Oleh :
B 111 12 364
SKRIPSI
Oleh
B 111 12 364
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Atas kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmatnya yang terus
mengalir beserta segala karunia yang dilimpahkan di muka bumi ini. Segala
proses yang penulis jalani adalah berkah yang Insha Allah menuntun penulis
menuju kebaikan. Semoga syarat tugas akhir yang penulis tuangkan dalam
skripsi ini berbuah manfaat. Salawat serta salam semoga terus tercurah kepada
dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Ucapan terima kasih yang setinggi-
tingginya penulis haturkan kepada kedua orang tua Kasman Marina dan Siti
maupun materi. Nasehat-nasehat yang diberikan selama penulis melalui satu per
satu syarat sebagai mahasiswa adalah bentuk kasih sayang yang tiada tara.
Semoga ini selalu menjadi bentuk motivasi agar penulis bisa mempersembahkan
hasil usaha terbaik. Teruntuk kedua adik penulis Muh. Mukmin dan Putri Ikrima
beserta seluruh keluarga penulis, terima kasih atas segala dukungan agar
vi
Dengan segala hormat serta kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih
1. Kedua orang tua Penulis Drs. Kasman Marina dan St. Wahida. Orang
terbaik dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan
2. Kedua adik Penulis Muh. Mukmin dan Putri Ikrima. Keduanya ada
inspirasi dan motivasi bagi Penulis, tidak hanya sebagai saudara tapi juga
3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. Selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
5. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H selaku Wakil Dekan III Fakultas
vii
6. Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Dara
7. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.H, Bapak H.M. Imran Arief, S.H., M.S, Ibu Dr.
Hasanuddin.
10. Bapak M. Zulfan Hakim, S.H., M.H selaku Penasehat Akademik yang
11. Ibu Widyastuti S.Psi., M.Psi, Psi. dan Ibu Kasmaniah, S.Pd yang
viii
13. Staff Administrasi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
15. Ketua Adat beserta Pemangku Adat Masyarakat Adat Kajang Kabupaten
16. Mahasiswa Pemerhati Alam dan Seni Budaya Kajang (Mapaska), Kak
Rizal, Suratman, Ibnu, Kak Ical yang telah memfasilitasi penulis dan
18. UKM Seni UNM yang telah menjadi rumah kedua dan untuk teman-teman
ix
19. Lembaga Pers Mahasiswa F.Psi yang memberikan kesempatan bagi
21. AIESEC UNHAS yang telah memberikan kesempatan luar biasa untuk
22. Keluarga 1000 guru Sulteng yang telah memberikan kesempatan bagi
dan Ibu Birkha yang telah memberikan dukungan dan semangat untuk
Penulis.
25. Keluarga besar MGH, Ira Magfirah, Widyastuti, Nurhikmah, Megiarti Ruga,
Talaud.
27. Teman-teman dekers Anti, Fitri, Oka, Siti, Mita, Lina, Ikhlas, Arif, Budi,
Jus, Kandi, Asrul, Awal. Terima kasih untuk semua cerita serunya.
x
28. Beserta seluruh pihak yang tidak tersebutkan namanya satu per satu,
Skripsi ini bukan suatu karya yang sempurna, Penulis adalah manusia
biasa yang menyadari bahwa skripsi ini tentu tidak lepas dari kekurangan.
dan saran yang membangun. Besar harapan penulis skripsi dapat bermanfaat
dalam ilmu pengetahuan secara luas dan lebih spesifik untuk ilmu hukum.
Penulis,
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
ABSTRAK.. ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… 7
xii
2. Lahirnya Hukum Adat............................................................ 12
5. Sanksi Adat………………………………………………........... 30
C. Silariang...................................................................................... 44
Bulukumba .............................................................................. 54
xiii
Keseimbangan Kosmis di Masyarakat Hukum Adat
A. Kesimpulan.................................................................................. 77
B. Saran………………………………………………………………… 78
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
sebagai bentuk dari kehidupan sosial. Perilaku tersebut ditiru oleh orang
berasal dari masyarakat sehingga disebut sebagai hukum yang lahir dari
bawah atau bottom up. Hukum adat atau hukum tidak tertulis merupakan
landasan dalam menentukan perilaku yang baik dan buruk. Hukum adat
memiliki sanksi tertentu apabila ada perilaku yang menyimpang atau tidak
1
dari hukum adat bervariasi dari masyarakat adat yang satu dengan yang
lain.
adat-istiadat, suku, dan ras. Setiap adat yang ada di Indonesia memiliki
dengan laki-laki dari adat yang lain merupakan bagian dari persekutuan
1
Suriyaman Mustari Pide, 2009, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Nanti, Jakarta: Pelita Pustaka, Hal. 5.
2
Aturan tertulis yang menjadi dasar dalam menentukan perilaku yang
perhatian apabila dihadapkan pada hukum adat. Salah satu kasus yang
dengan kasus tersebut maka hakim harus mempelajari adat yang berlaku
Nomor 4 tahun 2004 Pasal 28. Tak hanya di Maluku Tengah, suku Dayak
hukum adat yang ada di Sulawesi Selatan adalah hukum adat Kajang di
khas masyarakat adat Kajang terletak pada pakaian berwarna hitam yang
dalam, aturan tersebut juga berlaku bagi siapapun yang ingin masuk ke
wilayah adat.
Ketua adat disebut dengan Ammatoa yaitu orang yang bersih hatinya dan
dipilih dengan ritual tertentu. Salah satu bagian yang terus dipertahankan
dengan cara menjaga hutan. Hal tersebut juga diatur dalam hukum adat,
orang tersebut harus menanam dua bibit kemudian merawat dengan baik
2
Ibid Hal. 29.
4
satu pohon. Hutan di kawasan adat terdiri atas dua yaitu hutan yang dapat
dipergunakan untuk acara ritual adat. Setiap aturan tersebut juga memiliki
yang dilakukan tanpa restu kedua orang tua dan tidak memenuhi unsur-
Silariang merupakan salah satu delik adat yang ada di kawasan adat
berakibat pada rasa malu bukan hanya pada orang yang bersangkutan
maka terdapat sanksi adat yang diberlakukan baik itu sanksi yang ringan
sanksi atas perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan adat misalnya
5
dengan cara membuat pelaku sakit secara fisik. Sanksi adat di kawasan
adat Kajang terdiri atas sanksi ringgan hingga sanksi yang berat. Namun,
berupa ritual. Ritual dilaksanakan oleh ketua adat dan pemangku adat
Apabila melalui ritual tersebut tidak ditemukan pelaku yang bisa saja
tersebut tidak hanya berlaku bagi pelaku tetapi juga orang yang
dibuang dari keluarga, dan sebagainya. Delik adat yang dibahas dalam
6
untuk delik adat yaitu silariang dan hal-hal yang menjadi dasar dalam
penerapan sanksi adat menjadi fokus dalam penelitian ini. Oleh karena itu,
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
7
D. Manfaat Penelitian
hal serupa.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Kebiasaan tersebut ditiru dan
tertulis akan tetapi dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. Hukum adat
pengertian hukum adat yang dikemukakan oleh ahli dan peneliti terkait
Bushar Muhammad
Hukum adat adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku
manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang
benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi
atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan
para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan
3
Bushar Muhammad, 2006, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Hlm. 19.
9
berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang
terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala
adat, hakim.
adat yang disertai dengan sanksi. Apabila ada adat yang tidak memiliki
sanksi maka hal tersebut berupa bentuk aturan perilaku dan secara terus
yang normatif. Oleh karena itu, perbedaan antara hukum adat dengan
adat kebiasaan itu sendiri tidak jelas titik batasannya. Hilman hadikusuma
4
Suriyaman Mustari Pide, Op.Cit., Hlm. 4 - 8.
5
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung : Mandaar Maju.
Hlm. 9
10
hukum pelanggaran adat. Hukum pidana adat merupakan aturan-aturan
didalamnya.
perwujudan tingkah laku yang tidak hanya dibuat dan diikuti namun
juga ditaati.
sebagai living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat
hal antropologi dan sosiologi. Hukum adat juga dapat dikatakan sebagai
6
I Made Widnyana. 2013. Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta:
Fikahati Aneska. Hlm. 111-112.
11
hukum yang tidak tertulis karena timbul atau lahir dari kebiasaan-
adalah sebagaimana yang tertera di atas daun atau kulit dan berbagai
bahan lainnya.
Pengertian hukum adat yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat
adalah hasil terjemahan dari kata adat recht. Suriyaman Mustari Pide
hidup di masyarakat.
manusia yang kemudian dicontoh oleh orang lain dan lambat laun juga
7
Ibid,. Hlm. 3.
12
adat secara ilmiah adalah Cornelis Van Vollenhoven yang merupakan
memiliki alur yang dimulai dari adanya pikiran kemudian kehendak dan
wilayah yang didominasi oleh hukum adat tidak mudah ditaklukkan baik
Ternate pada tahun 1923, Toraja 1910, dan Bali 1910. Hal tersebut
Palembang.10
pada waktu itu tidak mudah untuk ditaklukkan karena berkaitan dengan
agama misalnya agama dan Pura di Bali serta Syariat dan Kitab Allah di
Sumatera Barat.11
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat,
ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian:
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang
tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah,
yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan terhukum; bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu
menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan ancaman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun
11
Ibid., Hlm. 16
14
penjara dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut
paham hukum tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti
diganti seperti tersebut di atas; dan bahwa suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan
yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
utamanya adalah hukuman adat atau sanksi adat. Adapun kata-kata yang
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…” dan
tiga bulan dan/atau denda Rp. 500,00 (lima ratus rupiah) adalah pidana
15
menjatuhkan hukuman pengganti yaitu hukuman penjara tidak lebih
16
Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat Pasal tertentu dari perbuatan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
mengikat pihak-pihak.
12
Bambang Sutiyoso. 2008. Penafsiran Hukum Penegak Hukum. (online). (https://masyos.
wordpress.com/category/hukum/ diakses tanggal 6 Juni 2016)
17
Bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
ditempuh. Oleh karena itu, selain adanya alasan serta dasar putusan dan
juga bersumber dari hukum tidak tertulis sehingga hakim perlu menggali
dan mengetahui sumber hukum tidak tertulis yang ada dalam masyarakat
pidana adat adalah hasil penelitian pada tahun 2013 tentang Eksistensi
tiga poin utama yang lahir dari hukum pidana adat sejalan dan
nilai, serta moralitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa meski dalam proses
18
umum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak sejalan
(3) huruf sub (b) atas dasar konsekuensi dari asas legalitas materiil
Oleh Karena itu, saran yang lahir dari kesimpulan penelitian tersebut
Pengadilan-Pengadilan Sipil dalam Pasal 5 ayat (3) huruf sub (b), adapun
4. Delik Adat
suatu peristiwa atau suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
14
Hilman Hadikususma. OpCit. Hlm. 231
19
maka perlu diadakan pemulihan. Pemulihan itu sendiri sifatnya dapat
pemulihan tersebut dapat berupa manusia dan dapat pula berupa hal
gaib. Bentuk pemulihan yang dimaksud adalah dengan cara hukuman dan
terjadi masalah seperti panen yang selalu gagal atau timbul kericuhan dan
dari segala bentuk masalah yang sedang dialami dalam artian menjadikan
atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang tertentu maka orang tersebut
yang seimbang.
diangkat adalah delik adat yang terjadi di Aceh, apabila ada orang yang
mengambil buah dari tanaman tanpa izin terlebih dahulu atau mengambil
15
Ibid
20
buah dari pohon yang tidak terpelihara maka pelaku diberi sanksi berupa
melakukan aduan kepada kepala adat. Salah satu contoh yang dapat
diangkat adalah delik adat yang ada di Sumatera Selatan yang dinamakan
segala bentuk reaksi yang terjadi akibat adanya suatu perbuatan yang
kemudian disebut sebagai delik adat memiliki tujuan tertentu yaitu untuk
delik adat sendiri terjadi tidak hanya dibebankan kepada pelaku melainkan
16
Ibid
17
Ibid
21
juga kepada keluarga, kerabat, bahkan kepala adat apabila delik yang
Magis religius sendiri berarti hukum adat tersebut tidak lepas dari
alam.
18
Ibid.
22
pemisah, semuanya adalah satu kesatuan. Bentuk penyelesaian
c. Tidak Prae-Existante
sine praevia lege poenali” yang artinya tidak ada suatu delik
Reaksi atau akibat dari delik adat yang terjadi merupakan hal
23
Hilman Hadikusuma menjelaskan berbagai jenis delik adat sebagai
berikut19:
a. Mengganggu keamanan
penganiayaan.
b. Mengganggu ketertiban
2) Terkait etika
hutan.
19
Hilman Hadikususma. Ibid. Hlm. 238.
24
Berdasarkan pendapat Van Vollenhoven Jilid II sebagaimana yang
yaitu20:
1) Melakukan penghinaan
karena kepala suku merupakan bagian utama atau ketua dari suatu
3) Melakukan pembakaran
20
Ibid. Hlm. 210
25
perbuatan itu lahir sebuah ketidakseimbangan bagi masyarakat
5) Perbuatan incest
boleh terjadi.
tergolong dekat.
berbeda kasta.
26
perempuan tersebut apabila tidak dipenuhi maka laki-laki tersebut
3) Perbuatan zinah
27
d. Delik adat yang menurut suku lain sebagai hal yang biasa
yang biasa terjadi namun menurut suku lain salah satu contohnya
dengan harta benda milik orang lain. Biasanya dalam suatu hukum
21
Ibid. Hlm. 242
28
pihak. Apabila cara tersebut masih tidak efektif maka diselesaikan
tersebut.
d. Penyelesaian keorganisasian
karena itu apabila terjadi sesuatu hal misalnya delik adat kemudian
29
5. Sanksi Adat
sanctum yaitu bahasa latin yang berarti penegasan yang juga disebut
yang positif yaitu hadiah dan juga dapat bersifat negative seperti
kaidah hukum dan atas dasar tersebut maka ini dapat menjadi bukti
sebagai kategori hukum yang modern. Hal tersebut juga seperti dengan
22
I Made Suartha. 2015. Hukum dan Sanksi Adat. Malang: Setara Press, Hlm. 20
23
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco Bandung. Hlm. 19
30
Dara Indrawati menjelaskan bahwa24 terdapat dua jenis pemberlakuan
sanksi yakni sanksi yang diberlakukan untuk pelaku sebagai orang yang
keluarganya.
sanksi tersebut.
31
Selain keenam hal tersebut, secara keseluruhan sanksi adat
dikelompokkan atas dua bagian. Pertama adalah sanksi adat yang tidak
adat, yaitu26 :
masyarakat setempat.
26
Soepomo.2003. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta. Hal. 94
32
B. Hukum Adat Kajang
Kecamatan Kajang sendiri terdiri atas dua wilayah yaitu kajang luar dan
merupakan warisan dari leluhur sehingga harus dijaga dengan baik, hal
hutan.
rumah panggung suku lain di Sulawesi Selatan seperti suku Bugis. Setiap
27
Juma Darmapoetra. 2014. Kajang Pecinta Kebersamaan dan Pelestari Alam. Hlm 4.
33
Juma Darmapoetra menjelaskan bahwa28 masyarakat adat Kajang
adat yang memiliki sawah atau ladang sehingga sebagian lainnya bekerja
dinamai “Tope Le’leng”. Kain tersebut ada yang digunakan namun ada
karena itu, setiap orang yang masuk ke kawasan adat Kajang juga harus
dalam.
28
Ibid. Hlm. 39
29
Ibid. Hlm. 2
30
Ibid. Hlm. 5
34
masyarakat adat Kajang adalah Patuntung. Patuntung merupakan sebuah
Kajang. Apabila ada yang melanggar pasang maka akan mendapat akibat
satu pasang dari masyarakat adat Kajang adalah Punna suruki bebbeki,
punna nilingkai pesokki yang artinya kalau kita jongkok, gugur rambut, dan
tersebut tidak boleh masuk ke kawasan adat Kajang. Salah satu bentuk
31
Ibid. Hlm. 6
32
Ibid. Hlm. 10
35
kesenangan duniawi yang ditolak oleh masyarakat adat adalah program
Ammentengko nu kamase-mase.
A’cci’dongko nu kamase-mase.
A’dakkako nu kamase-mase.
A’maeko nu kamase-mase
Artinya
33
Ibid. Hlm. 48.
36
Juma Darmapoetra menjelaskan bahwa34 di kawasan adat Kajang
Apabila ada yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi adat berupa
kaum laki-laki harus bekerja baik di ladang maupun di sawah, selain itu
kaum laki-laki juga harus tahu peralatan serta keahlian dalam mengolah
kayu.
adat Kajang tidak mengenyam pendidikan formal, oleh karena itu bahasa
34
Ibid. Hlm. 40.
35
Ibid. Hlm. 41.
36
Ibid. Hlm. 34.
37
lembaga dengan berpegang teguh pada adat dan kepercayaan. Struktur
tersebut terdiri dari pemimpin tertinggi kawasan adat yaitu Ammatoa yang
Artinya :
sanksi sesuai dengan aturan yang dilanggar. Sanksi tersebut mulai dari
37
Ibid. Hlm. 50.
38
Ibid. Hlm. 63.
39
Ibid. Hlm. 63.
38
a. Cappa ba’bala atau pelanggaran ringan
dilakukan.
delapan real atau delapan ratus ribu rupiah. Selain denda, pelaku
39
Sanksi untuk pelanggaran berat ini diberlakukan bagi semua
Selain ketiga sanksi di atas, terdapat sanksi yang lebih berat yaitu
panrolik.
pelanggaran.
40
Ibid. Hlm. 65.
41
Ibid. Hlm. 65
40
Juma Darmapoetra menjelaskan bahwa42 apabila dengan Attunu
pada ritual tersebut maka akan diadakan ritual yang sanksinya lebih berat
karena dalam waktu tertentu pelaku tidak menyerahkan diri. Arti kata dari
adalah kutukan bukan hanya bagi pelaku akan tetapi juga kepada
hutan keramat atau borong karamaka. Ammatoa dan para pemangku adat
tersebut berupa kematian yang akan diterima oleh pelaku dan orang yang
mengetahui pelakunya.
42
Ibid. Hlm. 66
43
Yusuf Akib. 2003. Potret Manusia Kajang. Makassar: Pustaka Refeleksi, hal. 1-2.
41
memercayai bahwa siapapun yang melanggar pantangan tersebut akan
empat hal yaitu lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sa’bara (sabar), dan
apisona (pasrah).
dengan tujuan keduniaan dibatasi. Aplikasi dari prinsip ini tidak berarti
bahwa mereka menutup diri, mereka hanya membatasi dan selektif dalam
dalam dan diusir dari wilayah tersebur. Sanksi berat adalah tidak
44
Ibid. Hlm. 3
42
pertama yaitu kalumannyang kalupepeang. Berikut adalah skema yang
PASANG
KALUMANNYA KALUPEPEANG
RI ALLO RIBOKONA TURIE’ A’RA’NA
2. Unsur jasmani dan rohani harus diarahkan ke hal-hal yang baik dan
45
Ibid. Hlm. 6
43
3. Berorientasi pada kehidupan duniawi akan mendatangkan akibat
yang buruk.
C. Silariang
teguh adat istiadat serta menegakkan hukum adat yang berlaku di daerah
tersebut. Terdapat berbagai delik adat yang hingga kini masih terus terjadi
seperti silariang. Sanksi atas delik adat tersebut juga dijunjung tinggi oleh
masyarakat adat tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain.
Silariang sering juga disebut dengan kawin lari. Kasus silariang tidak
adalah sanksi yang diberikan dari tiap-tiap daerah adat berbeda antara
satu dengan yang lain. Terdapat bentuk sanksi yang tergolong ringan
tetapi juga ada sanksi yang tergolong berat. Silariang biasanya terjadi
karena orang tua dari salah satu dari pihak baik laki-laki maupun
yang dilakukan oleh keluarga dari pihak perempuan yang merasa sebagai
pihak yang dirugikan dan dibuat malu oleh laki-laki yang membawa anak
perempuannya. Akan tetapi itu berlaku pada suku bugis Makassar. Adat
kajang sendiri memiliki tata cata pelaksanaan sanksi adat yang berbeda.
44
Motif dari silariang beragam mulai dari menjodohkan anak dengan
pilihan orang tua hingga sampai kepada strata sosial. Dalam berbagai
salah dan akan mendapat sanksi akan tetapi pilihan silariang ini juga
definisi mengenai silariang yang dikemukakan oleh para ahli yaitu :46
T. H Chabot
Perkawinan silariang adalah apabila perempuan dengan laki-laki
sepakat lari bersama-sama.
Bertlin
Silariang adalah apabila perempuan dengan laki-laki lari atas
kehendak kedua belah pihak.
Moch Nasir
Silariang adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah laki-laki
dengan perempuan lari bersama-sama atas kehendak sendiri-sendiri.
pihak laki-laki dan perempuan seperti adanya rasa malu. Oleh karena itu
kawasan adat tergantung dari kasus silariang yang terjadi. Berikut adalah
46
Azwan. 2013. Silariang. http://www.gurusejarah.com/2013/05/silariang-pada-suku-
makassar.html
47
Sution Usman Adji. 2002. Kawin Lari dan Kawin Antar Agama. Liberty, Yogyakarta, hlm. 105
45
1. Tidak ada keinginan untuk melamar.
2. Lamaran ditolak
3. Perkawinan tidak setujui oleh salah satu atau kedua orang tua
kajang hal ini merupakan suatu pelanggaran delik adat. Kasus silariang di
daerah ini terjadi dengan beragam motif dan jenis kasus. Terdapat jenis
perempuan atau sebaliknya dan ada juga jenis silariang yang dikehendaki
oleh kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya
bahwa yang dimaksud dengan membawa lari seorang wanita adalah yang
belum dewasa atau di bawah umur. Oleh karena itu, apabila wanita dan
tindak pidana. akan tetapi, secara adat kedua pelaku pelanggaran delik
pemangku adat.
merupakan salah satu solusi yang dipilih oleh pihak yang melanggar
1.a seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel)
padahal diketahui bahwa pasal 27 BM berlaku baginya;
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak,
padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
284 KUHP. Zina hanya menjadi salah satu alasan orang melakukan
nama baik dan adanya hal-hal buruk yang ditimbulkan akibat dari
47
perbuatan tersebut. Di kawasan adat kajang sendiri kasus silariang
susunan dari tata cara perkawinan berdasarkan aturan adat yang telah
ditetapkan.
diakumulasikan sejak dahulu hingga saat ini. Oleh karena itu, selain
untuk mengetahui dasar dari penerapan sanksi atas delik adat tersebut
dan bagaimana tata cara penerapan yang dilakukan oleh pemangku adat
48
BAB III
METODE PENELITIAN
relevan dan sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelitian. Hal
rangkaian.
diangkat dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan setiap pagi hari dalam
pemangku adat.
49
tersebut merupakan perolehan data secara langsung dari pihak-
pihak terkait.
disusun.
Kajang.
data wawancara dan data observasi. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik
50
dalam menanalisis data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, Penulis
51
BAB IV
Bulukumba
Galla Puto’ Bolong dan kepala desa yang bernama Abdul Salam
52
merupakan delik adat yang jarang terjadi di Kajang bahkan dalam satu
cara melaporkan kepada kepala desa yaitu Abdul Salam bahwa warga
53
anaknya. Perempuan yang melakukan silariang hanya boleh kembali
kawasan.
Kabupaten Bulukumba
54
d. Budak (Ata’)
rumah, melainkan dilihat dari garis keturunan yang oleh masyarakat adat
keluarga dari pihak perempuan dan yang kedua adalah perempuan itu
sendiri. Apabila salah satu tidak setuju maka pernikahan tidak boleh
Silariang terjadi karena adanya perasaan suka sama suka yang disebut
55
sebagai abbajong. Hal tersebut tidak diungkapkan sebagaimana pemuda
bahine dan kakek/bohe buru’ne dari pihak ibu dan ayah beserta
saudara perempuan dan laki-laki dari pihak ibu dan ayah yang
56
2) Penetapan (duta resmi) yaitu penentuan diterima tidaknya
disebabkan oleh :
57
prosesinya selesai. Apabila laki-laki memiliki kemampuan
hendak melamar.
58
3. Proses penyelesaian Delik Adat Silariang
tidak ditemukan titik temu atau solusi dan pihak perempuan melapor
a. Dipassala (sidang)
59
sebagai jaminan yang akan dikembalikan apabila anak perempuan
4. Sanksi Adat
Kajang yang melakukan silariang yaitu sanksi ringan dan sanksi berat.
Sanksi adat itu sendiri tidak dilaksanakan apabila keluarga dari pihak yang
melakukan silariang
60
c. Sanksi berat
1) Appasala
adat.
2) Sippantunrai
3) Pattunuan Passau
61
a) Menghadirkan kedua belah pihak yaitu perwakilan dari
jalan.
62
tersebut menjadi syarat untuk menghindari efek
keturunan yang gila. Sanksi berat seperti ini juga diterapkan oleh
63
anak mereka dan melihat cucunya maka untuk menghapuskan
c) Air.
termasuk jeda.
minimalnya adalah tiga hari. apabila pihak keluarga dalam hal ini
64
sanksi berat maka biasanya langsung mengucap kutukan atau
pada Tuhan.
dirugikan.
65
Dahulu pelaksanaan sanksi bagi perempuan yang melakukan
satu sanksi yang secara turun temurun tidak akan pernah hilang
66
selama dua kali tujuh turunan yang diistilahkan dengan
“sippanruapitu” .
akibatnya.
67
5. Syarat untuk diadakan pemulihan bersama atau keseimbangan
kepala dusun atau kepala desa bukan pemangku adat. Pasangan yang
Akan tetapi, bila keluarga dari pihak perempuan tidak lagi menerima
keinginan tersebut maka abbaji tidak bisa diminta lagi untuk kedua
kalinya.
68
c. Siri’ (Termasuk delik adat ringan)
dan ayah beserta saudara perempuan dan laki-laki dari pihak ibu dan
ayah. Pelaku yang telah kembali dinikahkan kembali secara adat tanpa
69
6. Kronologis dua kasus silariang yang terjadi di kawasan adat kajang
Keluarga T dalam hal ini adalah spupu satu kali yang memediasi
denda sebesar 7,5 juta rupiah, 1 ekor kuda, dan kerbau sesuai
71
mencari uang, mereka menyanggupi syarat tersebut dan kembali
baik dalam adat maupun desa tetap berlaku sampai dua kali tujuh
masyarakat adat Kajang sudah ada sejak dahulu yang kemudian diikuti
pemangku adat terdahulu yang dari tahun ke tahun tidak pernah berubah
berubah hanya pada nilai uangnya karena mengikuti perubahan nilai mata
uang. Terkait dengan jenis dan penerapannya tidak pernah ada yang
berubah.
73
dilakukan oleh salah satu atau beberapa masyarakat adat mengganggu
masyarakat yang lain. Selain itu sanksi tersebut sebagai efek jera.
harkat dan martabat, serta harga diri. Atas dasar tersebut maka pemangku
pammarenta”.
dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil dalam Pasal 5 ayat (3) huruf sub
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat,
ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian:
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang
74
tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah,
yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan terhukum; bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu
menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan ancaman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun
penjara dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut
paham hukum tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti
diganti seperti tersebut di atas; dan bahwa suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan
yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
utamanya adalah hukuman adat atau sanksi adat. Adapun kata-kata yang
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…” dan
tiga bulan dan/atau denda Rp. 500,00 (lima ratus rupiah) adalah pidana
75
4) Tindak pidana yang dilakukan bertentangan dengan hukum yang
Disamping itu juga didasarkan dari hukum adat pidana yang berlaku di
tertuang pada penjelasan di atas mengenai sanksi adat yang berlaku dari
generasi ke generasi.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Silariang adalah adanya rasa suka sama suka antara laki-laki dan
77
Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil
Bulukumba.
B. Saran
sebagai berikut:
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bagir Manan, 2004. Hukum Positif Indonesia: Suatu Kajian Teoritik, FH.
UUI Press, Cet. Pertama, Jakarta.
I Made Suartha. 2015. Hukum dan Sanksi Adat. Malang: Setara Press
I Made Widnyana. 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco
Bandung.
Suriyaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang.
Jakarta: Pelita Pustaka.
Sution Usman Adji. 2002. Kawin Lari dan Kawin Antar Agama.
Yogyakarta : Liberty
xv
Perundang-Undangan
Internet
xv