PENDAHULUAN
1
ketika kriteria tidak dipenuhi dengan jelas untuk salah satu gangguan somatoform
lainnya).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah Somatoform berasal dari Bahasa Yunani soma yang artinya tubuh;
gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan
ini mencakup interaksi pikiran-tubuh; di dalam interaksi ini, dengan cara yang
masih belum diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang memengaruhi
kesadaran pasien dan menunjukkan adanya masalah serius di dalam tubuh. Di
samping itu, perubahan ringan neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi
dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa yang tidak diketahui yang dapat
menyebabkan penyakit.3
2.2 Epidemiologi
Gangguan somatisasi ditemukan di seluruh dunia namun lebih umum
ditemukan pada orang Afrika Amerika dengan gejala awal muncul pada usia
25 tahun. Gangguan ini lebih umum ditemukan pada perempuan dengan
perbandingan 5-20 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkiraan 0,1 – 0,2%
walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat lebih
mendekati 0,5%. Walaupun umumnya bersifat kronis, gejala yang lebih ringan
dapat sembuh pada 50% kasus.3,5,6
Prevalensi beberapa gejala gangguan konversi yang tidak cukup parah
sehingga tidak membutuhkan diagnosis dapat terjadi pada 1/3 dari populasi
umum pada suatu waktu di dalam hidup mereka. Suatu komunitas melaporkan
bahwa insiden tahunan gangguan konversi adalah 22 per 100.000. Rasio
perempuan banding laki-laki di antara pasien dewasa sedikitnya 2 banding 1
dan paling tinggi 10 banding 1. Pada anak juga didapatkan predominansi lebih
3
tinggi pada anak perempuan. Pada laki-laki gangguan konversi terjadi akibat
kecelakaan kerja atau militer.3
Prevalensi 6 bulan hipokondriasis berdasarkan laporan suatu studi adalah
sebanyak 4 - 6 % di populasi klinik medis umum, tetapi mungkin dapat setinggi
15%. Laki-laki dan perempuan secara setara dapat mengalami hipokondriasis.
Walaupun awitan gejala dapat terjadi pada usia berapapun, gangguan ini paling
lazim timbul pada usia 20-30 tahun. Keluhan hipokondrik dilaporkan terjadi
pada kira-kira 3% mahasiswa kedokteran biasanya dalam 2 tahun pertama,
tetapi umumnya hanya terjadi sementara/singkat.3
Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sedikit dipelajari karena
sebagian pasien lebih cenderung pergi ke dermatologis, internis, atau ahli
bedah plastic daripada ke psikiater. Satu studi kelompok mahassiwa perguruan
tinggi menemukan bahwa lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki
beberapa preokupasi terhadap aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25%
mahasiswa, kekhawatiran tersebut sedikitnya memiliki bberapa efek yang
signifikan terhadap perasaan dan fungsi mereka. Awitan usia yang paling lazim
ditemukan adalah antara 15-30 tahun.3
Prevalensi gangguan nyeri di masyarakat sebanyak 8,3% dengan nyeri
kepala sebagai keluhan terbanyak. Sama dengan gangguan somatisasi,
gangguan nyeri juga cenderung lebih sering ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan adalah decade keempat dan kelima
karena berkurangnya toleransi terhadap nyeri seiring dengan pertambahan
usia.3,5
4
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi gejala termasuk modulasi mereka oleh
depresi dan kecemasan; proses interpretasi persepsi dan gejala; reaksi orang
lain (keluarga, teman, kenalan); dan proses iatrogenik, serta pengaruh asuransi,
kompensasi, dan sistem disabilitas.7
5
pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin dapat berperan menyebabkan
sejumlah gejala nonspesifik penyakit, teruama infeksi, seperti hypersomnia,
anoreksia, Lelah, dan depreasi. Walaupun belum ada data yang menyokong
hipotesis, pengaturan abnormal sistem sitokin dapat mengaibatkan sejumlah
gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.3,5,9
Gangguan medis, khususnya gangguan neurologis, sering terjadi pada
pasien dengan gangguan konversi. Yang biasanya khas ditemukan pada
keadaan medis atau neurologis komorbid ini adalah suatu perluasan gejala yang
berasal dari lesi organic asli. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi
disebabkan oleh repesi konflik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi
ansietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls
berdasarkan insting dan larangan pengungkapan ekspresi. Dalam hal teori
pembelajaran yang dipelajari, gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari
perilaku yang dipelajari secara klasik, gejala penyakit yang dipelajari saat masa
kanak-kanak, dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan situasi yang tidak
mungkin. Factor lainnya adalah factor biologis. Semakin banyak data yang
mengaitkan factor biologis dan neuropsikologis di dalam timbulnya gejala
gangguan konversi. Studi pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya
hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme hemisfer
nondominant dan mengaitkan hubungan hemisfer yang terganggu sebagai
penyebab gangguan konversi.3 Berikut model konseptual gangguan konversi.6
6
Gambar 2. Model Konseptual Gangguan Konversi6
7
dan permusuhan terhadap orang lain dirubah (melalui represi dan
displacement) menjadi keluhan fisik.3
Penyebab gangguan dismorfik tubuh ini tidak diketahui. Komorbiditas yang
tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga dengan gangguan mood dan
gangguan obsesif-kompulsif yang lebih tinggi dari yan diperkirakan, serta
responsivitas keadaan terhadap obat yang spesifik serotonin menunjukkan
bahwa sedikitnya pada beberapa pasien patofisiologi gangguan ini melibatkan
serotonin dan dapat terkait dengan gangguan jiwa lain.3
Etiologi gangguan nyeri berkaitan dengan factor psikodinamik, perilaku,
interpersonal, dan biologis. Pasien yang mengalami sakit dan nyeri di tubuh
tanpa adanya penyebab fisik yang dapat diidentifikasi dan adekuat mungkin
secara simbolis mengekspresikan suatu konflik intrapsikik melalui tubuhnya.
Perilaku nyeri ini akan semakin terdorong bila dihargai dan dihambat saat
diabaikan. Nyeri yang sulit dikendalikan telah dikonseptualissikan sebagai cara
untuk memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan
interpersonal. Secara biologis, korteks serebri dapat menghambat cetusan serat
nyeri aferen. Serotonin mungkin merupakan neurotransmitter utama dalam
jaras inhibisi desenden, dan endorphin juga memainkan peran penting dalam
modulasi nyeri sistem saraf pusat. Defisiensi endorphin tampaknya
berhubungan dengan augmentasi stimulus sensorik yang dating.3
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi disebut juga Briquet’s Syndrome adalah
gangguan yang ditandai dengan banyak gejala somatic yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan
somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya sistem
organ yang terlibat. Gangguan ini bersifat kronis dan disertai
penderitaan psikologis yang signifikan, hendaya fungsi social dan
pekerjaan, serta perilaku mencari bantua medis yang berlebihan.3,4
8
2.4.2 Gangguan Konversi
Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf
pusat atau perifer. Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan
menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna. DSM-IV-TR
mendefinisikan gangguan konversi sebagai gangguan yang ditandai
dengan adanya satu gejala neurologis atau lebih yang tidka dapat
dijelaskan dengan gangguan medis atau neurologis yang diketahui. Di
samping itu, diagnosis gangguan ini mengharuskan bahwa factor
psikologis harus berkaitan dengan permulaan atau perburukan gejala.3
2.4.3 Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai preokupasi seseorang mengenai
rasa takut menderita, atau yakin memiliki, penyakit berat. Rasa takut
atau keyakinan ini muncul ketika seseorang salah menginterpretasikan
gejala atau fungsi tubuh. Istilah hipokondriasis berasal dari istilah
medis kuno hipikondrium (di bawah rusuk) dan mencerminkan keluhan
abdomen yang lazi ada pada banyak pasien dengan gangguan ini.
Hipokondriasis terjadi akibat interpretasi yang tidak realistic atau tidak
akurat mengenai gejala atau sensasi fisik, walaupun tidak ada penyebab
medis diketahui yang ditemukan. Preokupasi pasien menyebabkan
distress yang signifikan pada mereka dan mengganggu kemampuan
mereka berfungsi dalam peran pribadi, social maupun pekerjaan.2,3
2.4.4 Gangguan Dismorfik Tubuh
Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan subjektif
yang pervasive mengenai keburukan beberapa aspek penampilan
walaupun penampilan mereka normal atau hampir normal. Ini
gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan seseorang yang kuat
bahwa ia tidak menarik atau menjijikan. Rasa takut ini jarang bias
dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun pasien yang khas
dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.2,3
9
2.4.5 Gangguan Nyeri
DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan nyeri sebagai adanya nyeri
yang merupakan “fokus dominan perhatian klinis”. Factor psikologis
memerankan peranan yang penting di dalam gangguan tersebut. Gejala
utamanya adalah nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak
seutuhnya disebabkan oleh keadaan medis atau neurologis nonpsikiatri.
Gejaa nyeri disertai penderitaan emosional dan hendaya fungsi.
Gangguan ini disebut gangguan nyeri somatoform, gangguan nyeri
psikogenik, gangguan nyeri idiopatik, dan gangguan nyeri atipikal.3
10
Nyeri rektal
- Pseudoneurologis
Amnesia
Afonia
Kebutaan
Kesulitan menelan
Penglihatan ganda
Gangguan koordinasi
Kehilangan kesadaran
Paralisis
Paresthesia
Retensi urin
- Seksual
Disfungsi ejakulasi
Disfungsi ereksi
Hiperemesis dalam kehamilan
Menstruasi ireguler
Menoragia
Ketakacuhan seksual
Paralisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling
lazim ditemukan. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan
gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionic.
Gejala gangguan jiwa depresif dan ansietas sering dapat menyertai gejala
gangguan konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri. Gejala sensorik
yang dapat ditemukan pada pasien dapat berupa anesthesia dan paresthesia
terutama paa ekstremitas. Gejala motoric meliputi gerakan abnormal,
gangguan berjalan, kelemahan, dan paralisis. Gejala bangkitan dapat berupa
kejang semu.3
11
Pasien dengan hipokondriasis yakin kalau mereka mengalami penyakit
berat yang belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk untuk berpikir
sebaliknya. Mereka dapat mempertahankan keyakinan bahwa mereka
mengalami penyakit tertentu; seiring waktu berjalan mereka dapat merubah
keyakinan mereka pada penyakit lain.3
Pada penderita gangguan dismorfik tubuh kekhawatiran yang paling lazim
mencakup ketidaksempurnaan wajah, terutama yang meliputi anggota tubuh
tertentu. Kadang-kadang kekhawatiran ini bersifat samar dan sulit dimengerti ,
seperti kekhawatiran yang berlebihan terhadap dagu yang bergumpal. Satu
studi menemukan bahwa rata-rata pasien memiliki kekhawatiran mengenai
empat daerah tubuh selama perjalanan gangguan ini.3
Pasien dengan gangguan nyeri tidak menyusun suatu kelompok yang sama,
tetapi kumpulan orang yang heterogen dengan nyeri punggung bawah sakit
kepala, nyeri fasial atipial, nyeri pelvis kronis, dan jenis nyeri lain. Rasa nyeri
pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenic, atau musculoskeletal,
pascatrauma; meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri,
gangguan tersebut harus meiliki factor psikologis yang dinilai secara signifikan
terlibat dalam gejala nyeri dan percabangannya.3
12
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada
- Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik
yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan
yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alas an fisik yang memadai,
ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau
perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham)
- Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.
Kriteria Diagnosis gangguan nyeri menurut PPDGJ III masuk dalam kode
F45.4 sebagai berikut1:
- Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik
- Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut
- Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan
13
yang mendalam telah dilengkapi. Pada gangguan nyeri, harus dibedakan
dengan nyeri fisik murni. Pada nyeri fisik murni intensitas nyeri
berfluktuasi dan sangat sensitive terhadap pengaruh emosi, kognitif,
perhatian, dan stimulasi.3
2. Gangguan Panik
Pasien dengan gangguan panik awalnya dapat mengeluh bahwa
mereka terkena penyakit (contohnya gangguan jantung), tetapi pertanyaan
yang teliti selama anamnesis medis biasanya menemukan gejala klasik
gangguan panik. Walaupun pasien dengan gangguan panik dapat
mengeluhkan banyak gejala somatic berkaitan dengan serangan paniknya,
mereka tidak terganggu oleh gejala somatic di antara serangan panik.3
3. Gangguan Ansietas, Depresi, dan Skizofrenia
Pada gangguan ansietas, pasien dapat memiliki gejala awal yang
berpusat pada gejala somatic, namun pada akhirnya gejala ansietas, depresi,
dan skizofrenia mendominasi keluhan somatic. Keyakinan hipokondriak
yang bersifat waham dapat terjadi pada skizofrenia dan gangguan psikotik
lain, tetapi dapat dibedakan dengan hipokondriasis berdasarkan intensitas
waham dan adanya gejala psikotik lain. Di samping itu, waham somatic
pasien skizofrenia senderung bizar, idiosinkratik, dan di luar lingkungan
budaya.3
4. Malingering dan Gangguan Buatan
Pada gangguan buatan dan malingering, gejalanya di dalam kendali
kesadaran dan volunteer. Riwayat seseorang melakukan malingering
biasanya lebih tidak konsisten dan kontradikif daripada pasien dengan
gangguan konversi, perilaku pasien semacam ini biasanya mempnyai suatu
alasan.3
14
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Nonfarmakologi
1. Psikoterapi
Psikoterapi, baik individu maupun kelompok, menurunkan
pengeluaran untuk perawatan kesehatan pribadi pasien hingga
50%, sebagian besar dengan menurunkan angka perawatan
rumah sakit. Pada lingkungan psikoterapi, pasien dibantu
beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi yang
mendasari dan membangun strategi alternative untuk
mengekspresikan perasaannya. Pasien dengan hipokondriasis
biasanya resisten terhadap terapi psikiatri, walaupun beberapa
pasien menerima terapi ini jika dilakukan dalam lingkup medis
dan berfokus pada pengurangan stress dan edukasi untuk
meghadapi penyakit kronis. Pemeriksaan fisik yang terjadwal
rutin sering berguna untuk meyakinkan pasien bahwa dokter
tidak mengabaikan mereka dan keluhan mereka dianggap serius.
2. Cognitive Behavioral Treatment (CBT)
Terapi kognitif-perilaku telah menjadi pengobatan alternatif
yang paling banyak dipelajari untuk gangguan somatoform.
Protokol pengobatan termasuk mengidentifikasi dan
merestrukturisasi kognisi disfungsional, aktivasi perilaku atau
menggerakkan pasien dalam kegiatan yang dihindari,
pemecahan masalah, dan pelatihan relaksasi. Pada pasien
hipokondriasis CBT melibatkan identifikasi dan menantang
kesalahtafsiran pasien terhadap gejala fisik serta membangun
interpretasi yang lebih realistis dari mereka, dikombinasikan
dengan restrukturisasi kognitif dengan paparan rangsangan
interoceptive dan / atau eksternal bersama dengan pencegahan
respon setelah paparan.10
15
3. Hipnosis
Herbert Spiegel mendefinisikan hypnosis sebagai keadaan
meningkatnya konsentrasi dan penerimaan fokal. Hypnosis
ditandai dengan perasaan involunter: gerakan tampak otomatik,
dan persepsi yang ditanamkan dapat mengubah atau
menggantikan persepsi yang sebenarnya. Hypnosis juga
dijelaskan sebagai perubahan kesadaran, keadaan disosiasi, dan
keadaan regreasi. Pasien di dalam trance hipnotik dapat
mengingat kembali ingatan yang tak tersedia di dalam kesadaran
pada keadaan nonhipnotik.
2.8.2 Farmakologi
Obat psikotropik diberikan ketika gangguan somatisasi
timbul bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas.3
16
selective norepinephrine reuptake inhibiror (SNRI) atau selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI).3,11 Pilihan obat dari golongan
MAOI antara lain moclobemide.12
17
Gambar 5. Mekanisme kerja obat golongan SSRI
18
2.9 Prognosis
Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering
membuat tak berdaya. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya
gejala baru dianggap bertahan selama 6 – 9 bulan dan dipisahkan periode yang
tidak terlalu simtomatik selama 9 – 12 bulan. Sering terdapat hubungan antara
periode meningkatnya stress dan memberatnya gejala somatic. Pada gangguan
konversi 90 – 100% pasien membaik dalam beberapa hari atau kurang dari 1
bulan. Sebanyak 75% pasien tidak mengalami episode lain dan 25%
mengalami episode tambahan terkait stress. Terkait dengan prognosis yang
baik adalah awitan mendadadak, stressor mudah diidentifikasi, penyesuaian
premorbid baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, tidak
sedang menjalani proses hokum. Semakin lama gangguan konversi ada,
prognosisnya semakin buruk. Pada pasien dengan hipokondriasis biasanya
perjalanan gangguan bersifat episodic, berlangsung bulanan hingga tahunan
yang dipisahkan oleh periode tenang yang sama panjangnya. Prognosis yang
baik dikaitkan dengan status sosioekonomi tinggi, depresi atau ansietas yang
responsive terhadap terapi, awitan gejala yang mendadak, tidak adanya
gangguan kepribadian, dan tidak adanya keadaan medis nonpsikiatri terkait.
Pada gangguan nyeri, umumnya nyeri dimulai tiba-tiba dan meningkat
keparahannya untuk beberapa minggu atau bulan. Prognosisnya bervariasi
walaupun gangguan nyeri dapat bersifat kronik, menimbulkan distress, dan
benar-benar menimbulkan ketidakmampuan.3
19
BAB III
KESIMPULAN
20
Daftar Pustaka
21