Anda di halaman 1dari 15

Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A.

Raymond Kemur

KONSEP TATA RUANG AIR DALAM PENANGANAN BANJIR KOTA

TANGERANG SELATAN DAN WILAYAH SEKITARNYA1

Anthony Raymond Kemur2

Pengantar

Permasalahan banjir dari waktu ke waktu meningkat terus namun penyelesaian atau penanganan
banjir, apa disebut pengendalian banjir (flood control, lebih utama secara fisik/konstruksi dan
meluruskan sungai) seperti pada awalnya kemudian disebut mitigasi banjir (flood mitigation, masih
relatif sama dengan tambahan perhatian untuk kegiatan non-struktural) dan belakangan disebut
pengelolaan banjir (flood management, dengan melihat lebih menyeluruh dan menekankan
pentingnya penanganan non-struktural dan sosial) namun semuanya relatif masih berkonsentrasi di
sungai dengan mengaggap bahwa kalau banjir masalah utamanya adalah di sungai. Dengan demikian
paradigma penanganan banjir adalah selalu di sungai.

Debit banjir (Q) dari waktu ke waktu meningkat terus besarannya dengan besran curah hujan (R)
yang relatif sama. Kalaupun besaran curah hujan lebih besar maka debitnya juga lebih besar daripada
debit sebelumnya untuk curah hujan yang sama. Daerah genangan semakin dalam atau tinggi dan
semakin meluas. Daerah yang sebelumnya tidak tergenang sejak beberapa tahun lalu tergenang.
Relatif tiap tahun ada daerah baru yang tergenang. Artinya bahwa debit banjir dengan periode ulang
(return period) 10 tahun (Q 10) atau 25 tahun (Q25) atau 50 tahun (Q+) dianggap sama saat ini dan
dissat nanti. Malah dianggap 10, 25, 50 tahun depan debitnya masih sama dengan hasil hitungan hari
ini, karena curah hujan dengan periode ulang 10 tahun (R 10) atau 20 tahun (R20) atau 50 tahun (R50)
memang masih relatif sama. Pendapat ini sangat keliru.

Kita semua juga menyadari bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan
tempat tinggal meningkat terus sehingga pembangunan perumahan meningkat terus mengisi lahan-
lahan dimana-mana disamping pembangunan perkantoran atau pusat kota dan prasaranan lain
seperti jalan (perkerasan jalan), pabrik dan lain-lain. Dengan demikian maka lahan yang tanpa
tutupan perumahan atau perkerasan beton atau aspal/jalan semakin menyusut sehingga semakin
kecil jumlah luasan lahan tempat meresapnya air (infiltrasi) sehingga imbuhan air tanah
(groundwater recharge) semakin mengecil dan aliran limpasan air permukaan atau runoff (RO)
semakin meningkat terus dari waktu ke waktu.

Dengan menyiapkan sistem drainase perkotaan ataupun kompleks perumahan dianggap cukup untuk
menangani kelebihan aliran permukaan di kompleks perumahan. Penyediaan sistem drainase
tersebut oleh pengembang atau pemerintah dianggap cukup, dan lebih keliru juga karena dianggap

1
Makalah dibawakan pada Semiloka “Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan” dalam rangka Hari Air Sedunia ke 19 di
Hotel Arya Duta Lippo Village Karawaci-Tangerang, 5-6 April 2011

2
Ahli Teknik Pengairan Madya Kementerian PU
1
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

tidak ada pihak lain yang akan menerima akibat (damage) dari pembangunan perumahan baru
dan/atau sistem drainase tersebut.

Permasalahan dan Penyebab

Ketika hujan jatuh didaerah yang alamnya adalah lahan yang ditutupi pepohonan, alang-alang dan
rumput apakah hutan atau perkebunan maka hujan tersebut pada awalnya relatif hanya membasahi
dedauanan (canopy storage) dan setelah itu ranting pohon yang mulai dibasahi kemudian cabang lalu
batang pohon (stemflow). Setelah itu maka dedaunan kering telah jatuh dibasahi lalu rerumputan
dan setelah semua relatif sudah basah baru permukaan tanahnya mulai dibasahi. Setelah tanah
mulai basah kemudian meresap kedalam tanah sampai menjadi jenuh air tanahnya maka
aliran/limpasan air permukaan (RO) mulai terjadi. Pada saatnya resapan atau infiltrasi tetap terjadi
dan/atau perkolasi juga mulai terjadi. Memang tentunya ada curah hujan yang langsung ke tanah dari
daun jatuh ke tanah (throughfall). Sebagian yang tersimpan didedaunan (canopy storage capacity)
akan menguap sebagai air yang hilang (interception loss). Apabila hujan berhenti maka aliran
permukaan tanah (RO) tidak terjadi tapi kalau hujan masih berlangsung maka RO akan terjadi dan
mengalir secara perlahan ke sungai. Jadi proses dari hujan menjadi aliran permukaan dan akhirnya
masuk ke sistem sungai memerlukan waktu yang cukup lama, tergantung jenis tanaman, jenis tanah
dan kemiringan tanah. Kalaupun sebagian pepohonan ditebang maka hujan langsung jatuh ke tanah
atau rerumputan ditanah dan setelah tanahnya jenuh air maka akn terjadi aliran permukaan (RO)
dan masih relatif perlahan mengalir ke hilir.

Gambar 1: Meningkatnya Runoff karena Gambar 2: Perubahan


perubahan penggunaan lahan penggunaan lahan dalam DAS

Tetapi bila lahan yang sama diganti dengan perumahan maka hujan yang sama akan jatuh langsung
ke permukaan atap rumah lalu mengalir ke talang dan dari talang langsung masuk ke saluran
drainase rumah kemudian langsung mengalir ke drainase perkotaan/jalan dan akan langsung menuju
anak sungai atau sungai. Hujan yang langsung jatuh ke perkerasan beton dihalaman rumah atau
perkerasan aspal/beton jalan akan langsung mengalir ke saluran drainase dan langsung ke sungai.
Jadi prosesnya sangat cepat dari langit, ke atap, dan ke sistem drainase dan masuk ke sistem sungai.
Dengan demikian maka aliran yang masuk ke saluran dan/atau sungai relatif jauh lebih banyak/besar
dan lebih cepat. Jadi sebenarnya yang terjadi adalah bertambahnya debit aliran sungai (∆q) karena
2
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

berubahnya fungsi/peruntukan lahan yang bisa diexpresikan dengan Q today = Qbefore + ∆q. Kalau cukup
banyak daerah yang dikonversi menjadi perumahan maka Runoff nya menjadi semakin besar karena
perubahan fungsi/peruntukan lahan atau naiknya nilai koefisien Runoff (C) sehingga jumlah air hujan
yang berubah menjadi runoff dan masuk kedalam saluran/sungai menjadi debit (Q) dengan semakin
cepat dan semakin banyak/besar akan mengakibatkan debit aliran air di sungai melebihi kapasitas
aliran saluran sungai sehingga terjadi limpasan (overtopping) tebing sungai. Jadi tambahan debit (∆q)
menjadi semakin banyak sehingga debitnya menjadi lebih besar untuk curah hujan yang sama yang
dapat diexpresikan dengan Qtoday = Qbefore + ∑∆q. Kalau kita mengambil rumus sederhana tentang debit
suatu DAS yaitu metoda Rational Fomula maka Debitnya Q, merupakan hasil perkalian dari koefisien
Runoff, C, dengan intensitas hujan (R) yang biasanya dipakai (I), dan luas daerah tersebut (A) yaitu : Q
= C.I.A. Jadi dengan curah hujan yang sama umpamanya R 50 maka Q50 besarannya mungkin sudah
berubah menjadi seperti Q 70, bukan karena besaran curah hujan yang naik dari R 50 menjadi R70 tetapi
karena nilai koefisien Runoff, C, yang naik, mungkin nilai dari C yang awalnya sama dengan 0,3
berubah menjadi 0,75.

Gambar 3a: Sebelum Urbanisasi Gambar 3b: Setelah Urbanisasi

Gambar 3c: Sebelum & Sesudah Urbanisasi Gambar 3d: Debit Aliran Sungai Sebelum & Sesudah Urbanisasi

Apabila dihilirnya adalah dataran yang cukup luas dan relatif datar dan jauh dari sungai maka daerah
tersebut akan mudah tergenang kecuali banyak daerah depresi dengan volume yang cukup besar

3
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

seperti rawa dan/atau situ-situ. Kalau ada perumahan dihilir tersebut maka tetap akan terjadi
genangan karena dimensi saluran drainase tidak didisain untuk menampung aliran tambahan dari
hulunya. Hal ini merupakan contoh dari urban sprawl atau meluasnya daerah perkotaan tanpa
kendali atau tanpa rencana terpadu.

Gambar 4: Sistem Drainase Kota yang Gambar 5: Genangan banjir yang semakin
kurang baik tanpa konsep “Zero ∆q Policy” meluas akibat perubahan penggunaan lahan
dan terjadi banjir di sungai.

Proses yang sama (urban sprawl) adalah merupakan penyebab daripada kejadian di hulu Situ Gintung
yang mengakibatkan aliran yang jauh lebih besar dari debit yang diperkirakan dizaman Belanda
waktu membangun waduk Situ Gintung (yang disebut Situ Gintung) untuk mengairi sawah dihilir.
Dengan berubah fungsi dari rencana untuk mengairi sawah (permukaan air waduk kadang rendah
kadang tinggi atau penuh) menjadi waduk untuk rekreasi oleh masyarakat disekitarnya (permukaan
air waduk diusahakan penuh terus) maka pada saat terjadi hujan berturut-turut selama tiga hari,
Runoff nya akan sangat tinggi dan debit yang melalui bukaan pelimpah waduk Situ Gintung. Dengan
besaran debit yang mengalir secara terus menerus yang relatif melebihi kapasitas bukaan pelimpah
yang berada diatas tubuh bendung urugan tanah maka kegagalan bendung sebenarnya bukan
merupakan hal yang luar biasa. Hal yang sama kalau kurang diperhatikan dengan baik dan tanpa
perencanaan dan pengelolaan yang baik di DAS/Wilayah Sungai Citarum maka bisa mengancam
keberadaan bendungan atau masyarakat dihilirnya.

Sebenarnya yang menjadi persoalan adalah meningkat terus debit puncak (peak flow). Dengan
berubahnya penggunaan lahan menjadi daerah urbanisasi (urbanized area) maka nilai C akan naik.
Pada saat nilai C naik bukan saja mengakibatkan runoff naik tapi kecepatan runoff berubah menjadi
debit aliran sungai juga meningkat sehingga debit puncak naik dan kecepatan terjadinya debit puncak
(Time of Concentration) juga menjadi lebih cepat sehingga kalau dilihat pada hidrograf aliran maka
puncak dari debit maksimum bergerak ke kiri dengan T yang lebih kecil seperti pada gambar 6 dan 7
dibawah ini.

Sebagaimana yang sudah pernah dikembangkan oleh McCuen, R.H. (2005) telah mengembangkan
metoda yang lebih baik dalam menentukan debit puncak (peak flow). Data debit puncak tahunan yg
direkam di USA juga sekaligus mencatat presentase luas urbanisasi daerah terbangun dengan relatif
lahannya tertutup rumah, perkerasan sehingga infiltrasi menjadi kecil atau nol) dari DAS yang
bersangkutan. Biasanya dalam analisa frekuensi banjir, data debit puncak langsung dipakai namun
menurut McCuen bahwa nilai debit puncak jaman dahulu dengan urbanisasi umpamnaya 10% pasti
4
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Gambar 6: Puncak debit banjir menjadi lebih besar dan Gambar 7: Perubahan Land Use yang
lebih cepat terjadinya (bergeser kekiri) mengakibatkan naiknya debit aliran puncak

akan berbeda dengan debit pada saat luas urbanisasi sudah menjadi 40% dengan curah hujan yang
sama.

Tanpa melihat besaran curah hujan dan dimana lokasi urbanisasi tersebut dalam DAS McCuen buat
tabel berurutan dengan kolom tahun, prosentase urbanisasi dan debit puncak. Kemudian dengan
metoda statistik “Spearman Test” dimana akan membuktikan bahwa besaran urbanisasi tersebut
sudah berpengaruh terhadap debit puncak atau tidak. Setelah terbukti “berpengaruh” maka
disesuaikan besaran semua debit puncak pada data-data sebelumnya menjadi besaran dengan
prosentase urbanisasi 40% sehingga semua data debit puncak yang urbanisasi dibawah 40% akan
naik menjadi lebih besar. Penyesuaian ini diiterasi sampai perubahannya tidak terjadi lagi. Setelah itu
baru analisa frekuensi dilakukan. Secara logika sangatlah benar.

Namun bila kita meneliti lebih lanjut dengan melihat hidrograf terdistribusi (distributed hydrograph),
bukan lump hydrograph, sambil mengamati DAS dengan bentuk dan jarak setiap titik ke outlet DAS
maka pasti tidak semua titik dalam DAS akan tiba di outlet bersamaan runoff nya. Kalau lihat konsep
nya adalah seperti pada gambar 8a. Setelah kita bisa menganalisa untuk menentukan titik-titik mana
saja dari DAS yang runoff nya akan datang relatif bersamaan dan hampir bersamaan ke outlet yang
mengakibatkan terjadinya debit puncak pada hydrograph maka kita bisa mendiliniasi daerah dimana
titik-titik itu berada (dalam hal ini yang berwarna kuning tua pada gambar 8b dibawah). Daerah yang
dideliniasi pada DAS tersebut adalah daerah yang berpengaruh terhadap besar kecilnya debit puncak
(A. Raymond Kemur, 2010). Jadi apabila daerah yang terdeliniasi tersebut saja yang gundul maka
debit puncak maksimum akan terjadi walaupun sisa dari DAS tersebut masih utuh (belum terjadi
urbanisasi). Bila sisa daerah DAS tersebut (diluar daerah yang terdeliniasi) menjadi gundul maka
debit puncak relatif tidak akan bertambah besar karena tidak berpengaruh terhadap debit puncak.
Hal ini disebabkan karena runoff dari titik tersebut akan tiba diawal hidrograf (sebelum puncak
hdrograf) atau dibagian akhir hidrograf (sesudah puncak). Bentuk dan kondisi DAS juga
mempengaruhi reaksi DAS tersebut terhadap hujan. Secara garis besar ada DAS yang sensitif yaitu
DAS dengan Shape Factor atau Elongation Factor ≥ 1 dan DAS yang tidak sensitif yaitu DAS dengan
Shape Factor atau Elongation Factor ˂ 1. DAS yang sensitif adalah DAS yang berbentuk relatif
bulat/lingkaran/bujursangkar. Bila terjadi hujan dengan intensitas dan durasi yang sama di kedua
jenis DAS ini maka debit yang relatif lebih besar terjadi pada DAS yang sensitif seperti bisa lihat pada
kedua bentuk hidrograf pada gambar dibawah.

5
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Gambar 8a: Konsep Penentuan daerah yang berpengaruh terhadap peak flow dari
hidrograf

Gambar 8b: Warna merah adalah sumber debit di


awal hidrograf (rising limb), kuning tua sumber dari
debit puncak (peak flow) dan kuning muda sumber
dari akhir hidrograf (falling limb). Gambar 9: a. DAS tidak sensitif, dan b. DAS sensitif

Penanganan saat ini

Sampai saat ini penanganan banjir relatif diarahkan ke sungai dengan pelebaran sungai, pengerukan,
pembangunan tanggul atau meninggikan tanggul, perkuatan tebing, membangun bendungan/waduk,
banjir kanal (floodway). Jadi artinya bahwa penanganan banjir pada daerah akibat atau daerah yang
menerima akibat bukan penyebabnya atau daerah yang menyebabkan terjadinya banjir atau
bertambahnya banjir. Kolaborasi antara pengembangan/pembangunan drainase kota dengan
penanganan banjir di sungai relatif tidak ada. Kalaupun perencanaan dan implementasi sistem
drainase dan penanganan banjir dipadukan tetapi kalau perencanaan system dan penanganan
drainase kota masih seperti dahulu dimana menyiapkan drainase hanya langsung dibuang ke sungai
atau danau atau rawa atau situ-situ maka permasalahan banjir tidakberkelanjutan. Apalagi bila
drainase bertambah terus terutama jumlah daerah dan luas urbanisasi bertambah terus maka debit
yang masuk kedalam sungai semakin besar/banyak yang akhirnya akan melampaui kapasitas aliran
saluran sungai. Dengan demikian luas floodplain menjadi semakin meluas.

Dalam penyiapan RTRW dan RDTR atau zoning regulation sampai saat ini masih relatif tidak atau
kurang memperhatikan permasalahan atau penyebab banjir ini sehingga dalam penyiapannya adalah
hanya menjelaskan dalam buku RTRW atau memetakan calon-calon saluran drainase, flooway,
6
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

bendungan, tanggul atau infrastruktur SDA secara umum padahal pada PP 26 Tahun 2008 Bab VII
Bagian dua Paragraf 7, pasal 99 ayat 3a menetapkan keharusan penerapan “Zero ∆q Policy” atau
istilah lain adalah “Storwater management”.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penyebab meningkatnya debit banjir atau semakin
banyak daerah yang tergenang atau dibanjiri adalah karena perubahan penggunaan lahan (land use
change) sehingga diperlukan penyiapan RTRW dan RDTR atau Regulated Zone harus dilakukan
dengan penuh perhatian terhadap input dari aspek Sumber Daya Air dalam hal ini adalah
penanganan penyebab banjir (flood control at source) disamping penanganan existing banjir
didaerah yang menerima akibat (sungai dan daerah yang tergenang banjir) sebagaimana
diperintahkan dalam PP 26 tahun 2008 yaitu persyaratan penerapan konsep “Zero ∆q Policy”.

Gambar 11: Implementasi konsep “Zero ∆q Policy” atau


Gambar 10: Konsep “Zero ∆q Policy” dengan penyiapan “Stormwater Management” di lapangan dengan
kolam penampung sementara (detention pond) dan membangun kolam-kolam penampung air hujan yang
permanen sekaligus untuk infiltrasi (retention pond) volumenya adalah sama dengan volume dari gambar
arsiran pada hidrograf gbr 10 yaitu sama dengan total
tambahan debit atau ∑(∆q)

Situ-situ bisa membantu permasalahan genangan karena hujan tetapi bila situ-situ ini bukan
merupakan bagian dari sistem drainase yang terpadu (berfungsi sebagai off-stream pond) maka
permasalahan tambahan debit (∆q) tidak bisa dikendalikan. Untuk itu perlu disiapkan kolam-kolam
penampung seperti detention pond (kolam penampung air sementara karena mempunyai pintu air
dan pelimpah) dan/atau retention pond (kolam yang berfungsi untuk infiltrasi air kedalam tanah dan
pelimpah).

Penataan Ruang

Sebagaimana tertuang dalam UU no 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa suatu
infrastrukur yang tidak tertuang dalam peta dan/atau text dari PERDA RTRW Kabupaten/Kota maka
apabila dilakukan pembangunan (jalan, bendungan/waduk, banjir kanal, saluran, dll) dilaksanakan
maka tindakan pelaksanaan kegiatan tersebut adalah tindakan pidana. Artinya semua prasarana
yanag perlu dibangun atau apa saja yang dianggap penting dikembangkan/dibangun tanpa
mengganggu lingkungan atau keberlanjutan harus dituangkan dalam RTRW karena anggaran APBD
disiapkan dan disetujui/ dialokasi sesuai RTRW.

7
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Artinya bahwa semua kebutuhan dari aspek sumber daya air termasuk prasarana/sarana dan konsep
penanganan banjir harus dituang kedalam RTRW secara tertulis dan sebaiknya juga dalam bentuk
peta lampiran walaupun masih tentative. Keterpaduan aspek air dan keberlanjutan ruang agar tetap
produktif, aman dan nyaman harus diakomodasi dalam RTRW. Mengingat pentingnya penggunaan
Peta Daya Dukung Lahan (Land Capability Map) dan/atau Peta Kesesuaian Lahan (Land Suitability
Map) dalam penyiapan RTRW sebagaimana tertuang dalam UU Penataan Ruang No 26 tahun2007,
PP 15 tahun 2010 dan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten/kota maka harus diusahakan
disiapkan peta-peta tersebut sesuai skala minimum peta RTRW agar perencanaan peruntukan ruang
akan berkelanjutan, produktif, aman dan nyaman.

Keterpaduan Penataan Ruang dan Perencanaan SDA

Sebagaimana tertuang dalam UU No 7 tahun 2004 Bab VI Pasal 59 ayat 4 dan penjelasannya yang
sangat rinci dimana pada ayat tersebut menyatakan bahwa “rencana pengelolaan sumber daya air
merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan
rencana tata ruang wilayah”. Dan turunan UU no 7 tahun 2004 tentang SDA yang tertuang dalam PP
No 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu dalam Bab III pasal 39 ayat 2a
menyatakan bahwa “rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah ditetapkan sebagai masukan
dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan”. Yang menjadi masalah adalah bahwa sangat sedikit Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai (Pola PSDA WS) yang sudah selesai apalagi Rencana Pengelolaan SDA WS (Rencana
PSDA WS). Hal ini disebabkan karena tidak ada perintah batas waktu dalam UU No 7 tentang SDA
untuk penyelesaian penyusunan Pola PSDA WS dan Rencana PSDA WS. Dilain pihak untuk menyusun
Pola dan Rencana PSDA WS memerlukan data yang cukup rumit dan analisa multi sektor yang cukup
dalam untuk memenuhi kebutuhan air 20 tahun mendatang dengan lingkungan yang sangat
berubah. Diperlukan keahlian dalam penyiapan skenario, strategi dengan menganalisa berbagai data
yang berhubungan dengan air, sosial, pertanian, industri, dll. serta pemodelan perencanaan antara
kebutuhan dan alokasi serta pengelolaan wilayah sungai dan banjir.

Mengingat keterbatasan ketersedian Rencana PSDA WS maka apabila sudah ada Pola PSDA WS bisa
dipakai sebagai dasar untuk diakomodasi dalam penyiapan rencana RTRW Kota/Kabupaten. Apalagi
kalau Wilayah sungainya merupakan sungai lintas provinsi sehingga ketergantungan akan air atau
terjadinya banjir sangat saling tergantung atau mempengaruhi satu sama lain antara provinsi apalagi
kabupaten/kota. Kebetulan Kota Tangerang Selatan masuk dalam Wilayah Sungai 6Ci’s (Citarum,
Ciliwung, Cisadane, Cidurian, Ciujung dan Rawa Danau (walaupun mungkin akan disesuaikan
kembali). Pada saat ini sedang disusun Pola PSDA WS dan Rencana PSDA WS 6Ci’s bersamaan dengan
penyiapan aspek tata ruang air 6Ci’s sebenarnya akan membantu penyiapan substansi SDA yang akan
diakomodasikan ke dalam RTRW Kabupaten/Kota didalam nya termasuk Kota Tangerang Selatan.
Namun karena kontraknya relatif bersamaan dengan penyiapan RTRW Kabupaten/Kota apalagi
dengan adanya iklim La Nina dengan curah hujan yang begitu besar sehingga mengganggu
pengambilan citra satelit untuk penyiapan data pemodelan penataan ruang 6Ci’s, maka inputnya juga
relatif belum siap kecuali penyiapan RTRW masih terlambat juga.

8
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Melihat kondisi ruang Daesrah Aliran Sungai (DAS) dan/atau Wilayah Sungai (WS) maka dimasa
depan komoditas air yang siap digunakan akan merupakan unsur penting didunia atau komoditas
yang mahal dan langkah, akan menjadi unsur penting dalam perdamaian atau perang dunia. Agar
SDA disetiap wilayah sungai berkelanjutan maka penataan ruang yang berkelanjutan dilihat dari
aspek air juga harus menjadi penting termasuk didalamnya yang berhubungan dengan banjir.
Perencanaan SDA wilayah sungai yang berkualitas sehingga bisa berkelanjutan merupakan unsur
penting dalam penyiapan RTRW.

Gambar 12: a. Urbanisasi dengan “doing nothing” Gambar 13: Harmonisasi penggunaan lahan
dan b. Penerapan konsep “Network City”

Kalau kita lihat gambar 12 pada peta sebelah atas, itu adalah hasil pemodelan tahun 2004 tentang
kecenderungan urbanisasi 25 tahun mendatang di pulau jawa dengan menggunakan “Java Spatial
Model”. Jadi urban sprawl Jabodetabek akan menjadi demikian kalau kita tidak berbuat apa-apa (“do
nothing”). Dengan melihat kemungkinan yang bisa dilakukan dengan kebijakan green area dan
pertahankan daerah pertanian menjadi daerah pertanian berkelanjutan maka konsep “Network city”
maka bisa dilihat hasilnya seperti peta yang dibagian bawah. Kalau RTRW nya bisa dijadikan demikian
maka banjir air dan banjir mobil bisa ditekan karena relatif dipertahankan kampung-kampung atau
kawasan perkotaan diluar Jakarta tetap terpisah dari kota lainnya. Kalau tersambung menjadi satu
nkota seperti peta diatasnya maka masalah banjir air dan banjir kendaraan tidak bisa ditekan. Namun
dalam perjalan waktu urban sprawl terjadi dengan begitu cepat sehingga perubahan penggunaan
lahan (land use change) sulit dihindari.

Perubahan penggunaan lahan (land use change) atau meningkatnya kebutuhan lahan disebabkan
oleh drivers atau pencetus-pencetus seperti pertumbuhan penduduk, jumlah per KK yang cenderung
menurun, kecenderungan miningkatnya luas lahan pe KK (karena sejahtera), pertumbuhan ekonomi,
meningkatnya jumlah/lowongan pekerjaan, perubahan struktur ekonomi yang pada gilirannya
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan kebutuhan air domestik, meningkatnya polutan,
meningkatnya banjir, menurunnya kapasitas air tanah (yield), meningkatnya penurunan tanah,
hilangnya biodiversity (keanekaragaman hayati) dan berkurangnya suplai makanan.

Dengan melihat kemungkinan logis yang bisa dilakukan dilapangan maka untuk peta pada gambar
berikutnya yaitu gambar 13 merupakan rencana penggunaan ruang yang cukup harmonis.

Untuk itu diperlukan penerapan zonasi air dalam RTRW agar bisa ditangani dengan lebih baik konsep
“Zero ∆q Policy”, penanganan emisi polutan, daerah retensi dan erosi. Kalau tidak, sebagai contoh
maka lahan seperti pada gambar 14 dibawah ini dimana lahan yang semestinya dilindungi tetapi
9
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Gambar 14: Penggarapan lahan gembur dan terjal Gambar 15: Layer-layer zonasi air strategis dalam tata ruang
oleh petani yang mengakibatkan erosi tinggi secara menyeluruh.

malah digarap yang mengakibatkan erosi yang sangat tinggi. Sebagaimana tergambar diatas, gambar
15.

Dalam PP 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang terdapat ketentuan yang mana
apabila dalam PERDA RTRW terdapat ketidak sesuaian <20% maka hanya diperlukan amendemen
PERDA tetapi apabila ketidaksesuaian >20% maka harus di buat PERDA baru dan tidak perlu tunggu
sampai 5 (lima tahun). Artinya peruntukan ruang dalam PERDA bila terdapat ketidaksesuaian dilihat
dari daya dukung lahan, sumber daya air, dll maka perlu disesuaikan.

Sebenarnya kalau terjadi banjir atau daya rusak air terhadap kepemilikan seseorang atau siapa saja
yang diakibatkan oleh kegiatan seseorang atau badan usaha, dengan sengaja atau tidak sebagaimana
tertuang dalam pasal 52 UU SDA No 7 tahun 2004 maka hal itu merupakan tindakan pidana dengan
kurungan penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling besar satu setengah milyar rupiah
sebagaimana tertuang dalam pasal 94 ayat 1b. Jadi apabila ada yang melapor ke Polisi maka Polisi
harus menundaklanjuti/memproses laporan tersebut dengan melakukan penyelidikan dan
penyidikan untuk membuktikan bahwa banjir itu (atau kontaminasi air) benar terjadi dan diakibatkan
oleh orang per orang atau organisasi atau badan usaha atau pemerintah. Dalam melakukan
penyidikan Polisi bisa minta bantuan ahli SDA yang secara forensik bisa membuktikan kesalahan atau
bahwa telah melakukan pelanggaran prinsip/ketentuan, pedoman/manual, standar yang
mengakibatkan banjir atau penurunan kualitas air. Kecuali apabila sudah ada PPNS (Criminal
Investigator pemerintah) di Direktorat jenderal SDA dan Dinas SDA di provinsi dan Kabupaten/Kota
dengan latar belakang keahliannya sebagaimana tertuang dalam Bab XV pasal 93 maka
penyidikannya ditindaklanjuti oleh PPNS SDA sesuai kemampuan forensik dalam bidang SDA dan
sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan proses/prosedur nya sebagaimana
tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Demikian juga dengan rencana pembangunan infrastruktur dan sarana sarananya atau bangunan-
bangunan untuk mitigasi banjir seperti, bendungan/waduk dan sempadannya, saluran atau banjir
kanal (floodway) kalau tidak tertuang atau tidak dijelaskan dalam Dokumen tentang Struktur Ruang
RTRW kabupaten/Kota ataupun dalam peta, apalagi bila pada lokasi yang bersangkutan sudah ada
rencana infrastruktur/bangunan lain maka infrastruktur dan bangunan-bangunan tersebut tidak
boleh dibangun karena kegiatan tersebut merupakan tindakan pidana karena melanggar RTRW
Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Bab XI tentang Ketentuan Pidana pasal 69 sampai dengan
pasal 73 dari UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tahapan tindakan penanganan
pelanggaran diatur dalam PP 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan Penataan Ruang. Demikian
10
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

juga kalau daerah yang dianjurkan dalam hasil analisa banjir bahwa daerah tersebut harus
merupakan kawasan lindung atau zona yang mempunyai persyaratan penerapan prinsip “Zero ∆q
Policy” tapi tidak masuk dalam dokumen RTRW maka ini berarti prinsip penanganan penyebab banjir
atau pengedalian banjir pada sumbernya itu tidak bisa atau tidak harus diterapkan.

Demikian juga dengan persyaratan pengelolan lahan yang mudah tererosi, apabila tidak diatur dalam
PERDA RTRW maka akibat dari kegiatan seperti pada gambar 14 akan mengakibatkan
bendungan/waduk akan terisi penuh dengan sedimen hasil erosi tersebut sehingga daya
tampung/simpan air sangat menurun dan tidak berfungsi seperti pada gambar 16 dibawah ini
sebagai contoh yaitu waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Daerah sekitar waduk juga harus dilindung
agar tidak ada kegiatan yang bisa mengganggu waduk tersebut. Kalau tidak diatur dalam RTRW maka
kejadian seperti pada gambar 17 dibawah ini akan terjadi lagi.

Gambar 17: Kejadian longsor dihulu waduk Bili-Bili yang


mengakibatkan air waduk menjadi sangat keruh dan
Gambar 16: pendangkalan pada waduk Gajah Mungkur
mengurangi kapasitas tampung air baku waduk.
akibat erosi besar-besaran karena kegiatan dihulu

Kesimpulan dan Rekomendasi

Meningkatnya kejadian banjir terjadi dimana mana terutama didaerah urban/perkotaan dan kondisi
banjirnya semakin memburuk dari waktu ke waktu yaitu semakin sering, semakin meluas dan
semakin dalam genangannya. Penanganan hanya dengan mitigasi banjir di sungai saja tidak cukup
bila tidak ada penanganan pengendalian banjir pada sumbernya yaitu dengan penerapan konsep
“Zero ∆q Policy” sebagaimana tertuang dalam PP no 26 tahun 2008 atau dikenal dalam textbook
dengan “Stormwater management”. Konsep ini adalah menghitung tambahan debit ∑∆q atau
volumenya untuk menghitung volume total kolam-kolam yang akan menampung tambahan debit
atau tambahan volume air.

Keterpaduan antara Penataan Ruang sudah diatur dalam UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air dan dalam PP no 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air agar bukan hanya ruang
dan lahan nya berkelanjutan tetapi sumber daya air juga berkelanjutan.

Debit aliran air di sungai juga akan terjadi perubahan kalau tidak ditangani ketika terjadi perubahan
penggunaan lahan yang luas sebagaimana tergambar dalam gambar 3d diatas. Pada awalnya debit
puncak (peak flow) tidak terlalu tinggi sebagaimana terlihat di awal tahun dan akhir tahun dan debit
dimusim panas yaitu debit rendah (low flow) atau debit andalan juga tidak terlalu rendah namun
11
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

setelah terjadi perubahan land use maka debit puncak semakin hari semakin naik seperti terlihat
diawal dan akhir tahun dan debit andalannya juga turun dengan drastis sehingga perhitungan debit
andalan menjadi tidak andal lagi.

Daerah-daerah depresi seperti situ-situ diusahakan secara alamiah dipertahankan atau diganti bila
akan dipakai. Daerah yang rawan erosi juga harus ditangani agar prasarana SDA tidak akan mubazir
karena banyaknya sedimen yang mengakibatkan pendangkalan waduk sehingga mengurangi daya
tampung waduk.

Daerah-daerah yang penting yang harus diperhatikan dan dikawal atau diamankan agar tidak
mengganggu ketersediaan air terutama dalam hali ini akan mengakibatkan banjir atau bertambah
buruknya banjir harus dibuat zonasinya dan dituangkan dalam RTRW yang akan selanjutnya
ditindaklanjuti dalam penyiapan zoning regulation. Demikian juga konsep “Zero ∆q Policy” yang akan
diterapkan pada zona-zona mana saja maka hal tersebut harus dituangkan dalam dokumen RTRW.
Daerah yang terutama yang mutlak diterapkan konsep tersebut (apabila harus terjadi urbanisasi)
adalah pada daerah dalam DAS seperti pada gambar 8b.

Literatur:

Akan, O.A. & Houghtalen, R.J. (2003): “Urban Hydrology, Hydraulics and Stormwater Quality”. John Wiley &
Sons – Hoboken, New Jersey.

ASCE (1997): Flood –Runoff Analysis”. Technical Engineering and Design Guides as adapted from The US ARMY
Corps of Engineers, No. 19. ASCE Press – New York.

Ashley, R. et al (2007): “Advances in Urban Flood Management”. Balkema, Taylor & Francis - London

Balmori, D. & Benoit, G. (2007): “Land and Natural Development (LAND) Code: Guidelines for Sustainable Land
Development”. John Wiley & Sons – Hoboken, New Jersey.

Bedient, P.B. et al (2008): “Hydrology and Floodplain Analysis”. 4 th Ed. Pearson, Prentice Hall – Upper Saddle,
New jersey.

Berke, P.R. et al (2006): “Urban Land Use Planning”. 5 th Ed. University of Illinois Press - Chicago

Berry, J.F. & Dennison, M.S. (2000): “The Environmental Law And Compliance Handbook”. McGraw-Hill – New
York.

Beven, K.J. (2001): “Rainfaal-Runoff Modelling: The Primer”. Repr. 2003. John Wiley&Sons - Chichester

Black, P.E. (1996): “Watershed Hydrology”. 2nd Ed. CRC Press – New York.

Boon, P.J. et al (Eds.) (1992): “River Conservation and Management”. John Wiley & Sons - Chichester

Bouvard, M. (1984): “Barrages mobiles et Ouvrages de Dérivation: à partir de rivières transportant des
Matériaux Solides”. Editions Eyrolles - Paris

Brierley, G.J. et al (2005): “Geomorphology and River Management: Applications of The River Styles
Framework”. Blackwell – Victoria.

12
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Brooks, K. et al (2003): “Hydrology and The Managementof Watersheds”. 3 rd Ed. Blackwell Publishing – Ames,
Iowa.

Butler, D. & Davies, J.W. (2004): ”Urban Drainage” 2nd Ed. Spon Press - London

Chang, M. (2006): “Forest Hydrology: An Introduction to Water and Forest”. 2 nd Ed. Taylor & Francis Group, CRC
Press – Boca Raton.

Chow, Ven Te et al (1988): “Applied Hydrology”. McGraw-Hill – New York.

Cretaz de la, A.L. & Barten, P.K.: “Land Use Effects on Streamflow and Water Quality in the Noerteastern US”.
CRC Press – Boca Raton.

Davis, A.P. & McCuen, R.H. (2005): “Stormwater Management for Smart Growth”. Springer – New York.

Day, R.W. (1999): “Forensic Geotechnical and Foundation Engineering”. McGraw-Hill – New York.

DeBarry, P.A. (2004): “Watersheds: process, Assessment, and Management”. John Wiley & Sons – Hoboken, NJ.

Debo, T.N. & Reese, A.J. (2003): ‘Municipal Stormwater Management”. 2 nd Ed. Lewis Publishers, CRC Press –
Boca Raton.

The Dewberry Companies (2002): “Land Development Handbook: Planning, Engineering and Surveying”. 2 nd ed.
McGraw-Hill – New York.

Dodson, R.D. (1999): “Stormwater Pollution Control”. 2nd Ed. McGraw-Hill – New York.

Downs, P.W. & Gregory, K.J. (2004): “River Channel Management: Towards Sustainable Catchment
Hydrosystems”. ARNOLD - London

Dunnett, N. & Clayden, A. (2007): “Rain Gardens”. Timber Press – Portland.

Field, R. et al (2006): “The Use of Best Management Practices in Urban Watersheds”. DEStech Publications. Inc.
– Lancaster

Ffofliott, P.F. et al (2002): “Landstewardship through Watershed Management: Perspectives for 21 st Century”.
Kluwer Academic/Plenum Publishers – New York.

Fischel, W.A. (1985: “The Economics of Zoning Laws: A Property Rights Approach to American Land Use
Controls”. The John Hopkins University Press – Baltimore.

FISRWG (1998): “Stream Corridor Restoration: Principles, Processes, and Practices”. Rev. 2001. US Federal
Interagency Stream Restoration Working Group (15 Fed. Agencies). USDA – Washington.

France, R.L. (2002): “Handbook of Water Sensitive Planning and Design”. Lewis Publishers, CRC Press Company
– New York.

Gordon, N.D. et al (2005): “Stream Hydrology: An Introduction for Ecologist”. 2 nd Ed. Repr. 2008. John Wiley &
Sons – Chichester, UK.

Hickin, E.J. (Ed) (1995): “River Geomorphology”. John Wiley – Chichester.

Hosack, W.M. (2001): “Land Development Claculations: Interactive Tools and Techniques for Site Planning,
Analysis, and Design”. McGraw-Hill – New York.
13
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

ICWRM (ADB Project) (2010): “Strategic Spatial Planning”. Preliminary Interim Report B.2 for 6 Ci’s River Basin
Teritory – Package B. Prepared by DHV & Other Consultants.

Jansen, P.Ph. et al (Eds.): “Principles of River Engineering: Non-Tidal Alluvial River”. Pitman - London

Kemur, A.R. et al (2010): “Sensitivity of Runoff for Changing land-Use: Distributed Runoff Hydrograph
Approach”. Doctoral Research Proposal. UNDIP.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP): UU RI No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Knighton, D. (1998): “Fluvial Forms & Processes: A New Perspective”. ARNOLD - London

Koomen, E. et al (Eds) (2007): “Modelling Land-Use Change: Progress and Applications”. Springer – Dordrecht.

Maidment, D.R. (Ed) (1993): “Handbook of Hydrology”. McGraw-Hill – New York.

Mansell, M.G. (2003): “Rural and Urban Hydrology”. Thomas Telford – London.- New York.

Mays, L.W. (2001): “Stormwater Collection Systems Design Handbook”. McGraw-Hill – New York.

Mays, L.W. (2004): “Urban Stormwater Management Tools”. McGraw-Hill.

McCuen, R.H. (2005): “Hydrologic Analysis and Design”. 3 rd Ed. Pearson, Prentice Hall – Upper Saddle, New
jersey.

Merriam, D.H. (2005): “The Complete Guide to Zoning: How Real Estate Owners and Developers Can Create
and Preserve Property Value”. McGraw-Hill – New York.

National Research Council (1995): “Flood Risk Management and The American River Basin: An Evaluation”.
National Academy Press – Washington.

O’Callaghan, J.R. (1996): “Land Use: The Interaction of Economics, Ecology and Hydrology”. Chapman & Hall –
London.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. : 17/PRT/M/2009 Tentang PEDOMAN Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota.

Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Petersen, M.S. (1986): “River Engineering”. Prentice-hall – Eaglewood Cliffs, NJ

Randolph, J. (2004): ”Environmental Land Use Planning and Management”. Island Press - Washington

Ratay, R.T. (2000): “Forensic Structural Engineering Handbook”. McGraw-Hill – New York.

Riley, A. L. (1998): “Restoring Streams in Cities: A Guide for Planners, Policymakers, and Citizens”. Island Press -
Washington

Schumm, S.A. et al (2000): “Active Tectonics and Alluvial Rivers”. Cambridge University Press – Cambridge.

Schumm, S.A. (2005): “River Variability and Complexity”. Cambridge University Press – Cambridge.

14
Semiloka Penanganan Banjir Kota Tangerang Selatan A. Raymond Kemur

Seybert, T.A. (2006): “Stormwater Management for Land Development: Methods and Calculations for Quantity
Control”. John Wiley & Sons – Hoboken, NJ.

Steiner, F. & Butler, K. (2007): “Planning and Urban Design Standards”. American Planning Association. John
Wiley & Sons – Hoboken, New Jersey.

Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

USDA Forest Service (2002): “A Soil BioEngineering Guide for Streambank and lakeshore Stabilization”. USDA –
Washington.

Wall, L.C. de et al (Eds.) (1998): “Rehabilitation of Rivers: principles and Implementation”. John Wiley & Sons –
Chichester.

Wanielista, M. et al (1997): “Hydrology: Water Quantity and Quality Control”. 2 nd Ed. John Wiley & Sons – New
York.

Yang, C.T. (1996): “Sediment Transport: Theory and Practice”. McGraw-Hill – New York

15

Anda mungkin juga menyukai