Anda di halaman 1dari 20

PORTOFOLIO

Kasus 1

Topik: PPOK
Tanggal (kasus): Presentetator:
24 Juli 2018 dr. Gabriella Hanum Anindya
Tangal presentasi: Narasumber:
24 Agustus 2018 dr. Bambang Sutopo, Sp.PD
Pembimbing:
dr. Hj. Neneng Tresna Imawati
Tempat presentasi: Ruang diskusi RS. TK.IV Dr. Bratanata Jambi
Obyektif presentasi:
√Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
√Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja √ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Deskripsi:
Tn. S 55 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit
Tujuan:
 Mengetahui dan memahami patofisiologi ppok
 Mengetahui dan memahami klasifikasi ppok
 Mengetahui dan memahami diagnosis ppok
 Mengetahui dan memahami penatalaksanaan ppok
Bahan bahasan: □ Tinjauan □ Riset √ Kasus □ Audit
pustaka
Cara membahas: □Diskusi √Presentasi dan □ E‐mail □ Pos
diskusi
Data pasien: Nama: Tn. S No registrasi: 31 85 00 XX

1
Nama RS: RS TK.IV Dr. Bratanata Usia: 55 Tahun Terdaftar sejak: 2018
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang telah diderita sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, sesak nafas dirasa memberat terutama setelah beraktivitas, akan sedikit
berkurang bila pasien beristirahat.Sesak nafas diikuti dengan keluhan batuk dengan dahak
yang sulit dikeluarkan, dan jika keluar dahak berwarna kuning, nyeri dada (+) saat batuk.
BAK dan BAB tidak ada kelainan. Pasien merupakan perokok aktif ± 45 tahun dan baru
berhenti selama ± 1 bulan ini.
2. Riwayat Pengobatan: (-)
3. Riwayat kesehatan/ Penyakit: sebelumnya pasien tidak pernah menderita penyakit yang
sama
4. Riwayat keluarga/ masyarakat:
- Riwayat keluarga mengalami hal yang sama disangkal.
Daftar Pustaka:
- Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta.
- Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru
FK Unair. Surabaya.
- Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Departement of
Physical Medicine and Rehabilitation. Texas
- Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary Medicine,
Department of Internal Medicine, University of Manitoba.
Hasil pembelajaran:
1. Patofisiologi ppok
2. Klasifikasi ppok
3. Diagnosis ppok
4. Penatalaksanaan ppok

2
Subyektif
Penderita datang dengan keluhan sesak nafas yang telah diderita sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasa memberat terutama setelah
beraktivitas, akan sedikit berkurang bila pasien beristirahat. dan pasien sering
terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien tidur lebih nyaman dengan 3 bantal.
Sesak nafas diikuti dengan keluhan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, dan
jika keluar dahak berwarna kuning, , nyeri dada (+) saat batuk. BAK dan BAB tidak
ada kelainan. Pasien merupakan perokok aktif ± 45 tahun dan baru berhenti selama ±
1 bulan ini.
Dalam 1 bulan ini, sesak dirasakan oleh pasien sudah 3x kumat. Namun,
sekarang sesak nafas penderita mulai berkurang, penderita sudah bisa bicara
perkalimat, tidak seperti pada awal masuk, yang terengah-engah ketika berbicara.
Batuk juga sudah berkurang.

Obyektif
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran :compos mentis GCS : E4 M6 V5
Tanda vital
TD :120/80 mmhg
Nadi : 75x/menit
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,20C (aksila)
Berat badan : 74 kg
Tinggi Badan : 170 cm

3
Kepala : normocephal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor, reflek cahaya langsung (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-),
Bibir : Sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran KGB,
peningkatan vena jugularis (-).
Thoraks
Paru
- Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : Fremitus raba seimbang (D=S), pelebaran ICS (-/-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (+/+)

Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan PSL dextra pd ICS III
- Batas jantung kiri MCL sinistra pd ICS V
- Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
- Inspeksi : cembung, kulit normal, scar (-)
- Palpasi : Turgor normal, massa (-), organomegali (-)
- Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.

Ektremitas :oedem manus (-/-), oedem inferior (-/-), akral dingin (-/-)

4
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (29 Juli 2017)
Pemeriksaaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,7 13-18 g/dL
Hematokrit 41,8 40-48 %
Leukosit 9,3 4-10 ribu/ul
Trombosit 253 150-450 ribu/ul
Eritrosit 4.52 4.5-5.5 juta/ul
MCV 86,4 80-100 Fl
MCH 28.3 26.0-34.0 Pg
MCHC 32.8 32.0-36.0 g/dl
RDW-CV 12.7 11-16 %
MPV 7.3 7.2-11.1 fL
PCT 0.2 %
DIFFERENTIAL
Basofil 1 0-1 %
Eosinofil 9 0.5-5 %
Limfosit 23 20-40 %
Monosit 5 2-8 %
Netrofil 62 50-70 %
LAIN-LAIN
Laju Endap daah 10 < 10 Mm/jam

b. Hasil Rontgen

5
Diagnosa Kerja

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK)

Terapi
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
- Nebulizer ( pada saat di IGD )
- Ambroxol syr 3x1 C
- IVFD RL 20 gtt/menit

Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad bonam
Ad sanationam : Ad bonam

6
“Assessment”
Definisi

Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic


Obstructive Lung Diseases (GOLD) tahun 2001 dan di up-date tahun 2005, Chronic
Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran
pernapasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya
bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya.

Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkhitis kronis dan
emfisema.
a. Emfisema adalah suatu definisi anatomis, yaitu pelebaran kantung udara kecil
(alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam
keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil
(bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap
terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli
kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan,
bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap.
b. Bronkitis kronis adalah suatu definisi klinis, yaitu batuk menahun yang
menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak yang terjadi pada hampir setiap
hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut dan bukan
merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui (misalnya kanker paru-
paru). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan
lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan
ini bersifat sementara.

7
Bronkitis kronis dapat dibagi menjadi :

 Simple chronic bronchitis; bila sputumnya mukoid


 Chronic atau Recurrent mucopurulent bronchitis; bila dahaknya mukopurulen
 Chronic obstructive bronchitis; jika disertai obstruksi saluran napas yang menetap

Epidemiologi

 16,2 juta orang Amerika (bronchitis kronik dan emfisema atau keduanya, dengan
112.584 kematian tahun 1998)
 Insiden COPD meningkat 459% sejak tahun 1950 dan sekarang merupakan
penyebab kematian terbanyak keempat.
 COPD menyerang pria 2x lebih banyak daripada wanita diperkirakan karena pria
merupakan perokok berat.

Etiologi

a. kebiasan merokok
b. polusi udara terutama cadmium, salica dan sebu
c. faktor gentik  defisiensi alpha 1 antitripsin (suatu serum aprotein yang
diproduksi oleh hati dan pada keadaan normal terdapat di paru-paru yang berguna
untuk mengahambat kerja enzym neutrofil elastase)
d. riwayat infeksi salauran nafas  penurunan fungsi paru dan mempermudah
ganggaun nafas saat dewasa
e. usia
f. jenis kelamin, pda pria lebih banyak daripada wanita hal ini dipengaruhi oleh
peran rokok, serta pada wanita estrogen yang ada kan menstimulasi sintesis AA1
g. hipersponsif jalan nafas

8
h. status sosial ekonomi
i. ras
j. makanan, : konsumsi alkohol dan asam linolear akan meningkatkan resiko copd
k. alergi dan Ig E

Patofisiologi
Tiga faktor utama yang berpengaruh dalam patogenesis PPOK

1. Peradangan Paru
PPOK ditandai dengan adanya peningkatan jumlah netrofil, makrofag, dan T limfosit
(khususnya CD8+) di paru. Bisa juga terjadi peningkatan eosinofil pada beberapa
pasien terutama saat eksaserbasi. Peningkatan jumlah sel tersebut melalui
peningkatan rekruitmen sel peradangan, survival, dan atau aktivasi. Beberapa
penelitian mendapatkan adanya hubungan antara jumlah sel inflamasi di paru dan
berbagai derajat beratnya PPOK.

Peningkatan jumlah neutrofil ditemui dalam sputum dan cairan bilasan bronkus pada
pasien PPOK, walaupun peranan neutrofil dalam PPOK belum jelas. Neutrofil juga
bertambah pada perokok tanpa PPOK. Pada keadaan eksaserbasi akut ditemukan
adanya peningkatan neutrofil pada cairan bilasan bronkus. PPOK dan aktivasi sel ini
menghasilkan protease dan oksigen radikal bebas yang merupakan hal penting dalam
patogenesis PPOK. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara IL-8,
jumlah neutrofil dan derajat disfungsi paru.

Peningkatan jumlah makofag dalam saluran napas kecil dan besar serta parenkim
paru pada pasien PPOK, dapat dilihat secara histopatologi dari cairan bilasan
bronkus, biopsi bronkus, dan sputum. Pada pasien dengan emfisema, makrofag
terlokalisir pada dinding alveolar yang rusak. Makrofag berperan pada inflamasi
PPOK melalui pelepasan mediator seperti TNF-α, IL-8, dan leukotrien B4 (LTB4),
yang memicu peningkatan netrofil. Histopatologi dari peningkatan bronkus pada

9
pasien PPOK memperlihatkan peningkatan T limfosit, terutama CD8+. Peranannya
dalam peradangan PPOK belum seluruhnya dimengerti. Juga dilaporkan adanya
peningkatan jumlah limfosit seperti natural killer cells pada pasien dengan PPOK
berat.

Keberadaan dan peranan eosinofil pada PPOK masih belum pasti. Beberapa
penelitian biopsi bronkus memperlihatkan eosinofil bertambah dalam saluran napas
pada pasien dengan PPOK irreversibel. Penelitian lain melaporkan tidak ada
penambahan eosinofil pada pasien PPOK.

Sel peradangan aktif pada PPOK menghasilkan berbagai mediator; termasuk


proteinase, oksidan dan pepsida toksik. Beberapa mediator yang penting
keberadaannya dalam PPOK, antara lain LTB4, IL-8 dan TNF-α, yang mampu
merusak struktur paru dan atau membantu peradangan.

2. Ketidakseimbangan Proteinase- antiproteinase


Berdasarkan beberapa observasi, terlihat jelas bahwa ketidakseimbangan proteinase
dan anti-proteinase dapat memicu pertambahan produksi atau aktivasi proteinase,
atau inaktivasi atau pengurangan produksi antiproteinase. Seringkali
ketidakseimbangan tersebut merupakan konsekuensi dari peradangan yang
disebabkan oeh inhalan. Ketidakseimbangan dapat juga disebabkan oleh pengurangan
aktivitas antiproteinase oleh stress oksidatif, rokok, dan faktor-faktor risiko PPOK
lainnya.

3. Stres Oksidatif
Ada suatu bukti bahwa pada PPOK terjadi ketidakseimbangan oksidan/anti oksidan
dalam paru yang disebut sebagai stres oksidatif. Stres oksidatif ini diperkirakan
memiliki peranan penting dalam patogenesis PPOK dengan berbagai cara. Oksidan
akan bereaksi dan menimbulkan kerusakan macam-macam biologi molekuler sperti
protein, lipid dan asam nukleat, dan hal ini dapat menimbulkan disfungsi sel atau
kematian sel. Juga stress oksidatif dapat menimbulkan kerusakan secara langsung

10
pada paru melalui ketidakseimbangan proteinase-anti proteinase dengan cara
penghambatan antiproteinase dan pengaktifan proteinase.

Pada dasarnya PPOK dibagi menjadi dua jenis yang masing-masing memiliki
patogenesis yang berbeda, yaitu bronkitis kronik dan emfisema.

Faktor pencetus dari bronkitis kronik adalah suatu iritasi kronik yang
disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel
dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l0-14 radikal bebas yaitu radikal
hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru.
Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan
timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini ter-ganggu, sehingga timbul
kerusakan jaringan intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara
terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga
menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang,
sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang
kelenjar mukosa. Keadaan ini dit dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala
batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan
timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan
suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran
napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.
Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel.

BAGAN : faktor risiko (perokok)  terdapat radikan bebas (radikal


hidroksida)/inhalasi zat berbahaya  inflamasi  terjadinya kerusakan jaringan
paru  penyempitan saluran napas dan fibrosis, destruksi parenkim, serta hiperskresi
mukus.

11
Partikulat dalam asap rokok  mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus  menghambat aktivitas silia - berkurangnya pergerakan cairan
yang melapisi mukosa  meningkatnya iritasi pada sel epitel mukosa  terjadi
perangsangan kelenjar mukosa  hal ini menyebabkan gangguan silia  batuk dan
ekpektorasi. Bila iritasi dan oksidasi di T.R. berlangsung terus menerus  erosi epitel
serta pembentukan jaringan parut, serta metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan
skuamosa  obstruksi saluran napas yang irreversibel.

Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang


permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema
sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan
dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini
menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran
napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer
acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran
napas perifer.

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan :

1. Gambaran klinis
a. Anamnesis : riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala
diatas.
b. Faktor-faktor resiko
1) Pemeriksaan Fisik :
 pasien biasanya tampak kurus dengan Barrel shaped chest
 fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada
 perkusi dada hipersonor, batas peru hati lebih rendah

12
 suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan
(ronkhi atau wheezing)
2) Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan radiologi
 Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar
dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah.
 Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya
hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan
datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan
penambahan cortakan ke distal.

Normal Hyperinflation

b) Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)


c) Pemeriksaan gas darah
d) Pemeriksaan EKG
e) Pemeriksaan Laboratorium darah (gambaran leukositosis)
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk
dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko.
Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan obyektif adanya hambatan aliran
udara (dengan spirometri) (Alsaggaf dkk, 2004).

13
Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK :


- Mengurangi gejala.
- Mencegah eksaserbasi berulang.
- Memperbaiki dan mencegh penurunan faal paru.
- Meningkatkan kualitas hidup penderita.

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi.
Edukasi merupkan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang irreversible dan progresif, inti edukasi
adalah penyesuaian keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK.
b. Obat-obatan, manfaat, dan efek sampingnya.
c. Cara pencegahan perburukan penyakit.
d. Menghindari pencetus.
e. Penyesuaian aktivitas.

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilakukan, maka ditentukan
skala prioritas bahan edukasi :

a. Berhenti merokok.
b. Pemakaian obat-obatan.
c. Penggunaan oksigen.
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen.
e. Penilaian dini eksaserbasi akut.
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi.

14
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

2. Obat-obatan.
a.Bronkodilator.
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan betuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Macam-macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari )
- Golongan agonis beta-2.
Bentuk inhaler untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
- Golongn xanthin.
Bila rawat jalan b-2 agonis dan anti koligernik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Golongan xanthin bersama-sama diberikan dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat diafragma.

b. Kortikosteroid.
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi IV,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan mtil prednsolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka pnjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodiltor meningkat
>20% dan miniml 250 mg.
Tidak selalu diberikn tergantungderajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat dberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 mingu, pada derajat
berat diberikan secara IV.

15
c. Antibiotik.
Diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala di bawah ini :
- Peningkatan sesak.
- Pningkatan jumlah sputum.
- Sputum beubah menjadi purulen.

3. Terapi oksigen.

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan tama
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mngancam
jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi kett
hiperkapni. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan 24%, 28%, dan
32%.

4. Ventilasi mekanik.
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi
mortality dan morbidity, an memperbaiki symptom. Dahulukan penggunaan NIPPV,
bila gagal dipikiran penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.

5. Nutrisi.
Nutrisi yang adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak-rendah karbohidrat.

6. Rehabilitasi.
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal ang disertai :

16
a. Simptom pernapasan erat.
b. Beberapa kali masuk ruang gawat darurat.
c. Kualitas hidup yang menurun.

Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu :

a. Latihan fisik.
b. Psikososial.
c. Latihan pernapasan.

Komplikasi
- a. Infeksi berulang
- Pneumotoraks spontan
- Eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik
- Gagal napas
- Kor pulmonale

Prognosis
Untuk pasien COPD bergantung pada keparahan obstruksi aliran udara.
Pasien dengan FEV1 < 0,8 L mempunyai mortalitas tahunan ~25%. Pasien dengan
kor pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat baan memiliki
prognosis buruk. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas akut, embolus
paru dan aritmia jantung.

Dubia et malam, sebab sudah pada tingkat III (severe COPD), terjadi
emphysema progressive, dan kemungkinan AECB. Pengobatan hanya untuk
memperlambat pengerusakan selanjutnya, pengobatan tidak dapat menyembuhkan
pasien, kecuali dilakukan tindakan intervensi (surgery) namun tingkat

17
keberhasilannya rendah.Kepatuhan pasien untuk mengobah pola hidupnya
(khususnya berhenti merokok) dan menjalankan terapi yang adekuat akan
meningkatkan qualitas hidup dan jangka lama hidup secara berarti

Pada eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi. Pada pasien bronkitis
kronik dan emfisema lanjut dan FEV1 < 1 L survival rate selama 5-10 tahun
mencapai 40%.

18
Follow Up

Tanggal S O A P
29-7-2017 Sesak napas Kesadaran: composmentis PPOK - IVFD RL + aminophilin 1
(+) GCS : E46V5 amp 20 gtt/i
TD : 120/70 mmHg - Inj ceftriaxon 1 x 2 gr
HR : 80 x/m - Inj Ranitidin 3 x 1 ampul
RR : 26 x/m - Oral : Sanadryl syr 3 x 1 C
T : 36,5oC
Wheezing : +/+, Rh +/+
30-7-2017 Sesak napas Kesadaran: composmentis PPOK - IVFD RL + aminophilin 1
(+) GCS : E46V5 amp 20 gtt/i
TD : 120/70 mmHg - Inj ceftriaxon 1 x 2 gr
HR : 86 x/m - Inj Ranitidin 3 x 1 ampul
RR : 24 x/m Oral : Sanadryl syr 3 x 1 C
T : 36,7oC
Wheezing : +/+, Rh -/-
31-7-2017 Sesak napas (-) Kesadaran: composmentis PPOK Pulang
GCS : E46V5
TD : 120/80 mmHg
HR : 83 x/m
RR : 20 x/m
T : 36,6oC
Wheezing : -/-, Rh -/-

19
20

Anda mungkin juga menyukai