dari segi etiologi : demensia reversible dan irreversible

Tabel 2.2 : Penyebab demensia pada dewasa yang belum dapat


diobati atau irreversible.
1) Primer degeneratif
a) Penyakit Alzheimer
b) Penyakit Pick
c) Penyakit Huttington
d) Penyakit Parkinson
e) Degenerasi Olivopontocerebellar
f) Progressive Supranuclear Palsy
g) Degenerasi Cortical-basal Ganglionic
2) Infeksi
a) Penyakit Creutzfeldt-Jacob
b) Subacute sclerosing panencheplitis
c) Progressive multifocal leukonenchepality
3) Metabolik
a) Metachromatic leukodyntrophy
b) Penyakit Kuf
c) Gangliodesis
Dikutip dari : Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy.
Boston, 1994, 67.

Tabel 2.3 : Penyebab demensia yang dapat diobati.

1) Obat-obatan : anticholinergics (mis. Atropin dan senyawa


sejenis), antikonvulsan (mis. Penythoin, barbiturate),
antihipertensi (clonidine, methydopa, propranolol),
psychotropics (haloperhidrol, phenothiaziness) dan lain-
lain (misalnya : quinidine, bromide, paraldehyde,
disulifarm).
2) Metabolic-gangguan sistemik : gangguan elektrolit atau
asam-basa, hypo-hyperglicemia, anemia berat,
polychythemia vera, hyperlipidemia, gagal hepar, uremia,
inuefesiensi pulmonal, hypopituitarism, dysfungsi tyroid,
adrenal atau parathyroid, dysfungsi cardiac dan degenerasi
hepatolenticular.
3) Gangguan intracranial : inuefesiensi cerecrovaskular,
meningitis atau enchepalitis kronis, neuroshypilis,
epilepsy, tumor, abses, hematoma, subdural, multiple
sclerosis dan normal pressure hydrocephalus.
4) Keadaan defisiensi : vitamin B12, defisiensi folat, pellagra
(niacin).
5) Gangguan collagen-vascular : systemic lupus
erythematosus, temporal arteris, sarcoidosis, syndrome
Behcet.
6) Intoksikasi eksogen : alcohol, carbon monoxide,
organophosphates, toluene, trichloroethylene, carbon
disulfide, timbal (lead), mercury, arsenic, thalium,
manganese, nitrobenzene, anilines, bromide dan
hydrocarbons.
Dikutip dari : Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon Press, New York,
1992, 195.
35

2.3.4 Pathofisiologi

Faktor predisposisi yang meliputi virus lambat, penuaan, proses

autoimun, keracunan aluminium dan genetik menyebabkan penurunan

metabolisme dan aliran darah di korteks parietalis superior, lalu

menyebabkan degenerasi neuron kolinergik yang menyebabkan kekusutan

neurofibrilar yang difus sehingga terjadi plak sinilis, kemudian

menyebabkan kelainan neurotransmitter sehingga mengakibatkan

penurunan asetilkolin di otak sehingga menyebabkan demensia. Dari

demensia menyebabkan tingkah laku aneh atau kacau, cenderung

mengembara, mempunyai dorongan melakukan kekerasan sehingga

muncul resiko tinggi trauma, resiko jatuh dan resiko cidera.


36

Faktor predisposisi : prosess penuaan,


autoimun dan genetik

Penurunan metabolisme dan aliran darah di


korteks parietalis superior

Degenerasi neuron kolinergik

Kekusutan neurofibrilar yang Hilangnya serat saraf


difus kolinorgik
korteks serebrum
Kelainan
Terjadi plak senilis Penurunan sel
Neouro transmiter neuronkolinergik yang
berproyeksi ke hipokamui
dan amigdala
Asetilkolin menurun pada otak

Demensia

Perubahan kemampuan Tingkah laku aneh dan kacau,


Kehilangan kemampuan
merawat diri sendiri menyelesaikan masalah. Perubahan dan cenderung mengembara.
mengawasi keadaan yang Mempunyai dorongan
kompleks dan berpikir abstrak. melakukan perilaku kekerasan
7. Defisit perawatan diri (makan,
minum, berpakaian, higiene) Emosi labil, pelupa, apatis.
Loss deep memory
1. Resiko cidera
2. Perubahan nutrisi: (menciderai diri sendiri,
kurang dari kebutuhan tubuh 1. Perubahan proses orang lain dan
pikir lingkungan)
2. Hambatan interaksi
sosial
3. Hambatan komunikasi
verbal
4. Koping tidak efektif

Gambar 2.1 : Pathofisiologi pada klien yang mengalami demensia.


37

2.3.5 Manifestasi Klinis

1) Forgetfulness subjective (mudah lupa).

2) Kesulitan dalam pekerjaan, berbicara, bepergian ke tempat baru,

dilaporkan oleh keluarga dan diikuti gangguan memori ringan.

3) Penurunan kemampuan untuk bepergian, berhitung, mengingat

kejadian dan hal yang baru.

4) Membutuhkan bantuan pemilihan baju, disorientasi waktu dan tempat,

gangguan kemampuan mengingat nama orang.

5) Membutuhkan bantuan untuk makan, defekasi/berkemih,

inkontinensia, disorientasi waktu, tempat dan orang.

6) Gangguan berbicara yang parah, inkotinensia, gerakan yang kaku.

7) Kehilangan memori (tahap awal, kehilangan memori yang baru

seperti lupa sedang memasak makanan di kompor, tahap selanjutnya

kehilangan memori masa lalu seperti melupakan nama anak-anak dan

pekerjaan).

8) Penurunan fungsi bahasa (melupakan nama benda-benda umum

seperti kursi atau meja, palilalia [mengulangi suara], dan mengulang

kata-kata yang didengar [ekolali]).

9) Kehilangan kemampuan untuk berfikir abstrak dan merecanakan,

memulai, mengurutkan, memantau, atau menghentikan perilaku yang

kompleks (kehilangan fungsi eksekutif), klien kehilangan kemampuan

untuk melakukan aktivitas perawatan diri.


38

2.3.6 Tahap Demensia

1) Ringan

Pelupa merupakan tanda awal demensia ringan. Pelupa dalam

hal ini melebihi pelupa yang kadang-kadang terjadi dan normal, yang

dialami sebagai bagian proses penuaan. Individu mengalami kesulitan

dalam menemukan kata-kata, sering kehilangan barang dan mulai

mengalami ansietas karena kehilangan barang tersebut. Lingkungan

pekerjaan dan sosial kurang dinikmati oleh individu dan individu

tersebut mungkin menghindarinya. Kebanyakan individu tetap berada

di masyarakat selama tahap ini.

2) Sedang

Kebingungan muncul bersamaan dengan kelebihan memori

yang progresif. Individu tidak dapat lagi melakukan tugas yang

kompleks, tetapi tetap terorientasi terhadap orang dan tempat. Orang

yang dikenal masih tetap dikenali. Pada akhir tahap ini, individu tidak

mampu hidup mandiri dan membutuhkan bantuan akibat disorientasi

terhadap waktu dan kehilangan informasi seperti alamat dan nomor

teleponnya. Individu dapat tetap berada di masyarakat apabila ada

dukungan pemberi perawatan yang adekuat, tetapi beberapa individu

akan pindah ke situasi kehidupan yang diawasi.

3) Berat

Perubahan kepribadian dan emosional terjadi. Individu dapat

mengalami waham, berkeluyuran di malam hari, melupakan nama

pasangan dan anak-anaknya dan memerlukan bantuan dalam


39

melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Ribby dan Cox 1996

dalam Sheila L 2008 ). Kebanyakan individu tinggal di fasilitas

perawatan ketika mereka mencapai tahap ini kecuali jika tersedia

dukungan yang sangat besar di masyarakat.

2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik

1) CT-Scan

Pemeriksaan pencitraan, misalnya CT-Scan atau MRI banyak

membantu menentukan etiologi demensia. Neoplasma, besar atau

kecil, tunggal atau ganda, primer atau metastasik, hematoma subdural,

hydrocephalus, infark di otak, tunggal atau multiple, letaknya kortikal

atau subkortikal dengan mudah dapat diketahui melalui pemeriksaan

CT-Scan atau MRI.

2) Imejing otak

Beberapa hasil penelitian berikut perlu disimak, yaitu : diagnosis

demensia ditegakkan atas dasar kriteria behavioral dan tidak dapat

ditegakkan atas dasar imejing otak, termasuk CT-Scan otak, MRI,

PET, SPET atau metoda laboratorium lainnya. Pemeriksaan imejing

otak lebih ditujukan pada penentuan penyebab demensia, misalnya

lesi-desak-ruang, hydrocephalus dan lain sebaginya. Imejing otak

dapat membantu membedakan AD (Penyakit Alzheimer) dari MID

(multiinfact dementia), penyebab demensia yang peling sering.

3) EEG

EEG merupakan pemeriksaan yang jauh lebih murah daripada

pemeriksaan MRI dan CT-Scan. Dalam menentukan etiologi demensia


40

kemampuannya sangat terbatas. Bila gambaran EEG teratur dan

normal, maka kemungkinan gangguan kortikal lebih sedikit. Pada

gangguan ginjal dengan kadar ureum yang tinggi yang mengakibatkan

gangguan fungsi luhur, umumnya didapatkan ganggauan EEG berupa

perlambatan.

4) Pemeriksaan laboratorium darah

Pemeriksaan darah juga sangat meningkat ragamnya. Benyak jenis

kelainan yang dapat dideteksi. Banyak marka-marka penyakit yang

sudah diketahui. Dapat dilakukan penapisan terhadap penyakit

metabolik (diabetes, tiroid, hepar), penyakit infeksi (sifilis, HIV,

herpes simpleks, Cytomegalovirus). Pungsi lumbal, pemeriksaan ini

sudah agak jarang dilakukan, karena dapat diganti oleh pemeriksaan

lainnya. Namun pada kasus atau kecurigaan tertentu masih dapat

dimanfaatkan.

5) MMSE (Mini Mental State Examination)

Pada penderita yang skornya kurang dari 24 dapat dianggap terdapat

gangguan kognitif. Dalam hal sedemikian dibutuhkan pemeriksaan

yang lebih rinci.


41

Tabel 2.4 : Mini Mental State Exam (MMSE).


(Menguji Aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental).
Nilai Pasien Pertanyaan
Maksimum
Orientasi
5 5 (Tahun) (Musim) (Tanggal) (Hari) (Bulan
apa sekarang) ?
5 5 Dimana kita : (Negara bagian) (Wilayah)
(Kota) (Rumah Sakit) (Lantai) ?
Registrasi
3 3 Sebutkan nama 3 objek : 1 detik untuk
masing-masing. Beri 1 poin untuk setiap
jawaban yang menjawab.
Perhatian dan
kalkulasi
5 2 Seri 7’s 1 poin untuk setiap kebenaran.
Berhenti setelah 5 jawaban. Berganti eja
“kata: ke belakang.
Mengingat
3 3 Meminta untuk mengulang ketiga objek di
atas.
Berikan 1 poin untuk setiap kebenaran.
Bahasa
9 9 Nama pensil dan melihat (2 poin).
Mengulang hal berikut : tidak ada jika, dan
atau tetapi (1 poin)
Nilai Total

2.3.8 Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan umum

a) Terapi elektrokonvulsif.

b) Monitor tanda vital dan jantung.

c) Support nutrisi dan cairan.

d) Diet cair atau lunak.

e) Fisioterapi, terapi okupasi.


42

2) Pengobatan

a) Antipsikotik seperti Haloperidrol.

b) Sedative-hypnotic : Chloral hydrate.

c) Agen Antianxietas : Lorazepam, Diazepam (valium).

d) Antidepresan.

e) Laxatives.

Tabel 2.5 : Daftar obat yang biasanya untuk mengobati klien dengan
Demensia.
Nama Rentang Dosis dan Cara Pertimbangan Khusus
Pemberian
Takrin (Cognex) 40-160 mg per oral setiap hari Pantau enzim hati untuk
yang dibagi dalam 4 dosis mengetahui adanya efek
hepatoksik.
Dapat menyebabkan
gangguan Gastrointestinal,
gejala lain seperti flu.
Donepezil (Aricept) 5-10 mg per oral setiap hari Pantau adanya mual,
diare, insomnia.
Lakukan pemeriksaan
feses secra periodic untuk
mengetahui adanya
perdarahan
Gastrointestinal.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Demensia

2.4.1 Pengkajian

Pengumpulan data klien baik secara subyektif maupun obyektif

pada gangguan sistem persarafan meliputi anamnesis riwayat penyakit

dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.

1) Anamnesis

Identitas klien meliputi nama, umur (lebih sering pada

kelompok usia lanjut, 50% populasi berusia lebih dari 85 tahun), jenis

kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama dan suku bangsa.


43

2) Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta

pertolongan kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan

kognitif dan kelemahan gerak ekstremitas.

3) Riwayat penyakit dahulu

Klien mungkin tidak mampu memberikan riwayat yang

lengkap dan akurat tentang awitan masalah, yang menunjukkan

kerusakan memori yang baru. Wawancara dengan keluarga, teman,

atau pemberi perawatan dapat diperlakukan untuk memperoleh data.

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi riwayat hipertensi,

diabetes, penyakit jantung, pengunaan obat antiansietas, penggunaan

obat antikolinergik dalam jangka waktu yang lama dan mengalami

sindrom Down yang pada suatu saat kemudian mengalami demensia

saat usia 40-an.

4) Riwayat penyakit sekarang

Pada anamnesis klien mengeluhkan sering lupa dan hilangnya

ingatan yang baru. Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan

bahwa klien sering mengalami tingkah laku aneh dan kacau serta

sering keluar rumah sendiri tanpa mengatakan pada keluarga yang lain

sehingga meresahkan anak-anaknya yang menjaga klien. Pada tahap

lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien

menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat mengurus

kebutuhan dasar sehari-hari atau mengenali anggota keluarga. Status

interna harus diperiksa dengan baik, apakah ada hipertensi, gangguan


44

ginjal, hepar, diabetes mellitus, hiper atau hipotiroid. Banyak penyakit

yang dapat menyebabkan demensia. Efek samping obat juga perlu

diperhatikan.

5) Riwayat penyakit keluarga

Keadaan kesehatan keluarga harus diperiksa dengan baik pula,

apakah di dalam keluarga tersebut ada yang memiliki penyakit HIV,

hipertensi, gagal ginjal, gagal jantung, atau penyakit lainnya. Apakah

ada salah satu anggota keluarganya memiliki riwayat penyakit yang

sama dengan klien, apabila sama maka gangguan kesehatan yang

dialami klien tidak jauh penyababnya dari keturunan atau lingkungan

itu sendiri. Pengkajian adanya anggota generasi terdahulu yang

menderita hipertensi dan diabetes mellitus diperlukan untuk melihat

adanya komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepat progresifnya

penyakit.

6) Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien sering

berfungsi untuk menilai respons emosi klien terhadap sutau penyakit

yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan

masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-

harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya

perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan

untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan

konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,

mudah marah dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada


45

klien dengan demensia adalah penurunan kognitif dan memori

(ingatan).

7) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum.

Klien yang mengalami demensia umumnya mengalami

penurunan kognitif, adanya perubahan tanda-tanda vital, meliputi

brakikardi, hipotensi dan apakah terjadi perubahan frekuensi nafas.

b) Breathing, Blood, Brain, Bladder, Bowel, Bone.

(1) B1 (Breathing)

Gangguan fungsi pernafasan : berkaitan dengan hipoventilasi,

aspirasi makanan atau saliva dan berkurangnya fungsi

pembersihan saluran pernafasan.

(a) Inspeksi : didapatkan klien batuk atau penurunan

kemampuan untuk batuk efektif, sesak nafas dan

penggunaan otot bantu nafas.

(b) Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri.

(c) Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapang paru.

(d) Auskultasi : bunyi nafas tambahan seprti nafas berbunyi,

stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi

sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering

didapatkan pada klien inaktifitas.


46

(2) B2 (Blood)

Hipotensi postural : berkaitan dengan efek samping pemberian

obat dan juga gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh

sistem persarafan otonom.

(3) B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan

lengkap dibanding pemeriksaan fisik lainnya.

(a) Inspeksi umum, didapatkan berbagai manifestasi akibat

perubahan tingkah laku.

(b) Pengkajian tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran klien

biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan status

kognitif klien.

(c) Pengkajian fungsi serebral. Biasanya status mental klien

mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan

status kognitif, penurunan persepsi dan penurunan memori,

baik jangka pendek maupun jangka panjang.

(d) Pengkajian saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi

pengkajian saraf kranial I-XI.

1) Saraf I. Biasanya pada klien demensia tidak ada

kelainan dan fungsi penciuman.

2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami

perubahan, yaitu sesuai dengan keadaan usia lanjut

biasanya klien dengan demensia mengalami penurunan

ketajaman penglihatan.
47

3) Saraf III, IV, dan VI. Pada beberapa kasus demensia

biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf

ini.

4) Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada

saraf ini.

5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal.

6) Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

berhubungan proses sinilis serta penurunan aliran

darah regional.

7) Saraf IX dan X. Didapatkan kesulitan dalam menelan

makanan yang berhubungan dengan perubahan status

kognitif.

8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus

dan trapezius.

9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu

sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

(e) Pengkajian sistem motorik. Inspeksi umum, pada tahap

lanjut klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada

fungsi motorik secara umum. Tonus otot didapatkan

meningkat, keseimbangan dan koordinasi didapatkan

mengalami gangguan karena adanya perubahan status

kognitif dan ketidakkooperatifan klien dengan metode

pemeriksaan.
48

(f) Pengkajian reflex. Pada tahap lanjut, demensia sering

mengalami kehilangan reflex postural, apabila klien

mencoba untuk berdiri dengan kepala cenderung ke depan

dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong.

Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan

(salah satunya ke depan atau ke belakang) dapat

menyebabkan klien sering jatuh.

(g) Pengkajian sistem sensorik. Sesuai berlanjutnya usia, klien

dengan demensia mengalami penurunan terhadap sensasi

sensorik secara progresif. Penurunan sensori yang ada

merupakan hasil dari neuropati perifer yang dihubungkan

dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum.

(4) B4 (Bladder)

Pada tahap lanjut, beberapa klien sering mengalami

inkontinensia urin, biasanya berhubungan dengan penurunan

status kognitif dari klien dengan demensia. Penurunan reflex

kandung kemih yang bersifat progresif dan klien mungkin

mengalami inkontinensia urin, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk

menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan

postural.

(5) B5 (Bowel)

Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan intake

nutrisi yang kurang karena kelemahan fisik umum dan


49

perubahan status kognitif. Penurunan aktivitas umum klien

sering mengalami konstipasi.

(6) B6 (Bone)

Pada tahap lanjut, biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status

kognitif menyebabkan masalah pola dan pemenuhan aktivitas

sehari-hari. Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi

dalam melakukan pergerakan karena perubahan pada gaya

berjalan dan kaku pada seluruh gerakan memberikan resiko

pada trauma fisik jika melakukan aktivitas.

c) Sistem Neurologi

Demensia disebabkan oleh gangguan di otak. Tidak jarang

fungsi otak lainnya pun ikut terganggu. Periksa apakah terdapat

abnormalitas fokal, seperti defisit lapangan pandang, hemiparesis,

defisit hemisensorik. Refleks tendon yang simetris atau refleks

patologis yang positif. Di samping iu perlu ditelusuri adanya gejala

ekstrapiramidal seperti rigidita atau bradikinesia, gangguan gerak

dan cara berjalan yang abnormal.

2.4.2 Diagnosa

Banyak diagnosa keperawatan dapat ditegakkan karena efek

demensia pada klien sangat besar, hampir tidak ada bagian kehidupan

mereka yang tidak terjamah diagnosa keperawatan salah satu nya adalah

resiko cidera yang sesuai dengan tujuan penelitian dan kondisi klien.
50

Resiko Cidera

(Domain 11 : Keamanan/Perlindungan. Kelas 2 : Cidera Fisik. Kode

00035)

1) Definisi : rentan mengalami cidera fisik akibat kondisi lingkungan

yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensif

individu yang dapat mengganggu kesehatan.

2) Faktor resiko :

a) Eksternal

(1) Agens nosocomial.

(2) Gangguan fungsi kognitif.

(3) Gangguan fungsi psikomotor.

(4) Hambatan fisik (missal : desain, struktur, pengaturan

komunitas, pembangunan dan peralatan).

(5) Hambatan sumber nutrisi (missal : vitamin, tipe makanan).

(6) Moda transportasi tidak aman.

(7) Pajanan pada kimia toksik.

(8) Pajanan pada pathogen.

(9) Tingkat imunisasi di komunitas.

b) Internal

(1) Disfungsi biokimia.

(2) Disfungsi efektor.

(3) Disfungsi imun.

(4) Disfungsi integrasi sensori.

(5) Gangguan mekanisme pertahanan primer (missal kulit robek).


51

(6) Gangguan orientasi afektif.

(7) Gangguan sensasi (akibat dari cidera medulla spinalis,

diabetes mellitus, dll).

(8) Hipoksia jaringan.

(9) Malnutrisi.

(10) Profil darah yang abnormal.

(11) Usia eksterm.

2.4.3 Intervensi

Model psikososial untuk perawatan klien demensia menggunakan

pendekatan bahwa setiap klien adalah individu unik dan tetap unik, pada

saat yang sama perkembangan penyakit mengahambat kemampuan klien

untuk menunjukkan karakteristik yang unik tersebut. Intervensi

berdasarkan keyakinan bahwa klien demensia memiliki kekuatan pribadi.

Fokus intervensi adalah menunjukkan kepedulian, mempertahankan

keterlibatan klien dengan menghubungkannya dengan lingkungan dan

orang lain dan memvalidasi perasaan, serta martabat klien menawarkan

sudut pandang alternatif untuk mejelaskan suatu tindakan.

Berikut ini adalah intervensi pada diagnosa keperawatan resiko

cidera sesuai NIC (Nursing Intervention Classification) 2015 :

1) Manajemen Demensia

a) Sertakan anggota keluarga dalam perencanaan, pemberian dan

evaluasi perawatan sejauh yang diinginkan.

b) Identifikasi pola-pola perilaku biasa untuk kegiatan seperti tidur,

penggunaan obat, eliminasi, asupan makanan dan perawatan diri.


52

c) Tentukan riwayat fisik, sosial, psikologis, kebiasaan dan rutinitas

pasien.

d) Tentukan jenis dan tingkat defisit kognitif dengan menggunakan

alat pengkajian yang terstandar.

e) Sediakan lingkungan dengan stimulasi yang rendah (misalnya :

lingkungan yang tenang, musik menenangkan, redup dan

sederhana, pola yang tidak asing pada dekorasi, harapan-harapan

kinerja yang tidak melebihi kemampuan pengolahan kognitif dan

makan dalam kelompok kecil).

f) Berikan pencahayaan memadai yang tidak menyilaukan.

g) Identifikasi dan singkirkan potensi bahaya di lingkungan pasien.

h) Siapkan untuk berinteraksi dengan menggunakan kontak mata dan

sentuhan yang sesuai.

i) Bicara dengan suara jelas, rendah, hangat dan nada menghormati.

j) Gunakan distraksi atau pengalihan daripada melakukan konfrontasi

untuk mengelola perilaku.

k) Hindari sentuhan dan kedekatan jika hal ini menyebabkan stress

atau kecemasan.

l) Hindari situasi-situasi yang asing bila memungkinkan (misalnya :

perubahan ruang dan janji tanpa kehadiran orang yang dikenal).

m) Berikan waktu istirahat untuk mencegah kelelahan dan mengurangi

stress.

n) Berikan ruangan yang aman untuk perilaku mondar-mandir dan

keluyuran.
53

o) Jangan membuat pasien frustasi dengan menanyakan pertanyaan-

pertanyaan orientasi yang tidak bisa dijawab.

p) Berikan isyarat atau petunjuk seperti peristiwa saat ini, musim,

lokasi dan nama-nama untuk membantu orientasi.

q) Berikan camilan (finger foods) untuk mempertahankan nutrisi bagi

pasien yang tidak akan duduk dan makan saja.

r) Kurangi tingkat kebisingan dengan menghindari sistem panggilan

dan lampu panggilan yang berdering atau bunyi berdengung.

s) Pilih aktivitas televisi dan radio berdasarkan kemampuan

pengolahan kognitif dan minat (pasien).

t) Pilih aktivitas kelompok dan aktivitas satu lawan satu yang

diarahkan pada kemampuan-kemampuan kognitif dan minat dari

pasien.

2) Manajemen Demensia : Keluyuran

a) Sertakan anggota keluarga dalam perencanaan, memberikan, dan

mengevaluasi perawatan sejauh yang diinginkan.

b) Identifikasi pola biasa dari perilaku berkeliaran (pasien).

c) Identifikasi dan singkirkan potensi bahaya bagi pasien di

lingkungan sekitar pasien.

d) Modifikasi aspek yang berbahaya dari rumah pasien ( yaitu :

singkirkan karpet, beri label kamar dan jaga rumah dengan

penerangan yang baik).

e) Ingatkan tetangga mengenai perilaku keluyuran pasien.


54

f) Sediakan lingkungan dengan stimulasi rendah (misalnya :

lingkungan tenang, musik penenang, pencahayaan redup,

sederhana, dsb).

g) Diskusikan isu-isu keamanan rumah beserta intevensinya.

h) Gunakan simbol daripada hanya tanda-tanda tertulis untuk

membantu pasien menemukan ruangan.

i) Sediakan tempat yang terjamin dan aman untuk aktivitas

keluyuran.

j) Dorong aktivitas fisik di waktu siang hari.

k) Hindari situasi yang asing, bila memungkinkan (misalnya

perubahan ruangan dan perubahan janji tanpa kehadiran orang

yang familiar dengan pasien).

l) Berikan pasien kartu dengan petunjuk-petunjuk sederhana (alamat

dan nomor telefon) jikalau pasien tersesat.

m) Berikan pencahayaan memadai yang tidak menyilaukan.

3) Manajemen Lingkungan : Keselamatan

a) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan fungsi fisik

dan kognitif serta riwayat perilaku di masa lalu.

b) Identifkasi hal-hal yang membahayakan di lingkungan (misalnya

bahaya fisik, biologi dan kimiawi).

c) Singkirkan bahan berbahaya dari lingkungan jika diperlukan.

d) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko.

e) Sediakan alat untuk beradaptasi (misalnya : kursi untuk pijakan

dan pegangan tangan).


55

f) Edukasi individu dan kelompok yang berisiko tinggi terhadap

bahan berbahaya yang ada di lingkungan.

4) Bantuan Pemeliharaan Rumah

a) Libatkan pasien dan keluarga dalam memutuskan kebutuhan

pemeliharaan rumah.

b) Sarankan perubahan struktural yang diperlukan untuk membuat

rumah lebih mudah diakses.

c) Sediakan informasi mengenal bagaimana membuat rumah yang

aman dan bersih.

d) Anjurkan untuk menghilangkan bau yang tidak enak.

e) Tawarkan solusi terhadap adanya kesulitan keuangan.

f) Pesankan pelayanan kebersihan rumah dengan tepat.

5) Peningkatan Keamanan

a) Sediakan lingkungan yang tidak mengancam.

b) Tawarkan pasien untuk tetap berada di lingkungan baru selama

interaksi awal dengan yang lain.

c) Berada di sisi pasien dan sediakan jaminan keamanan selama

periode kecemasan.

d) Jangan timbulkan situasi emosi yang kuat.

e) Fasilitasi untuk mempertahankan kebiasaan tidur pasien.

f) Dukung keluarga untuk menyediakan barang pribadi yang

digunakan pasien atau untuk kesenangan.

g) Tetap nyalakan lampu di malam hari sesuai kebutuhan.


56

h) Bantu pasien atau keluarga mengidentifikasi faktor apa yang

meningkatkan rasa keamanan.

2.4.4 Implementasi

Dengan masalah keperawatan resiko cidera, maka intervensi

keperawatan untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan secara

mandiri dan/atau melibatkan keluarga atau tim kesehatan yang lain.

Intervensi yang harus melibatkan keluarga apabila kliennya berada di

lingkungan keluarganya sendiri, namun apabila harus melibatkan dengan

tim kesehatan lain maka lansia berada di Panti Jompo atau Rumah Sakit.

Dengan masalah keperawatan resiko cidera maka dapat dilakukan

intervensi keperawatan diantaranya menyingkirkan potensi yang

membahayakan bagi klien, memberikan atau menata ruangan yang aman

untuk aktivitas klien yang sering mondar-mandir, memberikan penerangan

yang memadai dan tidak menyilaukan, menggunakan peralatan mandi

yang aman, memberikan edukasi pada keluarga tentang bahan yang

berbahaya bagi klien, sediakan alas kaki yang tidak licin baik di kamar

mandi atau lingkungan dalam rumah, memberikan edukasi tentang

perubahan struktural yang diperlukan untuk membuat rumah mudah

diakses oleh klien, memfasilitasi suatu hal untuk mempertahankan

kebiasaan tidur klien, dsb.

2.4.5 Evaluasi

Berikut ini adalah kriteria hasil pada diagnosa resiko cidera sesuai

NOC (Nursing Outcomes Classification) / pengukuran Outcomes

Kesehatan 2015 :
57

1) Kepuasan Klien : Keamanan

a) Penjelasan tentang aturan dan prosedur keamanan.

b) Respons segera staf terhadap cidera.

c) Penggunaan alat-alat kemanan untuk mencegah cidera.

d) Bantuan dengan pemindahan.

e) Membantu eliminasi.

f) Membantu mandi.

g) Strategi untuk pencegahan jatuh.

h) Menjaga lingkungan tetap aman ketika fungsi kognisi terganggu.

i) Menjaga lingkungan yang terlindung ketika berisiko menciderai

diri sendiri.

2) Orientasi Kognitif

a) Mengidentifikasi diri sendiri.

b) Mengidentifikasi orang-orang yang signifikan.

c) Mengidentifikasi tempat saat ini.

d) Mengidentifikasi hari dengan benar.

e) Mengidentifikasi bulan dengan benar.

f) Mengidentifikasi tahun dengan benar.

g) Mengidentifikasi musim dengan benar.

3) Tingkat Demensia

a) Kesulitan mengingat nama.

b) Kesulitan mengenali anggota keluarga.

c) Kesulitan mengingat nama benda yang lazim dikenal.

d) Kesulitan memproses informasi.


58

e) Kesulitan mengikuti perintah kompleks.

f) Kesulitan memecahkan masalah.

g) Kesulitan mengekspresikan kebutuhan.

h) Kesulian melakukan kegiatan dasar hidup sehari-hari (ADL).

i) Kesulitan melakukan kegiatan alat bantu sehari-hari (IADL).

j) Keluyuran yang tidak aman.

k) Disorientasi waktu.

l) Disorientasi tempat.

m) Disorientasi orang.

n) Inkontinensia urin.

o) Gangguan pola tidur atau bangun.

4) Pengetahuan : Pencegahan Jatuh

a) Penggunaan alat bantu yang benar.

b) Penggunaan perangkat keselamatan yang benar.

c) Alas kaki yang tepat.

d) Penggunaan gerbang keamanan yang benar.

e) Penggunaan jendela penjagaan yang benar.

f) Penggunaan pencahayaan lingkungan yang benar.

g) Latihan untuk mengurangi resiko jatuh.

h) Kondisi kronisi yang mengingatkan resiko jatuh.

i) Perubahan tekanan darah yang meningkatkan resiko jatuh.

j) Pentingnya menjaga alur jalan yang jelas.

k) Penggunaan yang aman dari bangku dan tangga.

l) Penggunaan tikar dan karpet.


59

m) Strategi untuk menjaga permukaan lantai tetap aman.

5) Keluyuran yang Aman

a) Berpindah tanpa membahayakan diri sendiri.

b) Berpindah tanpa membahayakan orang lain.

c) Duduk lebih dari 5 menit pada suatu waktu.

d) Melangkah sesuai rute yang diberikan.

e) Ketika tidak ditemani, tetap bertahan di area yang aman.

f) Bergerak hanya disekitar ruang sendiri dan publik.

g) Menunjukkan aktivitas yang bertujuan.

h) Menggunakan pakaian yang tepat.

i) Jatuh.

j) Menyatakan keinginan untuk pulang.

k) Mencoba untuk melarikan diri dari area yang aman.

l) Tersesat di area aman.

m) Melanggar area orang lain.

n) Merusak lingkungan orang lain.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan pada Lansia

2.5.1 Pengkajian

Pengkajian yang menyeluruh pada lansia yang dilakukan oleh perawat

meliputi :

1) Mengidentifikasi status kesehatannya (anamnesis dan pemeriksaan

fisik).
60

a) Anamnesis

Dalam melakukan anamnesis harus secara akurat dan terbaru,

termasuk pula mengenai bagaimana persepsi lansia tentang

kesehatan dirinya sendiri. Anamnesis harus menjadi dasar bagi

tindakan skrining yang akan diusulkan. Anamnesis menjadi dasar

bagi rencana manajemen keperawatannya. Kebanyakan para lansia

dapat menyuguhkan anamnesis yang baik, tetapi tidak sedikit pula

yang mengalami hambatan untuk berkomunikasi (misalnya akibat

tuli, pikun, menurunnya penglihatan), dimana dalam keadaan

seperti itu diperlukan bantuan kerabat untuk memperoleh

anamnesis yang akurat. Riwayat penyakit masa lalu juga penting

untuk membantu menempatkan masalah kesehatan saat ini dalam

perspektif yang tepat. Penting pula diperhatikan tentang riwayat

pemakaian obat-obatan, karena lansia bila diberikan resep

bermacam obat jarang memprotes, bahkan sering mengobati

sirinya sendiri. Berikut adalah jenis keluhan pada lansia menurut

pendekatan sistemik.

(1) Respirasi : sesak nafas yang progresif, batuk yang menetap.

(2) Kardiovaskuler : ortopnea, edema, angina, palpitasi, pusing.

(3) Gastrointestinal : sulit mengunyah, sulit menelan, nyeri perut,

perubahan defekasi.

(4) Genitourinaria : poliuri, urgensi, nokturia, intermitten,

inkontinensia, hematuria.
61

(5) Muskuloskeletal : nyeri lokal, lumpuh, difus, gangguan

sensitivitas.

(6) Neurologis : gangguan penglihatan.

(7) Psikologis : depresi, ansietas, agitasi, paranoid, pikun,

kebingungan.

b) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum pada lansia ditujukan untuk dapat

mengidentifikasi keadaan umumnya dengan penekanan pada tanda-

tanda vital, keadaan gizi, aktivitas tubuh, baik dalam keadaan

berbaring atau berjalan. Adapun pemeriksaan fisik dengan cara

head to toe, yaitu pemeriksaan dari ujung kepala sampai ujung

kaki, namun pemeriksaan per sistem lebih mudah untuk dilakukan.

Tabel 2.6 : Pemeriksaan fisik pada pengkajian head to toe.


Sistem Temuan pemeiksaan fisik
Integumen Lemak subkutan menyusut, kulit
kering tipis, rentan terhadap
trauma dan iritasi.
Mata Arcus senilis, penurunan visus.
Telinga Pendengaran berkurang yang
selanjutnya dapat berakibat
gangguan bicara.
Kardiopulmonal Curah jantung berkurang serta
elastisitas jantung dan pembuluh
darah berkurang. Kapasitas vital
paru, volume ekspirasi dan
elastisitas paru-paru berkurang.
Musculoskeletal Massa tulang berkurang, lebih
jelas pada wanita. Jumlah dan
ukuran otot berkurang. Massa
tubuh banyak yang tergantikan
oleh jaringan lemak yang disertai
oleh kehilangan cairan.
Gastrointestinal Mobilitas dan absorbs saluran
cerna berkurang, daya pengecap
dan produksi saliva menurun.
Neurogikal Rasa raba berkurang, langkah
menyempit, namun pada pria
agak melebar.
62

2) Status gizi

Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yang menurun, mengingat

prevelansi malnutrisi yang tinggi dikalangan mereka, yaitu sebesar 20-

50%. Padahal malnutrisi ini merupakan faktor resiko utama bagi

timbulnya kesakitan, kematian dan khususnya bagi mereka yang

tinggal di panti. Selanjutnya gangguan kognitif dan suasana hati juga

tidak jarang mengubah kebiasaan makan dan intake gizi secara normal.

Di negara maju, terdapat sekitar 10% lansia yang memiliki kebiasaan

mengkonsumsi alkohol dimana kenyataan ini sering tidak dihiraukan

oleh perawatnya. Padahal alkohol sendiri berakibat kurangnya nafsu

makan. Untuk menentukan status nutrisi dianjurkan pula mengkaji

riwayat diri lansia. Pada umumnya masalah gizi kurang pada lansia

berupa kurang energi kronis (KEK), anemia dan kekurangan zat gizi

mikro yang lain.

3) Kapasitas fungsional

Pengkajian status fungsional sangat penting, terutama ketika terjadi

hambatan pada kemampuan lansia dalam melaksanakan fungsi

kehidupan sehari-harinya. Kemampuan fungsional ini harus

dipertahankan semandiri mungkin. Dari hasil penelitian tentang

gangguan status fungsional merupakan indikator penting tentang

adanya penyakit lansia aktivitas kehidupan harian yang dalam Bahasa

Inggris ADL (activity of day living) merupakan aktivitas pokok bagi

perawatan diri lansia. Pengkajian ADL (activity of day living) penting


63

untuk mengetahui tingkat ketergantungan dan besarnya bantuan yang

diperlukan dalam aktivitas sehari-hari.

4) Status psikososial

Adapun pengkajian fungsi spikososial dilakukan melalui observasi,

wawancara dan pemeriksaan status mental menurut (Folstein dalam

Padila 2013). Informasi yang dihimpun meliputi dengan relita (Black,

1990 dalam Padila 2013). Pengkajian psikososial meliputi pengkajian

fungsi kognitif dan pengkajian psikososial (mental, emosional). Bagian

yang popular dan sederhana adalah MMSE (mini mental state

examination).

2.5.2 Diagnosa

Uraian tentang diagnosis keperawatan pada lansia di bawah ini

mengikuti sistematika yaitu, gangguan pendengaran, gangguan

penglihatan, gangguan pencernaan, gangguan kardiovaskuler, gangguan

respiratorius, gangguan mobilitas dan keselamatan, gangguan integument,

gangguan eliminasi urin dan alvi, gangguan pola tidur dan gangguan

fungsi seksualitas.

2.5.3 Intervensi

Pemberian intervensi keperawatan pada lansia dapat dibedakan

menjadi dua golongan, yaitu bagi lansia yang aktif dan lansia yang pasif.

Adapun strategi intevensi bagi kedua golongan itu melipui hal-hal berikut

ini adalah :
64

1) Intevensi kepada lansia yang tergolong masih aktif

Bentuk intervensi disini meliputi : aspek perawatan diri, aspek

kebersihan lingkungan, aspek gizi, pencegahan kecelakaan atau

keselamatan, pemenuhan kebutuhan istirahat dan aspek psikososial

lansia.

2) Intervensi kepada lansia yang tergolong pasif

Strategi intervensi bagi kelompok pasif ini terutama mereka yang

dirawat di tempat tidur adalah mencakup aspek perawatan diri,

kebersihan lingkungan tempat tidur dan ruangan, aspek

pencegahan dekubitus dan aspek perawatan lansia di institusi (panti

werda).

2.5.4 Implementasi

Implementasi adalah suatu proses keperawatan yang mana dalam

proses ini melakukan dari apa yang telah diintervensikan oleh perawat.

Implementasi yang dapat dilakukan meliputi, membina hubungan yang

saling percaya, meningkatkan rangsangan panca indra dari lansia,

mempertahankan dan melatih daya orientasi yang nyata, memenuhi

kebutuhan dasarnya, mencegah terjadinya gangguan kesehatan pada lansia,

memelihara keselamatan lansia dan senantiasa meningkatkan kesehatan

lansia. Yang mana implementasi ini bisa dilakukan melibatkan keluarga

dan implementasi ini dilakukan sesuai dengan kondisi lansia tersebut.

2.5.5 Evaluasi

Evaluasi adalah suatu akhir dari proses keperawatan. Evaluasi

bertujuan untuk menilai kemampuan lansia dalam melakukan intervensi


65

yang dibuat oleh perawat. Evaluasi ini beracuan pada kriteria hasil sesuai

dengan masalah keperawatan yang dialami oleh lansia.

Anda mungkin juga menyukai