Hal 4 Bab II
Hal 4 Bab II
Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses pembusukan pada hewan
dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan tropika tidak saja
ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat pembusukan yang baik.
Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies yang dapat mencapai
sampai hampir 1.400 spesies, Brasil tercatat mempunyai 1.383 spesies. Di daerah
tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang lebih besar daripada daerah
lainnya.
Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan
tanah terutama di daerah yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau
disebut juga kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan
maupun dari luar kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik
rakyat.
demikian dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga
kesuburan tanah.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan
angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah
dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar
hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan
48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar
23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi
(kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh
tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar.
Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu
tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun
tidak saling bersentuhan.
Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai
hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak
ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api
tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat.
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang
sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian
yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja
diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu
kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali
merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali
mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang
ditimbulkannya.
itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan
bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati.
Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya
kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan
dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan
dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).
Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai
berikut:
1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan
lupa mematikan api di perkemahan.
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan
gunung berapi.
4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau
membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan
hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat.
Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya
kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi
tanah pada hutan dan hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort
Sei Betung pada Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten
Langkat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Yang dimulai pada bulan
April hingga Mei 2011. Penelitian ini mengambil 12 titik sampel tanah sebagai
bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli dan 6 sampel pada hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei Bebas
tingkat survei semi detail dan analisis data kandungan bahan organik tanah dengan
metode Walkley and Black, hara Nitrogen total tanah dengan metode Kjeldhalterm,
Tekstur tanah dengan metode Hidrometer, pH tanah dengan metode Elektrometri,
Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode Ekstraksi NH4OAc pH 7 serta
nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan organik
digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada tanah hutan
yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), sedang
dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3 kriteria,
yakni rendah (pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami
dan hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan
tahunan). Rasio C/N tanah digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada
tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan
tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami). pH tanah
digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat masam, masam dan agak masam.
Tekstur tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar Kation tanah
digolongkan dalam 1 kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang
sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan)
12
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan
yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan
kebakaran hutan yang bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai
pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi.
Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-
pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus.
Sebagai contoh : pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya
pemadaman sudah dijalankan, namun karena banyaknya kendala, penanganan
menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut asap) sudah sampai ke
Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah diproses,
meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan
penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa
menghasilkan upaya pengendalian kebakaran hutan yang efektif.Menurut UU No
45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari
tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada
kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu
penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-
fungsi. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya
13
masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim
digunakan adalah 3 cara berikut:
1. pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
2. pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa
(Partisipatory Rural Appraisal)
3. pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau
citra satelit Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa
diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali
sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan
sumber daya manusia yang tersedia di daerah.
penanganan kebakaran untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika
terjadi kasus kebakaran hutan.
apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I
dan juga Siaga II.
Nasional Indonesia (TNI), masyarakat dan Polri.“Sampai saat ini patroli masih
terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Riau,” katanya. Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka
total jumlah pembakar lahan perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau
juga tengah melakukan penyelidikan terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan
dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.