Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik


seseorang, yang secara klinik bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan
suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia.1 Salah satu bentuk gangguan jiwa
adalah gangguan somatoform. Gangguan somatoform mencakup pasien-pasien
yang terutama menunjukkan keluhan somatic yang tidak dapat dijelaskan dengan
adanya gangguan depresif, anxietas atau penyakit medis. Keluhan somatic yang ada
atau kekhawatirannya tidak dapat dijelaskan atau tidak proporsional secara medis
dan cukup berat sehingga menimbulkan distress, serta telah berlangsung setidaknya
6 bulan.2-8

Hingga 50 persen pasien pada layanan kesehatan primer datang dengan


gejala fisik yang tidak bias dijelaskan oleh kondisi medis umum. Beberapa pasien
ini memenuhi kriteria untuk gangguan somatoform.4 Sekitar 40- 60 % keluhan
neurologis merupakan gejala yang tidak dapat dijelaskan asalnya dan dapat
dipertimbangkan suatu bentuk gangguan somatoform.5 Kejadian gangguan
somatoform ini tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi yang tidak mencolok
pada sutau wilayah, dengan pada beberapa tipe tertentu terdapat kecenderungan
lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki.3-5

Gangguan somatoform meliputi gangguan somatisasi (melibatkan gejala


fisik multisistem), gangguan somatoform yang tidak terinci (lebih sedikit gejala
daripada gangguan somatisasi), gangguan konversi (gejala motorik atau fungsi
sensorik sukarela), gangguan nyeri (nyeri dengan keterlibatan psikologis yang
kuat), hipokondriasis (takut memiliki jiwa yang mengancam penyakit atau kondisi),
gangguan dismorfik tubuh (keasyikan dengan cacat fisik yang nyata atau
dibayangkan), dan gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (digunakan

1
ketika kriteria tidak dipenuhi dengan jelas untuk salah satu gangguan somatoform
lainnya).

Deteksi adanya gangguans somatoform perlu dilakukan ketika pasien


memiliki banyak keluhan namun tidak dapat dibuktikan penyebab medisnya.
Diagnosisnya meliputi ekslusi adanya penyebab medis yang mendasari yang
dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan penunjang. Deteksi sedini mungkin
berguna untuk mencegah terjadinya perilaku mengunjungi layanan kesehatan
secara berlebihan, melakukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan berulang,
serta prosedur invasive yang berpotensi bahaya.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah Somatoform berasal dari Bahasa Yunani soma yang artinya tubuh;
gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan
ini mencakup interaksi pikiran-tubuh; di dalam interaksi ini, dengan cara yang
masih belum diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang memengaruhi
kesadaran pasien dan menunjukkan adanya masalah serius di dalam tubuh. Di
samping itu, perubahan ringan neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi
dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa yang tidak diketahui yang dapat
menyebabkan penyakit.3

2.2 Epidemiologi
Gangguan somatisasi ditemukan di seluruh dunia namun lebih umum
ditemukan pada orang Afrika Amerika dengan gejala awal muncul pada usia
25 tahun. Gangguan ini lebih umum ditemukan pada perempuan dengan
perbandingan 5-20 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkiraan 0,1 – 0,2%
walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat lebih
mendekati 0,5%. Walaupun umumnya bersifat kronis, gejala yang lebih ringan
dapat sembuh pada 50% kasus.3,5,6
Prevalensi beberapa gejala gangguan konversi yang tidak cukup parah
sehingga tidak membutuhkan diagnosis dapat terjadi pada 1/3 dari populasi
umum pada suatu waktu di dalam hidup mereka. Suatu komunitas melaporkan
bahwa insiden tahunan gangguan konversi adalah 22 per 100.000. Rasio
perempuan banding laki-laki di antara pasien dewasa sedikitnya 2 banding 1
dan paling tinggi 10 banding 1. Pada anak juga didapatkan predominansi lebih

3
tinggi pada anak perempuan. Pada laki-laki gangguan konversi terjadi akibat
kecelakaan kerja atau militer.3
Prevalensi 6 bulan hipokondriasis berdasarkan laporan suatu studi adalah
sebanyak 4 - 6 % di populasi klinik medis umum, tetapi mungkin dapat setinggi
15%. Laki-laki dan perempuan secara setara dapat mengalami hipokondriasis.
Walaupun awitan gejala dapat terjadi pada usia berapapun, gangguan ini paling
lazim timbul pada usia 20-30 tahun. Keluhan hipokondrik dilaporkan terjadi
pada kira-kira 3% mahasiswa kedokteran biasanya dalam 2 tahun pertama,
tetapi umumnya hanya terjadi sementara/singkat.3
Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sedikit dipelajari karena
sebagian pasien lebih cenderung pergi ke dermatologis, internis, atau ahli
bedah plastic daripada ke psikiater. Satu studi kelompok mahassiwa perguruan
tinggi menemukan bahwa lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki
beberapa preokupasi terhadap aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25%
mahasiswa, kekhawatiran tersebut sedikitnya memiliki bberapa efek yang
signifikan terhadap perasaan dan fungsi mereka. Awitan usia yang paling lazim
ditemukan adalah antara 15-30 tahun.3
Prevalensi gangguan nyeri di masyarakat sebanyak 8,3% dengan nyeri
kepala sebagai keluhan terbanyak. Sama dengan gangguan somatisasi,
gangguan nyeri juga cenderung lebih sering ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan adalah decade keempat dan kelima
karena berkurangnya toleransi terhadap nyeri seiring dengan pertambahan
usia.3,5

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Kriteria somatoform dan teks yang menyertainya sebagian besar didasarkan
pada konsep etiologi "somatisasi," proses hipotetis di mana penyakit mental
bermanifestasi sebagai gejala somatik. Bukti modern menunjukkan bahwa
konseptualisasi ini sederhana; itu lebih mengarah etiologi multifaktorial
dengan interaksi faktor psikologis, sosial, dan biologis. Sangat penting untuk
dicatat bahwa ada semakin banyak bukti bahwa faktor biologis bersifat relevan.

4
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi gejala termasuk modulasi mereka oleh
depresi dan kecemasan; proses interpretasi persepsi dan gejala; reaksi orang
lain (keluarga, teman, kenalan); dan proses iatrogenik, serta pengaruh asuransi,
kompensasi, dan sistem disabilitas.7

Gambar 1. Model etiologi potensial pada Gejala Somatik Fungsional7

Etiologi gangguan somatisasi berkaitan dengan factor psikososial dan serta


factor biologis dan genetik. Formulasi psikososial melibatkan interpretasi
gejala sebagai komunikasi social, akibatnya adalah menghindari kewajiban,
mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan suatu perasaan atau keyakinan.
Komorbid gangguan somatisasi antara lain depresi, ansietas, penggunaan zat,
gangguan kepribadian, dan kekerasan masa kanak-kanak. Data genetic
menunjukkan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki komponen genetic.
Gangguan somatisasi cenderung menurun di dalam keluarga. Penelitian
sitokin, suatu area abru studi ilmu neurologi dasar, dapat relevan dengan
gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lainnya. Sitokin adalah
molekul pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi di
dalam dirinya dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Beberapa percobaan

5
pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin dapat berperan menyebabkan
sejumlah gejala nonspesifik penyakit, teruama infeksi, seperti hypersomnia,
anoreksia, Lelah, dan depreasi. Walaupun belum ada data yang menyokong
hipotesis, pengaturan abnormal sistem sitokin dapat mengaibatkan sejumlah
gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.3,5,9
Gangguan medis, khususnya gangguan neurologis, sering terjadi pada
pasien dengan gangguan konversi. Yang biasanya khas ditemukan pada
keadaan medis atau neurologis komorbid ini adalah suatu perluasan gejala yang
berasal dari lesi organic asli. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi
disebabkan oleh repesi konflik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi
ansietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls
berdasarkan insting dan larangan pengungkapan ekspresi. Dalam hal teori
pembelajaran yang dipelajari, gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari
perilaku yang dipelajari secara klasik, gejala penyakit yang dipelajari saat masa
kanak-kanak, dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan situasi yang tidak
mungkin. Factor lainnya adalah factor biologis. Semakin banyak data yang
mengaitkan factor biologis dan neuropsikologis di dalam timbulnya gejala
gangguan konversi. Studi pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya
hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme hemisfer
nondominant dan mengaitkan hubungan hemisfer yang terganggu sebagai
penyebab gangguan konversi.3 Berikut model konseptual gangguan konversi.6

6
Gambar 2. Model Konseptual Gangguan Konversi6

Di dalam kriteria diagnostic hipokondriasis DSM-IV-TR menunjukkan


bahwa gejala mencerminkan adanya kesalahan interpretasi gejala tubuh.
Sejumlah ini data menunjukkan bahwa orang dengan hipokondriasis
memperkuat sensasi somatiknya. Teori kedua adalah bahwa hipokondriasis
dapat dimengerti dalam hal model pembelajaran social. Gejala hipokondriasis
dipandang sebagai permintaan untuk masuk ke dalam peran sakit yang
diciptakan seseorang yang menghadapi masalah yang tampaknya tidka dapat
diselesaikan dan terlalu berat. Teori ketiga mengenai hipokondriasis adalah
bahwa hipokondriasis merupakan suatu bentuk varian gangguan jiwa lain,
diantaranya paling sering adalah gangguan depresif dan gangguan ansietas.
Yang terkahir adalah teori prikodinamik. Menurut teori ini, keinginan agresif

7
dan permusuhan terhadap orang lain dirubah (melalui represi dan
displacement) menjadi keluhan fisik.3
Penyebab gangguan dismorfik tubuh ini tidak diketahui. Komorbiditas yang
tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga dengan gangguan mood dan
gangguan obsesif-kompulsif yang lebih tinggi dari yan diperkirakan, serta
responsivitas keadaan terhadap obat yang spesifik serotonin menunjukkan
bahwa sedikitnya pada beberapa pasien patofisiologi gangguan ini melibatkan
serotonin dan dapat terkait dengan gangguan jiwa lain.3
Etiologi gangguan nyeri berkaitan dengan factor psikodinamik, perilaku,
interpersonal, dan biologis. Pasien yang mengalami sakit dan nyeri di tubuh
tanpa adanya penyebab fisik yang dapat diidentifikasi dan adekuat mungkin
secara simbolis mengekspresikan suatu konflik intrapsikik melalui tubuhnya.
Perilaku nyeri ini akan semakin terdorong bila dihargai dan dihambat saat
diabaikan. Nyeri yang sulit dikendalikan telah dikonseptualissikan sebagai cara
untuk memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan
interpersonal. Secara biologis, korteks serebri dapat menghambat cetusan serat
nyeri aferen. Serotonin mungkin merupakan neurotransmitter utama dalam
jaras inhibisi desenden, dan endorphin juga memainkan peran penting dalam
modulasi nyeri sistem saraf pusat. Defisiensi endorphin tampaknya
berhubungan dengan augmentasi stimulus sensorik yang dating.3

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi disebut juga Briquet’s Syndrome adalah
gangguan yang ditandai dengan banyak gejala somatic yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan
somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya sistem
organ yang terlibat. Gangguan ini bersifat kronis dan disertai
penderitaan psikologis yang signifikan, hendaya fungsi social dan
pekerjaan, serta perilaku mencari bantua medis yang berlebihan.3,4

8
2.4.2 Gangguan Konversi
Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf
pusat atau perifer. Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan
menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna. DSM-IV-TR
mendefinisikan gangguan konversi sebagai gangguan yang ditandai
dengan adanya satu gejala neurologis atau lebih yang tidka dapat
dijelaskan dengan gangguan medis atau neurologis yang diketahui. Di
samping itu, diagnosis gangguan ini mengharuskan bahwa factor
psikologis harus berkaitan dengan permulaan atau perburukan gejala.3
2.4.3 Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai preokupasi seseorang mengenai
rasa takut menderita, atau yakin memiliki, penyakit berat. Rasa takut
atau keyakinan ini muncul ketika seseorang salah menginterpretasikan
gejala atau fungsi tubuh. Istilah hipokondriasis berasal dari istilah
medis kuno hipikondrium (di bawah rusuk) dan mencerminkan keluhan
abdomen yang lazi ada pada banyak pasien dengan gangguan ini.
Hipokondriasis terjadi akibat interpretasi yang tidak realistic atau tidak
akurat mengenai gejala atau sensasi fisik, walaupun tidak ada penyebab
medis diketahui yang ditemukan. Preokupasi pasien menyebabkan
distress yang signifikan pada mereka dan mengganggu kemampuan
mereka berfungsi dalam peran pribadi, social maupun pekerjaan.2,3
2.4.4 Gangguan Dismorfik Tubuh
Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan subjektif
yang pervasive mengenai keburukan beberapa aspek penampilan
walaupun penampilan mereka normal atau hampir normal. Ini
gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan seseorang yang kuat
bahwa ia tidak menarik atau menjijikan. Rasa takut ini jarang bias
dikurangi dengan pujian atau penentraman, meskipun pasien yang khas
dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.2,3

9
2.4.5 Gangguan Nyeri
DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan nyeri sebagai adanya nyeri
yang merupakan “fokus dominan perhatian klinis”. Factor psikologis
memerankan peranan yang penting di dalam gangguan tersebut. Gejala
utamanya adalah nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak
seutuhnya disebabkan oleh keadaan medis atau neurologis nonpsikiatri.
Gejaa nyeri disertai penderitaan emosional dan hendaya fungsi.
Gangguan ini disebut gangguan nyeri somatoform, gangguan nyeri
psikogenik, gangguan nyeri idiopatik, dan gangguan nyeri atipikal.3

2.5 Gambaran Klinis


Manifestasi suatu gangguan somatisasi dapat berasal dari berbagai organ
dan tiap penderita memiliki empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu
gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis seperti berikut4:
- Gastrointestinal
 Kembung
 Diare
 Intoleransi makanan
 Mual
 Muntah
- Nyeri
 Nyeri abdomen
 Nyeri punggung
 Nyeri dada
 Dismenore
 Disuria
 Nyeri ektremitas
 Nyeri kepala
 Nyeri sendi

10
 Nyeri rektal
- Pseudoneurologis
 Amnesia
 Afonia
 Kebutaan
 Kesulitan menelan
 Penglihatan ganda
 Gangguan koordinasi
 Kehilangan kesadaran
 Paralisis
 Paresthesia
 Retensi urin
- Seksual
 Disfungsi ejakulasi
 Disfungsi ereksi
 Hiperemesis dalam kehamilan
 Menstruasi ireguler
 Menoragia
 Ketakacuhan seksual

Paralisis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling
lazim ditemukan. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan
gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionic.
Gejala gangguan jiwa depresif dan ansietas sering dapat menyertai gejala
gangguan konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri. Gejala sensorik
yang dapat ditemukan pada pasien dapat berupa anesthesia dan paresthesia
terutama paa ekstremitas. Gejala motoric meliputi gerakan abnormal,
gangguan berjalan, kelemahan, dan paralisis. Gejala bangkitan dapat berupa
kejang semu.3

11
Pasien dengan hipokondriasis yakin kalau mereka mengalami penyakit
berat yang belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk untuk berpikir
sebaliknya. Mereka dapat mempertahankan keyakinan bahwa mereka
mengalami penyakit tertentu; seiring waktu berjalan mereka dapat merubah
keyakinan mereka pada penyakit lain.3
Pada penderita gangguan dismorfik tubuh kekhawatiran yang paling lazim
mencakup ketidaksempurnaan wajah, terutama yang meliputi anggota tubuh
tertentu. Kadang-kadang kekhawatiran ini bersifat samar dan sulit dimengerti ,
seperti kekhawatiran yang berlebihan terhadap dagu yang bergumpal. Satu
studi menemukan bahwa rata-rata pasien memiliki kekhawatiran mengenai
empat daerah tubuh selama perjalanan gangguan ini.3
Pasien dengan gangguan nyeri tidak menyusun suatu kelompok yang sama,
tetapi kumpulan orang yang heterogen dengan nyeri punggung bawah sakit
kepala, nyeri fasial atipial, nyeri pelvis kronis, dan jenis nyeri lain. Rasa nyeri
pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenic, atau musculoskeletal,
pascatrauma; meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri,
gangguan tersebut harus meiliki factor psikologis yang dinilai secara signifikan
terlibat dalam gejala nyeri dan percabangannya.3

2.6 Kriteria Diagnosis


Kriteria Diagnosis gangguan somatisasi menurut PPDGJ III masuk dalam kode
F45.0 Gangguan Somatisasi. Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut1:
- Adanya banyak keluhan keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
- Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
- Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat da keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya

Kriteria Diagnosis hipokondriasis menurut PPDGJ III masuk dalam kode


F45.2 Gangguan hipokondrik dengan pedoman diagnostik sebagai berikut1:

12
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada
- Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik
yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan
yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alas an fisik yang memadai,
ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau
perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham)
- Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.

Kriteria Diagnosis gangguan nyeri menurut PPDGJ III masuk dalam kode
F45.4 sebagai berikut1:
- Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik
- Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut
- Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan

2.7 Diagnosis Banding


1. Gangguan Medis
Klinisi harus selalu menyingkirkan keadaan medis non psikiatri
yang dapat menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis sering
menunjukkan kelainan sementara dan nonspesifik pada kelompok usia
yang sama. Gangguan medis ini mencakup sclerosis multiple (MS),
miastenia gravis, systemic lupus erythematosus (SLE), acquired immune
deficiency syndrome (AIDS), porfiria akut intermiten, hiperparatiroidisme,
hipertiroidisme, dan infeksi sistemik kronik. Awitan berbagai gejala
somatic pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun harus dianggap
disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis

13
yang mendalam telah dilengkapi. Pada gangguan nyeri, harus dibedakan
dengan nyeri fisik murni. Pada nyeri fisik murni intensitas nyeri
berfluktuasi dan sangat sensitive terhadap pengaruh emosi, kognitif,
perhatian, dan stimulasi.3
2. Gangguan Panik
Pasien dengan gangguan panik awalnya dapat mengeluh bahwa
mereka terkena penyakit (contohnya gangguan jantung), tetapi pertanyaan
yang teliti selama anamnesis medis biasanya menemukan gejala klasik
gangguan panik. Walaupun pasien dengan gangguan panik dapat
mengeluhkan banyak gejala somatic berkaitan dengan serangan paniknya,
mereka tidak terganggu oleh gejala somatic di antara serangan panik.3
3. Gangguan Ansietas, Depresi, dan Skizofrenia
Pada gangguan ansietas, pasien dapat memiliki gejala awal yang
berpusat pada gejala somatic, namun pada akhirnya gejala ansietas, depresi,
dan skizofrenia mendominasi keluhan somatic. Keyakinan hipokondriak
yang bersifat waham dapat terjadi pada skizofrenia dan gangguan psikotik
lain, tetapi dapat dibedakan dengan hipokondriasis berdasarkan intensitas
waham dan adanya gejala psikotik lain. Di samping itu, waham somatic
pasien skizofrenia senderung bizar, idiosinkratik, dan di luar lingkungan
budaya.3
4. Malingering dan Gangguan Buatan
Pada gangguan buatan dan malingering, gejalanya di dalam kendali
kesadaran dan volunteer. Riwayat seseorang melakukan malingering
biasanya lebih tidak konsisten dan kontradikif daripada pasien dengan
gangguan konversi, perilaku pasien semacam ini biasanya mempnyai suatu
alasan.3

14
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Nonfarmakologi
1. Psikoterapi
Psikoterapi, baik individu maupun kelompok, menurunkan
pengeluaran untuk perawatan kesehatan pribadi pasien hingga
50%, sebagian besar dengan menurunkan angka perawatan
rumah sakit. Pada lingkungan psikoterapi, pasien dibantu
beradaptasi dengan gejalanya, mengekspresikan emosi yang
mendasari dan membangun strategi alternative untuk
mengekspresikan perasaannya. Pasien dengan hipokondriasis
biasanya resisten terhadap terapi psikiatri, walaupun beberapa
pasien menerima terapi ini jika dilakukan dalam lingkup medis
dan berfokus pada pengurangan stress dan edukasi untuk
meghadapi penyakit kronis. Pemeriksaan fisik yang terjadwal
rutin sering berguna untuk meyakinkan pasien bahwa dokter
tidak mengabaikan mereka dan keluhan mereka dianggap serius.
2. Cognitive Behavioral Treatment (CBT)
Terapi kognitif-perilaku telah menjadi pengobatan alternatif
yang paling banyak dipelajari untuk gangguan somatoform.
Protokol pengobatan termasuk mengidentifikasi dan
merestrukturisasi kognisi disfungsional, aktivasi perilaku atau
menggerakkan pasien dalam kegiatan yang dihindari,
pemecahan masalah, dan pelatihan relaksasi. Pada pasien
hipokondriasis CBT melibatkan identifikasi dan menantang
kesalahtafsiran pasien terhadap gejala fisik serta membangun
interpretasi yang lebih realistis dari mereka, dikombinasikan
dengan restrukturisasi kognitif dengan paparan rangsangan
interoceptive dan / atau eksternal bersama dengan pencegahan
respon setelah paparan.10

15
3. Hipnosis
Herbert Spiegel mendefinisikan hypnosis sebagai keadaan
meningkatnya konsentrasi dan penerimaan fokal. Hypnosis
ditandai dengan perasaan involunter: gerakan tampak otomatik,
dan persepsi yang ditanamkan dapat mengubah atau
menggantikan persepsi yang sebenarnya. Hypnosis juga
dijelaskan sebagai perubahan kesadaran, keadaan disosiasi, dan
keadaan regreasi. Pasien di dalam trance hipnotik dapat
mengingat kembali ingatan yang tak tersedia di dalam kesadaran
pada keadaan nonhipnotik.

2.8.2 Farmakologi
Obat psikotropik diberikan ketika gangguan somatisasi
timbul bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas.3

Gambar 3. Spektrum dari gangguan mood dan ansietas ke


gejala somatic fungsional

Mekanisme antidepresan dalam mengurangi nyeri masih


kontroversial. Antidepresan yang dapat digunakan untuk membantu
mengatasi gangguan somatoform salah satunya golongan
monoamine oxidase inhibitor (MAOI), trisiklik, alpha 2 delta ligan,

16
selective norepinephrine reuptake inhibiror (SNRI) atau selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI).3,11 Pilihan obat dari golongan
MAOI antara lain moclobemide.12

Gambar 4. Mekanisme kerja obat golongan MAOI

Keberhasilan SSRI menyokong hipotesis bahwa serotonin


penting dalam patofisiologi gangguan ini. Obat dari golongan ini
antara lain sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine,
citalopram dan escitalopram.

17
Gambar 5. Mekanisme kerja obat golongan SSRI

Dosis yang dianjurkan untuk tiap obat berbeda-beda


tergantung kemampuan ekuivalennya untuk menimbulkan
terapeutik. Berikut adalah table untuk sediaan dan dosis obat.

Tabel 1. Sediaan dan obat antidepresan3,12


No. Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Tab/Cap 25, 50, 100
1. Sertraline 50 – 150 mg/h
mg
Tab 10, 20, 30, 40 mg
2. Paroxetine 10 – 80 mg/h
Susp 10 mg/ml
3. Fluvoxamine Tab 25, 50, 100 mg 50 – 300 mg/h
4. Fluoxetine Tab/Cap 10, 20mg 10 – 40 mg/h
5. Citalopram Tab 20 mg 10 – 60 mg/h
6. Moclobemide Tab 100, 150 mg 300 – 600 mg/h
7. Isocarboxazid Tab 10 mg 20 – 60 mg/h
8. Phenelzine Tab 15 mg 30 – 90 mg/h
9. Selegiline Tab/Cap 5 mg 10 – 30 mg/h
10. Tranylcypromine Tab 10 mg 20 – 60 mg

18
2.9 Prognosis
Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering
membuat tak berdaya. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya
gejala baru dianggap bertahan selama 6 – 9 bulan dan dipisahkan periode yang
tidak terlalu simtomatik selama 9 – 12 bulan. Sering terdapat hubungan antara
periode meningkatnya stress dan memberatnya gejala somatic. Pada gangguan
konversi 90 – 100% pasien membaik dalam beberapa hari atau kurang dari 1
bulan. Sebanyak 75% pasien tidak mengalami episode lain dan 25%
mengalami episode tambahan terkait stress. Terkait dengan prognosis yang
baik adalah awitan mendadadak, stressor mudah diidentifikasi, penyesuaian
premorbid baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, tidak
sedang menjalani proses hokum. Semakin lama gangguan konversi ada,
prognosisnya semakin buruk. Pada pasien dengan hipokondriasis biasanya
perjalanan gangguan bersifat episodic, berlangsung bulanan hingga tahunan
yang dipisahkan oleh periode tenang yang sama panjangnya. Prognosis yang
baik dikaitkan dengan status sosioekonomi tinggi, depresi atau ansietas yang
responsive terhadap terapi, awitan gejala yang mendadak, tidak adanya
gangguan kepribadian, dan tidak adanya keadaan medis nonpsikiatri terkait.
Pada gangguan nyeri, umumnya nyeri dimulai tiba-tiba dan meningkat
keparahannya untuk beberapa minggu atau bulan. Prognosisnya bervariasi
walaupun gangguan nyeri dapat bersifat kronik, menimbulkan distress, dan
benar-benar menimbulkan ketidakmampuan.3

19
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan somatoform adalah sekelompok masalah di mana seseorang


menderita gejala somatik atau khawatir tentang penyakit tubuh atau kelainan bentuk
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh kondisi medis organik atau gangguan
kejiwaan lain seperti depresi atau kecemasan. Gangguan ini terjadi akibat interaksi
pikiran dengan tubuh. Gangguan ini meliputi gangguan somatisasi, gangguan
somatoform yang tidak terinci, gangguan konversi, gangguan nyeri, hipokondriasis,
gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatoform yang tidak tergolongkan.
Setelah penyebab medis dapat dieksklusikan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, diagnosis gangguan somatoform dapat ditegakkan sesuai
dengan kriteria diagnosis masing-masing jenisnya. Terapi utama gangguan
somatoform adalah psikoterapi, amun dapat diselingi dengan beberapa jenis obat-
obatan yang secara empiris dapat menguasi keluhan, atau terapi lain seperti
hypnosis, dan lain-lain.

20
Daftar Pustaka

1. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari


PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atma Jaya. 2013
2. Maramis WF & Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Ed. 2.
Surabaya: Airlangga University Press. 2009
3. Sadock BJ & Sadock VA. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis
Ed. 2. Jakarta: ECG. 2010
4. Oyama O et. al. Somatoform Disorders. American Family Physician
Journal: 76(9); 2007.
5. Smith JK & Jozefowicz RF. Diagnosis and treatment of somatoform
disorders. Neurology: clinical Practice. 2012
6. Anonym. Chapter 7 Dissociative and Somatoform Disorders. Available
from: http://www.csun.edu/~hcpsy002/0135128978_ch07.pdf
7. Mayou R et. al. Somatoform Disorders: Time for a New Approach in
DSM-V. Am J Psychiatry 2005; 162:847–855
8. Kirmayer, L.J., & Looper, K Somatoform disorders. In: M. Hersen, S.M.
Turner & D.C. Beidel, (Eds) Adult Psychopathology and diagnosis (5th
Edition), (pp. 420-475) New York: John Wiley & Sons.
9. Hadjam, MNR. Peranan Kepribadian Dan Stres Kehidupan Terhadap
Gangguan Somatisasi. Jurnal Psikologi UGM. 2003; 1(36-56)
10. Woolfolk RL & Allen LA. Cognitive Behavioral Therapy for Somatoform
Disorders. Intech Europe. 2012
11. Stahl, SM. Stahlss Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis
and Practical Applications Ed. 3. Cambride University Press. 2000
12. Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
PT Nuh Jaya. 2014

21

Anda mungkin juga menyukai