Anda di halaman 1dari 26

TRAUMA PANGGUL DAN PAHA

1. Definisi
Fraktur merupakan diskontinuitas struktural pada tulang. Hip
Adalah bagian dari tulang panggul yang berartikulasi dengan pangkal tulang
femur pada asetabulum. Fraktur hip adalah suatu terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan fraktur tulang femur pada daerah
ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher, dan daerah
trochanter.
Tulang femur terdiri dari :
a. Ujung atas yang meliputi
 Kaput femur adalah Massa yang membulat mengarah ke dalam dan
keatas, tulang ini halus dan dilapisi dengan kartilago kecuali pada
fovea, lubang kecil tempat melekatnya ligamen yang
menghubungkan kaput ke area yang besar pada asetabulum dari
tulang coxae. Di dalam kaput tersebut terdapat percabangan dari
arteri retinakular posterior dan anterior, dan ligamentum teres serta
arteri ligamentum teres
 Kolum(leher) femur adalah Korpus tulang mengarah ke bawah dan
ke sebelah lateral menghubungkan kaput dan korpus.
 Trochanter mayor pada sisi lateral dan trochanter minor pada sisi
medial merupakan tempat melekatnya otot-otot.
b. Korpus
c. Ujung bawah
Tulang femur bekerja sebagai alat ungkit dari tubuh sehingga
memungkinkan untuk bergerak. Tulang hip dibungkus oleh serabut yang
berbentuk kapsul, ligamen, dan otot. Bagian besar trochanter dalam
pergerakannya dibantu oleh otot abduktor dan gerakan rotasinya terbatas.
Bagian terkecil dari trochanter dalam pergerakannya dibantu oleh otot
ileopsoas.

2. Etiologi
Patah tulang pinggul paling sering terjadi karena jatuh atau pukulan
langsung ke sisi pinggul. Beberapa kondisi medis seperti osteoporosis,
kanker, luka atau stres dapat melemahkan tulang dan membuat pinggul lebih
rentan terhadap patah.
Patah tulang panggul lebih sering pada wanita dari pada laki- laki,
alasannya :
 Wanita memiliki tulang panggul lebih lebar yang cenderung
mengalami coxa vara(deformitas dari hip dimana sudut antara leher
dan batang tulang mengecil).
 Wanita mengalami perubahan hormon post menopausal dan
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis.
 Harapan hidup wanita lebih panjang dari pria.

3. Patofisiologi
Patah tulang pinggul (fraktur hip) mengacu pada fraktur femur di
kepala(caput), leher (collum), atau wilayah trochanterica. Caput femur
adalah bagian yang mengisi daerah acetabulum. Collum adalah daerah
sempit di bawah caput. trochanterica adalah area di bawah collum.
Patah tulang panggul dapt diklasifikasikan menjadi 2 yaitu
intracapsular atau extracapsular. Intracapsular fractures adalah fraktur
terjadi pada daerah yang masih berada dalam lingkup kapsul sendi yang
meliputi fraktur sub kapital, fraktur transervikal, fraktur basal leher.
Extracapsular fraktur adalah fraktur terjadi di luar kapsul sendi panggul
pada daerah sekitar 5 sentimeter di bawah trochanter minor. Fraktur ini juga
disebut dengan fraktur intertrochanteric. Caput dan collum femoralis
terletak dalam kapsul sendi dan tidak termasuk dalam periosteum; dengan
demikian, caput dan collum tidak memiliki suplai darah yang cukup. Patah
di daerah ini biasanya jenis fragmen dan mungkin lebih menurunkan
pasokan darah, meningkatkan risiko nonunion (tidak menyatu) dan
avascular nekrosis. Sedangkan Wilayah trochanterica tertutup periosteum
dan karena itu memiliki lebih banyak pasokan darah daripada caput atau
collum. Patah tulang pinggul lebih sering terjadi pada orang tua sebagai
akibat penurunan massa tulang dan meningkatnya kecenderungan untuk
jatuh.

4. Manifestasi Klinis
 Nyeri hebat pada daerah fraktur.
 Tak mampu menggerakkan kaki.
 Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasmus otot-otot paha.
 Eksternal rotasi pada tungkai tersebut.
 Tanda-tanda lain sesuai dengan tanda fraktur pada umumnya, antara
lain.
 Nyeri bertambah hebat jika ditekan/raba
 Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan
keadaan normal.
 Ada/tidak kulit yang terluka/terbuka di daerah fraktur.
 Teraba panas pada jaringan yang sakit karena peningkatan
vaskularisasi di daerah tersebut.
 Pulsa/nadi pada daerah distal melemah/berkurang.
 Kehilangan sensasi pada daerah distal karena jepitan saraf oleh
fragmen tulang.
 Krepitasi jika digerakkan (jangan melakukan pembuktian lebih
lanjut jika pasti ada fraktur)
 Perdarahan.
 Hematoma, edema karena extravasasi darah dan cairan jaringan.
 Tanda-tanda shock akibat cedera berat, kehilangan darah, atau
akibat nyeri hebat.
 Keterbatasan mobilisasi.
 Terbukti fraktur lewat foto rontgen

5. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan manifestasi klinis yang telah
disebutkan.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
Dilakukan untuk persiapan pre operasi. Dapat menunjukkan tingkat
kehilangan darah hingga cedera (pemeriksaaan Hb dan Hct) Nilai
leukosit meningkat sesuai respon tubuh terhadap cedera
b. Golongan darah dan cross match
Dilakukan sebagai persiapan transfudi darah jika kehilangan darah
yang bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.
c. Pemeriksaan kimia darah
Sebagai persiapan pre operatif untuk mengkaji ketidak seimbangan
akibat cedera yang dapat menimbulkan masalah pada saat intra
operasi (misalnya, ketidak seimbangan potassium dapat
meningkatkan iritasi cardiac selama anestesi) BUN creatinin untuk
evaluasi fungsi ginjal.
d. Masa pembekuan dan perdarahan (clotting time, bleeding time)
Sebagai persiapan pre operasi, biasanya normal jika tak ada
gangguan perdarahan. Pada pasien lanjut usia dapat diberikan terapi
antikoagulan segera setelah post operasi untuk memperkecil
terjadinya tromboemboli.
e. Pemeriksaan urine
Sebagai evaluasi awal fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan X-ray dada
Sebagai evaluasi tingkat cedera, persiapan pre operasi, atau
mengetahui kondisi selama perawatan pembedahan, dll.(misalnya,
kardiomegali atau gagal jantung kongestif).
g. EKG
Sebagai persiapan operasi maupun untuk mengevaluasi apakah
terdapat juga cedera pada jantung (misalnya kontusio cardiac)
disamping trauma/cedera pada hip.

7. Tata Laksana
Perawatan untuk pasien fraktur hip tidak berbeda dengan perawatan
pada pasien dengan fraktur lainnya. Intervensi prarumahsakit termasuk
membelat lengan yang fraktur, pengkajian sirkulasi dan sensasi, dan
mengamati luka yang lainnya. Karena banyak kehilangan darah masuk ke
dalam hip dan pada pasien dijumpai manifestasi hipotensi dan intravena
mudah ditegakkan. Bagi pasien yang dirawat di ruangan gawat darurat,
perawat dan dokter mengevaluasi kembali sirkulasi dan sensasi dan
mengamati komplikasi. Pengkajian juga meliputi penentuan penyebab
fraktur, infark miokard, serangan iskemik. Kerusakan cerebrovaskular,
serangan tiba-tiba, atau saat hipoglikemi adalah beberapa yang mungkinm
menyebabkan jatuh. Hal ini sangat penting bagi pasien yang mengalami
luka seperti gegar otak, atau trauma kepala. Pasien ditanya baik pria dan
wanita untuk mengingat kejatuhannya dan bagian tubuh mana yang
terbentur. Tahap kedua mengkaji rasa nyeri pada pasien pada beberapa area
tubuhnya. Pengkajian secara umum yang dijumpai berhubungan dengan
fraktur hip adalah penyusutan yang dipengaruhi oleh ektremitas yang lebih
rendah dan rotasi eksternal. Dislokasi fraktur bagian posterior jarang jika
terjadi, ekstremitas mungkin dilakukan rotasi internal.

8. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur hip adalah:
 Shock dan perdarahan, pada saat terjadinya cedera atau segera
sesudah operasi
 Komplikasi immobilitas, terutama pada usia lanjut, antara lain:
 Pneumonia
 Thromboplebitis
 Emboli pulmonal
 Penyembuhan terlambat, sering pada fraktur intrakapsular sembuh
lebih lambat bila dibanding dengan fraktur ekstra kapsular karena
adanya gangguan suplai darah
 Aseptic necrosis kepala femur, merupakan komplikasi fraktur femur
proksimal an dislokasi traumatik pada hip.
 Deformitas, malposisi femur, arthritis sekunder. Displasemen
fragmen tulang dapat menyebabkan deformitas, sedangkan trauma
menyebabkan arthritis.
 Masalah post operatif dengan alat-alat fiksasi internal. Fiksasi
internal bisa melemah, patah, atau pindah tempat yang
menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Untuk ini perlu
pembedahan ulang.
 Ekstrim eksternal/internal rotasi dan adduksi.
Sedangkan komplikasi lain yang dapat terjadi karena immobilisasi dan post
operasi:
 Atelektasis
 Infeksi Luka
 Stasis atau infeksi saluran kemih
 Kejang pada otot
TRAUMA VERTEBRAE
1. Definisi
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan
dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur
tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat
disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi
terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya
metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat
bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami
fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih
pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.

2. Klasifikasi
Klasifikasi Trauma Vertebra
a. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
 Grade I = Simple Compression Fraktur
 Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
 Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
 Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
b. BEDBROCK membagi atas:
 Trauma pada vertebra seperti compression, extension dan
flexion rotation injury
 Trauma medula spinalis seperti : comotio, con-tusio,
stretching, gangguan vaskuler, trombus dan hematoma
c. E. SHANNON STAUPER membagi:
 Extension injury
 simple flexion injury
 flexion compression fraktur dislocation.
d. HOLDS WORTH membagi atas trauma fleksi, rotasi fleksi,
rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
e. Pembagian Umum:
 Fraktur Stabil
 Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
 Burst fraktur
 Extension
 Fraktur tak stabil
 Dislokasi
 Fraktur dislokasi
 Shearing fraktur

3. Tatalaksana
Jika faktur stabil (kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja
penderita akan sembuh.. Yang menjadi masalah bila disertai dengan
kelainan neorologis.

I. Fase Akut (0-6 minggu)


1. Live saving dan kontrol vital sign
2. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
3. Fraktur/Lesi pada vertebra
a. Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah
dekubitus, terutama simple kompressi.

b. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan
operatif. Kalau dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama
dengan cara:
1) laminektomi
2) fiksasi interna dengan kawat atau plate
3) anterior fusion atau post spinal fusion

c. Perawatan status urologi


Pada status urologis dinilai ripe kerusakan sarafnya apakah supra
nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau
campuran.
Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan
bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap
jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan
dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor
dapat kembali.
1) Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
2) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
3) Manuver crede
4) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
5) Gravitasi/ mengubah posisi

d. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sening ditemui yang terjadi karena
berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

II. Fase Sub Akut (6-12 minggu)


Fraktur perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena
berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

III. Fase berdikari (3-6 bulan)


Yang banyak berperan disini adalah pekerja sosial seperti:
1. mempersiapkan rumah beserta isinya pada penderita.
2. Mengadakan alat-alat pembantu
3. Mempersiapkan pekerjaan tangannya.
Siapapun yang mengelola penderita ini harus dapat:
- Mengembalikan spinal augment
- Stabilitas dan tulang belakang
- Mengusahakan agar penderita mencapai kehidupan normal
- Mencegah komplikasi.

FISIOTERAPI
I.Stadium Akut
1. Breathing exercise yang adequate
2. Mencegah kontraktur
3. Melatih otot yang lemah
II. Stadium Sub Akut
Penderita boleh duduk pada kursi roda
III. Berdikari
IV. Follow up
V. Occupational therapy

REKONSTRUKSI DAN REHABILITASI CACAT TULANG


BELAKANG

Cacat vertebra dapat disebabkan oleh penyakit dengan variasi yang


sangat luas mulai dan penyakit kongenital sampai idiopatic. Sering
kelainan vertebra disertai dengan adanya defisit neorologi. Deformitas
tulang belakang ini bervariasi pula yang mulai dan tanpa gejala sampai
ada gejala yang sangat berat berupa kelumpuhan. Hubungan sumsum
tulang belakang dengan vertebra adalah:
1. Kelainan neorologis dapat menimbulkan deformitas belakang misalnya:
scollosis paralitik.
2. Deformitas tulang belakang dapat menimbulkan kelainan neorologis,
misalnya: spinal stenosis, diastematomella, kyphoscollosis yar berat.
3. Beberapa penyakit dapat menimbulkan keduanya, yaitu deformitas
tulang belakang dengan kelainan syarafmisalnya: Pott paraplegia,
Metastase tumor dengan kompresi fraktur
4. Koreksi deformitas tulang belakang dapat menimbulkan komplikasi
saraf misalnya instrumentalia harington.

Sifat Deformitas
1. Scoliosis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
2. Kyposis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
3. Gibbus: kyposis yang pendek dengan sudut yang tajam.
4. Kelainan setempat yang bervaniasi

Pada koreksi cacat tulang belakang muncul 3 problem:


1. Penyebab deformitas (infeksi, neoplasms, metabolik, dll)
2. Deformitas sediri
3. Akibat deformitas itu sendiri pada organ sekitamya:
a. Defisit neorologis : paraflegia dan tetraplegia.
b. Ganguan fungsi paru-paru pada skollosis
c. Gangguan tr. Urinarius.

Karena itu terapi diarahkan pada:


1. pengobatan terhadap penyabab deformitas.
2. koreksi dan rekonstruksi deformitas (fiksasi yang kuat
3. rehabilitasi

Tujuan koreksi:
Meningkatkan, memperbaiki atau mengembalikan anatominya
semaksimal mungkin dalam batas toleransi jaringan lunak disekitar
tulang belakang, terutama medula spinalis. Koreksi kadang-kadang
tidak perlu harus sampai 100%.
4. Pemeriksaan Penunjang
- Radiologis
- Laboratorium

5. Diagnosis Banding
Fraktur Patologis
DIAGNOSIS LENGKAP
Pemeriksaan fisik pada penderita fraktur selalu dimulai dengan look,
kemudian feel dan terakhir movement. Kesalahan diagnosis jarang terjadi karena
deformitas yang hebat dan jelas pada pertengahan tulang panjang, apalagi terlihat
tulang patah melalui luka yang terbuka.
Pada inspeksi (look) bagfan lesi teriihat asimetri dari bentuk maupun
posture, kebiruan, atau kerusakan kulit akibat trauma maupun edema (swelling)
yang terlokalisir dan berakhir menjadi diffuse.Dilihat pula apakah fraktur jenis
terbuka atau tertutup. Imobilisasi pada fraktur terbuka bisa dengan bidai donat.
Pada palpasi (feel) terasa nyeri tekan (tenderness) yang terlokalisir pada
daerah fraktur, gerakan abnomal, krepitasi, CTR, dan deformitas. Memeriksa
gangguan sensibilitas dan temperatur bagian distal lesi serta nadinya.
Pemeriksaan gerakan (movement) dapat secara pasif dan aktif pada sendi
terdekat dari fraktur perlu dilakukan. Pemeriksaan sendi dilakukan untuk
mengetahui apakah terjadi perluasan fraktur ke sendi tersebut. Batas nyeri atau
Range of Movement (ROM) juga dapat dilakukan. Umumnya suspek fraktur dapat
dibuat hanya dari riwayat dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis hanya sebagai konfirmasi / diagnosis, rencana terapi
dan kritik medicolegal pada tindakan pertama yang dilakukan terhadap penderita
tersebut serta perkiraan prognosis nya. Oleh karena itu pada permintaan X-ray
proyeksi dan daerah yang diminta harus jelas. Kadangkala proyeksi khusus seperti
proyeksi oblik diperlukan atau sisi sehat guna perbandingan terutama pada anak-
anak atau proyeksi stress guna menentukan adanya lesi pada ligamen sebagai
stabilitas sendi. Bahkan pemeriksaan yang lebih canggih seperti MRI, CT-scan dan
lainnya perlu dipikirkan untuk informasi yang rinci terhadap penderita. Ada
beberapa kesalahan seperti: fraktur scaphoid sukar dilihat dengan proyeksi
konvensional / standard maka perlu proyeksi khusus. Fraktur kalkaneus
memerlukan visualisasi tulang kalkaneus dengan proyeksi tangensial dengan
ataupun tanpa proyeksi oblik. Pada pemotretan kolum femur yang kurang terpusat
pada lehernya maka visualisasi fraktur tersebut sukar dilihat. Demikian juga fraktur
avulsi pada tibial spine yang tidak terfokus pada daerah tersebut akan mengalami
kesukaran dalam menilai lesi daerah itu.

Pemeriksaan Darah
Pada fraktur terutama dengan perdarahan yang cukup banyak seperti fraktur
femur, diperlukan adanya pemeriksaan darah.
Pemeriksaan Darah Rutin
1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit
4. Trombosit
5. LED (Laju Endap Darah)
6. Hitung Eritrosit

Pemeriksaan Darah Lengkap


1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit
4. Trombosit
5. LED (Laju Endap Darah)
6. Eritrosit
7. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
8. Hitung Jenis Leukosit
9. Platelet Distribution Width
10. Red Cell Distribution Width
PENANGANAN FRAKTUR NON FARMAKOLOGIS
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera
iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial
kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi
dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure).
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas 6 harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitive.
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen
15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir.
3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 –
4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas
yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka,
penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. pemeriksaan tambahan pada
pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah
tulang dan pemeriksaan radiologi.
Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi
seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.
hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan
dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan
lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. traction
splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang
trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg
splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan
imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan
kaki.
Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari
survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan
ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta
mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien
multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber
pendarahan yang belum dapat ditentukan.
Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis
dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera
lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak
terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil
riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History,
Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan
penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang
dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum
diketahui saat primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari
informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah (1)
kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian
inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal
aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan
tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen.
Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri
tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range
of Motion dan gerakan abnormal. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara
meraba pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada
ujung jari kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika
hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang
dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik
yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya
trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber yang
berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur
dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas.
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga
pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam
pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,
maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia
yang memadai.
PENANGANAN FRAKTUR FARMAKOLOGIS

FARMAKOLOGI PADA PASIEN TRAUMA


1. NSAID
2. Kortikosteroid

NSAID
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi
non steroid (AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti
inflamasi, analgetik dan antipiretik. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat
anti inflamasi non steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi
sebagai anti inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi
dibanding NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam
arakhidonat melalui penghambatan terhadap enzim fosfolipase.

Mekanisme Kerja

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas
penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan,
maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi,
prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan
saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida
sintase (PGHS) atau siklo oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi
yang pertama adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam
arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif
peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2.
PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan tromboksan A2,
yang ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi. COX terdiri atas dua
isoform yaitu COX-1 dan COX-2.
Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin
hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus.
Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh
leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak
ada. Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan asetilasi yang
irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak
terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya
seperti ibuproven atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX
baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam
arakhidonat.

Perbandingan COX-1 dan COX-2


COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin,
dimana saat prostasiklin dilepaskan oleh endotel vaskular, maka berfungsi sebagai
anti trombogenik, dan jika dilepaskan oleh mukosa lambung bersifat sitoprotektif.
COX-1 di trombosit, yang dapat menginduksi produksi tromboksan A2,
menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah terjadinya perdarahan yang
semestinya tidak terjadi. COX-1 berfungsi dalam menginduksi sintesis
prostaglandin yang berperan dalam mengatur aktivitas sel normal. Konsentrasinya
stabil, dan hanya sedikit meningkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon atau
faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2 pada
sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastis setelah terpajan oleh bakteri
lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan. meskipun COX-2 dapat
ditemukan juga di otak dan ginjal. Induksi COX-2 menghasilkan PGF2 yang
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal
terjadinya persalinan.

Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik dan anti inflamasi,
dengan derajat yang berbeda-beda. Misalya parasetamol bersifat anti piretik dan
analgesik tetapi sifat anti inflamasinya sangat rendah.
1. Analgesik
Obat ini hanya efektif terhdap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang seperti
sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga
efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh
lebih lemah daripada efek analgesik opiat, tetapi bedanya NSAID tidak
menimbulkan efek ketagihan dan tidak menimbulkan efek sentral yang merugikan.
2. Antipiretik
Obat ini hanya menurunkan suhu badan hanya pada saaat demam. Tidak semuanya
bersifat sebagai anti piretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau
terlalu lama. Fenilbutazon dan anti reumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan
sebagai antipiretik.
3. Anti inflamasi
NSAID terutama yang baru, lebih banyak dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada
pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid, osteoartritis dan
spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat ini hanya meringankan gejala
nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak
menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal ini.

Efek Samping
Efek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan
saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua
mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang
menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan
kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik
melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak
ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung
dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme
kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.
Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan
biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini
dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang digunakan sebagai
terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah aspirin. Penghambatan
biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, berperan dalam gangguan
homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal.
Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini
bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam
arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan
leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut.
KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar


adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi.
Hormon steroid dibagi menjadi 2 yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat dan fungsi
imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan
cairan dan elektrolit.
Glukortikoid (kortisol) berfungsi terhadap metabolisme karbohidrat, pertukaran
protein, pembagian lemak dan reaksi peradangan. Sekresi kortisol memperlihatkan
ritme circadian (ritme siang –malam) naik di waktu pagi dan sepanjang hari
menurun lagi. Produksi kortisol total sehari kurang lebih 20-30 mg pada kondisi
strees produksi meningkat sampai 100-200 mg.
Mineralokortikoid mempengaruhi metabolisme garam dan air, produksi
hormon ini juga dipengaruhi oleh penggunaan garam. Aldosteron dan prekusornya
juga mempunyai efek seperti glukokortikoid (sekitar 30% dibanding kortisol).
Demikian juga kortisol memiliki efek mineralokotikoid tetapi relatif kecil.

Glukokortikoid :
1. Efek anti radang (anti-inflamasi), misalnya akaibat trauma, alergi, infeksi, juga
berkhasiat merintangi terbentuknya cairan peradangan dan udem setempat,
misalnya selama radiasi sinar-x di daerah kepala.
2. Daya imunosupresif & antialergi, reaksi imun dihambat, migrasi dan aktivitas
limfosit T/B dan makrofag dikurangi.
3. Peningkatan glukoneogenesis, pembentukan glukosa distimulasi, penggunaan
di jaringan perifer dikurangi penyimpanan sebagai glikogen ditingkatkan.
4. Efek katabol, yaitu merintangi pembentukan protein dari asam amino,
sedangkan pengubahannya menjadi glukosa dipercepat. akibat efek katabol
adalah terhambatnya pertumbuhan anak-anak, penyembuhan tukak lambung
dipersulit, tejadi osteoporosis.
5. Pengubahan pembagian lemak, yang terkenal adalah penumpukan lemak
diatas tulang selangka dan muka (sehingga menjadi bundar “moon face”), juga
di perut dan belakang tengkuk.

Mineralokortikoid
Retensi natrium dan air oleh tubuli ginjal, sedangkan kalium ditinggkatkan
ekskresinya.

Efek Samping
1. Sindrom Cushing
Gejala utamanya adalah retensi cairan di jaringan-jaringan yang menyebabkan
naiknya berat badan dengan pesat, muka menjadi bundar (moon face)
adakalanya kaki tangan gemuk bagian atas, selain itu terjadi penumpukan lemak
di bahu dan tengkuk, kulit menjadi tipis dan mudah terluka, timbul garis kebiru-
biruan (akibat pendarahan di bawah kulit).
2. Kelemahan otot (myopathie steroid)
Khusus dari anggota badan dan bahu, lebih sering terjadi pada hidrokortison dari
pada derivat sintesisnya.
3. Osteoporosis (rapuh tulang)
Pengeroposan tulang menyebabkan resiko besar akan fraktur bila terjatuh. Efek
ini terutama pada penggunaan lama prednison diatas 7,5 mg sehari (ekivalen
dengan dosis glukokortikoid lain), seperti pada rema dan asma hebat.
Pencegahan dilakukan dengan vit D3 dan kalsium, masing2 500 UI dan 1000 mg
sehari.
4. Merintangi pertumbuhan pada anak-anak akibat dipercepatnya penutupan
epifysis tulang pipa.
5. Penurunan toleransi glukosa dapat menimbulkan hiperglikemia dengan efek
menjadi diabetes atau memperhebat diabetes, penyebabnya adalah stimulasi
pembentukan glukosa dalam hati.
6. Imunosupresi, yaitu menekan reaksi tangkis tubuh, seperti yang terjadi pada
trasplantasi organ. Jumlah dan aktivitas limfosit-T/B dan makrofak dikurangi,
efeknya adalah daya tangkis tubuh turun sehingga lebih peka terhadap infeksi
kuman patogen.
7. Antimitosis yaitu menghambat pembelahan sel, terutama kortikoida-fluor yang
kuat yang hanya untuk penggunaan dermal.
8. Hipokalemia akibat kehilangan kalium melalui kemih, bisa terjadi kejang,
kelemahan otot, aritmia jantung.
9. Udema dan berat badan meningkat karena retensi garam dan air, juga resiko
hipertensi dan gagal jantung.

Kontraindikasi
Sedian kortikoid lokal tidak boleh digunakan pada gangguan kulit untuk
infeksi kuman, virus, jamur atau parasit, juga tidak pada acne.

Anda mungkin juga menyukai