Anda di halaman 1dari 13

4

terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan


Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan daun, liananya
berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.

2.3. Manfaat Hutan di Indonesia

2.3.1. Kekayaan Keanekaragaman Hayati

Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses pembusukan pada hewan
dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan tropika tidak saja
ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat pembusukan yang baik.
Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies yang dapat mencapai
sampai hampir 1.400 spesies, Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah
tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang lebih besar daripada daerah
lainnya.

2.3.2. Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air

Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang


berhutan antara lain disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya
(intersepsi) air hujan tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan
diuapkan kembali ke udara. Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes
serta mengalir melalui batang ke atas permukaan serasah di hutan.

2.3.3. Pencegah Erosi dan Banjir

Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan
tanah terutama di daerah yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau
disebut juga kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan
maupun dari luar kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik
rakyat.

2.3.4. Menjaga Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur


Ca, K, N, P, dan lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah,
misalnya pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan
5

demikian dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga
kesuburan tanah.

2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia

Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia.


Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang
dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai
1,17 juta hektar pertahun.Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of
the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture
Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta
hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The
Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya
rusak hutan tercepat di dunia.

Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan
angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah
dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar
hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan
48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar
23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi
(kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.

Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan


industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan
sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai
40 juta meter kubik per tahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari
berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan
menurut World Bank adalah 22 juta meter kubik meter per tahun. Penyebab
deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan
(konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan
(seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
6

Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi


masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang
mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor
dan banjir.

Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian


satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa
endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya
lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa
(Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi),
merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus
sumatranus).

2.5. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang


memiliki dampak negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran
semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat
memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu,
kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan
menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara
lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah
Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api
Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api
Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen
hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi


pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah.
Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat
padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
7

Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh
tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar.
Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu
tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun
tidak saling bersentuhan.

Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai
hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak
ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api
tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.

2.6. Kebakaran dan Pembakaran

Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang
sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian
yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja
diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu
kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali
merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali
mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang
ditimbulkannya.

Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran


hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang
sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun
oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah
karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik
di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99%
penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu
sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat
penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk
mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran
selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap
diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan
akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk
8

itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan
bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati.
Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya
kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan
dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan
dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).

2.7. Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai
berikut:

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan
lupa mematikan api di perkemahan.
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan
gunung berapi.
4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau
membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

2.8. Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu


lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai
belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar.
Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan
biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut
sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutantersebut
kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagikegiatan
bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
9

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003),


menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US
$ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan
uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup
kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI,
kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait
dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

2.9. Dampak Kebakaran Hutan

Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar


manusia yang berupa organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan,
tumbuhan, dan decomposer. Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran
hutan khususnya terhadap lingkungan biologis antara lain sebagai berikut:

Terhadap flora dan fauna Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian


spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi
menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat
Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga
mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik
(tumbuhan maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu,
kebakaran hutan dapat mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya
tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau rusaknya habitat. Kebakaran
juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu daerah turut punah
sebelum sempat dikenali/diteliti.Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan
tumbuhan antara lain .

Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan


kehilangan tempat tinggal yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk
mencarimakan. Dengan demikian, hewan yang tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut akan mengalami penurunan
jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.

Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan


tempat hidupnya. Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi
10

tertentu.Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah,


sehingga apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas
tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi
tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya
struktur tanah.

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman


hayati. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya
mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka,
sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah
hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah
yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan


mikroorganisme) tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Makroorganisme tanah misalnya: cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan
drainase tanah, dan mikroorganisme tanah misalnya: mikorisa yang dapat
meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh.
Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan
Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun.
Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat
kebakaran pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan
membuat mikroorganisma mati, karena sebagian besar mikroorganisma tanah
memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila mikroorganisme
tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya
perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya
mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan
mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.

Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap


kematian populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi
yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan
hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik
habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk
11

organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan
hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat.
Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya
kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi
tanah pada hutan dan hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort
Sei Betung pada Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten
Langkat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Yang dimulai pada bulan
April hingga Mei 2011. Penelitian ini mengambil 12 titik sampel tanah sebagai
bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli dan 6 sampel pada hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei Bebas
tingkat survei semi detail dan analisis data kandungan bahan organik tanah dengan
metode Walkley and Black, hara Nitrogen total tanah dengan metode Kjeldhalterm,
Tekstur tanah dengan metode Hidrometer, pH tanah dengan metode Elektrometri,
Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode Ekstraksi NH4OAc pH 7 serta
nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan organik
digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada tanah hutan
yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), sedang
dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3 kriteria,
yakni rendah (pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami
dan hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan
tahunan). Rasio C/N tanah digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada
tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan
tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). pH tanah
digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat masam, masam dan agak masam.
Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar Kation tanah
digolongkan dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan)
12

2.10. Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan
yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan
kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai
pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi.
Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-
pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha,


tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Jadi penanganan yang
bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini,
penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan yang
sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini
tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.

Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus.
Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya
pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan
menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke
Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses,
meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan
penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.

Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa
menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.Menurut UU No
45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari
tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada
kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu
penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-
fungsi. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya
13

masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim
digunakan adalah 3 cara berikut:

1. pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
2. pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
(Partisipatory Rural Appraisal)
3. pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau
citra satelit Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat


meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan
bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar
wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon
kebakaran hutan.

Standardisasi pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating


Procedure).Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan
kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan,
diperlukan standar yang baku.

Metode pelaporan untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan


data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus
diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat.
Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa
dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat..

Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa
diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali
sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah.

Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan


kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran
hutan yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas
14

penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika
terjadi kasus kebakaran hutan.

Supervisi pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan


langsung dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah
tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung
dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah
data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup.

Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran


hutan. Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan
disebarkan pada berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman
kegiatan institusi yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.

Pengembangan organisasi penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan.


Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor,
tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan
upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian,
serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk
memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan
efektif.

Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga


koordinasi antar tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan
cepat. Hal ini akan mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan
sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan kebakaran hutan

2.11. Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia

Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam


Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan. Adapun upaya penanggulangan.Memberdayakan sejumlah
posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di semua tingkatan.
Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait tindakan
15

apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I
dan juga Siaga II.

Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan


serta dana pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga
instansi lain bahkan juga pihak swasta.

Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan


upaya pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari
memanggulangi. Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah
kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan pembukaan lahan dan
juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan
langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan
memperluas area pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius
mengadakan sosialisi agar hal ini bisa dicegah.

Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa


disempurnakan jika pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air.
Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh
menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik adalah dengan
mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun
metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari
pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.

2.1.Kasus Kebakaran Hutan di Riau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap


seorang petani saat membersihkan lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau. Penangkapan dilakukan saat BNPB melakukan patroli.“Kejadiannya
beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat,” kata Humas BNPB
Agus Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di


Kabupaten Siak ini diamankan oleh tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara
16

Nasional Indonesia (TNI), masyarakat dan Polri.“Sampai saat ini patroli masih
terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Riau,” katanya. Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka
total jumlah pembakar lahan perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau
juga tengah melakukan penyelidikan terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan
dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.

Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun


individu yang memang ingin memperluas lahan dengan menyuruh membakar
hutan. Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada
peristiwa pembakaran hutan tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu
orang bahkan turut terbakar.

Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan


perkebunan di Provinsi Riau masih ‘menggantung’. Sejauh ini Polda Riau belum
juga menetapkan tersangka pada kasus yang terindikasi melibatkan sebuah
perusahaan perkebunan, PT Adei Plantation (AP). Untuk memperkuat dugaan itu,
Polda Riau berencana mengambil keterangan saksi ahli. Saksi ahli yang rencana
didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian saksi tersebut dari
pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi. Polda Riau sebelumnya juga
telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan dan pejabat perusahaan
diduga pembakar lahan.

Gambar 2.1 Kebakaran Hutan di Riau

Anda mungkin juga menyukai