Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

SINDROM KOMPARTEMEN

Disusun oleh:
Tasya Septianti Riyadi (030.12.268)
Dinni Aulia Kartika (030.13.058)
Herawati (030.13.228)
Melly Sartika (030.13.122)

Pembimbing:
dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSUD DR. SOESELO SLAWI
PERIODE 30 APRIL - 21 JULI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Tasya Septianti Riyadi (030.12.268)


Dinni Aulia Kartika (030.13.058)
Herawati (030.13.228)
Merry Sartika (030.13.122)
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Trisakti
Tingkat : Studi Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan Klinik : 30 April - 21 Juli 2018
Judul Referat : Sindrom Kompartemen
Diajukan : Juli 2018
Pembimbing : dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal: Juli 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat kasih karuniaNya kami sebagai
dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “SINDROM KOMPARTEMEN” ini dengan tepat waktu.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dalam
rangka memenuhi tugas kepaniteraan di bidang Ilmu Bedah di RSUD DR. Soeselo, Slawi.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT
selaku dokter pembimbing yang telah memberikan waktu, saran dan koreksi dalam
penyusunan referat dan selama kami menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu Bedah.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu segala kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan referat ini sangat
diharapkan. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat memberi
manfaat dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu bedah.

Slawi, Juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 2
2.1 Anatomi ............................................................................................................. 2
2.2 Definisi .............................................................................................................. 6
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................... 6
2.4 Epidemiologi...................................................................................................... 7
2.5 Etiologi .............................................................................................................. 8
2.6 Faktor risiko....................................................................................................... 9
2.7 Patofisiologi....................................................................................................... 10
2.8 Manifestasi klinis............................................................................................... 13
2.9 Penegakkan diagnosis........................................................................................ 13
2.10 Diagnosis banding.............................................................................................. 18
2.11 Tatalaksana......................................................................................................... 18
2.12 Komplikasi......................................................................................................... 25
2.13 Prognosis............................................................................................................ 26
BAB III KESIMPULAN..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota tubuh dan
jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang tertutup mengalami
penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka dapat mengalami nekrosis jaringan
dan gangguan fungsi yang permanen, dan jika semakin berat dapat terjadi gagal ginjal sampai
menyebabkan kematian. Kompartemen didefinisikan sebagai ruang tertutup dalam dinding
yang berlanjut, seperti fascia dan tulang yang berisi otot, pembuluh darah, dan saraf. Lokasi
yang dapat mengalami sindrom kompartemen seperti pada lengan bawah, lengan atas, perut,
bokong, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua cedera dapat menyebabkan sindrom
ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Fraktur tibia dan pada bagian lengan
bertanggungjawab untuk sekitar 58% dari kasus sindrom kompartemen.1-3
Tanda-tanda klasik yang dapat timbul meliputi nyeri, pucat, parastesia, kelumpuhan,
tidak berdenyut. Tanda khas yang harus diketahui adalah nyeri yang secara tiba-tiba berubah
dalam sifat nyeri dan intensitas kerusakan yang tidak proporsional, tidak sesuai dengan
stimulus, nyeri pada peregangan pasif kompartemen otot, perubahan sensasi, kelemahan otot,
dan nyeri tekan pada kompartemen otot. 1 Kunci keberhasilan pengobatan sindrom
kompartemen adalah dengan adanya diagnosis dini dan dekompresi dari kompartemen yang
terkena. Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal yang dapat dilakukan melalui
bedah dekompresi.3 Walaupun fasciotomi telah disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal seperti penentuan waktu masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Mengetahui anatomi kompartemen merupakan hal yang penting untuk memahami
patofisiologi, diagnosis, dan terapi sindrom kompartemen. Kompartemen merupakan daerah
tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran dan fascia yang melibatkan jaringan
otot, saraf, dan pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus, yaitu fascia yang
dapat melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.5
Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak pada anggota gerak, antara lain:5
1. Lengan atas terbagi menjadi dua kompartemen, yaitu:
- Anterior: terdiri dari otot biceps brachii, brachialis, choracobrachialis dibatasi tulang
humerus, septum intermusculer lateral dan medial yang dipersarafi oleh nervus
musculocutaneus dan diperdarahi oleh arteri brachialis dan vena chepalica.
- Posterior: terdiri dari otot triceps brachii, anconeus dibatasi oleh tulang humerus,
septum intermusculer lateral dan medial yang dipersarafi oleh nervus radialis dan
diperdarahi oleh arteri brachialis dan vena chepalica.
2. Lengan bawah terbagi menjadi tiga kompartemen, yaitu:
- Anterior: terdiri dari otot pronator teres, fleksor digitorum superficial, fleksor carpi
radialis, palmaris longus, fleksor carpi ulnaris, ekstensor carpi radialis, dan
brachioradialis. Dibatasi oleh tulang radius dan septa profunda yang dipersarafi oleh
nervus radialis serta diperdarahi oleh arteri radialis dan vena chepalica.
- Lateral: terdiri dari otot pronator quadrates, fleksor digitorum profundus, fleksor
policis longus. Dibatasi oleh tulang radius, ulna, dan membrana interossea yang
dipersarafi nervus medianus dan nervus ulnaris, serta diperdarahi oleh arteri ulnaris.
- Posterior: terdiri dari otot extensor digitorum, extensor digiti minimi, extensor carpi
ulnaris, supinator, abductor pollicis longus, extensor pollicis brevis, extensor pollicis
longus, dan extensor indicis. Dibatasi oleh tulang radius, ulna, dan membrana
interossea yang dipersarafi oleh nervus radialis dan interosseous dorsal, serta
diperdarahi oleh interosseous dorsal.

2
Gambar 1. Anatomi lengan (cross section)5

3. Tungkai atas terbagi menjadi tiga kompartemen, yaitu:


- Anterior: terdiri dari otot rectus femoris, vastus intermedius, vastus medialis. Dibatasi
oleh tulang femur, septum intermusculare lateral, medial, dan fascia lata yang
dipersarafi oleh nervus femoralis.

3
- Medial: terdiri dari otot gracilis, sartorius, adductor manus, adductor longus. Dibatasi
oleh tulang femur dan fascia lata yang dipersarafi oleh nervus ischiadicus dan
diperdarahi oleh arteri perforans.
- Posterior: terdiri dari otot biceps femoris, semitendinosus, semimembranosus. Dibatasi
oleh tulang femur, septum intermusculare lateral, medial, dan fascia lata yang
dipersarafi oleh nervus tibialis.

Gambar 2. Anatomi tungkai atas5

4
Gambar 3. Anatomi tungkai bawah5

4. Tungkai bawah terbagi menjadi empat kompartemen, yaitu:

5
- Anterior: terdiri dari otot tibialis anterior, extensor digitorum longus, extensor hallucis
longus dan peroneus tertius. Dibatasi oleh tulang tibia, fibula, membran interosseous,
dan septum intermuscular anterior yang dipersafari oleh nervus peroneus profunda.
- Lateral: terdiri dari otot peroneus longus dan brevis. Dibatasi oleh tulang fibula,
septum intermuscular anterior, septum intermuscular posterior, dan fascia profunda
yang dipersarafi oleh nervus peroneal superficial.
- Posterior superfisial: dikelilingi oleh fascia profunda tungkai, terdiri dari otot
gastrocnemius, soleus, dan plantaris.
- Posterior profunda: berada diantara tulang tibia, fibula, fascia profunda transversa dan
membran interosseous. Terdiri dari otot fleksor digitorum longus, fleksor hallucis
longus, popliteus, dan tibialis posterior yang dipersarafi oleh nervus tibialis, serta
diperdarahi oleh arteri dan vena tibialis posterior.

2.2 Definisi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas, yaitu kompartemen osteofasial yang
tertutup. Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf, dan pembuluh
darah. Hal ini dapat mengawali terjadinya kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian
jaringan. Apabila terjadi akumulasi cairan yang bertekanan tinggi pada ruangan fascia yang
tertutup (kompartemen) maka dapat mengurang perfusi kapiler dibawah batas kebutuhan
untuk viabilitas jaringan.1,2

2.3 Klasifikasi
Sindrom kompartemen dibagi menjadi dua, yaitu:1
1. Sindrom kompartemen akut
Sindrom kompartemen akut merupakan tanda kegawatan medis yang ditandai
dengan pembengkakan dan nyeri yang terjadi dengan cepat. Tekanan dalam kompartemen
yang meningkat dengan cepat dapat menyebabkan tekanan pada saraf, arteri, dan vena
sehingga tanpa penanganan yang tepat dapat terjadi paralisis, iskemik jaringan, bahkan
kematian. Penyebab terjadinya adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan arteri, dan
luka bakar.

2. Sindroma kompartemen kronik

6
Sindrom kompartemen kronik bukan merupakan suatu kegawatan medis dan
seringkali dikaitkan dengan nyeri ketika aktivitas fisik seperti olahraga. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya tekanan kompartemen hanya ketika melakukan aktivitas olahraga.
Gejala ini dapat hilang dengan hanya menghentikan aktivitas olahraga tersebut. Penyebab
umum sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas berulang-
ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, sepak bola, dan anggota militer.

2.4 Epidemiologi
Sejauh ini penyebab sindrom kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. Dalam
keadaan kronik, gejala juga dapat timbul akibat aktifitas fisik yang berulang seperti berenang,
berlari ataupun bersepeda sehingga menyebabkan exertional compartment syndrome. Namun
apabila yang disebabkan oleh hal tersebut bukan merupakan keadaan emergensi. Di Amerika,
ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari untuk sindrom
kompartemen dan dianggap sebagai kedua paling sering untuk trauma sekitar 2-12%.1,3
Dari penelitian McQueen (2000) sindrom kompartemen lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita, tetapi hal ini bias karena pria lebih sering mengalami trauma
dibandingkan wanita. Dari 164 pasien sindrom kompartemen, 69% pasien yang berhubungan
dengan fraktur yang sebagian adalah fraktur tibia. Hal ini berkaitan dengan penelitian yang
menyatakan bahwa 2% iskemi dan kontraktur sering terjadi pada fraktur tibia. Sindrom
kompartemen bilateral dapat terjadi pada 82% pasien yang menderita sindrom kompartemen
kronis. Sindrom kompartemen sering terjadi akibat trauma terutama di daerah tungkai bawah
dan tungkai atas.4
Tabel 1. Kondisi yang berhubungan dengan Sindrom Kompartemen4

2.5 Etiologi

7
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu penurunan volume kompartemen,
peningkatan tekanan pada struktur komparteman, dan peningkatan tekanan eksternal. Kondisi
penurunan volume kompartemen dapat disebabkan oleh penutupan defek fascia maupun traksi
internal berlebihan pada fraktur ekstremitas. Sedangkan peningkatan tekanan pada struktur
komparteman dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti pendarahan atau trauma vaskuler,
peningkatan permeabilitas kapiler, penggunaan otot yang berlebihan, luka bakar, operasi,
gigitan ular, dan obstruksi vena. Pada peningkatan tekanan eksternal dapat disebabkan oleh
adanya balutan yang terlalu ketat, berbaring di atas lengan, dan penggunaan gips.1
Sejauh ini penyebab sindrom kompartemen yang paling sering adalah trauma, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bagian bawah. Ada
banyak penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian
menyebabkan sindrom kompartemen, akan tetapi ada tiga mekanisme yang seringkali
mendasari terjadinya sindrom kompartemen, yaitu adanya peningkatan akumulasi cairan
dalam ruang kompartemen, menyempitnya ruang kompartemen, dan tekanan dari luar yang
menghambat pengembangan volume kompartemen.1
1. Peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen
Merupakan mekanisme yang paling sering menyebabkan sindrom kompartemen. Hal ini
dapat disebabkan oleh:6
- Fraktur terutama fraktur tibia merupakan penyebab yang paling sering menyababkan
peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen.
- Trauma pada pembuluh darah besar, dapat menyebabkan sindroma kompartemen
melalui tiga mekanisme yaitu perdarahan yang masuk ke dalam ruang kompartmen,
sumbatan partial pada pembuluh darah sedang tanpa disertai adanya sirkulasi kolateral
yang adekuat, serta pembengkakan post iskemik dan sindrom kompartemen terjadi
bila perbaikan arteri dan sirkulasi tertunda terlebih dari 6 jam.
- Olahraga berat dapat menyebabkan sindrom kompartemen akut dan kronik. Seringkali
dihubungkan dengan nyeri pada kompartemen anterior pada tungkai. Bila gejala ini
timbul maka olahraga tersebut harus segera dihentikan.
- Luka bakar, selain dapat menyebabkan penyempitan ruang kompartemen, luka bakar
juga dapat meningkatkan akumulasi cairn dalam ruang kompartemen dengan
timbulnya edema yang masif. Maka dekompresi melalui escharotomy harus segera
dilakukan untuk menghindari tamponade kompartemen.

8
- Penyebab lain akumulasi cairan adalah perdarahan akibat pemberian antikoagulan,
infiltrasi cairan dalam ruang kompartemen, dan gigitan ular.
2. Menyempitnya ruang kompartemen
-
Jahitan tertutup pada fascia seringkali terjadi pada atlet marathon yang memiliki
kerusakan fascia. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurangan volume
kompartemen dan meningkatkan tekanan intrakompartemen sehingga menimbulkan
sindrom kompartemen akut.
-
Luka bakar derajat tiga dapat mengurangi ukuran kompartemen dan menimbulkan
jaringan parut pada kulit, sehingga jaringan subkutan dan fascia dapat menjadi satu.
Hal ini membutuhkan dekompresi escharotomy yang segera.6
3. Tekanan dari luar.
-
Intoksikasi obat akibat ketidaksadaran penggunaan obat yang berlebihan dapat
memicu tidak hanya multipel sindrom kompartemen, akan tetapi dapat juga
menimbulkan sindroma crush apabila orang tersebut berbaring dengan tungkai terjepit.
Lengan dan tungkai yang tertekan menghasilkan peningkatan tekanan
intrakompartemen lebih dari 50 mmHg.
-
Penggunaan gips yang terlalu ketat dapat menimbulkan tekanan eksternal dikarenakan
membatasi perkembangan dari kompartemen.6

2.6 Faktor risiko


Tabel 2. Faktor risiko terjadinya Sindrom Kompartemen1

2.7 Patofisiologi

9
Ekstremitas atas dan bawah memiliki beberapa kompartemen yang didalamnya
terdapat otot, pembuluh darah dan saraf. Masing-masing kompartemen dibungkus oleh
jaringan lunak dan tipis yang disebut dengan fascia. Fascia merupakan sebuah jaringan yang
tidak elastis dan tidak dapat meregang, sehingga pembengkakan pada fascia dapat
meningkatkan tekanan intrakompartemen dan menyebabkan penekanan pada pembuluh darah,
otot dan saraf. Pembengkakan tersebut dapat diakibatkan oleh fraktur yang kompleks ataupun
cedera jaringan akibat trauma dan tindakan operasi. Aktifitas fisik yang dilakukan secara rutin
juga dapat menyebabkan pembengkakan pada fasia, namun umumnya hanya berlangsung
selama aktifitas. Patofisiologi sindrom kompartemen mengarah pada suatu ischemic injury.
Dimana struktur intrakompartemen memiliki batasan tekanan yang dapat ditoleransi. Apabila
cairan bertambah dalam suatu ruang yang tetap, maupun penurunan volume kompartemen
dengan komponen yang tetap, akan mengakibatkan pada peningkatan tekanan dalam
kompartemen tersebut.3,4
Sindrom kompartemen diawali dengan beberapa kondisi berupa fraktur, cedera
pembuluh darah, olahraga berlebih, penekanan tungkai dalam waktu yang lama atau benturan.
Keadaan tersebut menyebabkan perdarahan dan edema pada sebuah kompartemen otot yang
tertutupi oleh fascia yang tidak mampu meregang. Tekanan yang meningkat pada
kompartemen menghasilkan kompartemen tamponade. Jika tekanan tersebut meningkat terus
menerus dalam beberapa jam maka akan terjadi kerusakan fungsi dari jaringan otot dan saraf.
Hal ini mengakibatkan terjadinya keadaan iskemik yang juga menghasikan edema sehingga
terjadinya sebuah lingkaran setan. Selain itu keadaan infark jaringan otot dan cedera saraf
dapat mengakibatkan terjadinya kontraktur Volkmann.6
Perfusi pada jaringan ditentukan oleh tekanan perfusi kapiler atau Capillary Perfusion
Pressure (CPP) yang dikurangi dengan tekanan interstitial. Metabolisme sel yang normal
memerlukan tekanan oksigen 5-7 mmHg. Hal ini dapat berlangsung baik dengan CPP rata-
rata 25 mmHg dan tekanan interstitial 4-6 mmHg. Apabila tekanan intrakompartemen
meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi sebagai respon fisiologis
serta memicu mekanisme autoregulasi yang mengkibatkan “cascade of injury”.6

10
Gambar 4. Patofisiologi Sindrom Kompartemen7
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis
jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan
tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan
tekanan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriol intramuskuler pada
bagian bawah meningkat. Pada titik ini, tidak ada darah yang masuk ke kapiler sehingga
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kompartemen.1
Hipoksia jaringan akan membebaskan substansi vasoaktif (histamin dan serotonin)
yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan eksudasi cairan sehingga
mengakibatkan peningkatkan tekanan dan cedera yang lebih hebat. Akibatnya konduksi saraf
akan melemah, pH jaringan akan menurun akibat dari metabolisme anaerobik, dan kerusakan
jaringan sekitar yang hebat. Bila keadaan ini berlanjut, otot-otot akan mengalami nekrosis dan
membebaskan mioglobin. Pada akhirnya fungsi ekstremitas akan hilang dan dalam keadaan
terburuk dapat mengancam jiwa.1
Apabila terjadi peningkatan intrakompartemen, maka tekanan vena akan meningkat.
Setelah itu, aliran darah yang melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran
oksigen juga akan terhenti, sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus
berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan
ireversibel komponen tersebut. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat.2

11
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom, yaitu:1
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theory of critical closing pressure
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural
arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan arteriol - tekanan
jaringan), hal ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan jaringan
meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi
seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah
arteriol akan menutup.
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena yang tipis, ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka
vena akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler,
maka tekanan vena akan meningkat kembali melebihi tekanan jaringan, sehingga drainase
vena dapat terbentuk kembali. McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan
tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi
klinis dengan sindrom kompartemen.
Tabel 3. Perbedaan antara Sindrom Kompartemen Akut dan Kronik7

Pada keadaan aktivitas berat yang dilakukan secara rutin, kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan pada komponen intramuskular. Hal ini disebabkan karena otot
dapat membesar sekitar 20% dan menambah peningkatan dalam tekanan intrakompartemen
untuk sementara. Sindrom kompartemen kronik terjadi ketika tekanan kontraksi yang terus-
menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebaliknya, aliran arteri selama relaksasi
otot akan semakin turun dan pasien dapat mengalami kram otot. Bagian yang sering
mengalami gejala adalah kompartemen anterior dan lateral tungkai bawah.3
Besarnya tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sindrom kompartemen
bergantung pada berbagai faktor, termasuk durasi elevasi tekanan, laju metabolisme jaringan,
tonus pembuluh darah, dan tekanan arteri rata-rata. Data mengenai pengaruh iskemia pada
jaringan-jaringan berbeda secara proporsional dengan jenis jaringan menunjukkan hal sebagai
berikut:1

12
a. Pada jaringan saraf menunjukkan kelainan fungsional (parasthesia, hyperesthesia) dalam
waktu 30 menit dari terjadinya iskemia dan kehilangan fungsional ireversibel setelah 12
jam.
b. Pada otot menunjukkan perubahan fungsional setelah 2-4 jam dan perubahan ireversibel
dimulai pada 4-12 jam pertama. Durasi iskemia yang berkepanjangan selama lebih dari 4
jam dapat menyebabkan mioglobinuria yang signifikan hingga mencapai maksimal
berkisar hingga 3 jam bahkan 12 jam.
c. Sindrom kompartemen yang berlangsung lebih lama dari 12 jam menghasilkan defisit
fungsional kronis, seperti kontraktur, kelemahan motor, dan gangguan sensorik.

2.8 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5 P, yaitu:3
1. Pain (nyeri) yang hebat terjadi saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin
gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat) diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Paresthesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis/paresis merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen juga dapat menimbulkan beberapa gejala khas, antara lain:6
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga dan biasanya setelah berlari atau
beraktivitas selama 20 menit
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot

2.9 Penegakkan diagnosis


1. Anamnesis
- Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada sindroma kompartemen.
Nyeri yang bertambah dan meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot
yang bersngkutan merupakan salah satu tanda khas dari “5P”. Namun, nyeri
merupakan gejala yang subjektif karena perbedaan kemampuan seseorang untuk
menahan rasa sakit. Selain itu pengurangan fungsi sensoris seringkali mengaburkan
rasa nyeri yang terjadi.3,7
- Parestesia

13
Parastesia merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita dalam keadaan
sadar dan kooperatif. Hal ini merupakan manifestasi klinis akibat defisit sensorik.
Pada awalnya defisit sensorik mengakibatkan parestesia, akan tetapi lama kelamaan
jika penanganannya tertunda, keadaan ini dapat memicu terjadinya hipestesia dan
anestesia.3,7
- Riwayat trauma
Semua trauma ekstremitas potensial untuk menimbulkan terjadinya sindrom
kompartemen. Sejumlah cedera yang mempunyai risiko tinggi, yaitu fraktur tibia dan
antebrachii, balutan kasa atau imobilisasi dengan gips yang ketat, crush injury pada
massa otot yang luas, tekanan setempat yang cukup lama, peningkatan permeabilitas
kapiler dalam kompartemen akibat perfusi otot yang mengalami iskemik, luka bakar
atau latihan dan aktivitas fisik berat.3,7
2. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
Pada inspeksi dapat ditemukan di daerah yang sakit terlihat bengkak, kulit tampak
berwarna merah muda, dan pasien tampak kesakitan.
- Palpasi
Pada palpasi didapatkan beberapa tanda khas dari sindrom kompartemen, yaitu pain,
pulse present dimana perabaan pulsasi pada daerah distal biasanya masih bisa teraba,
parestesi pada daerah distribusi saraf perifer dan menurunnya sensasi pada kulit daerah
yang terkena, serta tegang dan bengkak pada daerah yang terkena.7
3. Pemeriksaan penunjang
- Foto rontgen untuk mengetahui apakah terdapat fraktur pada tulang atau tidak yang
berguna untuk mengetahui asal dari rasa nyeri tersebut.
- Arteriografi untuk mengetahui ada atau tidak cedera pada arterinya.
- Pengukuran tekanan kompartemen
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosis
sindrom kompartemen dilakukan dengan pengukuran tekanan intrakompartemen atau
Intra Compartement Pressure (ICP). Pengukuran intrakompartemen dini diperlukan
pada pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif seperti anak-anak, pasien
yang sulit berkomunikasi, dan pasien dengan multipel trauma, seperti trauma kepala,
medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Pengukuran tekanan secara langsung
merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis sindrom kompartemen.
Pengukuran tekanan kompartemen ini dapat dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan

14
setelah latihan dan tidak semua kompartemen biasanya diuji, melainkan tergantung
pada berapa banyak tempat yang dirasakan sakit oleh pasien.7
Tekanan kompartemen normalnya adalah 0 mmHg. Perfusi yang tidak adekuat
dan iskemik relatif terjadi ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan
diastolik, dan tidak terdapat perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan
tekanan diastolik. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg
(tekanan pengisian kapiler diastolik), maka tidak pasti mengenai terjadinya sindrom
kompartemen. Tes dianggap positif jika memiliki tekanan ≥15 mmHg sebelum latihan
atau ≥30 mmHg setelah latihan selama 1 menit atau ≥20 mmHg setelah latihan selama
5 menit.7
Pemeriksaan tekanan kompartemen dapat dilakukan secara sederhana dengan
menggunakan jarum, tabung plastik, cairan intarvena (cairan normal saline dan udara)
yang dihubungkan dengan manometer merkuri. Teknik “slit” dan “wick” memerlukan
tabung polietilen yang berisi udara tanpa gelembung yang terdapat dalam tabung, dan
terhubung dengan transducer tekanan untuk memonitor tekanan intrakompartemen
dengan lebih akurat. Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain:3,7
a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi
Teknik injeksi adalah kriteria diagnostik standard yang seharusnya menjadi
prioritas utama. Alat yang dibutuhkan spuit 20 cc, three way tap, tabung intravena,
normal saline steril, dan manometer air raksa untuk mengukur tekanan darah. Cara
menggunakan teknik ini adalah sebagai berikut:
- Atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai mengisi
setengah tabung, kemudian tutup three way tap tahan normal saline dalam tabung
- Anestesi lokal pada kulit tetapi tidak sampai menginfiltrasi otot. Masukkan jarum
no. 18 ke dalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan manometer air
raksa dan buka three way tap
- Dorong plunger dan tekanan akan meningkat secara lambat, kemudian baca
manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan
naik

15
Gambar 5. Pengukuran dengan teknik injeksi7

Gambar 6. Cara sederhana pengukuran ICP7


b. Teknik “wick” kateter
Teknik ini tidak membutuhkan injeksi atau infus yang kontinu dari cariran
saline untuk mengukur tekanan equilibrium. Kateter wick di desain untuk mencegah
kateter terhalang dari jaringan lunak dan memaksimalkan permukaan antara cairan
saline dalam kateter dan cairan pada jaringan lunak. Sistem kateter wick terhubung
dengan transducer dan alat perekam untuk mengukur tekanan jaringan. Cara
menggunakan teknik ini adalah:
- Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot
- Tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik
- Balut wick kateter ke kulit dan dorong sarung plastik kembali, isi sistem dengan
normal saline yang mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan
transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter dengan tangan menekan pada
otot. Hilangkan semua tekanan eksternal pada otot yang diperiksa dan ukur
tekanan kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg maka indikasi dilakukan
fasciotomi.
c. Teknik “slit” kateter

16
Metode ini mengkombinasi akurasi, reprodusibilitas, area permukaan yang
luas, dan pengukuran tekanan ekuilibrum yang cepat dan sistem monitoring tekanan
ketika otot berkontraksi. Sistem slit kateter memiliki respon yang cepat untuk studi
olahraga dan mudah dibuat dibandingkan dengan wick kateter.
Cara lain untuk mengukur tekanan intrakompartemen, yaitu dengan Near-
Infrared Spectroscopy (NIRS) dan Laser Doppler Flowmetry. NIRS merupakan teknik
yang memungkinkan untuk pelacakan variasi oksigenasi pada jaringan otot. Laser
Doppler Flowmetry menggunakan flexible fibre optic wire yang dimasukkan ke dalam
kompartemen otot dan sinyal yang dihasilakn terhubung dengan komputer.
Pemeriksaan dengan fasciotomi diindikasikan ketika ICP meningkat hingga 40 mmHg
pada pasien dengan tekanan diastolik 70mmHg. Dengan demikian fasciotomi
dianjurkan pada ICP berkisar antara 30-50 mmHg dimana tingkat kritikal ditemukan
berkisar dari 10-35 mmHg. Pemeriksaan lainnya dapat dilakukan dengan pulse
oximetry dapat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas. Namun
tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa sindrom kompartemen.1
Tabel 4. Keuntungan dan kerugian teknik monitoring tekanan intrakompartemen6

2.10 Diagnosis banding

17
Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan
sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer dengan beberapa ciri
yang sama ditemukan. Diagnosis banding lain pada sindrom kompartemen, antara lain:7
1. Claudikasio intermitten
Merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini
disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal yang tidak
disertai peningkatan tekanan intrakompartemen.
2. Trombosis vena dalam
Merupakan kelainan pembuluh darah vena akibat tersumbatnya vena yang letaknya dalam
sehingga terjadi bendungan. Nyeri lokal secara tiba-tiba disertai edema, eritema dan
homa’s sign merupakan gejala khas penyakit ini.
3. Fraktur stress
Merupakan kelainan tulang yang diakibatkan adanya stress yang kecil dan berulang-ulang
pada daerah tulang yang menopang berat badan. Ditandai dengan gejala klinis nyeri lokal
pada waktu pergerakan serta nyeri tekan setempat bila beraktivitas, kadang terjadi
pembengkakan.
4. Sindroma jepitan saraf (Entrapment Neuropathies)
Merupakan gangguan saraf perifer oleh karena keadaan atau posisi yang abnormal atau
gangguan vaskularisasi yang menyebabkan iskemia pada saraf.
5. Ganggrene

2.11 Tatalaksana
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis
dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal yang biasanya dilakukan dengan
tindakan bedah dekompresi. Terapi dari sindrom kompartemen yang sederhana, yaitu
fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang
terbaik, namun beberapa hal seperti timing masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus
permanen akan mulai terjadi setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen.6

Penanganan sindrom kompartemen, meliputi:3,6


1. Terapi medikamentosa atau non operatif

18
Terapi ini dipilih apabila masih curiga terhadap adanya sindrom kompartemen, yaitu
dengan cara:
- Menempatkan kaki setinggi jantung dengan tujuan untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan
akan lebih memperberat iskemia.
- Pada kasus penurunan ukuran kompartemen gips harus di buka dan pembalut konstriksi
dilepas.
- Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan
sindrom kompartemen.
- Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
- Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat mengurangi
tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler dengan memproduksi kembali
energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari
radikal bebas.
- Menggunakan aspirin atau ibuprofen untuk mengurangi inflamasi.
- HBO (Hyperbaric Oxygen) merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen sindrom
berkaitan dengan ischemic injury. HBO memiliki banyak manfaat, antara lain dapat
mengurangi pembengkakan melalui vasokonstriksi oleh oksigen dan mendukung
penyembuhan jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan perfusi rendah, oksigen dapat
diterima sehingga dapat terjadi penyembuhan jaringan.
2. Terapi pembedahan (Fasciotomi)
Indikasi untuk dilakukan terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan
intrakompartemen >30 mmHg dan memerlukan tindakan yang cepat dan segera untuk
dilakukan fasciotomi. Tujuan dari melakukan fasciotomi adalah untuk menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya <30 mmHg dapat dilakukan observasi
terlebih dahulu dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Jika keadaan
tungkai membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya telah
terlewati. Apabila tidak terdapat perbaikan atau tekanan kompartemen meningkat maka harus
segera dilakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.9
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi, yaitu teknik insisi tunggal atau insisi ganda.
Tidak ada keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah
paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal
membutuhkan diseksi yang lebih luas dan risiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada
tungkai bawah fasciotomi dapat berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan

19
melakukan eksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, bila terdapat nekrosis otot
dapat dilakukan debridemen, jika jaringan sehat luka dapat dijahit (tanpa regangan) atau
dilakukan pencangkokan kulit.9

Gambar 7. Fasciotomi9
Teknik fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut adalah sebagai berikut:8,9
a. Teknik Tarlow
Insisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke epikondilus
lateral. Dilakukan eksisi subkutaneus untuk mengekspos daerah iliotibial dan dibuat insisi
lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahan dibuka sampai vastus
lateralis dan septum intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1-5 cm dibuat
pada septum intermuskular lateral perpanjangan ke proksimal dan distal. Setelah
kompartemen anterior dan posterior terbuka, tekanan kompartemen medial diukur. Jika
meningkat dibuat insisi setengah medial untuk membebaskan kompartemen adductor.

20
Gambar 8. Insisi fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut pada ekstremitas atas9
Teknik fasciotomi untuk sindrom kompartemen kronik adalah sebagai berikut:8,9
a. Fasciotomi insisi tunggal: Teknik Fronek
Dibuat sebuah insisi 5 cm pada pertengahan fibula dan kaput tibia atau melalui defek
fascia jika terdapat hernia muskuler pada daerah keluarnya nervus peroneal. Nervus peroneal
segera dicari dan dilewatkan fasciotom ke kompartemen anterior pada garis otot tibialis
anterior. Pada kompartemen lateral, fasciotomi diarahkan ke posterior nervus peroneal
superficial pada garis fibular. Tutup kulit dengan cara biasa dan pasang pembalut steril.
b. Fasciotomi insisi ganda: Teknik Rorebeck
Dibuat 2 insisi pada tungkai bawah 1 cm dibelakang garis posteromedial tibia.
Kemudian dicari vena saphenus pada insisi proksimal dan tarik ke anterior bersama dengan
saraf, masuk dan dibuka kompartemen superficial kemudian fascia profunda di insisi.
Kompartemen profunda dieksplorasi termasuk otot digitorum longus dan tibialis posterior
dengan merobek sambungan soleus. Kumparan neurovaskuler dan tendo tibialis posterior
kemudian di insisi ke proksimal dan distal fascia pada tendon tersebut. Tibialis posterior
adalah kunci dekompresi kompartemen posterior dan biasanya berkontraksi ke proksimal
antara fleksor hallucis longus, lebarkan batas antaranya untuk memeriksa kontraksinya. Tutup
luka diatas drain untuk meminimalkan pembentukan hematom.
Teknik fasciotomi pada lengan bawah adalah sebagai berikut:8,9
a. Pendekatan Volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superfisial dapat dilakukan
dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar
pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk
mengkonfirmasi dekompresi, tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial ke
tendon bicep bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial dan ke arah distal sepanjang
brachioradialis dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial di insisi
mulai titik 1 atau 2 cm diatas siku ke arah bawah sampai pergelangan tangan.

21
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian
ditarik ke arah radial. Kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar
yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus, fleksor pollicis longus, pronatus
quadratus dan pronator teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan
kompartemen fleksor profunda harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut
untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.
b. Pendekatan Volar Ulnar
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry.
Lengan disupinasi dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bicep melewati lipatan siku
terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah dan sampai ke carpal tunnel sepanjang
lipatan thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris di insisi ke atas sampai ke
aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor
carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat
arteri dan nervus ulnaris yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor
profunda kemudian di insisi.
c. Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,
harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik
ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan
fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen dorsal
yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi
lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan tangan, batas antara ekstensor
carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis di identifikasi kemudian dilakukan
fasciotomi.

22
Gambar 9. Fasciotomi pada lengan bawah5,9
Teknik fasciotomi pada tungkai bawah adalah sebagai berikut:8,9
a. Fibulektomi
Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom
kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ekstremitas.
Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif.
b. Fasciotomi insisi tunggal (Darvey, Rorabeck dan Fowler):
Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput
fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan
jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomi longitudinal pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan
fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan
lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan
pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang, kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis
posterior ke fibula dan dilakukan insisi secara longitudinal.
Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula
dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi
transversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan
distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral
ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.

23
Insisi kedua dibuat secara longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Dibuat insisi
transversal untuk mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior profunda dan
superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain
pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen otot tibialis
posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini segera dibuka.

Gambar 10. Fasciotomi pada tungkai bawah5,9

24
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua sindrom
kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode
iskemia yang berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi
lokal yang akan dilakukan dekompresi. Setiap yang berpotensi membatasi ruang termasuk
kulit dibuka disepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi
setelah prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama operasi
dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis. Bila terdapat indikasi operasi
dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan kemungkinan
kerusakan jaringan intrakompartemen. Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara
lain:6
- Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.
- Gambaran klinis yang meragukan dengan risiko tinggi (pasien koma, pasien dengan
masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba), dengan tekanan jaringan >30 mmHg
pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal.
Perawatan pasca operasi yang harus dilakukan, yaitu dengan cara luka harus dibiarkan
terbuka selama 5 hari dan jika terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen. Apabila
jaringan tersebut sehat, luka dapat dijahit (tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit
atau dibiarkan sembuh dengan intensi sekunder.9

2.12 Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan
menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:1,3
1. Kontraktur Volkman
Merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom
kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan
karena adanya trauma pada lengan bawah. Kira-kira 1-10% dari semua kasus sindrom
kompartemen berkembang menjadi kontraktur Volkmann. Hal ini disebabkan oleh iskemik
yang biasanya karena adanya peningkatan tekanan (sindrom kompartemen). Iskemik berat
yang berlangsung selama 6-8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus yang
kemudian menyebabkan infark otot dan kematian serat otot, kemudian otot digantikan
oleh jaringan ikat.
2. Gagal ginjal akut

3. Sindroma Crush

25
Merupakan suatu keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot yang jika tidak ditangani
akan terjadi kegagalan ginjal dan jantung. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya infark
otot pada massa di sejumlah kompartemen akibat gangguan perfusi otot, iskemia dan
pelepasan mioglobulin.

2.13 Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat, umumnya menberikan hasil yang baik.
Namun umumnya prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis yang terlambat
dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot yang terlibat.
Hal ini sering terjadi pada penderita dengan penurunan kesadaran atau dengan pemberian
sedasi yang menyebabkan penderita tidak mengeluhkan nyeri. Umunya kerusakan permanen
dapat timbul setelah 12-24 jam setelah terjadi kompresi. Walaupun fasciotomi dilakukan
dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik dan sensorik yang
persisten.1,3

26
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi emergensi yang mengancam anggota


tubuh dan jiwa yang paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah. Penyebab sindrom
kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan
80% dari itu terjadi di anggota gerak bawah. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom
kompartemen dikenal dengan 5P, yaitu pain (nyeri), pallor (pucat), pulselesness (berkurang
atau hilangnya denyut nadi), parestesia (rasa kesemutan), paralisis. Tujuan dari penanganan
sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu
mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi dan dilakukan jika tekanan
intra-kompartemen mencapai >30 mmHg. Prognosis dapat ditentukan oleh trauma penyebab.
Diagnosis dan pengobatan yang tepat, umumnya memberikan hasil yang baik dan diagnosis
yang terlambat dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot
yang terlibat. Konsekuensi dari terlewatnya pemeriksaan dapat meningkatkan tekanan
intrakompartemen. Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada
ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rekha A. Compartment syndrome. Clinical Reviews and Opinions 2010;2(2):28-30.


2. Syamjuhidayat, De Jong. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit EGC, 2009; 850-3.
3. Blom A, Warwick D, White MR. Apley & Solomon’s System of Orthopaedics and
Trauma, 10th edition. UK: CRC Press Taylor & Francis Group, 2018; 651-795, 881-935.
4. Galanakos S, Sakellariou VI, Kotoulas H, Sofianos IP. Acute compartment syndrome: the
significance of immediate diagnosis and the consequences from delayed treatment.
EEXOT 2009;60(2):127-133.
5. Frank H. Netter: Atlas of human anatomy, 5th edition. USA, 2011. Available at:
http://www.yumeiho-do.com/AtlasofHumanAnatomy.pdf accessed on July, 25th 2018.
6. Amendola, Bruce T. Compartment syndromes in skeletal trauma basic science,
management, and reconstruction, 3rd edition. USA: Saunders, 2008; 268-92.
7. Duckworth AD, McQueen MM. Focus on diagnosis of acute compartment syndrome. The
Journal of Bone and Joint Surgery 2011;1-8.
8. Clasper JC, Standley D, Heppell S, Jeffrey S, Parker PJ. Limb compartment syndrome and
fasciotomy. JR Army Med Corps 2011;155(4):298-301.
9. Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics, 10 th
edition. United States of America: Mosby, 2003; 2449-57.

28

Anda mungkin juga menyukai