Anda di halaman 1dari 3

Karo as Culture Entity

Author: Barus

2 Aug

Karo adalah etnis tersendiri dengan kultur dan budaya sendiri, satu etnis besar yang pernah exis
di Sumatra bagian Timur. Kebesaran dalam kultur budayanya, arsitekturnya (rumah adat) begitu
juga terlihat dalam filsafat hidupnya yang menggambarkan way of thinking (filosofis) yang
sudah tinggi. Bukti-bukti kebesaran ini tidak tercatat secara rapi seperti manifestasi kebudayaan
dan peradaban tinggi Barat atau Yunani kuno misalnya. Dari yang pernah terlihat ialah tulisan
atau goresan pada bambu seperti dalam sejarah Patimpus. Begitu juga terlihat dari cita-cita
Hayam Wuruk (Gajah Mada) menaklukkan kerajaan besar satu-satunya di daerah Sumatra
bagian timur, satu kerajaan besar orang kafir (pemena), karena kerajaan ini bukan muslim atau
bukan Aceh maupun bukan Jawi, ( ‘Kalak Jawi’ adalah panggilan orang Karo terhadap orang
islam tempo doeloe, umumnya orang Melayu).

Pasukan-pasukan berbagai kerajaan islam (Melayu) dari selatan dan dari laut (semenanjung
Malaka) serta dari utara (Aceh, juga islam) mendesak dan menaklukkan kerajaan besar orang
kafir (pemena) Haru, dan masih meninggalkan sisa pertahanan terakhir benteng Delitua yang
masih terlihat sampai sekarang. Nama-nama kota dengan istilah kuta (kampung) dalam bahasa
Karo tersebar mulai dari Kutaraja sampai ke Siak. Kemudian yang masih banyak terutama di
Sumtim terutama di daerah-daerah etnis Karo, dan masih ada di daerah Gayo/Alas. Dalam
Sumpah Palapa (1336) Gajah Mada Majapahit berjanji akan menaklukkan banyak kerajaan
termasuk Haru. Tetapi yang berhasil menaklukkan Haru ternyata adalah kerajaan-kerajaan islam
yang telah lama (sebelum Gajah Mada bersumpah) berusaha membinasakan kerajaan kafir
terakhir didaerah Sumatra bagian Timur.

Dialektika adalah cara pikir dan cara pandang atas hal-ihwal dari segi-segi yang bertentangan
didalamnya, atas alam dan pikiran manusia serta kehidupan dan perkembangan kehidupan
manusia maupun perkembangan pikiran manusia . Orang Barat berpendapat dan mengatakan
bahwa penemu pertama dialektika adalah orang Yunani Kuno bernama Heraklitos (500 SM)
dalam Pantarei (air mengalir, sungai). Heraklitos menunjukkan proses atau perubahan tak henti-
hentinya (dialektika alam). Orang Karo Kuno (Karo sinoria) sudah mengenal dan memakai
dialektika dalam kehidupan dan cara pikirnya, dalam melihat alam dan dalam menilai
perkembangan pikiran manusia. Ini terlihat dari pepatah kuno Karo (sudah ada sejak Karo lahir
sebagai satu kesatuan struktur budaya dan kultur) yaitu: dalam alam (sungai) dikatakan ‘aras jadi
namo, namo jadi aras’ (Pantarei Karo), dimana aras adalah bagian dangkal dalam aliran sungai,
bagian yang beriak, bagian yang deras, bagian yang ribut dan pada gilirannya akan berubah jadi
namo (lubuk), yaitu bagian yang dalam, bagian yang tenang. Jadi disini menggambarkan
kedangkalan kontra kedalaman, keributan kontra ketenangan, dan yang satu berubah jadi yang
lain lewat proses tertentu yaitu proses perubahan segi-segi bertentangan.

Dan dalam pikiran, seperti ‘seh sura-sura tangkel sinanggel’ (begitu tercapai cita-cita akan
muncul kesusahan), menunjukkan kegembiraan kontra kesedihan, proses tak henti-hentinya hal-
hal bertentangan dalam pikiran manusia. Dialektika Karo kuno menunjukkan proses dan
pertentangan dalam alam maupun dalam pikiran manusia. Dialektika Heraklitos (Pantarei)
menunjukkan proses dalam alam, sungai mengalir tak henti-hentinya dan perubahan tak henti-
hentinya. Kalau kita menginjakkan kaki kedua kalinya kedalam satu sungai, sungainya bukan
lagi sungai ketika kita menginjakkan kaki pertama kali katanya. Dialektika alam Karo atau
Pantarei Karo secara jelas tidak hanya menunjukkan proses, tetapi juga adanya segi-segi
bertentangan. Kenyataan-kenyataan legendaris alamiah ini cukup membuktikan tingkat
peradaban dan tingkat filsafat pemikiran etnis Karo telah ada sejak adanya Karo sebagai entitas
budaya dan kultur tersendiri dan jelas terlihat dari perbandingan dengan perkembangan
dialektika Yunani kuno Heraklitos. Dari logika ini menjadi jelas tak teragukan bahwa etnis Karo
adalah salah satu dari etnis tertua dan sangat tinggi filsafat dialektikanya dibagian dunia
Sumatera bagian timur.

“The Batta Cannibal States”, sebutan John Anderson, dalam buku Mission to the East Coast of
Sumatra 1823, menemukan berbagai kesatuan atau berbagai struktur kesatuan budaya dan kultur
di pantai timur Sumatra. Dia melihat perbedaan dan juga melihat adanya kekuasaan (states)
dalam kesatuan-kesatuan itu. Tetapi Anderson menjadikan semua entitas yang bermacam-macam
itu (selain kelompok islam) dengan nama bersama yaitu ‘Batta’. Istilah ini pasti berasal dari kata
‘Batak’, tapi dalam pendengaran dan ucapan lidah totok seorang Inggris berubah jadi ‘Batta’.
‘Batak’ adalah nama julukan terhadap orang-orang atau entitas orang-orang kafir tak ber Tuhan
bukan islam, ketika itu orang Karo, Toba, Simalungun dan sebagian Pakpak atau Mandailing.
Mereka ini tak berTuhan tapi berDibata (Karo) atau Debata (Toba,Simalungun). Asal usul kata
dari bahasa Sanskrit yang di Bali dikatakan Dewata. Orang-orang Dibata/Debata ini adalah kafir
pemakan babi dijuluki sebagai kelompok ‘Batak’ oleh orang islam, dan dengan lidah Inggris jadi
‘Batta’ dan yang kanibal, artinya bagi orang Inggris Anderson bukan hanya pemakan babi tapi
juga pemakan orang. Istilah ‘Batak’ atau ‘Batta’ jadi nama bersama orang-orang berDibata, satu
kesatuan tersendiri dari pihak islam maupun dari orang Barat bahkan sampai kezaman kolonial
Belanda dan juga termasuk demikian dalam ajaran antropologi kolonial. Antropolog orang Batak
Amir Nadapdap bahkan mengatakan Gayo dan Alas sebagai Batak, dpl Batak Gayo dan Batak
Alas. Sebaliknya antropologi Aceh mengatakan Aceh Gayo dan Aceh Alas, atau yang lebih tak
mengenakkan lagi ialah dengan mengatakan Gayo dan Alas sebagai sub-etnis Aceh dan yang
lainnya sub-etnis Batak. Ini jelas menunjukkan perkembangan pikiran expansionis etnis-etnis
mayoritas dominan atas existensi etnis minoritas yang umumnya berada diluar kekuasaan atau
berada dibawah dominasinya, dimasa nation state post kolonial sampai sekarang era reformasi,
era yang menuntut perubahan radikal dalam hubungan saling mengakui dan saling menghormati,
‘berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah’ sesama etnis dalam nation multi etnis seperti
Indonesia.

Salah satu diantara kelompok yang dijuluki ‘Batak’ atau ‘Batta’ sampai sekarang masih
mempertahankan sebagai Batak yaitu orang Toba. “Namun dalam kenyataannya, orang Karo dan
Mandailing menolak disebut Batak. Mereka mengaku sebagai orang Karo dan orang Mandailing,
dan sama sekali bukan Batak. Demikianlah, istilah Batak kini mengacu kepada Batak Toba. Jadi,
dalam pembica-raan awam, orang Batak adalah orang Batak Toba, bukan Batak yang lain.”
(Kompas, Selasa, 2 Juli 2002)

Salah satu entitas diantara ‘Batta Cannibal States’ adalah Karo, satu suku bangsa peninggalan
entitas Haru state, sekarang terpencar atau terpusat sekitar Sumtim, Dairi Karo, Aceh Tenggara
dan Langkat. Satu entitas struktur budaya dan kultur tak terpisahkan dari existensi sejarah
budaya dan kulturnya serta filsafat hidupnya, dari way of thinking yang sangat dialektis sebagai
tempat lahir pertama dialektika dalam kehidupan (pikiran) dan dalam hubungan dengan alam.

Oleh : M.U. Ginting (Swedia)


Sumber : SoraSirulo.Net

Anda mungkin juga menyukai