Anda di halaman 1dari 113

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3660/1/A.

IRFAN%20HABIBI-
FSH.pdf
Sumber:

https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/

MEKANISME PASAR DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Oleh : Agustianto

Pasar, negara, individu dan masyarakat selalu menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi.
Menurut ekonomi kapitalis (klasik)[1], pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam
sistem perekonomian. Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan
permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai distribusi. Semboyan kapitalis
adalah lassez faire et laissez le monde va de lui meme [2] (Biarkan ia berbuat dan biarkan ia
berjalan, dunia akan mengurus diri sendiri). Maksudnya, biarkan sajalah perekonomian berjalan
dengan wajar tanpa intervensi pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak terlihat (invisible
hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah equilibrium. Jika banyak campur
tangan pemerintah , maka pasar akan mengalami distorsi yang akan membawa perekonomian
pada ketidakefisienan (inefisiency) dan ketidakseimbangan.

Menurut konsep tersebut, pasar yang paling baik adalah persaingan bebas (free competition),
sedangkan harga dibentuk oleh oleh kaedah supply and demand. Prinsip pasar bebas akan
menghasilkan equilibrium dalam masyarakat, di mana nantinya akan menghasilkan upah (wage)
yang adil, harga barang (price) yang stabil dan kondisi tingkat pengangguran yang rendah (full
employment). Untuk itu peranan negara dalam ekonomi sama sekali harus diminimalisir, sebab
kalau negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan sektor swasta
sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam paradigma kapitalisme,
mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu keputusan yang adil dan arif dari berbagai
kepentingan yang bertemu di pasar. Para pendukung paradigma pasar bebas telah melakukan
berbagai upaya akademis untuk meyakinkan bahwa pasar adalah sebuah sistem yang mandiri
(self regulating).

Sementara itu, sistem ekonomi sosialis yang dikembangkan oleh Karl Max[3] menghendaki
maksimasi peran negara. Negara harus menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan
keadilan kepada rakyat mulai dari means of production sampai mendistribusikannya kembali
kepada buruh, sehingga mereka juga menikmati hasil usaha. Pasar dalam paradigma sosialis,
harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist) yang serakah sehingga
monopoli means of production dan melakukan ekspolitasi tenaga buruh lalu memanfaatkannya
untuk mendapatkan prifit sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak akan pernah tercapai,
sebaliknya ketidakadilan akan terjadi dalam perekonomian masyarakat. Negara harus berperan
signifikan untuk mewujudkan equilibrium dan keadilan ekonomi di pasar.
Menurut faham ini, harga-harga ditetapkan oleh pemerintah, penyaluran barang dikendalikan
oleh negara, sehingga tidak terdapat kebebasan pasar. Semua warga masyarakat adalah
”karyawan” yang wajib ikut memproduksi menurut kemampuannya dan akan diberi upah
menurut kebutuhannya. Seluruh kegiatan ekonomi atau produksi harus diusahakan bersama.
Tidak ada usaha swasta, semua perusahaan, termasuk usaha tani, adalah perusahaan negara (state
entreprise). Apa dan berapa yang diproduksikan ditentukan berdasarkan perencanaan
pemerintah pusat (central planning) dan diusahakan langsung oleh negara.

Kedua ajaran sistem ekonomi di atas cukup berkembang dalam pemikiran ekonomi kontemporer,
walaupun akhirnya sistem ekonomi sosialis mengalami kemunduran dan mulai ditinggalkan.
Lalu bagaimana konsep ekonomi Islam tentang mekanisme pasar tersebut, Bagaimana ajaran
Nabi Muhammad dan para ulama tentangnya. Bolehkah negara intervensi harga (pasar) dan
sejauhmana kebolehan tersebut. Dan apa saja jenis distorsi pasar yang dilarang Islam. ? Inilah
yang akan dibahas dalam makalah ini.

Mekanisme Pasar : Perspektif Islam

Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan
(iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain.
Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga,
tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam
kenyataannya sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap
sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.

Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire), tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah
menyebabkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur
dan pemilik informasi. Asymetrik informasi juga menjadi permasalahan yang tidak bisa
diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam mempunyai peran yang sama dengan dengan pasar,
tugasnya adalah mengatur dan mengawasi ekonomi,

memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang merata dan
keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan, sebab
negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar yang berjalan seimbang, perannya hanya
diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.

Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw sebagaimana
disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota
Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160
tahun) mengajarkan konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut
diriwayatkan sebagai berikut :

‫ غل السعر فسعر لنا رسول ا صلى ا عليه و سلم‬:


‫ان ا هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها ايبباه بببدم‬
(‫ول مال )رواه الدارمى‬

“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran
kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”.
Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan
melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam
keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun
harta.”[4]

Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak
menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme
pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di
pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.

Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan
Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang
sunnatullah atau hukum supply and demand.

Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi
Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh
tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat
dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah). [5]

Oleh karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan di pasar, maka harga
barang tidak boleh ditetapkan pemerintah, karena ketentuan harga tergantung pada hukum supply
and demand.

Namun demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk
melalukan intervensi harga (price intervention) bila para pedagang melakukan monopoli dan
kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.

Di masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah pernah melakukan intrevensi pasar, baik pada sisi
supply maupun demand. Intrevensi pasar yang dilakukan Khulafaur Rasyidin sisi supply ialah
mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika
mengimpor gandum dari Mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah.

Sedang intervensi dari sisi demand dilakukan dengan menanamkan sikap sederhana dan
menjauhkan diri dari sifat konsumerisme. [6] Intervensi pasar juga dilakukan dengan
pengawasan pasar (hisbah). Dalam pengawasan pasar ini Rasulullah menunjuk Said bin Said
Ibnul ‘Ash sebagai kepala pusat pasar (muhtasib) di pasar Mekkah. Penjelasan secara luas
tentang peranan wilayah hisbah ini akan dikemukakan belakangan.

Mekanisme Pasar Menurut Ilmuwan Muslim Klasik

Kajian tentang mekanisme pasar telah banyak di bahas oleh para ulama klasik jauh sebelum para
ekonom Barat membahasnya. Ulama yang pertama kali membahas mekanisme pasar secara
empirik adalah Abu Yusuf, yang hidup di awal abad kedua Hijriyah (731-798). Dia telah
membahas tentang hukum supply and demand dalam perekonomian.

Pemahaman yang berkembang ketika itu mengatakan bahwa bila tersedia sedikit barang, maka
harga akan mahal dan bila tersedia banyak barang, maka harga akan murah. Hal tersebut dapat
digambarkan pada graik di bawah ini.

Gambar 1

Semakin Sedikit barang, harga semakin naik

Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan harga dan kuantitas
hanya memperhatikan kurva permintaan. Abu Yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena
pada kenyataannya persediaan barang sedikit tidak selalu dikuti dengan kenaikan harga, dan
sebaliknya persediaan barang melimpah belum tentu membuat harga akan murah. Abu Yusuf
mengatakan,” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal, dan kadang-kadang
makanan sangat sedikit tetapi murah. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Adalah benar bahwa tingkat harga tidak hanya bergantung pada penawaran semata, namun
kekuatan permintaan juga penting. Oleh karena itu kenaikan atau penurunan tingkat harga tidak
selalu harus berhubungan dengan kenaikan dan penurunan produksi saja. Dalam
mempertahankan pendapat ini Abu Yusuf mengatakan bahwa ada beberapa variabel dan alasan
lainnya yang bisa mempengaruhi, tetapi ia tidak menjelaskan secara detail, mungkin karena
alasan-alasan penyingkatan.[7] Mungkin variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau
jumlah uang yang beredar di suatu negara atau penimbunan dan penahanan barang. Dalam
konteks ini Abu Yusuf mengemukakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang rendah dan
mahalnya harga barang. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Murah bukan karena melimpahnya
makanan, demikian juga mahal bukan disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal
adalah ketentuan Allah.[8]

Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi berkomentar, Telaahan Abu Yusuf tentang
mekanisme pasar harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni
keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan
barang dan harga murah.[9]

Dengan demikian meskipun Abu Yusuf tidak mengulas secara rinci tentang mekanisme pasar
(yakni tentang variabel-variabel lain), Namun pernyataannya tidak menyangkal pengaruh supply
dan demand dalam penentuan harga.

Berbeda dengan Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah melakukan kajian yang menyeluruh tentang
permasalahan mekanisme pasar. Dia menganalisa masalah ini dari perspektif ekonomi dan
memaparkan secara detail tentang kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi tingkat harga. Jadi,
Sekitar lima abad sebelum kelahiran Adam Smith (1776), Ibnu Taymiyah (1258) telah
membicarakan mekanisme pasar menurut Islam, Melalui konsep teori harga dan kekuatan supply
and demand dalam karya-karyanya, seperti yang termuat dalam kitab Al-Hisbah. Padahal Ibnu
Taymiyah sama sekali belum pernah membaca buku terkenal The wealth of Nation, karangan
Bapak ekonomi Klasik, Adam Smith, karena memang Ibnu Taymiyah lahir lima ratus tahun
sebelum Adam Smith.

Ketika masyarakat pada masanya beranggapan bahwa kenaikan harga merupakan akibat dari
ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari si penjual, atau mengkin sebagai akibat
manipulasi pasar, Ibnu Taymiyah langsung membantahnya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa
harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand).[10]

Dalam pandangannya yang lebih luas, Ibnu Taimiyyah lebih lanjut mengemukakan tentang
konsep mekanisme pasar didalam bukunya “Al-Hisbah fil Islam”. Beliau mengatakan, bahwa di
dalam sebuah pasar bebas (sehat), harga dipengaruhi dan dipertimbangkan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan (supply and demand). Suatu barang akan turun harganya bila terjadi
keterlimpahan dalam produksi atau adanya penurunan impor atas barang-barang yang
dibutuhkan. Dan sebaiknya ia mengungkapkan bahwa suatu harga bisa naik karena adanya
“penurunan jumlah barang yang tersedia” atau adanya “peningkatan jumlah penduduk”
mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan.[11]

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan
sewenang-wenang dari penjual. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat
inefisiensi produksi, penurun jumlah impor barang-barang yang diminta, atau juga tekanan pasar.
[12]

Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sementara penawaran menurun, maka
harga barang akan naik. Begitu juga sebaliknya, jika permintaan menurun, sementara penawaran
meningkat, maka harga akan turun. (kelangkaan atau melimpahnya barang mungkin disebabkan
tindakan yang adil dan mungkin juga disebabkan ulah orang tertentu secara tidak adil/zalim [13]

Kelangkaan minyak tanah misalnya, bisa terjadi disebabkan ulah oknum-oknum tertentu dengan
mengekspor keluar negeri, sehingga pasar minyak tanah di dalam negeri menjadi langka.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah menyatakan, penawaran bisa dari produksi domestik dan impor.
Terjadinya perubahan dalam penawaran, digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan
dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan perubahan permintaan (naik atau turun),
sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan konsumen.[14] Di sini Ibnu Taymiyah benar-benar
telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengruhi naik turunnnya harga. Besar
kecilnya kenaikan harga, tergantung pada besar kecilnya perubahan penawaran atau permintaan.
Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka kenaikan harga yang terjadi merupakan
kehendak Allah atau sunnatullah[15] (hukum supply and demand). Adam Smith menyebutnya
dengan istilah invisible hands. Permintaan akan barang sering berubah-ubah. Perubahan itu
disebabkan beberapa faktor, antara lain besar kecilnya jumlah penawaran, jumlah orang yang
menginginkannya dan besar kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut, selera, harga barang
itu sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan perkapita, dsb.

Ibnu Taymiyah membedakan pergeseran kurva penawaran dan permintaan, yakni tekanan pasar
yang otomatis dan perbuatan zalim dari penjual, misalnya penimbunan (iktikar).

Pada mulanya, titik equilibrium terjadi pada titik A dengan harga P1 dan jumlah Q1. Namun
karena terjadi inefisiensi produksi, maka terjadi kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung
oleh perusahaan . Kenaikan biaya produksi ini pergeseran kurva supply dari S1 menjadi S2.
Karena pergeseran ini tercipta titik equilibrium baru pada titik B. Pada titik B ini terjadi
penurunan kuantitas yang ditawarkan dari Q1 menjadi Q2, dan pada saat yang sama terjadi
kenaikan harga dari P1 menjadi P2.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi harga adalah
intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan, atau melimpahnya barang, kondisi kepercayaan
dan diskonto pembayaran tunai. Demand terhadap barang seringkali berubah. Perubahan
tersebut dikarenakan jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, dan besar
kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taymiyah telah
mengasosiakan harga tinggi dengan intesnsitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif
barang terhadap total kebutuhan pembeli. Jika kebutuhan besar, harga akan naik, jika kebutuhan
kecil maka harga akan turun.

Pada mulanya titik equilibrium terjadi pada saat E1 dengan harga P1 dan kuantitas Q1. Bila
permintaan terhadap barang meningkat, maka terjadi pergreseran kurva permintaan dari D1 ke
D2. Dan bila pada saat yang sama penawaran berkurang, maka terjadi pergeseran kurva
penawaran dari S1 menjadi S2. Naiknya permintaan dan turunnnya penawaran ini menyebabkan
terbentuknya titik equilibriujm baru E2, dengan harga yang lebih tinggi P2 dan kuanytitas yang
lebih sedikit Q2.
Selanjutnya, harga juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap orang-orang yang terlibat
dalam transaksi. Bila seseorang terpercaya dan dianggap mampu dalam membayar kredit, maka
penjual akan senang melakukan transaksi dengan orang tersebut. Tapi bila kredibilitas seseorang
dalam masalah kredit telah diragukan, maka penjual akan ragu untuk melakukan transaksi
dengan orang tersebut dan cenderung memasang harga tinggi [16] Selanjutnya Ibnu Taymiyah
memaparkan kredit dengan penjualan dan pengaruhnya terhadap harga. Ketika memetapkan
harga, penjual memperhitungkan resiko dan ketidakpastian pembayaran pada masa mendatang.
Ia juga menjelaskan kemungkinan penjual menawarkan diskon untuk transaksi tunai. Argumen
Ibnu Taymiyah, bukan hanya menunjukkan kesadarannya mengenai kekuatan penawaran dan
permintaan, melainkan juga perhatiannya terhadap intensif, disinsentif, ketidakpastian dan resiko
yang terlibat dalam transaksi terhadap analisis ekonomi, tidak saja bagi orang yang hidup di
zaman Ibnu Taymiyah, tetapi juga pada masa kini.

Ibnu Taymiyah menentang adanya intervensi pemerintah dengan peraturan yang berlebihan saat
kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap
memperhatikan pasar tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan
penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan harga modal, padahal orang
membutuhkan barang itu, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen
(Ibnu Taymiyah, Al-Hisbah Fil Islam, p. 25). Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan
apa yang disebut dengan harga yang adil.

Lebih jauh, bila ada unsur-unsur monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan
kebutuhan pokok lainnya), pemerintah harus melarang kekuatan monopoli. Maka dalam hal ini,
intervensi pemerintah menjadi keharusan.

Seperti yang telah disebutkan, ketentuan ini hanya berlaku jika pasar dalam keadaan normal/adil.
Akan tetapi apabila pasar tidak dalam keadaan sehat atau terjadi di dalamnya tindak kezaliman,
seperti adanya kasus penimbunan, monopoli, riba, penipuan, dan lain-lain. maka menurut
pandangan Ibn Taimiyah, di sinilah letak peranan pemerintah yang sangat urgen untuk
melakukan regulasi harga pada tingkat yang adil antara produsen dan konsumen, dengan tidak
ada pihak yang dirugikan atau diekploitasi kepentingannya oleh pihak lain. Jelaslah di sini,
bahwa menurut konsep Ibn Taimiyah, pemerintah hanya memiliki kewenangan menetapkan
harga apabila terjadi praktek kezaliman di dalam pasar. Sedangkan di dalam pasar yang adil
(sehat), harga diserahkan kepada mekanisme pasar atau tergantung pada kekuatan supply dan
demand. [17]

Al-Ghazali

Kalau Ibnu Taymiyah, yang hidup lima ratus tahun sebelum Adam Smith, sudah membicarakan
teori harga, ternyata al-Ghazali (1058-1111) yang hidup tujuh ratus tahun sebelum Smith, juga
telah membicarakan mekanisme pasar yang mencakup teori harga dan konsep supply and
demand.
Memang, bila diteliti kajian-kajian ilmuwan muslim klasik, kita bisa berdecak kagum melihat
majunya pemikiran mereka dalam ekonomi Islam, jauh sebelum ilmuwan Barat
mengembangkannya.

Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, juga telah membahas secara detail peranan aktivitas
perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan penawaran
dan permintaan. Menurutnya, pasar merupakan bagian dari keteraturan alami.

Walaupun al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern,
beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan.
Untuk kurva penawaran “yang naik dari kiri bawah ke kanan atas”, dinyatakan dalam kalimat,
“Jika petani tidak mendapatkan pembeli barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah [18]. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut.

Pada tingkat harga P1 jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual adalah sebesar Qs1,
sementara jumlah barang yang diminta hanya sebesar Q1. Dengan demikian, petani tidak
mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan tambahan pembeli ia menurunkan harga jual
produknya, dari P1 menjadi P2, sehingga jumlah pembelinya naik dari Q1 menjadi Q2.

Sementara untuk kurva permintaan, “yang turun dari atas ke kanan bawah, dijelaskan dengan
kalimat, harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan [19]

Awalnya harga yanag diminta petani adalah sebesar P1. Pada harga ini jumlah permintaan dan
penawaran terhadap harga produk petani tersebut adalah sebesar Q1. Dengan menurunnnya
jumlah permintaan dari Q1 menjadi hanya sebesar Q2 (yakni dengan bergesernya kurva
permintaan D1 ke kiri bawah menjadi kurva D2, maka tingkat harga akan turun pula dari P1
menjadi P2. Dengan demikian, harga dapar diturunkan dengan mengurangi permintaan.

Pemikiran al-Ghazali tentang hukum supply and demand, untuk konteks zamannya cukup maju
dan mengejutkan dan tampaknya dia paham betul tentang konsep elastisitas permintaan. Ia
menegaskan, “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah,
akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.
Bahkan ia telah pula mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva
permintaan yang inelastis. Komentarnya, “karena makanan adalah kebutuhan pokok, maka
perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong agar tidak semata dalam mencari
keuntungan. Dalam bisnis makanan pokok harus dihindari eksploitasi melalui pengenaan harga
yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini seharusnya dicari dari barang-
barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.[20]
Imam al-Ghazali, sebagaimana ilmuwan muslim lainnya dalam membicarakan harga selalu
mengkaitkannya dengaan keuntungan. Dia belum mengkaitkan harga barang dengan pendapatan
dan biaya-biaya.

Bagi al-Ghazali, keuntungan (ribh), merupakan kompensasi dari kesulitan perjalanan, resiko
bisnis dan ancaman keselamatan si pedagang[21]. Meskipun al-Ghazali menyebut keuntungan
dalam tulisannya, tetapi kita bisa paham, bahwa yang dimaksudkannya adalah harga. Artinya,
harga bisa dipengaruhi oleh keamanan perjalanan, resiko, dsb. Perjalanan yang aman akan
mendorong masuknya barang impor dan menimbulkan peningkatan penawaran, akibatnya harga
menjadi turun. Demikian pula sebaliknya.

Dalam kajian ini perlu ditambahkan sedikit pemikiran al-Ghazali mengenai konsep keuntungan
dalam Islam. Menurutnya, motif berdagang adalah mencari keuntungan. Tetapi ia tidak setuju
dengan keuntungan yang besar sebagai motif berdagang, sebagaimana yang diajarkan
kapitalisme. Al-Ghazali dengan tegas menyebutkan bahwa keuntungan bisnis yang ingin dicapai
seorang pedagang adalah keuntungan dunia akhirat, bukan keuntungan dunia saja.

Yang dimaksud dengan keuntungan akhirat agaknya adalah, Pertama, harga yang dipatok si
penjual tidak boleh berlipat ganda dari modal, sehingga memberatkan konsumen, Kedua,
berdagang adalah bagian dari realisasi ta’awun (tolong menolong) yang dianjurkan Islam.
Pedagang mendapat untung sedangkan konsumen mendapatkan kebutuhan yang dihajatkannya.
Ketiga, berdagang dengan mematuhi etika ekonomi Islami, merupakan aplikasi syari`ah, maka ia
dinilai sebagai ibadah.

Ibnu Khaldun

Selain, Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah dan al-Ghazali, intelektual muslim yang juga membahas teori
harga adalah Ibnu Khaldun. Di dalam Al-Muqaddimah, ia menulis secara khusus bab yang
berjudul, “Harga-harga di Kota”. Ia membagi jenis barang kepada dua macam, pertama, barang
kebutuhan pokok, kedua barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan
populasinya bertambah, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas,
sehingga penawaran meningkat dan akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan untuk barang-
barang mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan perkembangan kota dan
berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah menjadi naik.[22]

Keterangan Gambar : Supply bahan pokok penduduk kota besar (QS2), jauh lebih besar daripada
supply bahan pokok penduduk kota kecil Qs1. Menutut Ibnu Khaldun, penduduk kota besar
memiliki supply bahan pokok yang melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota
besar realtif lebih murah (P2). Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, realtif kecil,
karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya lebih mahal (P1)
Yang menjadi catatan disini, adalah bahwa Ibnu Khaldun juga telah membahas teori supply and
demand sebagaimana Al-Ghazali dan Ibnu Taymiyah.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan mekanisme penawaran dan permintan dalam


menentukan harga keseimbangan. Pada sisi permintaan demand, ia memaparkan pengaruh
persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang. Sedngkan pada sisi penawaran
(supply) ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnyaa biaya produksi karena pajak dan
pungutan-pungutan lain dikota tersebut.

Selanjutnya ia menjelaskan pengaruh naik turunnya penawaran terhadap harga. Menurutnya,


ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun, bila jarak
antara kota dekat dan amam, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan
barang akan melimpah dan harga-harga akan turun Paparan itu menunjukkan bahwa Ibnu
Khaldun sebagaimana Ibnu Taymiyah telah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan
penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.

Masih berkaitan dengan teori supply and demand, Ibnu Khaldun menjelaskan secara lebih detail.
Menurutnya keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan
keuntungan yang sangat rendah, akan membuat lesu perdagangan, karena pedagang kehilangan
motivasi. Sebaliknya bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat
lesu perdagangan, karena lemahnya permintaan (demand) konsumen.

Apabila dibandingkan dengan Ibnu Taymiyah yang tidak menggunakan istilah persaingan, Ibnu
Khaldun menjelaskan secara eksplisit elemen-elemen persaingan. Bahkan ia juga menjelaskan
secara eksplisit jenis-jenis biaya yang membentuk kurva penawaran, sedangkan Ibnu Taymiyah
menjelaskannya secara implisit saja.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengamati fenomena tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa
mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu Khaldun
dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus pada penjelasan fenomena aktual yang terjadi,
sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan untuk menyikapi fenomena yang
terjadi.

Oleh karena itu, terlihat bahwa Ibnu Taymiyah tidak menjelaskan secara rincih pengaruh turun-
naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga keseimbangan. Ia hanya menjelaskan bahwa
pemerintah tidak perlu melakukan intervensi harga dengan menentukan harga selama mekanisme
pasar berjalan normal. Bila mekanisme pasar berjalan normal, pemerintah dianjurkan melakukan
kontrol harga

Berdasarkan kajian para ulama klasik tentang mekanisme pasar, maka Muhammad Najatullah
Shiddiqi, dalam buku The Economic Entreprise in Islam, menulis,

“Sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam berdasarkan dua asumsi,….Asumsi itu
adalah rasionalitas ekonomi dan persaingan sempurna. Berdasarkan asumsi ini, sistem pasar di
bawah pengaruh semangat Islam dapat dianggap sempurna. Sistem ini menggambarkan
keselarasan antar kepentingan para konsumen.”[23]

Yang dimaksud dengan rasionalitas ekonomi, adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh produsen
(penjual) dan konsumen (pembeli) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya masing-masing.
Pencapaian terhadap kepuasan sebagaimana tersebut tentunya haruslah diproses dan ditindak
lanjuti secara berkesinambungan, dan masing-masing pihak hendaknya mengetahui dengan jelas
apa dan bagaimana keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut.
[24]

Sedangkan persaingan sempurna ialah munculnya sebanyak mungkin konsumen dan produser di
pasar, barang yang ada bersifat heterogen (sangat variatif) dan faktor produksi bergerak secara
bebas. Adalah satu hal yang sulit bagi kedua asumsi tersebut untuk direalisasikan dalam
kenyataan di pasar.[25] Namun demikian, Islam memiliki norma tertentu dalam hal mekanisme
pasar.

Menurut pandangan Islam yang diperlukan adalah suatu regulasi secara benar serta dibentuknya
suatu sistem kerja yang bersifat produktif dan adil demi terwujudnya pasar yang normal. Sifat
produktif itu hendaklah dilandasi oleh sikap dan niat yang baik guna terbentuknya pasar yang
adil. Dengan demikian, model dan pola yang dikehendaki adalah sistem operasional pasar yang
normal. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah ash Shiddiqi menyimpulkan bahwa ciri-ciri
penting pendekatan Islam dalam hal mekanisme pasar adalah:

1. Penyelesaian masalah ekonomi yang asasi (konsumsi, produksi, dan distribusi), dikenal sebagai
tujuan mekanisme pasar.

1. Dengan berpedoman pada ajaran Islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku sesuai
dengan mekanisme pasar, sehingga dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas.

1. Jika perlu, campur tangan negara sangat urgen diberlakukan untuk normalisasi dan memperbaiki
mekanisme pasar yang rusak. Sebab negara adalah penjamin terwujudnya mekanisme pasar
yang normal[26].

Intervensi Pemerintah
Menurut Islam negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk
mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu
dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi pada
permulaan Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu,
selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada
masa-masa permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung perintah-perintah
syariat dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan kesalahan. Semua
ini mengurangi kesempatan negara untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi.[27]

Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan komleksitas dan
penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu
Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam
rangka melindungi hak-hka rakyat/masyarakat luas dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis
yang ada, dan untuk kepentingn manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi
negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan:

Menghilangkan kemiskinan. Menurut Ibnu Taimiyah, menghapuskan kemiskinan merupakan


kewajiban negara. Beliau tidak memuji adanya kemiskinan. Dalam pandangannnya, seseorang
harsu hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi
sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk
membantu penduduk agar mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Dalam kaitannya
dengan daftar pengeluaran publik dari sebuah negara, ia menulis:

“Merupakan sebuah konsensus umum bahwa siapa pun yang tak mampu memperoleh
penghasilan yang tidak mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi
kebutuhannnya sendiri, tak ada perbedaan apakah mereka itu para peminta-minta atau tentara,
pedagang, buruh ataupun petani. Pengeluaran untuk kepentingan orang miskin (sedekah) tak
hanya berlaku secara khusus bagi orang tertentu. Misalnya seorang tukang yang memiliki
kesempatan kerja, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannnya. Atau
anggota tentara yang hasil tanah garapannya (iqta’) tak mencukupi kebutuhannya. Semuanya
berhak atas bantuan sedekah”. [28]

Regulasi harga dan pasar


Sebagaimana yang telah dibahas di awal, bahwa masalah pengawasan atas harga muncul pada
masa Rasulullah SAW sendiri sebagaimana yang telah diceritakan dalam hadits bahwa
Rasulullah menolak menetapkan harga. Beliau menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya
kelebihan dan kekurangan. Dialah yang membuat harga berubah dan membuat harga yang
sebenarnya (musa’ir). Saya berdoa agar Allah tak membiarkan ketidakadilan menimpa atas
seseorang dalam darah atau hak miliknya”.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali mengatakan:
“Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi
penduduk. Penduduk boleh menjual barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang
mereka sukai”. Ibnu Qudamah mengutip hadits tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak
diperkenalkan mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan
harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu dibolehkan, pastilah Rasulullah akan
melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (kezaliman) yang
dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang, yang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk
menjual pada harga berapa pun, asal ia bersepakat dengan pemiliknya.[29]

Ibnu Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa ini sangat nyata apabila adanya penetapan, dan
regulasi serta pengawasan harta dari pihak pemerintahan akan mendorong terjadinya kenaikan
harga-harga barang semakin melambung (mahal). Sebab jika para pedagang dari luar mendengar
adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dengannya ke
suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya diluar harga yang diinginkan. Dan
para pedagang lokal, yang memiliki barang dagangan akan menyembunyikan barang
dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang-barang dagangan
dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena harganya melonjak mahal/tinggi. Harga akan
meningkat dan kedua belah pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi
menjual barang dagangan mereka, dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tak bisa
dipenuhi dan dipuaskan. Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang regulasi harga oleh
pemerintah. [30]

Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan menetapkan besarnya upah pekerja,
demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga dilakukan dalam
keadaan normal. Sebab pada prinsipnya penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada
tingkat harga yang mereka sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan
ketidakadilan dan menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri
dari penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual dengan harga
terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan berakibat munculnya pasar gelap.

Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang bertentangan
dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk yang akan merugikan konsumen.
Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman, akan berakibat
ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi konsumen tak mungkin
dilakukan tanpa melalui penetapan harga, dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya.
Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui
musyawarah. Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak
dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus dihindari.[31]

Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan stabilitas
pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan itu, negara bertanggungjawab untuk
mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua masalah
pokok ini bisa mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin
menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak terbatas, sebab
akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata uang
yang bersangkutan. Mata uang koin yang terbuat dari selain emas dan perak, juga bisa menjadi
penentu harga pasar atau alat nilai tukar barang. Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus
mengeluarkan mata uang berdasarkan nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan mata uang
untuk tujuan bisnis. Ibnu taimiyah sangat jelas memegang pandangan pentingnya kebijakan
moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur harga dan alat pertukaran.
Setiap upaya yang merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk bagi ekonomi. [32]

Peranan Lembaga Hisbah

Lembaga yang bertugas dalam melakukan kontrol harga disebut dengan hisbah. Rasulullah,
sebagaimana dijelaskan diawal, memandang penting arti dan peran lembaga hisbah (pengawasan
pasar). Para muhtasib (orang-orang yang duduk di lembaga hisbah), pada masa Rasul sering
melakukan inspeksi ke pasar-pasar. Tujuan utamanya untuk mengontrol situasi harga yang
sedang berkembang, apakah normal atau terjadi lonjakan harga, apakah terjadi karena
kelangkaan barang atau faktor lain yang tidak wajar. Dari inspeksi ini tim pengawas
mendapatkan data obyektif yang bisa ditindak lanjuti sebagai respons. Jika terjadi kelonjakan
harga akibat keterbatasan pasok barang, maka tim pengawasan memberikan masukan kepada
rasulullah dengan target utama untuk segera memenuhi tingkat penawaran, agar segera tercipta
harga seimbang. Namun, tim inspeksi juga tidak akan menutupi bahwa jika faktor kelonjakan
harga karena faktor lain (mungkin penimbunan, ihtikar maka rasulullah langsung mengingatkan
agar tidak melakukan praktek perdagangan yang merugikan kepentingan masyarakat konsumen.
Terjunnya Rasulullah Saw, segera direspons positif dalam bentuk penurunan harga. Sementara
pedagang Yahudi dan paganis ada tidak berdaya menolak imbauan Rasul. Dari realitas itu terlihat
bahwa lembaga hisbah sejak masa nabi cukup efektif dalam membangun dinamika harga yang di
satu sisi memperhatikan kepentingan masyarakat konsumen dan di sisi lain tetap menumbuhkan
semangat perniagaan para pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.

Setelah Rasulullah Saw wafat, peranan lembaga hisbah diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.
Bahkan ketika khalifah Umar, lembaga hisbah lebih agersif lagi. Hal ini didasarkan oleh
perkembangan populasi yang memaksa pusat-pusat perbelanjaan juga meningkat jumlahnya.
Apabila kondisi ini tidak diantisipasi dengan sistem kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi
potensi ketidak seimbangan harga yang tentu merugikan masyarakat konsumen.

Menyadari potensi resiko ini, para khalifah yang empat memandang penting peran lembaga
hisbah. Sejarah mencatat bahwa pada masa khalifah yang empat, masalah harga dapat dikontrol
dan pada barang tertentu dapat dipatok dengan angka minimum-maksimum yang wajar.
Maknanya, di satu sisi, kepentingan konsumen tetap dilindungi, dan di sisi lain, kepentingan
kaum pedagang tetap diberi kesempatan mencari untung, tetapi dirancang untuk menjauhi sikap
eksploitaasi dan kecurangan.
Yang perlu dicatat, adalah keberhasilan lembaga hisbah dalam kontrol harga dan pematokan
harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan efektifitas kerja tim lembaga hisbah yang
commited terhadap missi dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh
anggota tim untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).

Lebih lanjut di dalam salah satu bagian dari bukunya “Fatawa”, Ibn Taimiyah mencatat beberapa
hal menyangkut persoalan harga di dalam pasar, hubungannya dengan faktor yang
mempengaruhi demand dan supply sebagai berikut :

1. Keinginan konsumen (raghbah) terhadap jenis barang yang beraneka ragam atau sesekali
berubah. Keinginan tersebut karena limbah ruahnya jenis barang yang ada atau perubahan yang
terjadi karena kelangkaan barang yang diminta (mathlub). Sebuah barang sangat diinginkan jika
ketersediaannya berlimpah, dan tentu akan berpengaruh terhadap naiknya harga.

2. Perubahan harga juga tergantung pada jumlah para konsumen. Jika jumlah para konsumen
dalam satu jenis barang dagangan itu banyak maka harga akan naik, dan terjadi sebaliknya harga
akan turun jika jumlah permintaan kecil.

3. Harga akan dipengaruhi juga oleh menguatnya atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang
karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan, bagaimanapun besar ataupun kecilnya.
Jika kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan
kebutuhan itu kecil atau lemah.

4. Harga juga berubah-ubah sesuai dengan siapa pertukaran itu dilakukan (kualitas pelangan). Jika
ia kaya dan dijamin membayar hutang, harga yang rendah bisa diterima olehnya, dibanding
dengan orang lain yang diketahui sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran atau
diragukan kemampuan membayarnya.

5. Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk alat pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli.
Jika yang deigunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan
uang yang jarang ada di peredaran.

6. Suatu obyek penjualan (barang), dalam satu waktu tersedia secara fisik dan pada waktu lain
terkadang tidaj tersedia. Jika obyek penjualan tersedia, harga akan lebih murah ketimbang jika
tidak tersedia. Kondisi yang sama juga berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu membayar
kontan karena mempunyai uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan ingin menangguhnkannya
agar bisa membayar. Maka harga yang diberikan pada pembayaran kontan tentunya akan lebih
murah dibanding sebaliknya. [33]

ETIKA PERILAKU PRODUSEN DAN KONSUMEN

1. Etika Perilaku Produsen

Pada sistem pasar persaingan bebas, produksi barang didasarkan atas gerak permintaan
konsumen, dan pada umumnya produsen selalu berupaya untuk meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Namun demikian, apabila kativitas produsen dipengaruhi oleh semangat ruh
Islam, maka aktivitasnya dalam memproduksi barang dan mencari keuntungan akan selalu
disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku dalam ketentuan syari’at Islam. Berikut ini
diuraikan beberapa hal yang terkait dengan pola produksi di bawah pengaruh semangat Islam.

1. Barang dan jasa yang haram tidak diproduksi dan dipasarkan produsen muslim tidak
memproduksi dan memasarkan barang dan jasa yang menyimpang dari ketentuan syari’at Islam,
seperti tidak memproduksi makanan haram, minuman yang memabukkan dan usaha-usaha
maksiat (prostitusi, judi, dan lain-lain yang sejenisnya).

2. Produksi barang yang bersifatkebutuhan sekunder dan tersier disesuaikan dengan permintaan
pasar. Kalau tidak demikian, maka kegiatan produksi akan membawa dampak negatif terhadap
masyarakat, apalagi ketika memasarkan produk diiringi dengan promosi dan periklanan besar-
besaran, pada akhirnya hanya akan melahirkan budaya konsumtif.

3. Produsen hendaklah tetap melakukan kontrol (mempertimbangkan sepenuhnya) permintaan


pasar. Produsen juga ikut mengatur pemasaran barang dan jasa yang diproduksinya, sehingga
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pola hidup konsumen.

4. Dalam proses produksi dan pemasaran, produsen harus mempertimbangkan aspek ekonomi
misalnya tidak melakukan kegiatan produksi dengan biaya tinggi. Sedangkan dalam aspek mental
budaya, produsen tidak dibenarkan, memproduksi barang dan jasa yang akan merusak mental
dan budaya masyarakat.

5. Tidak melakukan penimbunan barang dengan maksud untuk meraih keuntungan yang besar.
Penimbunan barang tersebut dilakukan dengan harapan terjadinya lonjakan harga, seperti
hilangnya semen dari pasaran, sehingga mengakibatkan naiknya harga semen di pasar.
Sedangkan dalam hal mencari keuntungan, hendaklah selalu mempertimbangkan aspek ekonomi
masyarakat. Ide keadilan dan kebajikan Islam berfungsi sebagai norma dalam perdagangan.
Seorang pengusaha muslim tidak dibenarkan sama sekali dalam melakukan kegiatan ekonominya
selalu bertumpu kepada tujuan untuk mengejar keuntungan materi semata. Akan tetapi seorang
pengusaha muslim juga berkewajiban untuk mendukung dan menguntungkan pihak konsumen
yang mempunyai tingkatan ekonomi lebih rendah dari padanya.

Seorang pengusaha/pedagang muslim harus melihat aktifitasnya selalu sebagai sarana untuk
memperoleh keuntungan yang wajar, juga sebagai sarana untuk beramal dengan cara
mengorbankan sebagian keuntungannya untuk pelayanan sosial dan bantuan kemasyarakatan.
Dengan demikian, motivasi kegiatan produsen/pengusaha/penjual menurut pandangan Islam
adalah sebagai berikut:

e.1. Berdasarkan ide keadilan Islam sepenuhnya.

e.2. Berusaha membantu masyarakat dengan cara mempertimbangkan kebajikan orang lain pada
saat seorang pengusaha membuat keputusan yang berkaitan dengan kebajikan perusahaannya.

e.3. Membatasi pemaksimuman keuntungan berdasarkan batas-batas yang telah ditetapkan oleh
prinsip syari’at Islam.[34]
2. Etika Perilaku Konsumen

Pada umumnya konsumen bersifat memaksimumkan kepuasannya, sebagaimana yang


dinyatakan oleh Muhammad Nejatullah Ash Shiddiqi (1991:94) dengan istilahnya “Rasionalisme
Ekonomi”. Akan tetapi kepuasan yang dimaksud di sini bukanlah kepuasan yang bebas, tanpa
batas, tetapi kepuasan yang mengacu kepada semangat ajaran Islam. Dalam ajaran Islam, aspek
utama yang mempengaruhi tingkah laku konsumen dalam rangka melakukan permintaan
kebutuhan terhadap pasar adalah sebagai berikut:

a. Permintaan pemenuhan kebutuhan terhadap pasar hanya sebatas barang yang


penggunaannya tidak dilarang dalam syari’at Islam. Dengan pola konsumsi sedemikian rupa,
maka pihak produsen tidak memiliki peluang sama sekali untuk memproduksi/memasarkan
barang-barang dan jasa-jasa yang penggunaannya dilarang oleh syari’at Islam. Misalnya: tidak
mengkonsumsi minuman keras, makanan haram, prostitusi, hiburan yang tidak senonoh dan
barang serta jasa yang dilarang menurut ajaran Islam. Dengan perilaku konsumen yang demikian
akan membawa dampak positif terhadap kehidupan masyarakat yang menyangkut aspek
keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, yang merupakan basis dari kehidupan
masyarakat yang beradab.

b. Cara hidup yang tidak boros. Dalam ajaran Islam perilaku boros merupakan perbuatan
yang tercela. Sebab pada dasarnya seorang pemilik harta bukanlah pemilik sebenarnya secara
mutlak, penggunaannya haruslah sesuai dengan kebutuhannya dan ketentuan syari’at. Kalaulah
seseorang ingin memiliki barang-barang mewah, hendaklah ia meneliti kehidupan masyarakat
disekelilingnya agar tidak timbul kecemburuan sosial dan fitnah. Seorang muslim tidak pantas
hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang serba kekurangan.

c. Pemerataan pemenuhan terhadap kebutuhan. Seorang muslim yang berkeberuntungan


memiliki kelebihan harta, tidak boleh menggunakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya sendiri, sebab di dalam setiap harta seorang muslim itu ada hak fakir miskin
(masyarakat) yang harus ditunaikan (adz Dzariaat: 19). Seorang muslim yang mampu
berkewajiban mendistribusikan hartanya kepada yang berhak menerimanya dan untuk
kepentingan umum. Sarana pendistribusian ini lazim dikenal dengan istilah zakat, infaq,
shadaqah, dan waqaf.

d. Dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan, konsumen tidak hanya mementingkan kebutuhan


yang bersifat material semata (tidak berpandangan hidup materialis), tetapi juga mementingkan
kebutuhan yang bersifat immaterial, seperti kehendak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
hubungan sosial.

e. Selain memenuhi kepentingan pribadi, juga memperhatikan kepentingan sosial masyarakat.


Artinya, bahwa selain terdapat barang dan jasa untuk kepentingan pribadi, juga ada barang dan
jasa tertentu yang digunakan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat.
f. Seorang konsumen juga harus melihat kepentingan konsumen lainnya dan kepentingan
pemerintah. Maksudnya ialah seorang konsumen bekerjasama dengan konsumen lain dan
pemerintah untuk mewujudkan pembangunan. Sehingga tergalangnya dana dari semua pihak
untuk kepentingan pembangunan. Seperti pembayaran pajak, retribusi, dan lain-lain. [35]

Perencanaan ekonomi.

Pengembangan dan kemandirian ekonomi merupakan prasyarat penting bagi stabilitas negara.
Sebuah negara yang kurang berkembang dan tak mandiri, sangat rentan menghadapi rekayasa
kekuatan asing, dan kondisi dalam negerinya mudah goyah. Tak ada satu pemerintah pun
menolak kebutuhan pengembangann ekonomi secara menyeluruh. Sebagai salah satu cara yang
efektif untuk mencapainyaadalah melalui perencanaan ekonomi. Jika kegiatan sukarela gagal
untuk memenuhi persediaan barang-barang yang dibutuhkan penduduk, negara harus mengambil
alih tugas tersebut untuk mengatur kebutuhan supply yang layak, yang hanya bisa dilakukan jika
negara menaruh perhatian atas kegiatan ekonomi dan siap siaga untuk meningkatkan produksi di
suatu wilayah yang membutuhkan.

Ibnu Taimiyah tak membedakan antara perencanaan produksi untuk barang dan jasa.
Pandangannnya bersifat umum. Tetapi secara khusus dia menyebutkan apa yang diistilahkan
dengan kebutuhan barang sosial (publik), yang kenyataannya tak pernah mungkin dipenuhi
kebutuhannya oleh setiap individu. Pemenuhan kebutuhan barang seperti itu merupakan
kewajiban permanen bagi negara. Negara harus selalu siap mengambil langkah kebijakan, jika
perlu menggunakan tekanan. Tak diragukan lagi, seperti pemikir muslim lainnya, Ibnu Taimiyah
menggambarkan dengan tegas, bahwa pemenuhan barang-barang kebutuhan publik menjadi
kewajiban utama bagi negara.

Aktifitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infra-struktur, misalnya sistem
transportasi dan komunikasi, membangun jaringan jalan, jembatan, kanal dan sebagainya,
membutuhkan biaya sangat tinggi dan masa pembiayaan sangat panjang. Karenanya investor
swasta tak mungkin menanggungnya. Jadi hal itu juga harus menjadi kewajiban negara juga
untuk menanggulanginya. Negara juga harus mengurus penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan bagi generasi muda, untuk mempersiapkan penduduk agar mampu memenuhi
kebutuhan sosial masyarakat. Begitu pula negara juga berhak untuk mempekerjakan seseorang
yang tak memiliki keterampilan apa–apa di kantor publik, jika memang hanya tenaga kerja
seperti itu sudah tersedia, hanya saja dibutuhkan pelatihan dan persiapan agar mereka mampu
memenuhi kualifikasi pokok yang dibutuhkan untuk kinerja negara dan urusan publik lainnya.

Dari pembahasan-pembahasan yang sudah dikemukakan sebelumnya menjadi jelas bahwa tak
ada tujuan dari pemikiran Ibnu Taimiyah untuk meniadakan jasa usaha individual dan
melenyapkan kedudukan pasar. Tetapi juga tidak mendukung penempatan negara sebagai
pemegang keputusan tunggal (otoritarian) dalam mengalokasikan seluruh sumber, produksi dan
distribusi barang atau melakukan pengawasan yang tersentral atau seluruh aktifitas ekonomi.
Apa yang ia maksudkan adalah jika mekanisme pasar tidak mampu bekerja optimal dalam usaha
memenuhi kebutuhan penduduk, dan ketika penduduk tidak bisa menggunakan seluruh sumber
secara optimal, negara harus mengambil peran aktif dan secara sadar menetapkan prioritas dan
menyiapkan sarana/prasarana untuk membangun akses (bagi masyarakat) ke sumber ekonomi
khususnya jika mekanisme pasar telah gagal menuju ke sana. Tentu saja, dalam
mempertimbangkan prioritas harus diputuskan melalui musyawarah dengan sejumlah ahli
ekonomi yang ada, yang hal itumerupakan kewajiban negara. Musyawarah itu harus
dilaksanakan sebagai dasar pengembangan rencana ekonomi. Perencanaan yang dibuat melalui
musyawarah dan konsensus, akan lebih mampu menciptakan harmoni dari seluruh kebutuhan
masyarakat dan mengembangkan kerjasama positif antar penduduk. [36]

Ibnu Taimiyah memiliki interpretasi yang berbeda dari penafsiran yang dikemukakan oleh Ibnu
Qudamah terhadap sabda Rasullullah SAW yang berkaitan dengan peristiwa melambungnya
harga pada zaman beliau.

Menurut pandangan Ibnu Taimiyah peristiwa di dalam hadits tersebut adalah sebuah kasus
khusus dan bukan merupakan aturan umum. Hal ini bukan merupakan dalil yang menyatakan
bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau
menetapkan harga melebihi konpensasi yang wajar. Masih menurut Ibnu Taimiyah bahwa hadits
itu menunjukkan adanya kenaikan harga disebabkan karena kekuatan pasar atau terjadi sesuia
dengan mekanisme pasar yang ada ketika itu, dan bukan karena disebabkan oleh kezaliman dari
pasar.

Ia (Ibnu Taimiyah) membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil
jika terjadi perselisihan antar dua orang. Contoh kasus pertama adalah kasus pembebasan budak.
Rasululllah SAW mendekritkan bahwa harga yag adil dari budak itu harus dipertimbangkan
tanpa ada tambahan atau pengurangan, setiap orang harus diberi bagian yang layak dan budak itu
harus dibebaskan . [37]

Kasus yang kedua menceritakan ketika terjadi perselisihan antar dua orang, satu pihak memiliki
satu pohon yang sebagian cabang-cabangnya tumbuh ditanah orang lain. Pemilik tanah
menemukan adanya jejak langkah pemilik pohon menemukan adanya jejak langkah pemilik
pohon diatas tanahnya yang digarap sangat mengganggu. Ia (pemilik tanah) mengajukan masalah
itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memerintahkan pemilik pohon itu untuk menjual
sebagian cabang pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima kompensasi atau ganti rugi yang
adil darinya. Orang tersebut (pemilik pohon) ternyata tidak melakukan apa-apa. Kemudian
Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia (pemilik
tanah) memberikan kompensasi harganya kepada pemilik pohon.[38]

Setelah menceritakan dua kasus yang berbeda tempat itu dalam bukunya “Al-Hisbah”, Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa inilah dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa Rasulullah SAW
pernah menetapkan harga (regulasi). Kemudian ia melanjutkan penjelasannya, bahwa jika harga
itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu dua orang saja, pastilah akan lebih logis
kalau hal yang sama ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan,
pakaian, dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting ketimbang kebutuhan
seorang individu. [39]
Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetepkan harga? Menurut Ibnu
Taimiyah adalah karena pada waktu itu tidak ada kelompok yang secara khusus, melainkan
hanya menjadi pedagang/penjual yang berada di kota Madinah. Tak seorang pun bisa dipaksa
untuk menjual sesuatu. Karena penjualannya tidak bsa diedentifikasi secara khusus, kepada siapa
penetapan harga itu akan diberlakukan? Itu sebabnya, penetapan harga hanya mungkin
dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis,
atau melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini
mengindikasikan hal tersebut tidak bisa dikenakan kepada seseorang yang tidak akan berarti apa-
apa atau tidak adil.

Menurut Ibnu Taimiyah, barang-barang yang dijual di kota Madinah sebagian besar berasal dari
impor. Kontrol apapun yang dilakukan atas barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya
kekurangan supply dan situasi memburuk. Jadi Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi.
[40]

Dari keterangan di atas tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para
pemegang barang atau para perantara kegaitan ekonomi itu berusaha menaikkan harga melalui
kezaliman (tidak adil). Jika seluruh kebutuhan akan barang mengantungkan harga, tetapi
membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan.
Sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Tidak membatasi impor dapat diharapkan bisa
meningkatkan supply dan menurunkan harga.

DISTORSI PASAR

1. Penimbunan Barang (Ihtikar)

Pedagang dilarang melakukan ihtikar, yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan
spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal atau dia
menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan
keuntungan di atas keuntungan normal. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan monopoly’s
rent seeking.[41]

Larangan ihtikar ini terdapat dalam Sabda Nabi Saw, [42]

‫ ل يحتكر إل خاطئ‬: ‫ سمعت رسول ا صلعم يقول‬: ‫عن معمر ابن عبد ا الن فضلة قال‬

(‫)رواه الترمذى‬
Artinya ; Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pengertian Khathi’ adalah orang yang salah, durhaka dan
orang yang musyrik. Khathi’ adalah orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja yang
berbeda dengan orang yang melakukan kesalahan tanpa sengaja.[43]. Pengertian Khathi’ itu
dijelaskannya ketika menafsirkan surah Al-qashash (28) ayat 8.

‫فا لتقطه أل فرعون ليكون لهم عدوا و حزنا ان فرعون و هامن وجنودهما كانوا خاطئين‬

Artinya, Dan pungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan
kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Firaun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-
orang yang salah.

Di kalangan ulama memang terdapat perbedaan tentang barang yang terlarang untuk dijadikan
obyek ihtikar. Namun, tampaknya ada kesamaan persepsi tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap
kebutuhan pokok. Imam Nawawi dengan tegas mengatakan ihtikar terhadap kebutuhan pokok
haram hukumnya.[44] Pendapat An-Nawawi ini sangat rasional, karena kebutuhan pokok
menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun harus dicatat, bahwa banyak sekali terjadi
pergeseran kebutuhan. Dulu mungkin suatu produk tidak begitu dibutuhkan dan tidak
mengganggu kehidupan soaial, tetapi kini produk itu mungkin menjadi kebutuhan utama,
minyalnya minyak, obat-obatan, dsb. Karena itu kita tak boleh terjebak kepada klasifikasi
barang yang tak boleh ditimbun dan barang yang boleh, Tetapi perlu dirumuskan bahwa setiap
penimbunan yang bertujuan untuk kepentingan spekulasi sehingga dampaknya mengganggu
pasar dan soial ekonomi, maka maka ia dilarang.

Suatu kegiatan masuk dalam ketegori ihtikar apabila tiga unsur berikut terdapat dalam kegiatan
tersebut :

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entry barries

2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya
kelangkaan
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1
dan 2 dilakukan[45]

Dalam grafis di atas, bila produsen berperilaku sebagai monopolis (ihtikar), maka ia akan
memilih tingkat produksinya ketika MC=MR dengan jumlah Q sebesar Qm dan P sebesar Pm.
Dengan demikian, ia memproduksi lebih sedikit, dan menjualn pada harga yang lebih tinggi.
Profit yang dinikmati adalah sebesar kotak Pm XYZ. Hal inilah yang dilarang, sebab produsen
tersebut dapat berproduksi pada tingkat di mana S=D atau ketika MC = AR. Pada tingkat ini,
jumlah barang yang diproduksi lebih banyak, yakni sebesar Qi dan harganya pun lebih murah,
yakni sebesar Pi. Tentu saja profit yang dihasilkan lebih sedikit, yakni sebesar kotak ABCD.
Selisih profit antara kotak Pm XYZ dengan kotak ABCD inilah yang merupakan monopoly’s
rent yang diharamkan.

Pasar monopoli adalah struktur pasar yang sangat bertentangan dengan mekanisme pasar sehat
dan sempurna. Monopoli adalah bentuk pasar dimana hak penguasaan terhadap perdagangan
hanya dipegang atau dimiliki oleh satu orang. Praktek bisnis ini mencegah adanya perdagangan
bebas dan menghambat manusia untuk mendapatkan harga yang adil dan sesuai, maka jelas hal
ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yang mengajarkan kemerdekaan kemerdekaan dan
keadilan di dalam perdagangan. Islam menginginkan agar harga yang adil dan fair. Oleh karena
itulah pengambilan metode ini yang hanya akan menimbulkan kebaikan harga sesaat ditentang
dan ditolak dalam Islam. Ciri-ciri monopoli menurut Sadono Sukirno, di dalam bukunya
“Pengantar Teori Mikroekonomi”, bahwa ciri-ciri pasar monopoli adalah sebagai berikut:

a. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Barang atau jasa yang dihasilkannya tidak
dapat dibeli dari tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka
menginginkannya barang tersebut maka mereka harus membeli dari perusahaan/penjual tersebut.
Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat
berbuat suatu apapun di dalam menentukannya syarat jual beli.

b. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip. Barang yang dihasilkan perusahaan
monopoli tidak dapat digantikan oleh barang lain yang ada di dalam pasar. Barang tersebut
merupakan satu-satunya jenis barang dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan
barang tersebut. Aliran listrik adalah contoh dari barang yang tidak mempunyai
pengganti yang mirip. Yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya, yaitu
lampu minyak. Lampu minyak tidak dapat mengantikan listrik, karena ia tidak dapat digunakan
untuk menghidupkan televisi dan lain-lain.

c. Tidak terdapat kemungkinan perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri


monopoli.Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan sebuah perusahaan mempunyai
kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini perusahan monopoli tidak akan terwujud, karena pada
akhirnya akan terdapat beberapa perusahaan di dalam satu industri. Ada beberapa bentuk hak
penguasaan atas pasar monopoli yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Ada yang bersifat legal
yuridis, yaitu dibatasi oleh undang-undang, ada yang bersifat teknologi, yaitu teknologi yang
digunakan sangat canggih dan tidak mudah dicontoh. Dan ada pula yang bersifat keuangan, yaitu
modal yang diperlukan sangat besar.

d. Berkuasa menentukan harga.

Karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan
harga dapat dikuasainya melalui pengendalian terhadap lajunya produksi dan jumlah barang yang
ditawarkan, sehingga dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya.

e. Promosi iklan kurang diperlukan.

Oleh karena perusahaan monopoli adalah satu-satunya perusahaan di dalam industri, ia tidak
perlu melakukan promosi penjualan secara iklan. Ketiadaan saingan menyebabkan semua
pembeli yang memerlukan barang yang diproduksinya terpaksa membeli dari perusahaan
tersebut. Kalaupun perusahaan membuat iklan bukanlah bertujuan menarik pembeli, tetapi untuk
memelihara hubungan baik dengan masyarakat atau membuat citra hidup konsumtif. [46]

Selain itu, masih dalam konteks ihtikar, Islam mengharamkan seseorang menimbun harta. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat.
Ancaman tersebut tertera dalam nash Alquran surat at-Taubah ayat 34-35 sebagai berikut :

Artinya: Dan orang-orang yang menimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannnya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa
yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah: 34-35).
Menimbun harta maksudnya adalah membekukannya, menahannya, dan menjauhkannnya dari
peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap
moral. Penimbunan harta mempengaruhi perekonomian sebab andaikata harta itu tidak disimpan
dan tidak ditahan tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha produktif, misalnya dalam merancang
rencana-rencana produksi. Dengan demikian, akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru
dan dapat menyelesaikan masalah pengangguran atau sekurang-kurangnya mengurangi
pengangguran. Kesempatan kesempatan baru dalam berbagai pekerjaan menyebabkan terjadinya
rantai perekonomian yang sangat penting. Kesempatan kesempatan ini juga menambah
pendapatan, yang akhirnya menyebabkan meningkatnya daya beli dalam masyarakat. Hal ini
mendorang meningkatnya produksi, baik dengan membuat rencana –rencana baru maupun
dengan memperluas rencana-rencana yang telah ada untuk menutupi kebutuhan permintaan yang
semakin meningkatyang disebabkan oleh pertambahan pendapatan. Meningkatnya produksi ini
tentu saja menuntut pekerja-pekerja baru yang memperoleh pendapat baru dan menambah daya
beli masyarakat suatu hal yang termasuk penyebeb meningkatnya produksi. Demikian
seterusnya, hal yang menjadikan terciptanya situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
dalam masyarakat. [47]

Di dalam bukunya “Business Ethics in Islam”, Dr. Mustaq Ahmad, lebih lanjut memberikan
komentar tentang bahaya praktek penimbuhan baik yang berbentuk uang tunai maupun bentuk
barang, sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam terminologi Islam, penimbuhan
harata seperti emas, perak, dan lainnya disebut iktinaz, sementara penimbunan barang-barang
seperti makana dan kebutuhan sehari-hari disebut dengan ihtikar.[48] Penimbunan barang dan
pencegahan peredarannya di dalam kehidupan masyarakat sangat dicela oleh Al-Qur’an, Seperti
yang difirmankan Allah SWT di dalam surat at-Taubah ayat 34-35 sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya.

Islam juga melarang praktek penimbunan makanan pokok, yang disengaja dilakukan untuk
menjual jika harganya telah melambung. Pada masa ke khalifahannya, “Umar bin Khattab
mengeluarkan sebuah peringatan keras terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang
menjadi kebutuhan masyarakat. Dia tidak membolehkan seorang pun dari kaum muslimin untuk
membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk dia timbun.[49]

Menurut al-Maududi, larangan terhadap penimbunan makanan, di samping untuk memberikan


pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeleminasi kejahatan “black
market” (pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan tersebut.
Rasulullah SAW ingin membangun sebuah pasar bebas. Dengan demikian harga yag adil dan
masuk akal bisa muncul dan berkembang sebagai hasil dari adanya kompetisi yang terbuka.
Aaaaazar, seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat kritis dalam menyingkapi penimbunan
harta benda ini, berkeyakinan bahwasanya penimbunan harta itu adalah haram, meskipun telah
dibayar zakatnya. [50]
2. Penentuan Harga Yang Fix.

Tas’ir (penetapan harga) merupakan salah satu praktek yang tidak dibolehkan oleh syariat Islam.
Pemerintah ataupun yang memiliki otoritas ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk
menentukan harga tetap sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para
pedagang jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang ditentukan, atau
melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman di dalam sebuah pasar yang mengakibatkan
rusaknya mekanisme pasar yang sehat. Tabi’at (tetap) ini dapat kita lihat dari bagaimana sikap
Rasulullah SAW terhadap masalah ini. Tatkala rasulullah SAW didatangi oleh seorang
sahabatnya untuk meminta penetapan harga yang tetap. Rasulullah SAW menyatakan
penolakannya. Beliau bersabda:

(‫بل ان ا يخفض و يرفع وانى لرجوا أن ألقى ا وليس لحد عندى مظلمة )رواه أبو داؤد‬

“Fluktuasi harga (turun-naik) itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa
dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kezaliman pada seorang yang bisa dituntut dari
saya”(HR. Abu Dawud) [51]

Dari sini jelas bahwasanya tidak dibenarkan adanya intervensi atau kontrol manusia dalam
penentuan harga itu, sehingga akan menghambat hukum alami yang dikenal dengan istilah
supply and demand. [52]

Yang serupa dengan tas’ir (penetapan harga) dan sama terkutuknya adalah praktek bisnis yang
disebut dengan proteksionisme. Ini adalah bentuk perdagangan dimana negara melakukan
pengambilan tax (pajak) baik langsung maupun tidak langsung kepada para konsumen secara
umum. Dengan kata lain, ini adalah sebuah proses dimana negara memaksa rakyat untuk
membayar harga yang sangat tinggi pada produksi lokal dengan melakukan proteksi pada para
pelaku bisnis agar terhindar dari kompetisis internasional.

Proteksionisme tidak dihalalkan karena akan memberikan keuntungan untuk satu pihak dan akan
merugikan dan menghisap pihak lain, yang dalam ini adalah masyarakat umum. Lebih dari itu,
proteksi juga merupakan sebab utama terjadinya inflasi dan akan mengarah pada munculnya
kejahatan bisnis yang berbentuk penyeludupan pasar gelap (black market), pemalsuan dan
pengambilan untung yang berlebihan. Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa proteksi merupakan
bentuk tindakan ketidakadilan, yang terjelek/terburuk. Dia menyatakan bahwa proteksi sangat
berbahaya bagi kedua belah pihak baik protektor maupun orang yang diproteksi, dengan alasan
bahwa ini adalah tindakan peningkatan hak kemerdekaan berdagang yang Allah SWT berikan.
[53]

3. Riba
Salah satu ajaran Islam yang penting untuk menegakkan keadilan dan menghapuskan ekploitasi
dalam transaksi bisnis adalah dengan melarang riba. Al-quran sangat mengecam keras pemakan
riba dan menyebutnya sebagai penghuni neraka yang kekal selamanya di dalamnya (QS.2:275).
Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama menafsirkan firman Allah
”memakan harta dengan bathil” itu dengan riba dalam firman Allah Al-Baqarah : 188

“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:188).

Riba secara etimologis berarti pertambahan[54] Secara terminoligi syar’i riba ialah, penambahan
tanpa adanya ’iwadh. Secara teknis, maknanya mengacu kepada premi yang harus dibayar si
peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak
awal. Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi’ah (penangguhan).[55]

4. Tadlis

Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak
unknown to one party.

Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak
(sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information)
sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one
party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain,
ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut
tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam:

1. Kuantitas;

2. Kualitas;

3. Harga; dan

4. Waktu Penyerahan
5. Jual Beli Gharar

Jual beli gharar ialah suatu jual beli yang mengandung ketidak-jelasan atau ketidak pastian.[56]
Jual beli gharar dan tadlis sama-sama dilarang, karena keduanya mengandung incomplete
information. Namun berbeda dengan tadlis, di mana incomplete informationnya hanya dialamin
oleh satu pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja, dalam
gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli maupun penjual. Jadi dalam
gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan) yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli
ijon, jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada di dalam
kolam, dsb. Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu : kualitas,
kuantitas, harga dan waktu.

6. Tindakan Melambungkan Harga.

Islam sangat tidak mentolerir semua tindakan yang akan melambungkan harga-harga dengan
zalim. Beberapa praktek bisnis yang akan bisa menimbulkan melambungnya harga-harga
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Larangan Maks (Pengambilan Bea cukai/pungli)

Pembebanan bea cukai sangatlah memberatkan dan hanya akan menimbulkan melambungnya
secara tidak adil, maka Islam tidak setuju dengan cara ini. Rasulullah Saw dalam hal ini
bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang mengambil beacukai”,[57] karena pembebanan
beacukai sangat memberatkan dan hanya akan menimbulkan melambungnya harga secara tidak
adil, maka Islam tidak setuju dengan cara ini. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, telah
menghapuskan bea cukai. Dia menafsirkan bahwa maks serupa dengan bakhs (pengurangan hak
milik seseorang), yang secara keras ditentang oleh Alquran. (QS.Hudd : 85).

b. Larangan Najsy

Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seseorang pura-pura menawar barang yang
didagangkan degan maksud hanya untuk menaikkan harga, agar orang lain bersedia membeli
dengan harga itu, Ibnu ‘Umar r.a. berkata: “Rasulullah SAW melarang keras praktek jual beli
najsy”. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli”.
(HR.Tirmidzi)

Transaksi najasy diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh orang lain memuji
barangnya atau menawar dengan harga yang lebih tinggi, agar orang lain tertarik pula untuk
membelinya. Si Penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia
hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli yang sebelumnya orang ini telah
melakukan kesepakatan dengan penjual. Akibatnya terjadi permintaan palsu (false demand).
Tingkat permintaan yang terjadi tidak dihasilkan secara alamiyah. Penjelasan grafis bai najasy
diperlihatkan pada gambar berikut.

c. Larangan ba’i ba’dh ’ala ba’dh

Praktek bisnis ini maksudnya adalah dengan melakukan lonjakan atau penurunan harga oleh
seseorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih melakukan dealing,
atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya
melarang praktek semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tak
diinginkan. Rasulullah SAW bersabda:

( ‫ل يبيع بعضكم على بيع بعض )رواه الترمذى‬

“Janganlah sebagian dari kamu menjual atau penjualan sebagian yang lain”(HR. Tirmidzi)[58]

d. Larangan tallaqi al-rukban

Praktek ini adalah sebuah perbuatan seseorang dimana dia mencegat orang-orang yang
membawa barang dari desa dan membeli barang itu sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW
melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
Rasulullah memerintahkan suplai barang-barang hendaknya dibawa langsung ke pasar hingga
para penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang
sesuai dan alami.

e. Larangan Ba’al Hadir lil Bad

Praktek perdagangan seperti ini sangat potensial untuk melambungkan harga dan sangat dilarang
oleh Rasulullah SAW. Praktek ini mirip dengan tallaqi al-rukban, yaitu dimana seseorang
menjadi penghubung atau makelar dari orang-orang yang datang dari Gurun Saraha atau
perkampungan dengan konsumen yang hidup di kota. Makelar itu kemudian menjual barang-
barang yang dibawa oleh orang-orang desa itu pada orang kota dimana dia tinggal dan
mengambil keuntungan yang demikian besar, dan keuntungan yang diperoleh dari harga yang
naik dia ambil untuk dirinya sendiri, Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas r.a. bersabda : Artinya

(‫ ل يبيع حاضر لباد ؟ قال ل يمكن له سمسارا )رواه مسلم‬: ‫ل تلقوا الركبان ول يبيع حاضر لباد قال قات لبن عباس ما قوله‬

“Janganlah kalian memenuhi para khalifah di jalan (untuk membeli barang-barang mereka
dengan niat membiarkan mereka tidak tahu harga yang berlaku di pasar), seorang penduduk
kota tidak diperbolehkan menjual barang-barang milik penghuni padang pasir. Dikatakan
kepada Ibnu Abbas : “apa yang dimaksud menjual barang-barang seorang penghuni padang
pasir oleh seorang penduduk kota?” Ia menjawab:”Tidak menjadi makelar mereka”. (HR.
Muslim)[59]

Penutup

Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan
(iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain.
Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga,
tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar.

Tetapi oleh karena sulitnya ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair) dan distorasi
pasar sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak, maka Islam membolehkan adanya
internevsi pasar oleh negara untuk mengembalikan agar pasar kembali normal.

Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire), tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah
menyebabkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur
dan pemilik informasi. Asymetrik informasi juga menjadi permasalahan yang tidak bisa
diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam mempunyai peran yang sama dengan dengan pasar,
tugasnya adalah mengatur dan mengawasi ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung
dengan sempurna, informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur
tidak lantas menjadikannya dominan, sebab negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar
yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.

Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw . Dengan
demikian, Islam jauh mendahului Barat dalam merumuskan konsep mekanisme pasar. Konsep
mekanisme pasar dalam Islam selanjutnya dikembangkan secara ilmiah oleh ulama sepanjang
sejarah, mulai dari Abu Yusuf, Al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun, dsb. Para ulama
tersebut telah membahas konsep mekanisme pasar secara konprehensif. Mereka telah membahas
kekuatan supply and demand. Kajian mereka juga telah sampai pada faktar-faktor yang
mempengaruhi pasar.

Dalam ekonomi Islam harga ditentukan oleh kekuatan supply and demand. Jika terjadi distorsi
pasar maka pemerintah boleh intervensi pasar Namun, ekonomi Islam menentang adanya
intervensi pemerintah dengan peraturan yang berlebihan saat kekuatan pasar secara bebas
bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Sekian.

[1] Tokoh pendiri ekonomi kapitalis adalah Adam Smith (1723-1790) dengan bukunya An
Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, New Rochelle,, N.Y : Arlington
House, 1966.

[2] Marshal Green, The Economic Theory, terj. Ariswanto, Buku Pintar Teori Ekonomi, (Jakarta,
Aribu Matra Mandiri, 1997), h.12

[3] Pada hakekatnya pemikiran sistem ekonomi sosialis sudah ada sebelum kemunculan Karl
Max, seperti Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), dan Louis Blanc (1811-
1882), namun Bapak sosialisme yang termasyhur adalah Karl Marx (1818-1883M), karena ia
menggabungkan pikiran-pikiran dari banyak ahli yang mendahuluinya. Buku Marx yang terkenal
adalah Das Capital terbit tahun 1867 dan Manifesto Comunis terbit tahun 1848.

[4]Ad-Darimy, Sunan Ad-Darimy, Darul Fikri Beirut , tt., hlm 78

[5] Adiwarman Karim, Kajian Ekonomi Islam Kontemporer, TIII, Jakarta, 2003, hlm. 76
[6]Ibid..

[7] Abu Yusuf, Kitab Al-Kharaj, Beirut, Dar al-Ma’arifah, 1979, hlm. 48.

[8] Ibid..

[9] Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, Economic Though of Abu Yusuf, , Aligarh, In Fikri wa
Najjar, vol. 5 No 1, Januari 1964, h.86

[10] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa Ibnu Taymiyah, jilid VIII, hlm. 583

[11]Ibnu Tamiyah, Al-Hisbah fil Islam, Kairo, Mesir, tt, hlm. 76

[12]Ibid..

[13] Ibnu Taymiyah, Al-Hisbah fil Islam, p.24 dan Majmu’ fatawa, VIII : 583).

[14] Ibid.

[15] Ibnu Taymiyah, Al-Hisbah fil Islam, hlm. 24

[16] Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa , op.cit, XXIX : p. 523-525).

[17] Ibn Taimiyah, “Al-Hisbah fil Islam”, Kairo, 1976, hal. 16

[18] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III, hlm. 227

[19] Ibid., hlm.87

[20] Ibid., hlm 73

[21] Ibid., jilid IV, hlm. 10

[22] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Edisi Indonesia, terj. Ahmadi Taha, Jakarta, Pustaka
Firdaus,2000, 421-423

[23] Muhammad Nejatullah Shiddiqi, The Economic Entreprise in Islam, Islamic Publication,
ltd, Lahore, terj. Anas Sidik, Bumi Aksara Jakarta, hlm. 82

[24] Ikhwan Hamdani, Sistem Pasar, Nurinsani, Jakarta, 2003, hlm.46

[25] Ibid..

[26]Ibid..
[27] Dr. A.Muh.al-Assal dan.Fathi Abd.Karim, “Hukum Ekonomi Islam” 1999,Jakarta
,Pustaka Firdaus, hal. 101-102.

[28] Ibn Taimiyah, op.cit.,hal. 30

[29] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Darul Fikri, Beirut, 1988, hlm.44

[30] Ibid..

[31] Ibid..

[32] Ibn Taimiyah, “ Majmu’ al-Fatawa Ahmad bin Taimiyah vol 29”, Riyadh, 1387 H, hal. 469.

[33] A.Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah, terj.Anshari Thayyib, Bina Ilmu Surabaya, 1997,
hlm. 104-108

[34] Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, op.cit., hal. 108

[35] Surahwardi Lubis, “Hukum Ekonomi Islam” Sinar Grafika Jakarta 2000, hal. 23-27.

[36] Ibn Taimiyah, “Siyasah Syar’iyah”, hal. 81

[37] Ibn Taimiyah, “Siyasah Syar’iyah”, hal. 81

[38] Ibnu TaymiyahAl-Hisbah, op.cit., hlm 18-23.

[39] Ibid., hlm 42

[40]Ibid., hlm 35-42

[41] Robert Frank, Microeconomics and Behavior, 2 nd. Ed, New York, MC Graw Hill, 1994, hal
114

[42] Muhammad Abdur Rahman ibn Abdur Rahim Al-Mubarakafuri, Tuhfah al-Ahwazy bi
Syarah Jami’ At-Tirmizy, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, Nomor Hadits 1310 hlm, 428

[43] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Sahfwah at Tafasir, Beirut Darul Kutub, 1986, jilid 2, hlm
674.

[44] Muhammad Abdur Rahman, loc.cit. lihat juga Ali Abdur Rasul, Al-Mabadi al-Iqtishadiyah
fi al-Islam, Kairo, Dar al-Fikri Al-‘Araby, tt, hlm. 62.

[45] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Indonesia, The International Insitute of Islamic
Thought Indonesia, IIIT, 2002, hlm,154
[46] Sadono, Sukirno, 2000, hal. 262

[47] Dr.A.Muh.Al-Assal dan Dr. Fathi Abd.Karim, op.cit., hal.100-101.

[48] Mustaq Ahmad, “Business Ethics in Islam, International Institute of Islamic Thought (IIIT),
Pakistan, terj. Etika Bisnis dalam Islam”, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 145

[49] Ibid..46

[50] Ibid..

[51] Abu Daud, Sunan Abu Daud, No Hadits 3450, jilid III, Dar al-Hadits Syuriah,tt.

[52]Mustaq Ahamd, loc.cit..

[53] S.M.Yusuf, Economic Justice in Islam, Lahore, Muhammad Asyraf, 1971, hlm. 69

[54] Raghib al-Isfahani, Al-Mufradat fi Gharibil Quran, Kairo, Mustafa al-Baby al-Halabi,
1961, hlm. 186.

[55] Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arabi, Beirut, Darul Ihya At-Turast al-‘Araby, Juz 14, hlm. 304.

[56] Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Edisi Indonesia, Doktrin Ekonomi Islam,
jilid 4 Terj. Suroyo Nastangin, Dana Bhati Wakaf Yogyakarta, 1996, hlm. 161.

[57] Hadits ini dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit., hlm 47 dan Mustaq Ahmad, op.cit, hlm 148

[58] At-Tirmizy, Al-Jami Shahih Sunan At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut,
hlm 37

[59] Imam Muslim, Shahih Muslim, Bab Buyu’, Riyadh, Darus Salam, 1998. No hadits 1521
Sumber:

http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/wilayah-al-madzalim-pengertian-sejarah.html

WILAYAH AL MADZALIM PENGERTIAN, SEJARAH DAN


WEWENANGNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam masyarakat pra Islam, tidak ada kekuasaan politik dan sistem peradilan yang
terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengkataan mengenai hak milik, hak waris dan
pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui
bantuan juru damai atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Untuk itu tidak ada pejabat resmi, melainkan lebih bersifat ad hoc. Artinya jika terjadi
persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru
damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah
bertindak sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah.
Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad pada tempat
semula. Di kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas
yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku
Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk
memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu Syaibah.
Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “inilah al-
Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada
Muhammad peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan
persoalan itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian
yang dilakukan oleh Muhammad itu. Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad
sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya.
Kegiatan seperti ini terus berjalan hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan
Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan
Rasul sebagai kepala negara, sebagai hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat
Islam. Semula Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat
Islam mulai tersebar ke berbagai daerah, maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat
lainnya untuk menjadi hakim yang menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat
mereka berada. Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai
konsekuensi dari pemberian kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk
“berijtihad“, dalam kasus-kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1. Pengadilan Al-Qadla (pengadilan biasa)
2. Pengadilan Al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar)
3. pengadilan Al-Madzalim
Dan melalui makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai wilayah Al-
Madzalim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan kedudukan dari Wilayah Al- Madzalim?
2. Bagaimana sejarah dari wilayah Al- Madzalim?
3. Bagaimanakah wewenang dari Wilayah Al- Madzalim?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kedudukan Wilayah Madzalim


Kata Walayah Al Madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara
literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan . Sedangkan kata al madzalim adalah
bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan secara terminologi, Wilayah Al- Madzalim diartikan suatu kekuasaan dalam
bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.
lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa.
lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa
dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperikasa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara
yang diajukan oleh seorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan
dari yang bersangkuta, akan tetapi jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.[1] Dengan
kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para
Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya.
Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, Al Madzalim bisa
disejajarkan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkama Agung, yang sebagai tempat orang
mengajukan banding.[2]

B. Sejarah Lembaga Al- Madzalim


Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam
kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Hal ini merupakan wujud dari orang
Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan pembelaan terhadap orang-
orang yang dizalimi.
Di masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah yang menyelesaikan segala pengaduan
terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al- Khulafa Al- Rasyidin tidak mengadakan
lembaga ini, karena anggota-anggota masayarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran agama. Pertengkaran- pertengkaran yang terjadi diantara mereka masih dapat
diselesaikan oleh pengadilan biasa, akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Tholib,
beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-
pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun keberadaannya belum
diatur secara khusus.
Wilayah Al Madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan bani umayyah,
tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa Islam
pertama yang membentuk lembaga al madzalim (peradilan khusus). Ia menyediakan waktu
khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al madzalim. Untuk itu ia didampingi oleh
hakim ibnu Idris al Azdi. Jika menemui kesulitan dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik
berkonsultasi meminta pertimbangan kepada ibnu Idris al Azdi.[3]
Pada masa Bani Abbasiyah, Wilayah Al Madzalim masih tetap mendapatkan perhatian
yang besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana khalifah
Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kedzaliman yang
dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian jelek. Wanita tersebut
mengadukan bahwa anak sang khalifah, al Abbas telah mendzaliminya dengan merampas tanah
haknya. Kemudian khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan
kasus tersebut didepan sang khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut
mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para pengawal istana
mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, “dakwaannya benar, kebenaran telah
membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat anakku membisu.” Kemudian hakim
mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.[4]

C. Wewenang Wilayah Madzalim


Menurut Al Mawardi di dalam Al Ahkamu Sulthaniyah menerangkan, bahwa perkara-
perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu:

1. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan, maupun terhadap golongan

2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-


harta kekayaan Negara yang lain

3. Mengontrol atau pengawasi keadaan para pejabat


Ketiga-tiga perkara tersebut di atas harus dipriksa oleh lembaga madzalim apabila
diketahui adanya kecurangan dan penganiayaan tanpa menunggu pengaduan dari yang
bersangkutan.

4. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun
dilambatkan pembayarannya.

5. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-


penguasa yang dzalim

6. Memperhatikan harta-harta wakaf. Jika wakaf-wakaf itu merupakan wakaf umum, maka
lembaga ini mengawasi berlaku tidaknya syarat-syarat oleh si pemberi wakaf. Kalau
wakaf yang khusus, maka lembaga ini bertindak setelah ada pengaduan yang
bersangkutan.

7. Melaksanakan putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim itu sendiri,
lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi
derajatnya.

8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak
dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah.

9. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti Jum’at. Hari Raya,
Hajji, dan Jihad.

10. Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan.[5]

D. Kelengkapan-Kelengkapan Lembaga Madzalim


Untuk terselenggaranya peradilan Al Madzalim dengan sempurna harus dipenuhi lima hal
berikut, yaitu:

1. Adanya Advokat atau pembela.


2. Para hakim yang bertugas untuk mengembalikan hak-hak kepada orang yang berhak,
setelah melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan setelah
melakukan penelitian hukum atas kasus mereka.

3. Para ahli fiqih yang bertugas untuk membantu para hakim ketika mereka menemukan
kesulitan dalam bidang hukum atau tidak mengetahui hukum syar’i yang tepat bagi
permasalahan yang menjadi sumber persengketaan.

4. Para katib (panitera) yang bertugas untuk mencatat dan mengkodifikasikan segala
kejadian dan peristiwa dalam proses persidangan.

5. Para saksi yang bertugas menjadi saksi atas hukum yang telah ditetapkan oleh hakim dan
mengkukuhkan bahwa keputusan yang telah ditetapkan tidak bertentangan dengan
kebenaran dan keadilan dan menyaksikan bahwa para hakim jelas-jelas menerapkan
syariat Islam. [6]

BAB III
KESIMPULAN

Wilayah Al- Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih
tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. lembaga ini memeriksa perkara-
perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa.
Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam
kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Di masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah
yang menyelesaikan segala pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al khulafa
Al Rasyidin masih belum ada, akan tetapi pada akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin
Abi Tholib, beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki
pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun
keberadaannya belum diatur secara khusus. Wilayah al madzalim menjadi lembaga khusus pada
masa kekhalifahan bani umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
Dan pada masa Bani Abbasiyah, wilayah al madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang
besar dari khalifah.
Wewenang yang dimiliki oleh Wilayah Al Madzalim adalah memutuskan perkara-perkara
yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalankan proses peradilannya. Seperti kedzaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim.

[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 92.
[2] Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm 169.

[3] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm 113.
[4] http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/08/02/walayah-al-madzalim/

[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,… hlm 92-94.
[6] Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,…hlm 168-
169.

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani.
http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/08/02/walayah-al-madzalim/

Sumber:

http://ayulestaribelajar.blogspot.com/2016/05/prinsip-dasar-mekanisme-pasar-dalam.html

(5/10/2018)

Prinsip Dasar Mekanisme Pasar dalam Ekonomi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupannya, manusia saling berinteraksi satu dengan lainnya. Ini karena fitrah manusia
sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Manusia dalam kesehariannya membutuhkan makan
dan juga kebutuhan lain. Dalam hal ini, tidak semua manusia bisa bertemu dengan orang yang berbeda
kebutuhannya dan membutuhkannya. Karena perbedaan cara memperoleh kebutuhan itulah, manusia
sulit untuk mencari barang yang mereka butuhkan. Hingga berjalannya waktu, manusia menemukan
lokasi yang tepat untuk menukarkan barang kebutuhan mereka, yang dinamakan dengan pasar.

Pasar (‫ )السسسوق‬merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk memenuhi


kebutuhannya. Dalam Islam, cara manusia bertransaksi diatur dalam syariat, yaitu cara penjual
memperdagangkan barangnya dan cara pembeli mendapatkannya. Di pasar, antara penjual dan pembeli
terjadi transaksi tawar-menawar untuk mendapatkan harga yang sepakat. Antara penjual satu dengan
penjual lainnya, dalam menawarkan harga jualnya berbeda-beda, ini karena mereka melihat kondisi
pasar dan juga pelanggannya. Proses penentuan kesepakatan harga yang dipengaruhi permintaan dan
penawaran (kondisi pasar) inilah yang disebut dengan Mekanisme Pasar.

Proses inilah yang dalam Islam dikaji lebih mendalam demi untuk kemaslahatan umat. Di dalam
mekanisme pasar, terjadi selisih harga jual antara pedagang. Selain itu, di pasar banyak terjadi pedagang-
pedagang nakal dengan curang mengurangi timbangan atau dengan memanis-maniskan barang
dagangannya demi untuk menarik perhatian pembeli. Selain itu, jika akan memasuki hari-hari besar, tiba-
tiba harga bahan pokok melonjak begitu tinggi, sampai-sampai seperti banyak kabar yang tidak jelas
mengenai harga di pasar. Entah disebabkan oleh kelangkaan alami atau hanya sekedar motif mencari
untung besar-besaran (ikhtikar). Hal ini sudah tidak asing lagi bagi semua lapisan masyarakat, ketika
terjadi kelangkaan bahan makanan, seperti cabai merah misalnya, apakah benar jika hanya karena
menjelang bulan ramadhan stoknya habis dan akhirnya harganya melonjak tinggi?

Masalah-masalah di pasar begitu kompleks. Dengan berdasar alasan-alasan diatas, penulis


mengambil judul “Prinsip Dasar Mekanisme Pasar dalam Ekonomi Islam” adalah untuk membahas
bagaimana konsep Islam dalam menanggapi sekian banyak permasalahan di Pasar, sehingga perlu dikaji
lebih dalam untuk memperoleh fakta mengenai mekanisme pasar. Dengan demikian, akan terjawab
bagaimana cara menanggapi keadaan pasar melalui pendekatan Maqoshid Syariah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari mekanisme pasar dan bagaimana konsepnya dalam Islam?

2. Bagaimana kondisi pasar pada permulaan Islam?

3. Bagaimana konsep pasar pada masa Rasulullah Saw. dalam kaitannya dengan mekanisme pasar?

4. Apa itu Lembaga hisbah dan apa fungsinya dalam Mekanisme pasar?

5. Bagaimana konsep Evolusi Pasar menurut pemikiran Imam Al-Ghazali?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Maqoshid Syariah dengan tujuan:

1. Untuk mengetahui pengertian mekanisme pasar dan konsepnya dalam Islam.

2. Untuk mengetahui kondisi pasar pada permualaan Islam.

3. Untuk mengetahui konsep pasar pada masa Rasulullah Saw. dalam kaitannya dengan mekanisme pasar.

4. Untuk mengetahui pengertian dan fungsi lembaga hisbah dalam Mekanisme Pasar.

5. Untuk mengetahui konsep Evolusi Pasar menurut Imam Al-Ghazali.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsep Mekanisme Pasar dalam Islam

Islam dalam mengatur kaidah tentang muamalah memperhatikan bentuk perilaku manusia dalam
berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhannya di dunia, termasuk kaidah yang
mengatur pasar dan mekanismenya. Pengertian pasar secara sederhana adalah tempat transaksi jual beli
barang atau jasa dari penjual dan pembeli (http://suud83.wordpress.com). Pasar menempati posisi yang
penting dalam Islam, ini karena pasar memiliki fungsi sebagai tempat bertemunya antara penjual dengan
pembeli untuk memenuhi kebutuhan manusia dan juga mendapat keuntungan bagi penjual. Dari cara
manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya, Islam mengaturnya sedemikian rupa, agar transaksi
yang dilakukan mendapat laba dan berkah, bukan hanya keuntungan dan kepuasan yang menjadi dalih
dalam ekonomi konvensional.

Begitu pentingnya pasar untuk menunjang ekonomi masyarakat, namun pasar rentan dengan
adanya masalah kecurangan dan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain, seperti mengurangi
timbangan. Karenanya, sudah tertulis terlebih dahulu dalam al-Quran aturan-aturan yang ditentukan
Allah yang disebut dengan syariat. Terkait dengan hal ini, Allah Swt. berfirman dalam Surat al-Rahman: 9,

‫نوأأ َمقـِييـِرمـْـْيواَ َاَليـْـْنويزنن َمبـِا َليـِمقـِيسـْ م‬


(9)َ ‫ط َنونل َترـْـْيخـِمسـْرريواَ َاَليـِممـِييـْنزاَنن‬

Artinya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Al-
Rahman: 9)

Pasar juga merupakan tempat pembentukan harga. Mekanisme pasar adalah kecenderungan
dalam pasar bebas untuk terjadinya perubahan harga sampai pasar menjadi seimbang (jumlah yang
ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta). Jadi mekanisme pasar merupakan suatu proses
penentuan harga berdasarkan permintaan dan penawaran (http://file.upi.edu.pdf).
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri diatas persaingan bebas (perfect
competition). Namun, bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, tetapi kebebasan itu harus
sesuai dengan aturan syariah. suatu harga terbentuk karena mekanisme pasar dan pengaruh hasil dari
suatu penawaran dan permintaan sehingga penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi harga dan
hanya berperan sebagai penerima harga (price-taker) saja.

Prinsip-prinsip yang dibangun oleh Islam untuk mekanisme pasar mencakup nilai-nilai moralitas
Islam (Al Arif dan Amalia, 2010: 263), yaitu:

1. Ar-Ridha, yakni segala transaksi dilakukan haruslah atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak
(freedom contract).

2. Berdasarkan persaingan yang sehat (fair competition), yaitu tidak adanya kecurangan dalam mekanisme
pasar, seperti melakukan ikhtikar.

3. Kejujuran (honesty, artinya jual beli dilakukan seperti dicontohkan Nabi Muhammad Saw, yaitu dengan
menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari barang yang Beliau jual.

4. Keterbukaan (transparancy)

5. Keadilan (justice), Rasulullah selalu mengelompokkan harga barang sesuai dengan kualitasnya.

B. Pasar pada Permulaan Islam

Islam merupakan agama yang di rahmati Allah dengan segala bentuk keteraturan di atur dalam
kitab suci al-Quran yang dibawa oleh Utusan-Nya Nabi Muhammad Saw. Namun sebelum masuknya
Islam, (Jusmaliani, 2008: 47) perdagangan dengan cara kerja sama (syirkah) telah lazim dilakukan
masyarakat di Jazirah Arab. Model-model kerja sama ini dilakukan sebagai bentuk pengalaman yang luas
bagi bangsa Arab, khususnya suku Quraisy dalam berdagang ke berbagai negeri serta pengetahuan
dagangnya yang cukup baik.

Dalam sejarahnya, (Fauzia dan Riyadi, 2014: 197) Islam diturukan di suatu penduduk yang aktivitas
perdagangannya tergolong maju pada saat itu. Bangsa Quraisy di Mekkah sering kali melakukan
perjalanan perdagangan ke Syam dan Yaman. Jalur perdagangan mereka pada saat itu terbentang dari
Yaman sampai ke daerah-daerah Mediteranian. Keterangan ini dapat dilihat dari penjelasan Surat al-
Quraisy: 1 – 4.
‫( َ اَل صـِـْـْمذيي‬3)َ ‫( َ فنـِليـِينـِيعـِّربرديواَ َنرصب َ َنهـْـْـْـْـْنذاَ َاَليـِنبـِّييـِمت‬2)َ ‫( َ ماَل نـِمفـْـْمهـِيم َمريحـِّلنـِنة َاَلـِمششـِّتنـِامء َنواَلـْصصـِييـِمف‬1)َ ‫ َ مل َييـِلنمف َرقـْنرييـِشش‬
‫ل‬
َ ‫ل‬
(4)َ ‫ناَيطـِنعـَنمـْـْرهـِيم َممـِينـْرجـْيوعش َ صوناَنمـِننـْـْرهـِيم َممـْين َنخـْيوشف‬

Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan
musim panas, maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (ka’bah). Yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.” (QS. Al-Quraisy: 1 – 4)

Ayat diatas menjelaskan bahwa orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk
berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam
perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri – negeri yang
mereka lalui. Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu,
sewajarnyalah mereka menyembah Allah Swt. yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka
(Mardani, 2012: 5).

Menurut beberapa rekam sejarah, perjalanan dagang penduduk Quraisy pada saat itu
menghabiskan waktu perjalanan mereka adalah satu bulan untuk perjalanan berangkat, satu bulan
untuk berdagang dan satu bulan untuk perjalanan pulang.

Menurut sejarahnya (Haekal, 2003: 20, yang dikutip Jusmaliani, 2008: 47) Mekkah telah menjadi
pusat perhatian kabilah-kabilah dari negeri-negeri di sekitar Sahara karena adanya Ka’bah, sehingga
Mekkah dikenal pula sebagai pusat perdagangan untuk Jazirah Arab. Suku Quraisy yang berdiam di
Mekkah kemudian dikenal sebagai penjaga Ka’bah. Perdagangan bagi suku Quraisy dan bangsa Arab
umumnya merupakan fakta yang terjadi akibat dari tandus dan gersangnya wilayah dan tempat tinggal
mereka, sehingga tdak berkembangnya sektor pertanian di daerah ini.

Dengan demikian dapat kita lihat sejarahnya, bahwa masyarakat Arab sudah memiliki budaya
sendiri dalam memenuhi kebutuhan mereka pada saat itu yaitu dengan berdagang. Dan dalam al-Quran
sudah dijelaskan diatas, bagaimana perjalanan dagang bangsa Arab, yaitu mereka bepergian di musim
dingin sampai berganti musim panas dengan menempuh jarak yang begitu jauh dari tempat tinggal
mereka dengan bertaruhkan nyawa melewati padang pasir yang panas.
Dari penjelasan diatas bahwasanya pasar pada permulaan Islam berawal dari bangsa Arab yang
melakukan pemenuhan kebutuhannya melalui perdagangan di pasar bahkan sampai ke luar negeri
melalui perdagangan dengah model Upah, Perdagangan dengan model Mudharabah dan perdagangan
dengan modal bersama (Jusmaliani, 2008: 48-51). Sebagai contoh nabi Muhammad pun melakukan
aktivitas dagangnya yang sejak kecil dengan menggembala kambing bagi penduduk Mekkah dan
kemudian diberikan upah.

C. Pasar Masa Rasulullah Saw.

Nabi Muhammad yang lahir di Kota Mekkah dengan kondisi perekonomiannya yang sangat maju
terutama pada sektor perdagangan. Dengan dukungan internal dan eksternal, Nabi Muhamad tumbuh
besar dengan memiliki jiwa pedagang, oleh karenanya beliau sangat mengerti mekanisme pasar. Pada
usia tujuh tahun (Al Arif dan Amalia, 2010: 264), Nabi Muhammad telah diajak oleh pamannya Abu
Thalib melakukan perjalanan perdagangan ke negeri Syam. Dari sinilah ilmu perniagaan beliau diasah.
Kemudian, sejalan dengan usia Beliau yang semakin dewasa, Nabi Muhammad semakin giat berdagang,
baik dengan modal sendiri, ataupun bermitra dengan orang lain. Dengan hanya bermodalkan intangible
assets, yaitu kejujuran (al-amin), (Fauzia dan Riyadi, 2014: 200).

Kemitraan dilakukan dengan sistem mudharabah atau musyarakah, dapat dianggap cukup populer
pada masyarakat Arab saat itu. Salah satu mitra bisnisnya adalah Khadijah, seorang pengusaha yang
cukup disegani di Mekkah. Beberapa perjalanan bisnis yang dilakukan Nabi Muhammad (Al Arif dan
Amalia, 2010: 200) adalah ekspedisi dagang ke Yaman dan Habasyah, empat kali ke Syiria, Jorash dan
Bahrain (Timur Semenanjung Arab). Sehingga Nabi Muhammad lebih dari 20 tahun menggeluti dunia
bisnis dengan total eksedisi yang dilakukan adalah enam kali. Bisa disimpulkan disini bahwa nabi
Muhammad pada umur 12 sampai 20 tahun adalah seorang pembelajar dalam bidang bisnis, yang
kemudian membuahkan kompetensi dalam diri Beliau. Sehingga pada umur 20 sampai 25 tahun, Beliau
menjadi pebisnis yang profesional dengan cara mengelola modal dari Khadijah. Pada saat Nabi
Muhammad menikahi Khadijah, direntang umur yang ke-25 hingga 37 tahun, Beliau menjelma menjadi
seorang pengusaha andal.

Setelah perpindahan (hijrah) Rasulullah ke Madinah akibat pemboikotan yang dilakukan oleh
kaum Quraisy setelah kenabian. Di Madinah Beliau menjadi pengawas pasar (muhtasib). Salah satu
buktinya yaitu Rasulullah Saw. menolak untuk membuat kebijakan dalam penetapan harga, pada saat
harga sedang naik karena dorongan permintaan dan penawaran yang alami, hal ini ditunjukkan Beliau
dalam suatu kasus masa pemerintahannya di Madinah. Suatu saat terjadilah harga barang melambung
cukup tinggi di pasaran. Tingginya harga barang tersebut kemudian disikapi para sahabat dengan
mengajukan saran kepada Rasulullah Saw. untuk menetapkan harga agar tidak terlalu tinggi. Saran para
sahabat tersebut oleh Rasulullah ditolak, sambil berkata:
‫اـْـْ َنعـِلنـِييـِـْـْمه‬ ‫ َفنـِنقـِـْـْانل َنررسـْـْيورل َ م‬.‫اـْ َغنـِـْـْنل َاَلنسـِيعـْـْرر َفننسـِمعـْـْرر َلنننـِـْا‬
‫اـْـْ َنصـِـْـْصل َ م‬ ‫نعـْين َناَن نـِشس َقنـِانل َقنـِانل َاَلنصـْارس َيـِنـْا َنررسـْيورل َ م‬
‫اـْـْ َنولنييـِـْـْنس َأأنحـِـْـْدد‬ ‫ا َرهـْنواَليـْنخـِـْـْا َملـْـْرق َاَليـِنقـِامبـْـْرض َاَليـِنبامسـْـْ ر‬
‫ط َاَلـْـْصراَمزرق َاَل ريسمعـْـْرر َنواَمنـْـْ َ ن ألير َرجـْـْيو َأأين َأأليـِـْـْنقىَ َ ن‬ ‫ َماَصن َ ن‬:َ ‫نونسـِلنـِنم‬
‫ل‬
.‫ممـِينـِركـِيم َي نـْيطلرـِربـِمن َبـِمرمـْنظلنـِنمـِشة َمف َندشم َنونل َنمـِاشل>> َ َنرنواَره َأأبرـْيو َنداَرويد َنونصـْصحـْنحـِره َاَأل َاَليـِنبـِا َمنـْيي‬
“Dari sahabat Anas, ia menuturkan, ‘Para sahabat mengeluh kepada Rasulullah Saw., dan mereka
berkata: ‘Wahai Rasulullah harga (saat itu) naik, maka tentukanlah harga untuk kami’, Rasulullah
bersabda: ‘Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan serta
memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang
pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah dan harta.” (HR. Abu Daud oleh Al-Albani
dinyatakan sebagai hadits Shahih)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak menetapkan harga jual, dengan alasan
bahwa dengan menetapkan harga akan mengakibatkan kezaliman, sedangkan zalim adalah haram.
Karena jika harga yang terlalu mahal, maka akan menzalimi pembeli, dan jika harga yang ditetapkan
terlalu rendah, maka akan menzalimi penjual.

Dalam hadits diatas juga jelas dinyatakan bahwa pasar (Al Arif dan Amalia, 2010: 265) merupakan
hukum alam (sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi. Tak seorang pun secara individual dapat
memengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan kolektif yang telah menjadi ketentuan Allah.
Pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya penetapan harga dengan cara dan alasan yang tidak tepat,
merupakan suatu ketidakadilan (zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan
Allah. Sebaliknya, dinyatakan bahwa penjual yang menjual dagangannya dengan harga pasar adalah
laksana orang yang berjuang dijalan Allah (jihad fii sabilillah), sementara yang menetapkan sendiri
termasuk sebuah perbuatan ingkar kepada Allah. Dari Ibn Mughirah terdapat suatu riwayat ketika
Rasulullah Saw. melihat laki-laki menjual makanan dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar.
Rasulullah Saw. bersabda: “Orang-orang yang datang membawa barang ke pasar ini laksana orang
berjihad fisabilillah, sementara orang-orang yang menaikkan harga (melebihi harga pasar) seperti orang
yang ingkar kepada Allah.”

Penghargaan Islam terhadap mekanisme pasar berdasar pada ketentuan Allah bahwa perniagaan
harus dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka (antaradin minkum / mutual goodwill), (Al Arif
dan Amalia, 2010: 266). Suka sama suka atau yang disebut dengan ridho merupakan salah satu syarat
jual beli, hal ini dinyatakan dalam Surat An-Nisa’: 29,
‫ينـِأأ َي يـْـْنهـِا َاَل صـِمذ َييـْنن َنءاَنمـِنرـْـْيواَ َنل َتنـِـْأأ َ َركـَلرـْـْيواَ َ َأأيمـْـْنولنـِركـِـْـْيم َبنـِييـِننـِكرـِـْـْيم َمبـِـْا َليـِنبـْـْمطـِـْمل َماَصل َأأين َتنـِركـْـْـْيونن َتمـْنجـْـْـْنرةة َنعـْـْين َتنـْـْنراَ َمض‬
َ َ (29)َ ‫ممـِينـِركـِيم َج َنونل َتنـِيقـِرتـِلرـْـْيواَ َناَنيـِرفـِمسـِركـِيم َج َماَصن َنا َنك َنن َمبـِركـِيم َنرمحـِييـِنمـَا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan jangalah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa’: 29)

Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual goodwill bagi para
pelakunya., maka nilai moralitas mutlak harus ditegakkan. Secara khusus, nilai moralitas mendapat
perhatian penting dalam pasar adalah persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan dan keadilan. Nilai
moralitas ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, sebagaimana dicantumkan dalam berbagai ayat
al-Quran. Untuk itulah Rasulullah Saw. telah menetapkan beberapa larangan terhadap praktis bisnis
negatif yang dapat mengganggu mekanisme pasar yang alami (Al Arif dan Amalia, 2010: 266).

Nilai moralitas yang dimaksudkan adalah persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty),
keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada
alasan untuk menolak harga pasar. Bila terjadi kenaikan harga ataupun penurunan harga, sepanjang
kenaikan terjadi karena kekuatan yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopilistik dan
monopsonitik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar.

Fakta lain adalah bahwa Rasulullah Saw. telah banyak memberikan contoh dalam melakukan
perdagangan secara adil dan jujur yang berkaitan juga dengan mekanisme pasar dalam perdagangan.
Dalam suatu transaksi perdagangan, kedua belah pihak dapat saling menjual dan membeli barang secara
ikhlas artinya tidak ada campur tangan serta intervensi pihak lain dalam menentukan harga barang
(Jusmaliani, 2008: 55).

Mengenai apakah ada penentuan harga dalam kondisi tertentu misalnya dan bagaimana
hukumnya? Dalam hal ini Fauzia dan Riyadi menuliskan (2014: 202) hukum asal penentuan harga yang
dikutip dari Wahbah Zuhaili yaitu tidak ada penentapan harga (al-tas’ir) dan ini merupakan kesepakatan
para ahli fiqh. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pemimpin tidak berhak untuk menetapkan
harga, akan tetapi masyarakat mempunyai kewenangan untuk bisa memperjualbelikan sesuatu menurut
apa yang mereka tetapkan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa penetapan harga adalah haram, yaitu
menetapkan harga barang untuk menyusahkan masyarakat dengan meninggikan harga tersebut dan ini
tidak dikhususkan hanya untuk makanan.
Adapun Malikiyah dan Hanafiyah membolehkan penetapan harga untuk barang-barang hajiyat
(sekunder), hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Yaitu, apabila pemilik
barang dagangan mematok harga yang tinggi, maka dalam kondisi seperti ini pemimpin dan stafnya
berhak menentukan harga dengan tujuan untuk kemaslahatan masyarakat.

Pendapat penetapan harga dalam perspektif ekonomi Islam juga datang dari beberapa para
ulama, diantara Abu Yusuf (Nurul Huda, 2008: 231) yang merupakan ulama terawal yang mulai
menyinggung mekanisme pasar. Beliau memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam
kaitannya dengan perubahan harga dan menyatakan murah atau mahalnya suatu harga merupakan
ketentuan Allah. Disebutkan juga oleh Nurul Huda, bahwa Ibnu Chaldun menjelaskan permintaan dan
penawaran dalam menciptakan harga keseimbangan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya biaya
produksi karena pajak mempengaruhi penawaran.

Sebenarnya yang menjadi motif utama mengapa Rasulullah melarang tas’ir adalah penetapan
harga yang terlalu tinggi dan akibatnya adalah menyusahkan masyarakat. Jikalau penetapan harga
dilakukan untuk kebaikan dan maslahah untuk masyarakat, maka tas’ir tidak apa-apa dilakukan, dan ini
tidak menyalahi Hadits diatas.

Hadits Rasulullah diatas mampu menembus teori mekanisme pasar (market mechanis) pada era
sekarang, yaitu kecenerungan di pasar bebas sehingga terjadi perubahan harga, sampai pasar menjadi
seimbang (equilibrium). Yaitu keadaaan di mana jumlah penawaran dan permintaan sama. Pertemuan
antara permintaan dan penawaran tersebut hanya terjadi rela sama rela, dengan demikian Islam
menjamin pasar bebas di mana para pembeli dan para penjual bersaing satu sama lain dengan arus
informasi yang berjalan lancar dalam kerangka keadilan. Yakni tidak ada pihak yang dirugikan, baik dari
produsen, konsumen ataupun pemerintah yang zalim atau dizalimi.

Akan tetapi pada titik tekan yang berbeda, hadits tentang ‘ketidakmauan’ Rasulullah menetapkan
harga akan menjadi tidak berlaku apabila ada beberapa distorsi pasar. Maka saat terjadi distorsi pasar,
demi menjunjung tinggi kemaslahatan konsumen, produsen dan pedagang, pemerintah berhak
melakukan penetapan harga demi menghindari kezaliman.

Mekanisme penentuan harga dalam Islam sesuai dengan Maqoshid Syariah, yaitu merealisasikan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan di antara manusia. Seandainya Rasulullah saat itu langsung
menetapkan harga (pada saat diminta penetapan harga oleh para sahabat), maka akan kontradiktif
dengan mekanisme pasar.

Pandangan dari Ibnu Taimiyyah disebutkan tentang konsep mekanisme pasar. Terdapat beberapa
prinsip yang melandasi fungsi padar dalam masyarakat muslim (Jusmaliani, 2008: 56 dari Izodimin,
2005), yaitu:
1. Dalam konsep perdagangan Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar, yaitu kekuatan
permintaan dan penawaran.

2. Mekanisme pasar dalam konsep Islam melarang adanya sistem kerja sama yang tidak jujur.

3. Bila pasar dalam keadaan tidak sehat, di mana telah terjadi tindak kezaliman, maka menurut Ibnu
Taimiyyah pemerintah wajib melakukan regulasi (menetapkan harga) pada tingkat yang adil antara
produsen dan konsumen tanpa ada pihak yang dirugikan.

Peran pemerintah dalam melakukan regulasi ini pernah dicontohkan Rasulullah Saw. dalam suatu
kasus perselisihan antara dua orang bertetangga mengenai kepemilikan sebuah pohon yang sebagian
dahannya menjulur dan mengotori halaman tetangganya. Tetangga ini mengadu dan protes kepada
Rasulullah, kemudian Beliau memerintahkan pemilik pohon menjual sebagian dahan pohon yang
menjorok tersebut dengan menerima ganti harga kompensasi yang wajar dan adil. Akan tetapi, ternyata
pemilik pohon tidak melakukan tindakan apapun, sehingga Rasulullah memperbolehkan pemilik tanah
menebang pohon tersebut dengan memberikan kompensasi harga kepada pemilik pohon.

Berkaitan dengan terjadinya intervensi atas dilanggarnya prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran
dalam perdagangan. Didalam Islam, harga yang adil yaitu harga yang diserahkan kepada keseimbangan
pasar. Oleh karenanya, peran pemerintah dalam mekanisme pasar adalah untuk mengawasi harga pasar.
Jika intervensi harga perlu dilakukan maka (Jusmaliani, 2008: 58) harus secara hati-hati, juga harus
dilakukan berdasarkan hasil analisis para ahli yang memadai. Sekiranya akan dilakukan penetapan harga
(regulasi) oleh adanya alasan tertentu yang diperbolehkan, yaitu jangan sampai melampaui batas harga
dari barang-barang serupa dalam keadaan normal.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama perdagangan masa Rasulullah Saw.
(Jusmaliani, 2008: 50) menganut prinsip-prinsip perdagangan seperti yang difirmankan Allah dalam al-
Quran dan prinsip yang dicontohkan melalui Nabi Muhammad Saw adalah mengajarkan perdagangan
yang adil dan jujur. Dalam hal ini, perdagangan yang adil dan jujur menurut al_quran adalah
perdagangan yang “tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi” (QS. Al-Baqarah: 279).

Kalau membandingkan sistem perdagangan awal masukya Islam dengan sesudah masuknya Islam,
maka secara kontekstual tidak ada perubahan, kecuali yang dilarang menurut al-Quran dan sunnah
Rasul. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Ushul Fiqh, bahwa semua aktivitas perdagangan
diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu, sistem perdagangan zaman Rasulullah
dalam perkembangannya banyak mendapat sentuhan dari ajaran Islam yang berprinsip tidak saling
menzalimi.
D. Lembaga Hisbah sebagai Bentuk Pengawasan Pasar

Pengetahuan akan pasar mencakup bahasan tentang bagaimana seharusnya sebagai produsen,
distributor dan konsumen berperilaku, bertransaksi dan membangun suatu jaringan bisnis. Begitu juga
pengetahuan terhadap pengawasan secara internal dan eksternal dalam suatu pasar. Kerangka pasar
dalam ekonomi Islam adalah demand memberikan falah (welfare) kepada suplier, agar suplier terus
konstan, dan begitu juga sebaliknya (Fauzia dan Riyadi: 2014: 213).

Pengawasan internal dalam pasar mencakup bagaimana seorang pelaku pasar bersikap baik dalam
segala bentuk transaksi yang dilakukannya.adapun pengawasan eksternal dilakukan oleh suatu institusi
pengawas pasar yang biasa disebut dengan hisbah (Fauzia dan Riyadi, 2014: 214).

Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini atau pandangan dan
lain-lain. Sedangkan secara istilah hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan
ditinggalkan, dan melarang dari kemugkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan. Jadi, hisbah
merupakan lembaga yang berfungsi untuk memerintahkan kebaikan sehingga menjadi kebiasaan dan
melarang hal yang buruk ketika hal tersebut telah menjadi kebiasaan umum. Allah Swt. berfirman:

‫نوليـِتنـِركـْـْـْين َمشمـِينـِركـِيم َراَصمـِدة َي نـِيد َرعـْـْيونن َاَنل َاَليـْـْنخـِييـْنر َنوي نـِأأ َرمـْـْرويرنن َمبـِااَليـِنمـِيعـْـْرريومف َنوي نـِينـْـْنهـْـْيونن‬
‫ل‬
(104)َ ‫ك َرهـِرم َاَليـِرمـِيفـِملـْـْرحـْـْيونن‬ ‫ َنعـْمن َاَليـِرمـِينـِنكـْـْـْمر َنوأأونلـَمئـِ ن‬
Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munka, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Imran: 104)

Hisbah dibentuk agar sistem perdagangan tidak menyalahi aturan agama. Lembaga hisbah ini
bertugas memantau dan mengawasi praktik-praktik kegiatan perekonomian untuk menjamin keadilan
dan perdagangan yang jujur serta tidak melanggar aturan yang termaktub dalam kaidah al-Quran dan
Hadits Rasulullah Saw. Hisbah lebih diarikan sebagai lembaga pengawas pasar (Jusmaliani, 2008: 57).

Rasulullah sering kali mengunjungi pasar. Terkadang Beliau memberikan nasihat, teguran dan
pendidikan. Rasulullah juga menempatkan Said bin Said bin al-Ash dipasar Mekkah sebagai kepala pasar
(Fauzia dan Riyadi dari Yusuf al-Qardhawi: 214). Contoh teguran secara langsung yang dilakukan oleh
Rasulullah kepada salah satu pelaku pasar dari suatu hadits:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. melewati setumpuk makanan, lalu Beliau memasukkan
tangan Beliau ke dalamnya. Dan sewaktu jemarinya menjadi basah, Beliau bertanya: ‘Apakah ini wahai
pemilik makanan?’ Ia menjawab: ‘terkena air hujan ya rasulullah’. Lalu Beliau bersabda: ‘Kenapa tidak
kamu letakkan diatas, sehingga orang dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia tidak pengikutku’.

Menurut Hafas Furqani (2002) pengawasan yang dilakukan oleh lembaga hisbah diantaranya
melakukan fungsi:

1. Mengawasi timbangan, ukuran dan harga.

2. Mengawasi jual beli terlarang, praktik riba, maisyir, gharar, dan penipuan.

3. Mengawasi kehalalan, kesehatan, dan kebersihan suatu komoditas.

4. Pengaturan (tata letak) pasar.

5. Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan.

6. Melakukan intervensi pasar.

7. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran.

Al-Hisbah harus dipisahkan dari pemerintahan suatu negara, agar bisa mengontrol pasar dengan
baik. Jika hal tersebut sulit dilakukan (diterapkan) disuatu negara tertentu, maka lembaga hisbah harus
dilakukan oleh pemerintahan dengan syarat bagi al-hisbah dan al-muhtasib, yaitu adanya nilai-nilai Islam
didalamnya. Menurut Ibnu Taimiyyah orang-orang yang bertugas (al-muhtasib) harus orang yang selalu
melaksanakan shalat Jumat dan fardhu, berani untuk mampu menegakkan kebenaran, dan melarang
perbuatan buruk dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam mengawasi pasar agar
pedagang tidak melakukan kecurangan seperti mengurangi timbangan. Dengan demikian, lembaga
hisbah akan memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan ekonomi pasar yang Islami dalam suatu
negara.

E. Evolusi Pasar Menurut Al-Ghazali (1058-1111 M)

Al-Ghazali atau Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali merupakan sosok ilmuwan yang sangat
produktif sekali. Dia seorang Persia asli, dilahirkan pada 450 H/1058 M di suatu kampung bernama
Gazalah, di daerah Thus, sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Khurasan (sekarang Iran) dan disini
pula ia wafat dan di makamkan pada tahun 505 H/1111 M. Banyak tulisannya yang menarik perhatian
dunia, baik Muslim maupun non-Muslim. Berbagai karyanya telah diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa dengan perkiran ada 300 buah karya tulis. Namun demikian, bukunya yang tersisa kini hanya 84
buku (Fauzia dan Riyadi, 2014: 218).

Al-Ghazali dalam kitabnya al-Ihya ‘Ulumudin membahas topik ekonomi, termasuk pasar. Dalam
magnum opusnya itu ia telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktivitas
perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran
dalam memengaruhi harga (Al Arif dan Amalia, 2010: 268). Dalam penjelasannya tentang proses
terbentuknya suatu pasar ia menyatakan:

Dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang
kayu hidup di mana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak
membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula
orang akan terdorong untuk menyediakan tempat untuk penyimpanan hasil pertanian di pihak lain.
Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga
terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter
juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar tidak juga ditemukan orang yang melakukan barter, maka
ia akan menjual kepada pedagang dengan harga yang relatif murah, untuk kemudian disimpan sebagai
persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk
setiap jenis barang.

Dari pernyataan tersebut, Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang
dalam istilah modern disebut double coincidence, dan karena itu diperlukan suatu pasar. Selanjutnya, ia
juga memperkirakan kejadian ini akan berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah
atau negara. Kesimpulan ini jelas tersirat dari pernyataannya, “Selanjutnya, praktik-praktik ini terjadi
diberbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk
mendapatkan alat-alat, makanan, dan membawanya ke tempat lain. Keadaan inilah yang pada
gilirannya menimbulkan kebutuhan dan transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam
masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi
kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga”.

Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan merupakan motif utama dalam
perdagangan. Namun, ia memberikan banyak penekanan kepada etika dalam bisnis, di mana etika ini
diturunkan dari nilai-nilai Islam. Keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan yang akan diperoleh
di akhirat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran pemerintah dalam menjaga keamanan jalur
perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Bentuk kurva permintaan yang berlereng negatif dan bentuk kurva penawaran yang berlerang
positif telah mendapat perhatian yang jelas dari Al-Ghazali, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Ia
menyatakan, “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, maka ia akan menjual barangnya
dengan harga lebih murah.” Pernyataan ini sebenarnya sama dengan makna kurva penawaran yang
berslope positif, yaitu naik dari bawah ke atas. Sementara itu, bentuk kurva permintaan yang berlereng
negatif secara implisit tampak dalam pernyataannya, “harga dapat turun dengan mengurangi
permintaan”.

Kurva digambar dari teori ekonomi konvensional, karena kaitannya dengan pernyataan Imam Al-
Ghazali mengenai hukum permintaan dan penawaran, seperti yang terdapat dalam Hadits Rasulullah
Saw. yang menolak menetapkan harga dan mengatakan Allah-lah yang menentukan harga. Hal ini, jelas
ada kaitannya dengan pernyataan Bapak Ekonomi Kapitalis dunia yang membangun hukum permintaan
dan penawaran dan mekanisme pasar. Menurut pakar Ekonomi Islam kontemporer konsep teori dengan
nama invisible hands. Menurut teori ini, mekanisme pasar akan diatur oleh ‘-tangan tidak kelihatan’
(invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God hands (tangan-tangan
Allah). Bukankah teori ekonomi Islam yang terlebih dahulu mendapati konsep mengenai pasar dan
mekanismenya?

Yang lebih menarik lagi, konsep yang sekarang sering disebut dengan ‘elastisitas permintaan’
ternyata telah dipahami Al-Gazhali. Hal ini tampak dalam perkataannya, bahwa mengurangi margin
keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan, dan ini pada
gilirannya akan meningkatkan keuntungan.

Kemudian ia juga menggidentifikasi makanan sebagai komoditas dengan kurva yang inelastisitas.
Ia berpendapat bahwa sebaiknya laba diperkecil (dari makanan) dan mencari laba selain makanan.
Menurut Al-Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis dan
keselamatan pedagang.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar bebas untuk terjadinya perubahan harga
sampai pasar mnjadi seimbang (jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta). Jadi
mekanisme pasar merupakan suatu proses penentuan harga berdasarkan permintaan dan penawaran.
Prinsip mekanisme pasar yang pertama adalah Ar-Ridha, berdasarkan persaingan yang sehat, jujur,
terbukan dan adil.

Pasar pada permulaan Islam berawal dari bangsa Arab yang melakukan pemenuhan kebutuhannya
melalui perdagangan di pasar bahkan sampai ke luar negeri melalui perdagangan dengah model Upah,
Perdagangan dengan model Mudharabah dan perdagangan dengan modal bersama. Sebagai contoh nabi
Muhammad pun melakukan aktivitas dagangnya yang sejak kecil dengan menggembala kambing bagi
penduduk Mekkah dan kemudian diberikan upah.

Mekanisme pasar menurut Rasulullah Saw. merupakan hukum alam (sunnatullah) yang harus
dijunjung tinggi. Tak seorang pun secara individual dapat memengaruhi pasar, sebab pasar adalah
kekuatan kolektif yang telah menjadi ketentuan Allah. Pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya
penetapan harga dengan cara dan alasan yang tidak tepat, merupakan suatu ketidakadilan
(zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

Hisbah dibentuk agar sistem perdagangan tidak menyalahi aturan agama. Lembaga hisbah ini
bertugas memantau dan mengawasi praktik-praktik kegiatan perekonomian untuk menjamin keadilan
dan perdagangan yang jujur serta tidak melanggar aturan yang termaktub dalam kaidah al-Quran dan
Hadits Rasulullah Saw.

B. Saran

Setelah membahas Prinsip Dasar Mekanisme Pasar ini, diharapkan mampu melaksanakannya
melalui pendekatan Maqoshid Syariah. Tidak melakukan pengurangan timbangan atau menimbung
barang untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Al Arif, M. Nur Rianto., dkk. 2010. Teori Mikro Ekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konvensional. Jakarta: Kencana.

Fauzia, Ika Yunia., dkk. 2014. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.

Huda, Nurul. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Kencana.

Jusmaliani., dkk. 2008. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara.


Mardani. 2012. Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Sumber:

http://cakzainul.blogspot.com/2012/02/makalah-ekonomi-islam-makalah-lembaga.html

MAKALAH EKONOMI ISLAM MAKALAH LEMBAGA HISBAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hisbah adalah sebuah kata yang saya yakin agak ganjil bagi Sebagian besar masyarakat Indonesia.
Walaupun, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Sebenarnya, hisbah adalah sebuah kata yang
takasing terdengar di pelosok barat Indonesia, yaitu di Aceh dan diberbagai negara Islam lainnya.Dan
begitulah memang maksud dari hisbah, sebuah perhitungan, ada unsur pengawasan dan ada punish dan
reward di situ.
Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi
masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik,ketika masyarakat mulai untuk
mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah,saat masyarakat mulai terbiasa
dengan kesalahan itu.Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari
kerusakan,menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal
keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.

Upaya Negara untuk mejamin kemaslahatan, keadilan, dan permainan jujur disemua lini
kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah, .Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar
dapat beroperasi dgn bebas sehingga harga, upah, dan laba dapat ditentukan oleh kekuasaan
permintaan dan penawaran (yang terjadi jugg dinegara kapitalis ), melainkan juga untuk menjamin
bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi
ketentuan syariat. Setiap tindakan kehati-hatian perlu diambil untuk menjamin bahwa tidak ada
pemaksaan, penipuan, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, atau pengabaiaan terhada pihak
yang melakukan akad, dan tidak ada penimbunan dan perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan
harga.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Hisbah?

2. Apa Tujuan Dari Hisbah?

3. Bagimana Prosedur dan Dimensi dari Hisbah?

4. Bagaiman peran Hisbah dalam bidang Ekonomi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hisbah

Hisbah secara terminologi diambil dari kata HSB yang berarti menghitung (reckoning dan
computing) berarti pula kalkulasi, berpikir (thinking), memberikan opini, pandangan dan lain-lain.[1]
Sedangkan menurut John L. Esposito, kata hisbah secara harfiah berarti jumlah, hitungan, atau upah,
hadiah, pahala. Namun, secara teknis, ia mengandung arti institusi negara untuk mendukung kebaikan
dan mencegah kemungkaran (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar). Institusi hisbah
didefinisikan oleh Abdul hadi sebagi sistem “ yang membuat seseorang bisa berlaku benar dalam prilaku
mereka.” Dalam kata lain ia adalah institusi check and balances.

Pengertian Hisbah Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktifitas konseling agama yang dijumpai
pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dan
klien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab 'alaih[2]

Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan
baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien
(amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan,
oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat
mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka
dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah SWT:

ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) ÎŽösƒø:$#`


tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

artinya : Hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.
(Q/3:104)

Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang
ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa
kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi
munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`,
termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.

Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan
introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan
munkar, dan dengan itu klien terdorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat
motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya. Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.

Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh
negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan
adab umum. Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi
hisbah[3], yaitu:

1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh pemerintah.

2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar

3. Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga
mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi
distorsi pasar.
Menurut Islahi yang mendasarkan pada kajian-kajian kitab klasik, terutama karya Ibnu Taimiyah, dan
prakteknya pada perekonomian negara Islam pada masa lalu, menjelaskan fungsi umum al-hisbah, yaitu:
[4]

1. Sebuah sistem yang secara umum digambarkan pelaksanaan kebajikan dan kewajiban oleh
muhtashib dan berkaitan dengan aspek agama dan yuridis dalam pengurusannya

2. Digambarkan sebagai praktek dan tehnik pengawasan secara detail. Pengawasan secara prinsip
dilakukan atas berbagai bentuk produk kerajinan dan perdagangan, bahkan juga mencakup tata
administrasi dan kualitas maupun standar produk

B. Tujuan Utama Hisbah.

Dari penjelasan di atas,sudah dapat diketahui dasar dari adanya hisbah.Jika bisa di pecah,maka
tujuan utama hisbah adalah :

1. Menjaga agama Allah dengan memastikan bahwa agama Allah di jalankan oleh masyarakat,dan
dengan menjaga agar tidak di selewengkan agama Allah tersebut.
2. Menyiapkan lingkungan sosial yang condong pada kebajikan dengan terus menerus mendukung
standarisasi moral yang tinggi dan tidak mentoleransi tindakan amoral.

3. Menyiapkan manusia agar condong pada kebajikan yang berkaitan dengan kegiatannya dan berusaha
untuk berguna bagi lingkungan sosialnya.
4. Membangun kesepakatan sosial agar tidak terjadi kejahatan pada prinsip.Maksudnya adalah ada
kesepakatan social diantara masyarakat sehingga dengan di jalnkannya kesepakatan tersebut,
diharapkan prinsip-prinsip yang Allah tetapkan dan berlaku dalam masyarakat tidak di langgar.

5. Mengembangkan, meramalkan, dan menyiapkan standar sosial yang tepat dengan masyarakat dan
memastikan bahwa masyarakat mengerti tentang itu.Agar tidak ada kejahatan yang dianggap benar
dan sebaliknya.

6. Menjaga agar azab Allah tidak turun ke masyarakat dan mencegah korupsi.Karena sesungguhnya azab
Allah akan kena pada setiap insane baik ia beriman atau tidak ketika ada kezaliman yang terjadi,namun
tidak berusaha di rubah.
7. Meningkatkan status untuk menjadi manusia terbaik dimata Allah.Dengan penerapan hisbah ini di
harapkan, individu dalam masyarakat dapat menjadi individu yang baik di mata Allah dan mampu
mencapai derajat taqwa.

C. Hisbah Dan Ekonomi


Seperti yang sudah banyak di jelaskan di atas,bahwa hisbah adalah sebuah institusi yang menjaga
amar makruf dan menjauhi kemungkaran.Hisbah dalam cakupan yang luas,,mengatur segala jenis hal
dalam kehidupan kemasyarakatan.Termasuk ekonomi di dalamnya. Ketika Hisbah berdiri tegak dengan
perangkat-perangkatnya, maka Ekonomi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan syariatnya,
perangkat-perangkat yang di butuhkan dalam Hisbah,khususnya yang mengatur dalam perekonomian

C.1.Prinsip

Prinsip dalam Hisbah sudah jelas, perdagangan harus sesuai dengan syariat. Hal-hal yang berbau
kecurangan, korupsi, pemalsuan dan hal-hal lain yang mendzalimi masyarakat atau individu adalah hal
yang dilarang dalam Islam dan ini menjadi pusat perhatian Hisbah dalam hal Ekonomi.

Dengan dasar dalam Q.S Al’araf:157 ‘(Yaitu)orang-orang yang mengikuti rasul,nabi yang ummi
yang (namanya)mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang menyuruh
mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar…”

Dan Q.S AnNahl :90 “Sesungguhnya Allah menyuruh(kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan,memberi kepada kaum kerabat ,dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan…”

Subhanallah, betapa Allah telah memuliakan manusia dengan islam, sampai hal dalam
perdagangan pun harus dilakukan dengan ahsan atau baik. Jadi jelas,bahwa dalam bedagang atau bisnis
pun Hisbah mengawasi agar perdagangan berjalan dengan adil sehingga masyarakat bisa sejahtera.

C.2. Prosedur Dan Dimensi

Mengacu pada Imam Al Ghazali dalamkitab Ihya Ulumuddin Vol.VII, ada empat elemen penting:

1. Kualifikasi dari Muhtasib


Muhtasib adalah Hakim atau Qadi, yang harus mampu mengambil keputusan setiap tempat dan
setiap waktu.Muhtasib haruslah orang yang paham terhadap Islam atau faqih.Dan paham terhadap
masalah yang di hadapi.Muhtasib haruslah orang yang membela kepentingan umum.Sifat-sifat seorang
pemimpin juga mutlak di miliki,karena ia harus bijak dalam melihat masalah dan mengambil keputusan
2. Kondisi dari Proses Hisbah.

Kondisi dari Hisbah terkadang berada dalam posisi syubhat.Harus hati-hati juga dalam membedakan
mana yang halal,syubhat dan haram.

3. Tugas dari Muhtasib.

Jelas,tugas menjadi muhtasib adalah dalah tugas yang berat.Tugas dimana segala sesuatu harus
dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan sosial
terutama perdagangan day to day..dari hari ke hari.
Bahkan DR.Mukhtar Holland,yang menterjemahkan dari Buku Imam Ibnu Taymiyya : Tugas Umum
dalam Islam ( Institusi Hisbah )yang di publikasikan pada tahun1983 membagi tugas Muhtasib dalam dua
bagian[5]:

a. Mengatur Ekonomi secara Islami Sesuai dengan AlQur’an, hadist dan ijtihad,ijma para ulama.

b. Menegakkan Keadilan Sosial Keadilan bagi semua,bagi muslim maupun non muslim

4. Derajat Pengukuran Hisbah.

Ada Sepuluh tingkatan tindakan muhtasib menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali yang harus dilakukan
dengan benar dan penuh kesungguhan,yaitu:
1. Mencari tahu tentang kemungkara tanpa harus memata-matai atau memaksa orang untuk memberi
informasi

2. Menasihati orang yang berbuat kedzaliman tsb sebelum memberi hukuman


3. Melarang dan menasihati dengan kata-kata

4. Menggiatkan untuk takut yang sebenarnya pada Allah SWT

5. Mengingatkan dengan keras ketika kata-kata lembut sudah tidak mempan


6. Usahakan untuk membuat kemungkaran di jauhi secara fisik
7. Mewaspadai hal-hal yang mungkin akan buruk di masa yang bentar lagi datang, apalgi jika si
pembuat kemungkaran belum sadar.

8. Menjatuhi Hukuman Fisik tanpa menggunakan senjata untuk menghindari kerusakan atau darah
tertumpah

9. Menggunakan senjata yang cocok mengindikasikan ada tindakan serius yang akan di ambil

10. Untuk memaksa regulasi,bisa lewat bantuan polisi juga untuk menuntut si pelaku kemungkaran
dalam sistem konvensional ketika Perangkat Perangkat sudah tegak dalam Penerapan Hisbah,maka
Hisbah akan sangat berperan dalam hal ekonomi.

Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam Ekonomi[6],yaitu:

1. Standarisasi Mutu yang cukup tinggi Ketika ada Hisbah,maka masyarakat pedagang harus
menyediakan barang terbaiknya!kenapa?karena hisbah juga mengatur tentang mutu barang
yang ada di masyarakat.Ketika ada penipuan atau kecurangan mutu barang yang dilakukan oleh
produsen dan mendzalimi konsumen,maka petugas hisbah siap bertindak.Kualitas Barang harus
sesuai dengan harga yang di tetapkan produsen dan yang dijanjikan oleh produsen kepada
konsumen.Produsen pun tidak bisa menjiplak karya produsen lain,karena dengan adanya
peniruan dalam karya produksi akan menyebabkan kerugian baik bagi produsen yang punya
hak cipta atau bagi masyarakat pengguna.Dan jelas,penjiplakan yang mendzolimi dilarang
dalam Islam.

2. Regulasi perdagangan lebih teratur. Karena Hisbah mempunyai pengawas yang siap mengawasi
setiap kezaliman dalam perdagangan,maka masyarakat akan cenderung hati-hati dalam
berdagang.Apalagi ada dasar AlQur’an dan ketakutan yang tinggi pada Allah menjadikan
masyarakat lebih jujur dalam berdagang,lebih jujur dalam menyediakan supply barang, tidak ada
lagi penimbunan barang yang membuat peningkatan harga di masyarakat.Sehingga kurva
permintaan dan penawaran akan selalu berada dalam kondisi Equilibrium.Regulasi di tingkat
birokrat juga akan lebih mudah dan menguntungkan ketika ada Hisbah.Karena Hisbah ada di
bawah pemerintah,dan ketika ada orang pemerintahan yang berani main api maka
hukumannya akan lebih berat..
3. Terhindarnya ekonomi biaya tinggi Dengan regulasi yang teratur ,akan menyebabkan biaya yang
tercipta rendah!karena tidak ada uang pungutan liar sana-sini yang biasa di pungut oleh pihak
birokrat ataupun orang-orang yang ingin mengambil keuntungan di tas penderitaan orang lain.

4. Harga yang terbentuk di masyarakat tidak akan mendzalimi Masyarakat. Dalam Islam,tidak
masalah jika kita masuk dalam pasar monopoli,namun yang paling harus di catat
adalah..masuknya kita tidak membuat kita semena-mena terhadap permintaan masyarakat
sehingga dengan seenaknya kita bisa menaikkan harga.Dengan adanya Hisbah akan ada
pelindung masyarakat dari harga yang mencekik yang umumnya di lakukan oleh perusahaan
yang bermain secara monopoli.Atau sebaliknya,muhtasib juga bisa mencegah seseorang atau
perusahaan yang masuk ke pasar dengan harga yang sangat rendah sehingga merugikan pemain
lain yang ada dalam pasar tersebut.Bahkan dengan adanya biaya relative rendah dalam
produksi harus menyebabkan produsen memberikan harga yang wajar.

5. Kesejahteraan Masyarakat akan lebih merata Ketika barang yang di butuhkan masyarakat hadir
secara cukup dengan harga yang layak,akan membuat masyarakat jauh dari kemiskinan dan
dekat dengan kesejahteraan.Pendapatan dan kepemilikan barang akan cenderung merata atau
distribusi merata.Sehingga gap atau kecemburuan sosial dapat di cegah dan sangat sedikit
presentasenya,bahkan nol.

6. Perdagangan di Dunia Internasional lebih menguntungkan Karena kita memiliki barang yang baik
dan berkualitas,cara yang baik atau ahsan dalam berdagang, maka kita akan lebih mudah dalam
mendapatkan keuntungan di dunia Internasional.Karena memang fitrah manusia menyukai jika
di berikan yang terbaik.

7. Kecerdasan masyarakat dalam Ekonomi Yang berperan di Hisbah tidak hanya petugas hisbah
saja, namun juga masyarakat umum. Karena pengaduan akan kedzoliman bisa saja di lakukan
oleh masyarakat umum.Secara tidak langsung,masyarakat di buat untuk lebih punya pemahaman
dalam hal ekonomi dan bisnis,agar tidak mudah untuk di dzolimi dan agar bisa membantu
anggota masyarakat lain yang sedang terdzolimi.

8. Pemain yang berada di Perdagangan adalah yang terbaik Ketika hal nomor 1-7 diatas
berlangsung dengan baik,maka akan sangatt jelas terlihat oleh masyarakat siapa yang jujur
dalam berdagang dan siapa yang curang.Karena dalam hisbah sendiri,prinsip akuntabilitas dan
keterbukaan berjalan dengan baik -seharusnya.Bagi yang curang,maka akan ada hukuman baik
dari pihak hisbah maupun hukuman moral dalam masyarakat.Sehingga akhirnya,hanya yang
terbaiklah yang bisa bertahan dalam pasar.

D. Hisbah Di Indonesia

Al hisbah didirikan sebagi kontrol dari pemerintah melalui kegiatan perorangan yang khususnya
memiliki garapan bidang moral, agama dan ekonomi dan secara umum berkaitan dengan kehidupan
kolektif atau publik Islam. Di masa kini, tidak ada lembaga tunggal yang bisa dikomparasikan dengan
hisbah.

Di Indonesia pekerjaan dari hisbah itu kini dilakukan oleh berbagai menteri dan departemen
yang berbeda. Selain itu, dalam perbankan syariah, para ulama yang berkompeten terhadap hukum-
hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syaria

Sedangkan untuk mengatasi praktik-praktik korupsi dan memperbaiki citra Indonesia sebagai
negara yang korup, maka pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), untuk
membantu tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah ada, sehingga diharapkan dengan adanya
pengawasan yang ketat itu maka tingkat korupsi di Indonesia dapat ditekan, sehingga dapat
mempercepat proses perbaikan ekonomi di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi, orang-orang yang duduk
dilembaga-lembaga pengawas malah ada (kalau tidak boleh dikatakan banyak) menjadi aktor yang
merugikan negara.

Negara tidak perlu ragu – ragu untuk melakukan interensi mana kal perbatasan keadilan dan
kejujuran telah dilanggar dan tidak ada justifikasi untuk menunggu sampai kekuatan- kekuatan pasar
mampu mengoreksi sendiri ketimpangan yang ada[7]

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan
baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien
(amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan.

Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh
negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan
adab umum. Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi hisbah
yaitu:

1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh
pemerintah.

2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar

Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga
mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi
distorsi pasar
Prinsip dalam Hisbah sudah jelas, perdagangan harus sesuai dengan syariat. Hal-hal yang berbau
kecurangan, korupsi, pemalsuan dan hal-hal lain yang mendzalimi masyarakat atau individu adalah hal
yang dilarang dalam Islam dan ini menjadi pusat perhatian Hisbah dalam hal Ekonomi

Di Indonesia pekerjaan dari hisbah itu kini dilakukan oleh berbagai menteri dan departemen
yang berbeda. Selain itu, dalam perbankan syariah, para ulama yang berkompeten terhadap hukum-
hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syaria

Negara tidak perlu ragu – ragu untuk melakukan interensi mana kal perbatasan keadilan dan
kejujuran telah dilanggar dan tidak ada justifikasi untuk menunggu sampai kekuatan- kekuatan pasar
mampu mengoreksi sendiri ketimpangan yang ada
DAFTAR PUSTAKA

M. Umer chapra. Masa depan ilmu ekonomi, Jakarta: gema insani, 2001

Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam oleh Samson Rahman,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003

http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=185&Itemid=27, akses 7 oktober


2009

http://dyahlam.blogspot.com/2008/12/urgensi-lembaga-hisbah.html. akses 7 oktober 2009.

http://mubarok-institute.blogspot.com/2008/10/konseling-agama-dalam-tradisi islam.html akses 7


oktober 2009

[1] Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam oleh Samson
Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 163

[2]http://mubarok-institute.blogspot.com/2008/10/konseling-agama-dalam-tradisi islam.html akses 7


oktober 2009

[3] http://dyahlam.blogspot.com/2008/12/urgensi-lembaga-hisbah.html. akses 7 oktober 2009


[4] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hal. 326

1 http://dyahlam.blogspot.com/2008/12/urgensi-lembaga-hisbah.html . akses 7 oktober 2009


[6]http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=185&Itemid=27, akses 7 oktober 2009

[7] M. Umer chapra. Masa depan ilmu ekonomi, gema insani, jakarta. Hal 64
Sumber:

http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/wilayah-al-madzalim-pengertian-sejarah.html

WILAYAH AL MADZALIM PENGERTIAN, SEJARAH DAN


WEWENANGNYA

BAB II
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam masyarakat pra Islam, tidak ada kekuasaan politik dan sistem peradilan yang
terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengkataan mengenai hak milik, hak waris dan
pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui
bantuan juru damai atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Untuk itu tidak ada pejabat resmi, melainkan lebih bersifat ad hoc. Artinya jika terjadi
persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru
damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah
bertindak sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah.
Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad pada tempat
semula. Di kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas
yang mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku
Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk
memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui pintu Syaibah.
Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “inilah al-
Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada
Muhammad peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan
persoalan itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian
yang dilakukan oleh Muhammad itu. Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad
sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya.
Kegiatan seperti ini terus berjalan hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan
Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan
Rasul sebagai kepala negara, sebagai hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat
Islam. Semula Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat
Islam mulai tersebar ke berbagai daerah, maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat
lainnya untuk menjadi hakim yang menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat
mereka berada. Hal itu dilakukan karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai
konsekuensi dari pemberian kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk
“berijtihad“, dalam kasus-kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1. Pengadilan Al-Qadla (pengadilan biasa)
2. Pengadilan Al-Hisbah (pengadilan yang berhubungan dengan jual beli/pasar)
3. pengadilan Al-Madzalim
Dan melalui makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai wilayah Al-
Madzalim.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan kedudukan dari Wilayah Al- Madzalim?
2. Bagaimana sejarah dari wilayah Al- Madzalim?
3. Bagaimanakah wewenang dari Wilayah Al- Madzalim?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Kedudukan Wilayah Madzalim
Kata Walayah Al Madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara
literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan . Sedangkan kata al madzalim adalah
bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan secara terminologi, Wilayah Al- Madzalim diartikan suatu kekuasaan dalam
bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.
lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa.
lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa
dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperikasa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara
yang diajukan oleh seorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan
dari yang bersangkuta, akan tetapi jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya.[1] Dengan
kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para
Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya.
Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, Al Madzalim bisa
disejajarkan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkama Agung, yang sebagai tempat orang
mengajukan banding.[2]

B. Sejarah Lembaga Al- Madzalim


Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam
kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Hal ini merupakan wujud dari orang
Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan pembelaan terhadap orang-
orang yang dizalimi.
Di masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah yang menyelesaikan segala pengaduan
terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al- Khulafa Al- Rasyidin tidak mengadakan
lembaga ini, karena anggota-anggota masayarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran agama. Pertengkaran- pertengkaran yang terjadi diantara mereka masih dapat
diselesaikan oleh pengadilan biasa, akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Tholib,
beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-
pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun keberadaannya belum
diatur secara khusus.
Wilayah Al Madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan bani umayyah,
tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa Islam
pertama yang membentuk lembaga al madzalim (peradilan khusus). Ia menyediakan waktu
khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al madzalim. Untuk itu ia didampingi oleh
hakim ibnu Idris al Azdi. Jika menemui kesulitan dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik
berkonsultasi meminta pertimbangan kepada ibnu Idris al Azdi.[3]
Pada masa Bani Abbasiyah, Wilayah Al Madzalim masih tetap mendapatkan perhatian
yang besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana khalifah
Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kedzaliman yang
dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian jelek. Wanita tersebut
mengadukan bahwa anak sang khalifah, al Abbas telah mendzaliminya dengan merampas tanah
haknya. Kemudian khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan
kasus tersebut didepan sang khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut
mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para pengawal istana
mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, “dakwaannya benar, kebenaran telah
membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat anakku membisu.” Kemudian hakim
mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.[4]

C. Wewenang Wilayah Madzalim


Menurut Al Mawardi di dalam Al Ahkamu Sulthaniyah menerangkan, bahwa perkara-
perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu:

1. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan, maupun terhadap golongan

2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-


harta kekayaan Negara yang lain

3. Mengontrol atau pengawasi keadaan para pejabat


Ketiga-tiga perkara tersebut di atas harus dipriksa oleh lembaga madzalim apabila
diketahui adanya kecurangan dan penganiayaan tanpa menunggu pengaduan dari yang
bersangkutan.

4. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka dikurangi ataupun
dilambatkan pembayarannya.

5. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-


penguasa yang dzalim

6. Memperhatikan harta-harta wakaf. Jika wakaf-wakaf itu merupakan wakaf umum, maka
lembaga ini mengawasi berlaku tidaknya syarat-syarat oleh si pemberi wakaf. Kalau
wakaf yang khusus, maka lembaga ini bertindak setelah ada pengaduan yang
bersangkutan.

7. Melaksanakan putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim itu sendiri,
lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi
derajatnya.

8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak
dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah.

9. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata seperti Jum’at. Hari Raya,
Hajji, dan Jihad.

10. Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan.[5]

D. Kelengkapan-Kelengkapan Lembaga Madzalim


Untuk terselenggaranya peradilan Al Madzalim dengan sempurna harus dipenuhi lima hal
berikut, yaitu:

1. Adanya Advokat atau pembela.


2. Para hakim yang bertugas untuk mengembalikan hak-hak kepada orang yang berhak,
setelah melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan setelah
melakukan penelitian hukum atas kasus mereka.

3. Para ahli fiqih yang bertugas untuk membantu para hakim ketika mereka menemukan
kesulitan dalam bidang hukum atau tidak mengetahui hukum syar’i yang tepat bagi
permasalahan yang menjadi sumber persengketaan.

4. Para katib (panitera) yang bertugas untuk mencatat dan mengkodifikasikan segala
kejadian dan peristiwa dalam proses persidangan.

5. Para saksi yang bertugas menjadi saksi atas hukum yang telah ditetapkan oleh hakim dan
mengkukuhkan bahwa keputusan yang telah ditetapkan tidak bertentangan dengan
kebenaran dan keadilan dan menyaksikan bahwa para hakim jelas-jelas menerapkan
syariat Islam. [6]

BAB III
KESIMPULAN

Wilayah Al- Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih
tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. lembaga ini memeriksa perkara-
perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim biasa.
Lembaga Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam
kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Di masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah
yang menyelesaikan segala pengaduan terhadap kedzaliman para pejabat. Pada masa Al khulafa
Al Rasyidin masih belum ada, akan tetapi pada akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin
Abi Tholib, beliau merasa perlu menggunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki
pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun
keberadaannya belum diatur secara khusus. Wilayah al madzalim menjadi lembaga khusus pada
masa kekhalifahan bani umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
Dan pada masa Bani Abbasiyah, wilayah al madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang
besar dari khalifah.
Wewenang yang dimiliki oleh Wilayah Al Madzalim adalah memutuskan perkara-perkara
yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalankan proses peradilannya. Seperti kedzaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim.

[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 92.
[2] Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm 169.

[3] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm 113.
[4] http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/08/02/walayah-al-madzalim/

[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,… hlm 92-94.
[6] Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,…hlm 168-
169.

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani.
http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/08/02/walayah-al-madzalim/
sumber:

http://haditsahkam.blogspot.com/2014/09/makalah-fatwa-qadla-wilayah-madzalim.html

FATWA, QADLA’, WILAYAH MADZALIM


dan AL-HISBAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam
menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang
saling bertentangan satu dengan yang lain.
Islam adalah agama yang memiliki hukum yang kontratietas antara yang satu dengan
yang lain sehingga banyak ulama-ulama yang menyimpulkan hukum dengan pemikirannya
sendiri tapi semua itu tidak lepas dari dasar yang awal atau dari asal mula hukum tersebut seperti
halnya dalam membahas ushul fiqih kita mungkin bahkan sering menemukan ke kontratietas
tersebut.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor taqlid (ikut-ikutan),
bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa
penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Fatwa ?


2. Apa pengertian Qadla’ ?
3. Apa Pengertian wilayah Madzalim ?
4. Apa pengertian Al-Hisbah ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Fatwa
2. Mengetahui pengertian Qadla’
3. Mengetahui Wilayah Madzlaim
4. Mengetahui Al-Hisbah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa
a. Pengertian Fatwa
Fatwa (dari bahasa Arab ‫)فتوى‬, artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. adapun
yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga
atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai
tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang
tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau
hukum fatwa yang diberikan kepadanya. Fatwa juga menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak
begitu jelas hukumnya.
Menurut kenyataan, memberi fatwa pada hakikatnya adalah
menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seseorang mufti
harus mengetahui apa yang disampaikan itu dan harus orang yang terkenal
benar, baik tingkah lakunya dan adil, baik dalam perkataannya maupun
dalam perbuatannya. Orang yang memberi fatwa itu yang kita namakan
mufti, adalah orang yang dipercayakan kepadanya hukum-hukum Allah
untuk disampaikan kepada manusia. Allah sendiri menamakan dirinya
dengan mufti.1[1]
Dalam menghadapi persoalan seorang mufti harus benar-benar
mengetahui secara rinci kasus pertanyaan, mempertimbangkan
kemaslahatan peminta fatwa, dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari
fatwa tersebut.
b. Syarat-syarat seorang mufti
Pada masa-masa pertama itu orang yang memberi fatwa hanyalah
orang yang mempunyai syarat-syarat ijtihad. Sesudah berlalu abad-abad
ijtihad dan berkembang taklid barulah timbul pembahasan-pembahasan

1[1] T.M. hasbi Ash-hiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. PUSTAKA RIZKY PUTRA,
1997. Hlm 86
apakah boleh tugas memberi fatwa disandarkan kepada orang yang bukan
mujtahid dan apakah dia harus berfatwa dengan madzhab imamnya saja ?
Seseorang mufti yang mujtahid hendakah diwaktu memberi fatwa
memperhatikan keadaan orang yang meminta fatwa dan lingkungannya,
serta memahami benar-benar proses yang menyebabkan datangnya itu.
Al- Hasan Al-Bisri dan segolongan dari Ulama Ushul berpendapat,
bahwa tidak boleh bagi yang bukan mujtahid memberi fatwa menurut
madzhab salah seorang mujtahid. Tetapi pendapat yang dianggap kuat, ialah
orang yang bukan mujtahid boleh memberi fatwa asal saja dia mampu
meneliti dalil-dalil yang dipegang oleh imamnya.
Ibn As-Syubki mengatakan bahwa : “Boleh si muqallid memberi fatwa,
walaupun dia tidak mempunyai kemampuan untuk tarjih, karena dia pada
hakikatnya adalah seorang penukil dari imamnya, walaupun tidak tegas
disebutkan. Dan hal ini adalah di masa-masa belakangan ini.
Ibnu Abidin mengatakan bahwa : “Menurut Ijma’ hendaklah orang yang
hendak berfatwa mengikuti pendapat yang dikuatkan oleh ulama-ulama
madzhabnya, dan hendaklah dia mengetahui keadaan ulama yang akan
difatwakan perkataannya baik dari segi riwayat maupun dari segi ayat.
Apabila dihadapi dalil-dalil yang bertentangan satu sama lain dan belum
memperoleh pentarjihan salah satunya, wajiblah dia berusaha mentarjihkan
salah satunya. Dan seyogyanya bagi seorang mufti mengambil faham yang
tidak terlalu memberatkan dan tidak terlalu meringankan orang yang
meminta fatwanya itu”.2[2]
Mufti yang menghadapi atau mempunyai kemampuan untuk
membedakan dalil-dalil yang dihadapi dan dapat mengumpulkan pendapat-
pendapat ulama dalam sesuatu madzhab, hendaklah dia memilih mana yang
lebih munasabah bagi kemaslahatan masyarakat, dengan tidak mengikuti
hawa nafsu atau memenuhi kemauan penguasa. Mufti boleh mengambil
paham-paham yang memudahkan, apabila mengambil paham-paham yang

2[2] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, (PT. PUSTAKA RIZKY PUTRA,
1997) Hlm 89
menyukarkan mendatangkan kesukaran dan kesempitan bagi masyarakat.
Dan hendaklah mufti mengamalkan sendiri juga apa yang difatwakan kepada
orang lain agar kewibawaannya tetap terpelihara dan agar masyarakat tidak
meragukan tentang kebenaran fatwanya.
Apabila dalam sesuatu negeri terdapat hanya seorang mufti, wajiblah
masyrakat kembali kepadanya. Tetapi apabila terdapat beberapa orang
mufti, maka menurut pendapat Ahmad dan Al-Gaffal dari Ulama Syafi’iyah,
wajib atas seseorang yang meminta fatwa supaya meminta kepada yang
lebih alim dan yang lebih wara’, karena pendapat si mufti terdapat orang
awam, samalah dengan dalil twrdapat orang-orang mujtahid. Dalam pada iti
ada yang berpendapat boleh meminta fatwa kepada siapa saja diantara
mufti-mufti itu dengan tidak memilih mana yang walaupun ada yang lebih
alim.3[3]
Adapun Ulama Ushul Fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :
1. Adil
2. Baligh, berakal, dan merdeka
3. Memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberi
fatwa4[4]
c. Sifat-sifat Mufti
Menurut Imam Ahmad bahwa yang boleh menjadi mufti hanyalah yang
mempunyai lima perkara ini, yaitu :
1. Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridho’an Allah
semata. Karenanya janganlah memberi fatwa untuk mencari kekayaan
ataupun kemegahan, atau karena takut kepada penguasa. Telah berlaku
sunnah Allah memberikan kehebatan di mata manusia kepada orang yang
ikhlas. Kepadanyalah diberikan Nur (cahaya) dan memberikan kehinaan
kepada orang yang memberikan fatwa atas dasar riya’.
2. Hendaklaha dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan dan dapat
menahan kemarahan. Ilmulah yang sangat diperlukan dalam memberi fatwa,

3[3] Al-Muwafaqat IV : 158

4[4] Dahlan Abd Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam,hal 327


tanpa ilmu berarti mencari siksaan Allah. Firman Allah dalam Al-Qur’an ada
disurat Al-A’raf ayat 33, Al-Baqarah 169, Az-Zumar 60 dan An-Nahl 116-117.
3. Hendaklah seorang mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya,
bukan seorang yang lemah ilmu, karena apabila dia kurang pengetahuan
mungkinlah dia tidak berani mengemukakan kebenaran ditempat dia harus
mengemukakannya dan mungkin pula dia nekat mengemukakan pendapat di
tempat yang seharusnya dia diam.
4. Hendaklah seorang mufti itu orang yang mempunyia kecukupan di bidang
materiel, bukan seorang yang memerlukan bantuan orang untuk penegak
hidupnya. Karena dengan mempunyai kecukupan itu, dia dapat menolong
ilmunya. Sedang apabila dia memerlukan bantuan-bantuan orang lain,
niscaya akan rendahlah pendapat orang kepadanya.
5. Hendaklah mufti itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila sang mufti
tidak mengetahui ilmu kemasyarakatan atau keadaan masyarakat
mungkinlah dia menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya.5[5]
d. Kewajiban-kewajiban para Mufti
Diantara yang wajib atas para mufti, ialah :
a) Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat
ketakutan, dalam keadaan sangat gundah, atau dalam keadaan pikiran
sedang berbimbang dengan suatu hal. Karena semua yang demikian itu
menghilangkan ketelitian dan keimbangan.
b) Hendaklah dia merasakan amanat berhajat kepada pertolongan Allah agar
menunjukinya kejalan yang benar dan membukakan kepadanya jalan yang
harus ditempuh. Sesudah itu barulah dia meneliti Nash-nash Al-Qur’an,
Hadits, Atsar-atsar para sahabat dan pendapat-pendapat para ulama. Dan
hendaklah dia memberikan segala kesungguhannya untuk menemukan
hukum dari pokoknya sendiri dengan bercermin kepada sikap-sikap yang
telah dilakukan para ulama dahulu.
Bila dia tidak menemukan kebenaran, hendaklah bertaubat dan memohon
ampun kepada Allah. Para mufti harus memegang kepada bantuan Allah
yang mengilhamkan kebenaran karena ilmu adalah cahaya yang diberikan
Allah kepada jiwa seorang hamba. Maka cahaya itu tidaklah diberikan

5[5] Prof. DR. T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (1), , Jakarta (BULAN BINTANG) Hal 180
kepada orang yang durhaka kepada-Nya. Hawa nafsu dan kemaksiatan
merupakan angin badai yang memadamkan cahaya kebenaran
c) Berdaya upaya menetapkan hukum dengan yang diridhai Allah. Dan
selalulah dia ingat bahwa dia diharuskan memutuskan hukum dengan apa
yang Allah turunkan, serta dia dilarang mengikuti hawa nafsu. Firman Allah
dalam surat Al-Qur’an : (Q.S Almaidah , 46)
Tidak boleh seorang mufti dalam memberi fatwa berpegang kepada sesuatu
pendapat yang pernah dikatakan oleh seorang fuqaha tanpa melihat kuat
lemahnya perkataan itu. Dia wajib berfatwa dengan yang lebih kuat dalilnya.
Kalau tidak demilkian, berarti dia mengikuti hawa nafsunya. Dan janganlah
dia memfatwakan helah-helah (tipu muslihat) untuk menghindari tugas-
tugas agama, baik helah-helah yang diharamkan atau yang dimakruhkan.
Dan tidak boleh para mufti berat sebelah dalam memberi fatwa. Janganlah
dia menfatwakan hukum-hukum yang ringan kepada orang yang ingin
dibantunya, baik kerabat, teman, atau pun orang yang diharap memberi
bantuan, seperti para penguasa. Umpamanya talak tiga dalam sekali sebut.
Jangan lah dia mengatakan jatuh satu kalau yang menanyakan itu seorang
penguasa dan di katakan jatuh tiga kalau yang menanyakan itu orang biasa. 6
[6]

e. Antara keputusan hakim dan fatwa mufti ada segi-segi persamaan-


persamaan dan segi-segi perbedaan
Segi persamaan antara keduanya ialah masing-masing dari hakim dan mufti
harus mempunyai dua pengetahuan :
1. Mengetahui kejadian atau peristiwa yang hendak diberikan fatwa atau
diberikan putusan
2. Mengetahui hukum syara’ (I’lamul Muwaqqin 1 : 101 : 448)
Segi perbedaannya ialah :
1. Memberi fatwa lebih luas lapangannya dari pada memberi putusan, karena
memberi fatwa menurut pendapat sebagian ulama, boleh dilakukan oleh

6[6] Prof. DR. T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (1), , Jakarta (BULAN BINTANG) Hal 182
orang merdeka, budak belian, lelaki, wanita, famili dekat dll. Sedang putusan
hanya diberikan kepada orang yang merdeka yang lelaki dan tidak ada
sangkut paut kekeluargaan dengan yang bersangkutan.
2. Putusan hakim berlaku untuk penggugat dan tergugat, berbeda dengan
fatwa. Fatwa boleh diterima boleh tidak
3. Putusan hakim yang berbeda dengan pendapat mufti, dipandang berlaku
dan fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedang putusan
hakim dapat membatalkan fatwa mufti
4. Mufti tidak dapat memberi putusan terkecuali apabila dia telah menjadi
hakim. Berbeda dengan hakim, dia wajib memberi fatwa bila telah
merupakan suatu keharusan dan boleh memberi fatwa apabila belum
merupakan suatu keharusan. Namum segolongan sebagian ulama Syafi’iyah
dan Hanbaliyah berpendapat bahwa hakim tidak boleh memberi fatwa pada
maslah-masalah yang mungkin akan dimajukan kepada pengadilan. Karena
mungkin putusannya nanti berbeda dengan fatwanya, akan timbullah
kesulitan baginya.7[7]
Karenanya Syuraih berkata :
‫انا أقضى بينكم ل افتي‬
“Saya memutuskan perkara diantara kamu, bukan
memberikan fatwa”
(Ushulut Tasyri’ karya Ali hasballah, hal 92)8[8]
f. Keharusan si awam mengikuti pendapat yang sudah diterima dari
seorang mufti

Tidak dibolehkan seseorang yang awam yang telah meminta fatwa


kepada seorang mufti, pergi kepada mufti yang lain untuk menanyakan
masalah yang sama. Dia diharuskan mengikuti fatwa yang telah diberikan
oleh muftinya itu. Tetapi didalam masalah-maslah yang lain, dia boleh pergi
dab bertanya kepada mufti yang dia sukai.9[9]

7[7] Drs. H.A Basiq Djalil, S.H. M.A, Peradilan Islam,(Jakarta : AMZAH , 2012) hal 109

8[8] Ibid 194

9[9] Al- Mustashfa II : 290


Didalam hal itu As-Subi menerangkan, bahwa ibn Ash Shalah
mengharuskan orang yang telah meminta fatwa mengamalkan fatwa yang
telah diberikan kepadanya oleh seorang mufti, jika tidak ada mufti yang lain.
Jika ada mufti yang lain, dia boleh memilih salah satu di antaranya dan boleh
dia kembali kepada mufti yang lain itu
g. Keharusan penguasa meneliti pendapat mufti-mufti
Penguasa diwajibkan supaya memperhatikan pendapat-pendapat mufti
dan menelitinya serta melarang orang yang belum layak untuk menjadi
mufti, memberi fatwa, dan boleh menjatuhkan hukuman atas orang itu jika
dia kembali memberi fatwa.
Diantara tugas muhtasib, ialah melarang orang yang tidak ahli untuk
fatwa bertindak sebagai mufti, dan hendaklah muhtasib itu menerangkan
kepada masyarakat bagaimana keadaan sebenarnya orang yang dilarang
untuk memberi fatwa itu.10[10]
B. QADHA
a. Pengertian Qadha
Secara etimologi qadha berasal dari bahasa Arab yang mengandung
banyak arti, diantaranya adalah hokum, al-farq min sya’I (menyelesaikan
sesuatu), qat al munazza’at (memutuskan perselisihan), dan al-amr
Seseorang yang memutuskan suatu perkara disebut hakim. Adapun
hakim adalah orang yang membuat hokum dan mempunyai daya paksa, dan
qadha adalah produk atau hasil dari putusan seorang hakim.
Dalam hal tersebut terdapat beberapa definisi para ulama ushul fiqh
tentang pengertian qadha yang hakikatnya tidak lepas dari pengertian
diatas, diantara definisi diatas sebagai berikut :
1. Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan qadha dengan suatu putusan yang
mengikat, yaitu yang bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan
memutus persengketaan
2. Ulama Madzhab Maliki mendefinisikan qadha dengan pemberitaan tentang
hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti
3. Ulama Madzhab syafi’I dan Hanbali mendefinisikan qadha dengan
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah

10
4. Ada juga yang berpendapat bahwa qadha adalah memutuskan hukum
antara manusia dengan benar dan memutuskan hukum dengan apa yang
diturunkan Allah.
Adapun dasar-dasar hukum qadha dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
ߊ¼ãr#y‰»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ Zpxÿ‹Î=yz ’Îû ÇÚö‘F{$# Läl÷n$
$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3“uqygø9$#
y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@‹Î6y™ «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã
È@‹Î6y™ «!$# öNßgs9 Ò>#x‹tã 7‰ƒÏ‰x© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ
#$:É>$|¡Ïtø
Artinya : “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan” (QS. Shad (26)
Juga firmannya :
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr& öNèdö‘x‹÷n$#ur br& š‚qãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !
$tB tAt“Rr& ª!$# y7ø‹s9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù
$uK¯Rr& ߉ƒÌãƒ ª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3
¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9
Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Maidah 49)
Atas dasar hukum di atas, ulama ushul fiqh sepakat mengatakan bahwa mengadakan dan
menjalankan lembaga qadha itu hukumnya fardlu kifayah (kewajiban Kolektif). Oleh sebab itu,
pemimpin suatu Negara Islam wajib mengangkat qadhi untuk lembaga qadha ini.
Sebagian ahli fiqh membagi rukun qadha menjadi 5 bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan
persengketaan
2. Hukum, yaitu keputusan qadhi untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan
persengketaan
3. Al-Mahkum Bih ,yaitu Hak
4. Al-Mahkum ‘Alaih yautu orang yang dijathi putusan atasnya
5. Al-Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata (hak
perdata)
Dari lima rukun diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa peradilan itu sebenarnya berkenaan
dengan adanya suatu kasus, yakni terjadinya suatu sengketa antara satu pihak dengan pihak yang
lain yang disertai adanya dakwaan yang benar11[11]
b. Syarat-syarat Qadhi
Seorang qadhi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Islam
2. Berakal (sehat pikiran, cerdas, dan dapat memecahkan masalah yang pelik atau sulit dengan
kecerdasannya itu)
3. Adil, yaitu benar dalam pembicaraan, dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala hal
yang dilarang, jujur dalam keadaan marah atau suka
4. Berpengetahuan mengenai pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya serta dapat
membedakan yang hak dan bathil
5. Sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan12[12]
C. Persamaan Dan Perbedaan Fatwa Dan Qadha
Dalam literature-literatur tidak ditemukan secara khusus pembahasan tentang persamaan dan
perbedaan antara fatwa dan Qadha. Hal ini perlu dikomparasikan antara fatwa dan Qadha
berdasrka uraian di atas sehingga mendapat suatu kesimpulan yang berkaitan dengan persamaan
dan perbedaan antara keduanya. Adapun persamaan yang paling mendasar antara fatwa dan
Qadha adalah sebagai berikut :
1. Sama-sama hasil Ijtihad yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits
2. Sama-sama dalam bentuk ketetapan hukum

11[11] Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi Islam, hlm 31

12[12] Ibid 54-59


3. Keputusan yang ditetapkan berasal dari badan resmi
4. Sama-sama menghasilkan suatu produk hukum

Adapun perbedaan yang paling mendasar adalah sebagai berikut :


1. Fatwa adalah produk pribadi (bersifat tidak mengikat) atau bisa atas nama
lembaga, sedangkan qadha produknya atas nama Negara (bersifat
mengikat)
2. Yang membuat qadha (yakni hakim) diangkat oleh Negara, sedangkan yang
membuat fatwa adalah mufti (tidak diangkat oleh Negara) dan berdasar atas
pengakuan masyarakat
3. Mufti boleh menolak masalah yang diajukan kepadanya, sedangkan qadha
(yakni peradilan) tidak boleh menolak sekalipun undang-undang untuk
masalah tersebut belum ada
4. Qadha (putusan peradilan) boleh dibatalkan oleh peradilan yang lebih tinggi,
sedangkan fatwa tidak ada yang bisa membatalkannya, sekalipun ulama
yang lebih popular
5. Fatwa dasarnya adalah ilmu, sedangkan qadha dasarnya adalah fakra13[13]
D. WILAYAH MAZHALIM
a. Pengertian Wilayah Mazhalim
Kata wilayah al madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata wilayah secara literal
berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan . Sedangkan kata al madzalim adalah
bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Al-Madzlaim adalah suatu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan lembaga
peradilan yang diperuntukan mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara
rakyat dan negara.Termasuk kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi,
bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa.Secara operasional hakim
lembaga ini bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadha dan hisbah.
Lembaga ini punya kewenangan untuk menerima upaya banding mapun peninjauan kembali
terhadap putusan yang dibuat oleh hakim qadha dan hisbah.Badan ini memiliki Mahkamah
Madzalim dan merupakan lembaga kehakiman tertinggi sejak masa khalifah Abdul Malik (685-
705 M) dimana untuk pusatnya dipegang oleh khalifah.Jika dibandingkan dengan lembaga-
lembaga sekarang, bisa dipadankan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung14[14].

13[13] H.A Basiq Djalil, peradilan Islam, (Jakarta : AMZAH 2012) hal 109

14[14] Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 168-169.
Wilayah Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan,
yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga
ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim
biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang
dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak
dari orang-orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini
adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan
sebagainya pula tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan,
tetapi memang jadi wewenang lembaga untuk memeriksa.
b. Sejarah singkat wilayah Al-Madzalim
Wilayah Madzalim sudah dikenal di Arab sebelum Islam. Hal ini wujud
dari orang-orang Quraisy untuk menolak segal bentuk kedzoliman sekaligus
memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dzalim
Dalam suatu riwayat dari Az-Zubair bin Bakar tercatat bahwa ada
seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bni Zubaid dating ke kota Mekkah
untuk berdagang. Kemudian ada orang dari bani Sahm (dalam riwayat lain
menyebutkan bernama al-Ash bin Wail) membeli dagangannya. Laki-laki
tersebut mengambil barang tersebut dengan melebihi batas yang
ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang diambilnya ia
menolak. Hingga akhirnya hilanglah kesabaran si pedagang tersebut dan ia
berteriak diatas sebongkah batu disamping ka’bah seraya melantunkan syair
yang berisi kecaman terhadap kedzaliman yang ia rasakan. Tindakan
pedagang tersebut ternyata mendapat respon dari orang-orang Quraisy. Hal
ini terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abd Muthallib dalam
membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut. Orang-orang Quraisy
berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat kesepakatan
menolak segala bentuk kedzaliman di mekkah sehingga peristiwa yang
terjadi tidak terulang. Kesepakatan itu dikenal dengan hif al-fudhul. Pada
saat peristiwa tersebut terjadi, Nabi baru berusia 25 tahun.
Pada masa Nabi pernah memerankan fungsi ini ketika terjadi kasus
irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan seorang dari
golongan Anshar. Seseorang dari Anshar tersebut berkata “alirkan air
tersebut kesini” namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi berkata “alirkan
air itu kelahanmu, kemudian alirkan air tersebut kelahan tetanggamu. Orang
Anshar tersebut marah mendengar ucapan Nabi seraya berkata “wahai Nabi,
pantas kamu mengutamakan dia, bukankah dia anak pamanmu, mendengar
jawabanini, memerahlah wajah Nabi seraya berkata “wahai Zubair, alirkan
air itu keperutnya sampai kedua mata kakinya”
Pada masa khalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas
jihad, sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam
menegakkan keadilan, kebenaran dan mengembalikan hak orang-orang yang
di dzalimi sehingga kasus-kasus yang menjadi wilayah madzalim sangat
sedikit jumlahnya.
Pada masa Khalifah Bani Umayyah, wilayah madzalim menjadi
lembaga khusus tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M). Beliau adalah penguasa islam yang pertama membentuk
lembaga al-madzalim (peradialan khusus). Ia menyediakan waktu khusus
untuk menerima pengaduan kasus-kasus al-madzalaim jika Abd Malik
kesulitan dalam memutuskan hukum, ia berkonsultasi dan meminta
pertimbangan kepada Ibnu Idris al-Azdi.
Hal ini berlangsung efektif pada masa-masa khalifah selanjutnya.
Dengan demikian pada masa Umayyah wilayah al-madzalim telah
menemukan bentuknya meskipun belum sempurna. Hal ini terjadi karena
wilayah al-madzalim masih ditangan penguasa.
c. Tugas-tugas wilayah Madzalim
Al- Mawardy di dalam kitab Al ahkamu Sulthaniyah menerangkan, bahwa
perkara-perkara yang di periksa oleh lembaga ini ada 10 macam :
a) Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap
golongan
b) Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat
dan harta-harta kekayaan negara yang lain
c) Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat
Ketiga perkara diatas harus diperiksa oleh lembaga madzalim apabila
telah diketahui adanya kecurangan-kecurangan dan penganiayaan-
penganiayaan tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan
d) Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka
dikurangi ataupun di lambatkan pembayarannya
e) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh
penguasa-penguas yang dzalim.
Ini juga tidak perlu adanya pengaduan terlebih dahulu
f) Memperhatikan harta-harta wakaf
Jika wakaf-wakaf itu merupakan wakaf umum maka lembaga ini
mengawasi berlaku tidaknya syarat-syarat oleh si pemberi wakaf. Adapun
wakaf-wakaf yang khusus, maka lembaga ini bertindak setelah ada
pengaduan dari yang bersangkutan.
g) Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh
hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya
adalah orang-orang yang tinggi derajatnya
h) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum
yang tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah
i) Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadah-ibadah yang nyata seperti Sholat
jum’at, Hari raya, Hajji, dan Jihad
j) Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa diantara pihak-
pihak yang bersangkutan15[15]
Wilayah Mazhalim sendiri dalam pelaksanaan sidangnya selalu
diselanggarakan di masjid dan haruslah dihadiri oleh kelima pihak, adapun
kelimanya Dalam pelaksanaan peradilannya haruslah dihadiri oleh :
a) Para pembela.
15[15] T.M. hasbi Ash-hiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. PUSTAKA RIZKY PUTRA,
1997. Hlm 93-94
b) Para hakim
c) Adanya para fuqaha’
d) Adanya katib.

d. Kelengkapan-kelengkapan lembaga Madzalim


Lembaga ini memang khusus dilengkapi dengan pegawai-pegawai yang merupakan
pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang didalam
masa pemeriksaan. Dan dilengkapi pula dengan hakim-hakim yang pandai untuk ditanya
pendapat-pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan, dilengkapi pula oleh ahli-ahli fiqh untuk
ditanyakan pendapat oleh panitera16[16] untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh
masing-masing pihak, dan dilengkapi juga dengan orang-orang yang dapat dijadikan sebagai
saksi untuk dipergunakan dimasa-masa persidangan memerlukan saksi sebagai orang-orang yang
diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan oleh ketua
pengadilan Madzalim.
Untuk terselenggaranya peradialan yang harus ada dalam al-madzalim sebagai berikut :
1. Adanya Advokad
2. Setelah melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan setelah melakukan
penelitian hukum atas kasus mereka, para hakim bertugas mengembalikan hak-hak kepada orang
yang berhak
3. Ketika hakim menemukan kesulitan dalam mengetahui hukum syara’, maka disini harus adanya
peran fuqaha
4. Para katib (panitera)
5. Saksi

e. Perbedaan wilayah Al-Madzalim dan Qadha

Ada beberapa perbedaan Wilayah Al-Madzalim dan Qadha, yang mana telah di sebutkan
dalam kitabnya “al-Ahkam as-Sulthaniyyah” oleh Al-Mawardi :
1. Nadhir al-madzalim mempunyai kewibawaan kegagahan dan kekuasaan yang lebih besar dari
yang di miliki hakim dalam rangka menegakan hukum dan mencegah kedholiman yang
dilakukan oleh penguasa.

16[16] Pejabat kantor sekretariat pengadilan yg bertugas pd bagian administrasi pengadilan, membuat berita acara
persidangan, dan tindakan administrasi lainnya; penulis; sekretaris (dl perkumpulan, organisasi);
2. Nadhir al-madzalim menagani kasus yang berada diluar wilayah kewajibannya, dia menagani
kasus yang masuk dalam wilayah jawaz sehingga dapat di simpulkan bahwa kompetensi wilayah
al-madholim lebih luas dari yang di miliki qodho’
3. Nadhir al-madzalim boleh melakukan intimidasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan
melakukan penyelidikan yang mendalam atas sebab-sebab dan indikasi-indikasi yang lainnya.
Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh hakim demi memperoleh kebenaran asasi dan
menunjukkan kebathilan.
4. Nadhir al-madzalim bertugas mendidik dan meluruskan orang-orang yang berbuat dholim,
sedagkan tugas hakim adalah penghukumnya.
5. Nadhir al-madzalim diperbolehkan terlambat dalam membuat keputusan keputusan karna ia
perlu meneliti sebab-sebab timbulnya persegketaan secara mendalam demi memperoleh
kebenaran materil, dsn hal ini tidak dilakukan oleh hakim, nadhir al-madholim juga boleh
menunda penetapan hukum, sedang hakim tidak bpoleh menunda-nunda penetapan hukum.
6. Nadhir al-madzalim diperbolehkan menolak salah satu pihak yang bersengketa apabila dia tidak
bersedia menegakkan amanat kebenaran dalam rangka penyelesaiian persegketaan yang
mendatangkan keputusan antara kedua belah pihak, sedang hakim tidak boleh menolak salah satu
pihak kecuali berdasarkan, keputusan bersama.
7. Nadhir al-madzalim boleh melakukan penahanan terhadappihak-pihak yang bersengketa jika
diketahui adanya usaha penentagan dan kebohongan-kebohongan dan dia di perbolehkan
meminta jaminan bagi dirinya dalam melakukan keadilan dan meninggalkan penentagan dan
kebohogannya, sedang hakim tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut.
8. Nadhir al-madzalim diperbolehkan mendegarkan saksi yang kredibilitasnya masih diragukan hal
ini tidak boleh dilakukan oleh hakim, dia hanya diperbolehkan mendegarkan para saksi yang
adil.
9. Nadhir al-madzalim di perbolehkan menyuruh para saksi untuk mengucapkan sumpah jika dia
merasa ragu terhadap mereeka, sedang hal ini tidak boleh dilakukan oleh para hakim.
10. Nadhir al-madzalim diperbolehkan memulai peradilan dengan memanggil para saksi guna
dimintai keterangan mengenai apa yang diketahuinya dalam masalah yang sedang di
persengketakan, sedang kebiasaan yang dilakukan oleh hakim adalah menuntut untuk
mengajukan bukti yang menguatkan dakwaannya.17[17]

E. Al-HISBAH
a. Pengertian Hisbah

17[17] Al- Mawardi, Al-Ahkam Ash-Shulthaniyyah, hlm. 83-84.


Wilayah Al-Hisbah berasal dari kata al- Wilayah yang berarti kekuasaan
atau kewenangan. Dan Al-Hisbah berarti imbalan, pengujian melakukan
suatu
perbuatan dengan penuh perhitungan.
Upaya pendefinisian Wilayah Al-Hisbah telah banyak dilakukan seperti
yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata
perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata
perbuatan itu dikerjakan. Ini mengindikasikan Wilayah al-Hisbah merupakan
jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat baik dan melarang
berbuat
mungkar.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah dengan menambahkan
dalam definisi Wilayah al-Hisbah yang kewenangannya tidak termasuk dalam
wewenang penguasa, peradilan biasa dan Wilayah al-Mazalim.
Hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan
ditinggalkan
(tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti
kemungkaran
dikerjakan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an. Qs: al-Imron: 104.
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat di atas telah menjelaskan bahwa setiap muslim memiliki peran aktif
dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Namun demikian menurut kesepakatan
ulama’ fiqh, bentuk kewajiban amar ma’rūf nahi munkar merupakan
kewajiban kolektif bagi umat Islam (wajib kifayah). Maka apabila tugas amar
ma’ruf nahi munkar dilaksanakan oleh seorang atau sebagian orang maka
kewajiban itu gugur dari orang yang tidak melaksanakannya.Jika ternyata
tidak ada seorangpun yang mampu melaksanakannya, maka perintah
tersebut menjadi wajib‘ain (inperatif) bagi pihak yang mampu
melaksanakannya.
Hisbah secara etimologi dan terminology berkisar pada memeritahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Misalnya
si Fulan melakukan hisbah terhadap si Fulan; artinya mengingkari
perbuatannya yang buruk. Sedangkan makna terminologis hisbah adalah,
memerintahkan kebaikan apabila ada yang meninggalkannya, dan melarang
kemungkaran apabila ada yang melakukannya.
Hisbah adalah cara terpenting dalam pengawasan terhadap kehidupan
ekonomi, dimana kami dapatkan bahwa Umar RA melakukan peran sebagai
muhtasib (pengawas), dan mengawasi uamt siang dan malam, membawa
tongkat, dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melakukan malam, membawa
tongkat, dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melaakukan pengawasan
terhadap perilaku dan kegiatan-orang-orang.
b. Sejarah Hisbah
Negara telah diperintahkan agar melembagakan ketetapan-ketetapan
untuk mengawasi penerapan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini
dapat dilihat pada masa rasulullah di samping memperhatikan akhlak yang
mulia, nabi saw juga memperhatikan pelembagaan penegakan dan
pelestarian dengan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar. Dalam sejumlah hadist nabi diriwayatkan selalu
menekankan peran ini bagi setiap muslim. Beliau sendiri, seringkali
melakukan inspeksi pasar untuk meninjau apakah para pedagang melakukan
kecrangan atau tidak, setiap kali beliau menemukan orang yang melakukan
kecurangan, beliau pasti melarangnya. Tugas ini beliau emban baik dalam
kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai kepala Negara. Dalam hal ini
nabi disebut sebagai al-Muhtasib pertama dalam sejarah Islam. Selanjutnya,
ketika tugas-tugas pribadi beliau semakin bertambah, beliau menunjuk
sahabat Sa’ad ibn al-‘Ash ibn Umayyah sebagai al-Muhtasib di Makkah dan
Umar Bin Khattab di Madinah.Tindakan Rasulullah Saw Dalam
Mendelegasikan Tugas Al-Hisbah kepada para sahabat dianggap oleh ulama’
fiqh sebagai ikal bakal Wilayah al-Hisbah. Oleh sebab itu, mereka
berpendapat bahwa yang dilakukan rasulullah saw terhadap pelanggar kasus
al-Hisbah kepada sahabat memebrikan isyarat bahwa kasus-kasus yang
terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar perlu ditangani secara serius.18[18]
Penanganan kasus al-Hisbah di zaman Abu Bakar as-Siddiq (573-634)
tetap berjalan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW, sekalipun
kadangkadang didelegasikan kepada Umar bin Khattab (581-644). Pada
zaman Umar bin Khattab sebagai khalifah, pembagian wewenang peradilan
secara tegas mulai dilakukan. Untuk Wilayah al-Hisbah, umar bin khattab
menunjuk beberapa orang al-Muhtasib, antara lain Sa’ad bin Yazid, Abdullah
bin Utbah, dan Umm Asy- Syifa’ (wanita) yan disebut terakhir sebagai al-
Muhtasibah untuk mengawasi para pedagang di pasar Madinah. Secara
umum lembaga Wilayah al-Hisbah berlanjut hingga pada masa dinasti
Umayyah (661-750), Wilayah al-Hisbah pada periode ini sudah menjadi satu
lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan
mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai
dengan syari’at Islam. Setelah Daulah Islamiyah runtuh dan digantikan oleh
Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H),
keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti
lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah
lembaga peradilan (qadla’) Demikian pula, Wilayah al-Hisbah menjadi
departemen penting selama kekuasaan dinasti Fatimiyah, Ayyub, dan
Utmaniyah. Di India, meski departemen Wilayah al-Hisbah yang resmi tidak
ada, namun selama masa kesultanan, al-Muhtasib dan qadli sama-sama
ditunjuk setiap kali ada wilayah baru yang dikuasai oleh Negara. Dinasti
Moghul merasa tidak nyaman dengan adanya lembaga al-Hisbah karena
rendahnya moral mereka sendiri, dan lalu mengganti al-Hisbah dengan
Kotwal yang memiliki yuridiksi lebih terbatas dari pada yuridiksi al-Muhtasib.

18[18] http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2168873-pengertian-wilayah-
al-hisbah/#ixzz27lRlLrnm
Lembaga Wilayah al-Hisbah masih tetap populer sepanjang sejarah umat
Islam, meski dinamakan berbeda-beda di berbagai tempat. Misalnya,
provinsi-provinsi timur dan barat Baghdad, petugas pelaksanannya disebut
al- Muhtasib, di Afrika Utara disebut Shahib al-Suq, di Turki disebut Muhtasib
Aghasi dan di India disebut Kotwal. Jadi dapat penulis simpulkan bahwa
Wilayah al-Hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan dalam sistem
pemerintahan, yang memiliki kewenangan untuk menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar.
c. Tugas Lembaga Hisbah
- Tugas dari Hisbah : memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat
mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-peugas hisbah.
- Tugas hakim : memutuskan perkara terhadap pertengkaran-pertengkaran
yang dikemukakan kepadanya dan mengharuskan orang yang kalah
mengembalikan hak orang yang menang.
- Tugas muhtasib (pengawas) : mengawasi berlaku tindaknya undang-undang
umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh
seorangpun, dan terkadang-kadang muhtasib ini memberikan putusan-
putusan dalam hal-hal yang perlu segera diselesaikan.
d. Perbedaann Hisbah Dengan Amar Ma’ruf
Amar ma’ruf nahyu munkar walaupun dapat dilakukan oleh tiap-tiap
pribadi muslim tetapi ada perbedaan antara muhtasib dengan orang yang
bertindak atas dasar sukarela, perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai
berikukt :
1. Menyuruh ma’ruf dan menjegah mungkar adalah fardhu ain bagi si
muhtasib, karna dia memang di angkat untuk itu dan di beri pula gaji,
sedang untuk orang yang lain merupakan fardhu kifayah.
2. Si muhtasib adalah orang-orang yang di tugaskan untuk bertindak atas
seseorang yang membuwat kemungkaran dan wajib member bantuan
kepada orang yang meminta bantuannya. Sedang orangt yang bekerja
dengan suka rela tidak di haruskan atasnya yang demikian itu, terkecuali
ketika darurat.
3. Muhtasib harus membahas dan meneliti kemungkaran-kemungkaran yang
nyata untuk mencegah terjadinya sebagaimana dia harus memeriksa
tentang perbuatan-perbuatan ma’ruf yang tidak di kerjakan oleh orang-orang
yang harus mengerjakannya untuk di suruh orang itu mengerjakannya.
4. Keempat,muhtasib dapat mengangkat beberapa pegawainya untuk
menjalankan tugas hisbah dan diberi hak menjalankan hukuman ta’zir
terhadap orang-orang yang mengerjakan kemungkaran.
e. Persamaan Dan Perbedaan Al-Hisbah Dan Pengadilan
Persamaan tersebut adalah:
1. Baik hakim maupun muhtasib, keduanya menerima dan mendengarkan
pengaduan dari orang yang bersengketa.
2. Baik hakim maupun muhtasib, keduanya berupaya memberantas
kedhaliman dan menegakkan keadilan.
Adapun perbedaannya adalah:
1. Dari segi kewenangan: muuhtasib tidak berhak menerima dan
memutuskan perkara yang menjadi kewenangan hakim pengadilan.
2. Muhtasib hanya mengurus perkara-perkara yang kecil yang bukan
termasuk kewenangan hakim pengadilan, misalnya perkara penipuan dalam
takaran dan timbangan.
3. Kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.
4. Hakim cenderung menunggu perkara-perkara yang masuk, sedang
muhtasib cenderuung mencari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan. 19
[19]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fatwa ialah menjawab sesuatu pertanyaan yang tidak begitu jelas
hukumnya. Menurut kenyataan, memberi fatwa pada hakikatnya adalah
menyampaikan hukum Allah kepada manusia. Karenanya seseorang mufti
harus mengetahui apa yang disampaikan itu dan harus orang yang terkenal

19[19] H.A Basiq Djalil, peradilan Islam, (Jakarta : AMZAH 2012) hal 131
benar, baik tingkah lakunya dan adil, baik dalam perkataannya maupun
dalam perbuatannya. Orang yang memberi fatwa itu yang kita namakan
mufti, adalah orang yang dipercayakan kepadanya hukum-hukum Allah
untuk disampaikan kepada manusia. Allah sendiri menamakan dirinya
dengan mufti
wilayah al madzalim diartikan dengan kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari
kekuasaan hakim dan muhtasib yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam
wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiyaan yang dilakukan
oleh penguasa terhadap rakyat biasa.
Dengan kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang
meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap
rakyatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aripin , Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.


Ash-hiddieqy, Hasbi , Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT.
PUSTAKA RIZKY PUTRA
Ash Shiddieqy, Hasbi , Pengantar Hukum Islam (1),BULAN BINTANG,
Jakarta
Djalil, Basiq, Peradilan Islam, AMZAH, Jakarta
Sumber:

https://perbandinganmadzhabfiqh.wordpress.com/2011/05/14/kekuasaan-yudikatif-sulthah-
qadhaiyyah-konsep-wilayah-al-qadha-wilayah-al-mazhalim-dan-wilayah-al-hisbah/

Kekuasaan Yudikatif (Sulthah Qadhaiyyah): Konsep Wilayah al-Qadha,


Wilayah al-Mazhalim, dan Wilayah al-Hisbah.
Filed under: Fiqh Siyasah — Tinggalkan komentar

14 Mei 2011

1. A. Pendahuluan

Sebagai mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum di UIN Syarif Hidayatullah, kita pernah
mendengar salah satu asas di Ilmu Tata Negara, yaitu asas Trias Politica. Di dalam menjalankan
roda pemerintahan, Nabi Muhammad SAW juga telah menggunakan asas tersebut. Arti dari asas
Trias Politica adalah system pemerintahan yang memisahkan antara kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Dan pada kesempatan ini kami akan membahas salah satu kekuasaan
diantara ketiga asas di atas, yaitu kekuasaan yudikatif.

1. B. Pengertian Kekuasaan Yudikatif (Sulthah Qadhaiyyah)

Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas
dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut
sebagai Sulthah Qadhaiyyah.

Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan


permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan
mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain
yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk
menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara
dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara.

Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam penerapannya


(syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-Qadha)
tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan. Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan
peradilan (al-Qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah, yaitu Wilayah Qadha, Wilayah Mazhalim,
dan Wilayah Hisbah.

1) Wilayah Al-Qadha

 Pengertian
Makna al-Qadha’ secara bahasa, Al-Qadha’ (‫ )القضاء‬berasal dari kata ‫قضاء‬-‫يقضى‬-‫ ;قضى‬jamaknya
‫أقضية‬. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. AI-Quran
mencantumkan kata al-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa,
di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian,
memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri, dsb.

Makna al-Qadha’ secara syar’i, sekalipun secara bahasa kata al-Qadha’ memiliki banyak
makna, secara tradisi ia akhirnya lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktik
dan putusan peradilan. Syariat pun memutlakkan istilah al-Qadha’ dalam masalah praktik dan
putusan peradilan.

Para ulama memberikan beberapa definisi al-Qadha’ dalam pengertian syar’i ini. Menurut al--
Khathib asy-Syarbini, al-Qadha’ adalah penyelesaian perselisihan di antara dua orang atau lebih
dengan hukum Allah SWT. Dalam Fath al-Qadir, al-Qadha’ diartikan sebagai al-Ilzam
(pengharusan); dalam Bahr al-Muhith diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan
persengketaan; sedangkan dalam Bada’i ash-Shana’i diartikan sebagai penetapan hukum di
antara manusia dengan haq (benar).

Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa
yang telah Allah turunkan. Rasul SAW secara langsung mengadili dan menghukumi perkara
yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan
keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan uqubat umumnya;
juga dalam masalah hisbah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur
gandum basah dengan gandum kering; dalam masalah mazhalim mengenai penetapan harga;
dalam perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar dalam masalah pengairan, dan
sebagainya.

Ketika kekuasaan negara Islam semakin luas, Rasulullah SAW mengangkat beberapa sahabat
sebagai qadhi (hakim) yang beliau tempatkan di beberapa daerah, seperti Mu’adz bin Jabal di
daerah Janad dan Ali bin Abi Thalib di daerah Yaman. Qadhi pada masa Rasul SAW, antara lain:
Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa al-Asy’ari, dan Mu’adz bin Jabal.

 Hukum Pengangkatan dan Jenis Qadhi

Mayoritas ulama berpendapat, al-Qadha’ hukumnya fardhu kifayah. Pelaksanaan tugas al-Qadha’
ini pada dasarnya adalah tanggung jawab Imam/Khalifah. Rasul SAW dan Khulafaur Rasyidin
sendiri menangani al-Qadha’ secara langsung. Namun, ketika wilayah negara semakin luas, tentu
khalifah tidak mungkin menanganinya sendiri, di samping karena tugas Khalifah sangat
kompleks. Dalam situasi tersebut, kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali Khalifah
mengangkat para qadhi di seluruh daerah sebagai bahagian dari pemerintahan negara.

Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadha inilah yang menyelesaikan perselisihan


atau sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat atau mencegah sesuatu yang boleh
membahayakan hak-hak jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat
dengan pemerintahan negara.

Penjelasan tersebut sekaligus menjelaskan tiga kelompok perkara dan macam lembaga al-
Qadha’:

 Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan ‘uqubat. Perkara ini ditangani oleh
al-qadhi, kadang disebut Qudhat al-Khushumat.

 Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum; disebut Hisbah. Perkara ini ditangani
oleh Qadhi al-Hisbah atau al-Muhtasib.

 Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman yang dilakukan oleh atau
akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya. Inilah yang disebut mazhalim dan ditangani oleh
Qadhi al-Mazhalim.

Khalifah boleh mengangkat seorang qadhi dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah
Khilafah sekaligus membawahi seluruh qadhi yang ada. Pejabat ini disebut Qadhi al-Qudhat.
Qadhi Abu Yusuf adalah orang pertama yang mendapat sebutan ini.

Jabatan qadhi (al-qudhat) sudah ada sejak masa Rasul SAW dan terus ada sepanjang sejarah
Islam. Adapun untuk perkara hisbah, Rasul SAW menangani sendiri perkara ini seperti saat
menyiasat pasar dan menjumpai gandum basah yang dicampur dengan yang kering, lalu beliau
memerintahkan agar yang basah ditaruh di atas, di samping yang kering.

Pada masa Umar bin al-Khathab, ia juga langsung menanganinya, seperti saat menyiasat pasar,
Umar menemukan susu yang dicampur air lalu ia tumpahkan untuk mendidik para pedagang,
atau ketika ia memisahkan laki-laki dan wanita yang berdesak-desakan di tempat pengambilan
air. Saat yang sama Umar juga mengangkat pejabat khusus untuk mewakilinya menjalankan
tugas hisbah dan disebut wilayah as-Suq. Baru pada masa al-Mahdi diangkat qadhi khusus untuk
menangani hisbah dan disebut al-Muhtasib dan sejak saat itu terus terpelihara sebagai bagian al-
Qadha’. Keberadaan al-Muhtasib ini bersandar pada as-Sunnah berupa perbuatan Rasul SAW.
tersebut.

 Syarat-syarat pengangkatan qadhi

Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi seorang qadhi adalah sebagai berikut:

a) Ia harus seorang pria

b) Mempunyai kemampuan akal

c) Merdeka

d) Beragama islam
e) Mempunyai kredibilitas individual

f) Sempurna pendengaran dan penglihatannya

g) Mempunyai kemampuan dalam ilmu pengetahuan

 Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi

Adapun ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang calon qadhi ialah sebagai berikut:

a) Menguasai ilmu tentang Kitab Allah

b) Menguasai ilmu tentang Sunnah Rasulullah

c) Menguasai tentang takwil kalangan ulama salaf

d) Menguasai ilmu tentang qiyas

 Wewenang tugas seorang qadhi

Wewenang tugas seorang qadhi dibagi menjadi umum dan khusus. Wewenang khususnya adalah
hanya berwenang mengurusi tugas khususnya itu. Sedangkan wewenang yang umum terdiri dari
sepuluh tugas, yaitu:

a) Menyelesaikan persengketaan dan permusuhan

b) Meminta suatu hak orang yang ditahan oleh orang lain

c) Menjadi wali atas orang yang dilarang mengadakan transaksi

d) Menangani harta wakaf

e) Melaksanakan wasiat

f) Menikahkan wanita janda dengan orang yang setingkat statusnya

g) Melaksankan hokum had

h) Memeriksa kemashlahatan wilayah tugasnya

i) Memeriksa saksi-saksi

j) Menyejajarkan anatara pihak yang lemah dengan pihak yang kuat

2) Wilayah AI-Mazhalim
Kata al-Mazhalim adalah jama’ dari al-Madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi
sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini dibentuk oleh
pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari
pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan
oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).

Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang
menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan Wali al-Madzalim. Adapun syarat mutlak
untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia
melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat
yang terlibat dalam sengketa.

Dalam masalah mazhalim, Rasul SAW juga menanganinya secara langsung; seperti dalam
masalah penolakan beliau untuk melakukan penetapan harga atau dalam masalah pengairan
antara Zubair dan seorang laki-laki dari Anshar. Begitu juga Khulafaur Rasyidin menangani
langsung perkara mazhalim dan belum menyediakan waktu khusus. Baru Khalifah Abdul Malik
bin Marwan yang menyediakan waktu khusus untuk meneliti masalah mazhalim, tanpa langsung
memutuskan. Jika ada masalah atau perlu keputusan hukum, ia mengajukannya kepada qadhi-
nya, yaitu Abi Idris al-Azadi karena beliau adalah qadhi mazhalim ketika itu. Baru pada masa
Abassiyah diangkat qadhi khusus untuk menangani perkara mazhalim ini. Jabatan ini terus ada
dan menjadi bagian dari al-Qadha’. Pengangkatan qadhi mazhalim ini juga didasarkan pada as-
Sunnah berupa perbuatan Rasul SAW.

Demikian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd. Aziz, yang pertama-tama
yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para
pejabat/penguasa sebelumnya.

3) Wilayah AI-Hisbah

Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat


baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Upaya ini
digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanan terhadap ketentuan-ketentuan hukum
agar dapat terealisir dalam masyarakat secara maksimal. Di samping itu, wilayah hisbah dapat
memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Artinya,
terlihat betapa urgen keberadaban wilayah hisbah dalam membina masyarakat untuk menaati
aturan-aturan syara’.

 Pengertian

Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan
dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.

Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh al-Farakhi,
yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat
mungkar apabila nyata perbuatan itu dikerjakan.
Ini mengindikasikan wilayah merupakan jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat mungkar, di mans kewenangan ini merupakan kewajiban untuk
menegakkan atau melaksanakan bagi orang tertentu yang diyakini bahwa ia mampu untuk
melaksanakan hat tersebut. Artinya, definisi wilayah hisbah tersebut hanya menggambarkan
wilayah hisbah sebagai tugas pribadi muslim, belum menggambarkan pengertian wilayah hisbah
sebagai bagian dari kekuasaan peradilan.

Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah bahwa yang dimaksud dengan wilayah hisbah
adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat
mungkar, yang tidak termasuk wilayah qadha dan wilayah lainnya.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan muhtasib (petugas wilayah hisbah) diangkat oleh
sulthan (pemerintah), dan wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.

Sebagai salah satu lembaga peradilan dalam sistem pemerintahan Islam, wilayah hisbah
mempunyai kewenangan-kewenangan sebagai berikut.

 dalam bidang aqidah

Hisbah berlaku dalam masalah-masalah penyimpangan aqidah, yaitu permasalahan-


permasalahan yang terkait erat dengan unsur-unsur aqidah Islam. Pada saat terjadi praktek-
praktek aqidah yang bertentangan dengan aqidah Islam, muhtasib berwenang untuk melarang
perbuatan-perbuatan tersebut, seperti penyembahan kepada Allah dilakukan dengan ber-tawasul
kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, mendatangi dukun-dukun untuk melihat garis
keberuntungan nasib, perusakan terhadap al-Qur’an (dengan mengubah makna atau menukar
ayat dengan unsur lain), dan lain-lain yang dilarang dalam Islam.

 dalam bidang ibadah

Dalam bidang ibadah muhtasib memiliki kewenangan untuk menerapkan hisbah, antara lain,
menyuruh melaksanakan shalat, memakmurkan masjid, menyeru untuk berzakat, berpuasa,
melarang minuman khamar diperjualbelikan, berkhalwat antar lawan jenis, dan lain-lain.

 dalam bidang muamalah

Yang dimaksud dengan muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan antar sesama
manusia, seperti jual-beli, syirkah, dan lain-lain. Dalam masalah ini kewenangan wilayah hisbah,
antara lain, melarang dan mengawasi terjadinya kecurangan, seperti pengurangan ukuran dan
timbangan, praktek-praktek yang mengandung unsur mengatur ketertiban jalan, dan hal-hal yang
berkaitan dengan moral, seperti melarang perempuan memakai pakaian yang kelihatan auratnya.

 Historisitas Wilayah Hisbah Masa Nabi Muhammad SAW

Satu hal yang dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah (setelah hijrah dari Makkah ke Madinah)
adalah mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan
shahifah yang clikenal dengan shahifah al-rasul yang berisi tentang :
a) Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar berta orang-orang yang berhubungan
dan berjuang bersama mereka,

b) Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin,
harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri,

c) Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan
bebas menjalankan agamanya masing-masing,

d) Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa,

e) Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan
dosa.

Dengan keluarnya shahifah al-rasul ini mengindikasikan telah berdiri satu daulah Rasul
sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi musuh (orang-orang
Quraisy).

Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi
SAW untuk menjadi qadhi, seperti Mu’adz ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn
alKhaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan
persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap
putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayah Hisbah pada
masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek
yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi
SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW
memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang
basah, Nabi SAW kemudian bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan
termasuk umatnya”.

 Masa Khulafa al-Rasvidin

Setelah Nabi SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara) digantikan oleh
Abu Bakar, Umar Ibn al Khathab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum
kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn
al Khathab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi yang
diangkat. Begitu juga dengan lembaga hisbah, pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan,
artinya muhtasib dipegang sendiri oleh khalifah.

 Masa Daulah Umayyah

Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat, kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Melihat kepada perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya,
akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka dimulailah masa
imperium Daulah Umayyah dari 661-750 M.
Keberadaban peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan (terpisah dengan kekuasaan
pemerintah) dengan adanya penentuan qadhi yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan
memutus perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya
masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah al-Rasyidin. Wilayah hisbah (muhtasib) pada
masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.

Hisbah sudah ada pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai
lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah.

Dengan demikian, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari
lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari
perbuatanperbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

 Masa Daulah Abbasivah

Setelah Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M
– 1225 M (132 H – 656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang
termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga
peradilan dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan
mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam.

Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah
lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan
oleh wilayah qadha.

Keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga
pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha).

Referensi:

 lqbal, M., Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, Cet I,
2001

 Ibnu Syarif, Mujar dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah, Doktrin clan Pemikiran Politik Islam,
Erlangga

 http://www.aminazizcenter.com/2010/12/kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam/

 http://datarental.blogspot.com/2009/06/pemerintahan-dalam-islam-tentang.html

 http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/3-wilayah-hisbah-dalam-tinjauan-historis -
pemerintahan-islam.pdf

 http://acbahruirivai.blogspot.com/2010/06/makalah-dusturivah.html
Sumber:

http://online-hukum.blogspot.com/2011/02/peradilan-pada-masa-dinasti-bani.html

PERADILAN PADA MASA DINASTI BANI ABBASIYAH

Hendro Purba, SH

Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman
purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan yang tak
dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga peradilan adalah merupakan salah satu
prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
para warga negara. Peradilan dalam istilah modern dikenal dengan istilah Yudikatif yang
keberadaannya setara dengan eksekutif dan legislatif. Peradilan adalah merupakan tugas suci
yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih
terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu
terkandung menyuruh perbuatan dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikan hak kepada
yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripada berbuat aniaya, serta
mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan.
Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu
termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara,
apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik
itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi
pelaksanaannya. Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal,
memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilannya
seperti undang-undanga Hammurabi dari Timur, Pemerintahan Assiria yang datang sesudahnya,
Pemerintahan Israil dan Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam
sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga
peradilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada
masa itu. Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan perhatian pada lembaga peradilan pada
masa Dinasti Bani Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 132 H yang ditandai dengan
pelantikan Khalifah Pertama As-Saffah dengan sebutan Abul Abbas, Abdullah bin Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abndul Mutholib bin Hasyim yang dibaiat pada tanggal 3
Rabiul Awwal 132 H di Kufah. Sejarah Singkat Bani Abbas Setelah berakhirnya kekuasaan
Dinasti Bani Umayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW
yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai dengan pelantikan Khalifah Pertama Abul
Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan
pusat pemerintahannya di Kufah. Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai
berikut : 1. Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan) kerajaan yang ditandai dengan
kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban
Islam. Priode ini berlangsung dari tahun 132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan
dipindahkan dari Damaskus (pada Dinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah
dan dipindahkan lagi ke Bagdad pada masa Abu al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah
lagi ke Samura (Surra man artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Muâtashim bin
Harun al-Rasyid pada tahun 221 H. 2. Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnya pengaruh
orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnya Al-Mutawakkil Sang
Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Muâtashim pada tahun 247 H dan tetaplah Sammura
sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannya ibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua
kalinya oleh Al-Muâtadid Billah pada tahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa
ini posisi golongan Arab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada
masa Al-Maâmun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Muâtashim, kemudian berlangsung
pada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Masâud Al-Saljuki pada tahun 590 H.
Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turki dan Persia hingga datangnya
Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuh Al-Muâtashim Billah Khalifah terakhir Bani
Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H. 3. Priode ketiga ditandai dengan berpindahnya Khalifah ke
Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatan Al-Mustaushin dan orang-orang
sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnya Al-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada
tahun 995 H. Priode ini posisi khalifah sangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol,
sementara kekuatan ada pada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di
zaman modern. Muculnya Mazhab-Mazhab Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota
kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para
ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan
sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran. Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi
Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada
masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab
tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad
kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Raâyi di Iraq.
Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan
muhadditsin dan fuqohaâ. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafiâi (w.204 H) dari
Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jamiâ Amru
bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qaâidah-Qaâidah Ijtihad.
Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafiâi lahir pula Ahmad bin
Hanbal (w.241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis. Para ulama-ulama tersebut di atas juga
memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-
permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan
macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat
tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-
pihak yang berperkara dan lain sebagainya. Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah
berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah
berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafiâi dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan
memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh
masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu
Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di
Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafiâi. Dan apabila yang berperkara tidak
menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau
pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu. Dan terkadang
pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka
hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab
Syafiâi, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan
bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab
Syiâah, Auzaâi, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya. Secara umum mazhab yang
empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan
sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah
sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk
menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qurâan dan al-Sunnah. Perlu
menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas
mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang
berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada
hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara. Penolakan Menjadi Hakim Ada satu
keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud
supaya semua perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama. Lantaran itu mereka
membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah
para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain
putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Putusan yang sesungguhnya ada pada
pemerintah, sedangkan hakim hanya melegitimasi saja dengan mengetok palu sidang. Atas dasar
itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim sebagai contoh adalah Imam Abu
Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Jaâfar al-Manshur. Abu Hanifah tidak
menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sering benar
merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka
lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu
Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah yang terkenal
dengan julukan An-Nafsuz Zakiah, dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah.
Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim. Banyaknya mazhab-mazhab dalam
bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat
banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-
kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani
dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa menulis risalah
yang disampaikan kepada Abu Jaâfar Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum
yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan
memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan
hukum bagi ummat Islam. Imam Malikpun menyanggupinya dan mengarang buku yang diberi
judul Al-Muwaththoâ. Khalifah meminta agar kitab Al-Muwaththoâ ini dijadikan pedoman
dalam menetapkan perkara, namun justru Imam Malik yang merasa keberatan dan tidak
membolehkan kitabnya itu dijadiklan pedoman dengan alasan tidak merasa enak hati apabila
pendapatnya itu menghapus pendapat-pendapat ulama lainnya seperti pendapat Asy-Syafiâi dan
Abu Hanifah. Pembentukan Qadhil Qudhah / Qadhil Jamaâah Istilah Qadhil Qudhah dan Qadhil
Jamaâah adalah dua istilah yang sama dan dipakai pada negeri yang berbeda. Di Pemerintahan
Bani Abbasiyah dikenal dengan istilah Qadhil Qudhah, sedangkan di pemerintahan Bani
Umayyah di Andalusia (masa keduanya bersamaan) dikenal dengan istilah Qadhil Jamaâah.
Qadhil Qudhah ataupun Qadhil Jamaâah pada masa sekarang ini semacam Ketua Mahkamah
Agung (penulis) atau menurut Hasbi Ash-Shiddiqie sebagai Menteri Kehakiman. Qadhil Qudhah
ataupun Qadhil Jamaâah ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat
hakim-hakim daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Yaâqub bin
Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab
Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang memang sangat
memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka. Di
masa Abbasiyah inilah peradilan dibentuk merupakan instansi tersendiri. Dengan tindakan ini
maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu dibawah pengawasan Qadhil Qudhah
yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu
melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad, maka tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qadhil
Qudhah seperti di Damaskus, di Mesir, di Bagdad, di Madinah dan sebagainya, masing-masing
ada Qadhil Qudhah. Istilah Qadhil Qudhah di Andalusia dari Pemerintahan Bani Umayyah
adalah memakai istilah Qadhil Jamaâah. Qadhil Jamaâah ini adalah Qadhi yang berwenang
mengangkat hakim-hakim daerah. Kepada para hakim-hakim di masa ini diberikan fasilitas-
fasilitas yang meninggikan kepribadian meraka dan menghalangi mereka bercampur baur dengan
manusia ramai pada bukan waktu-waktu yang telah ditentukan (waktu-waktu sidang - penulis)
dan kepadanya diberikan beberapa orang pegawai. Qadhil Jamâah pertama di Andalusia adalah
Yahya bin Yazid At-Tajibi. Istilah Qadhil Jamaâah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat
istilah yang sama sebelumnya. Tempat Persidangan Tempat persidangan pengadilan pada masa
Bani Abbasiyah diadakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan
dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk
persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-
tempat yang lain. Dan dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan seperti menghimpun
putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula wasiat-wasiat dan hutang
piutang. Bidang Wewenang Hakim Adapun bidang-bidang yang menjadi wewenang hakim pada
masa ini bertambah luas, bukan hanya masalah-masalah yang berkaitan dengan keperdataan,
akan tetapi juga menyelesaikan masalah-masalah waqaf dan menunjuk pengampu (kurator)
untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim ini diserahkan juga
urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazhalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishash,
hisbah, pemalsuan mata uang dan Baitul Maal. Dan bahkan kepada Yahya bin Aktsam, seorang
hakim di Mesir di masa Al-Makmun dan juga Munzir bin Saâid Al-Buluthi Qadhi Abdurrahman
An-Nashir dari Bani Umayyah di Andalusia diserahkan urusan angkatan bersenjata. Dalam hal
ini Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa, Kedudukan peradilan selain
dari menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum,
memperhatikan keadaan anak-anak yang dibawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara
hukum seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga harta-harta
wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita yang tidak berwali dan memperhatikan kemaslahatan-
kemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi,
agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan mana saksi yang tidak adil. Beberapa Orang
Hakim di Satu Wilayah Pada mula-mulanya di setiap daerah diangkat seorang hakim sesuai
dengan mazhab yang paling dominan di daerah itu. Maka setelah pemerintahan Abbasiyah
bertambah luas maka diangkatlah beberapa orang hakim pada satu wilayah yang terdiri dari
berbagai mazhab yang berkembang di daerah itu. Maka di tiap-tiap daerah diangkatlah hakim-
hakim dari mazhab Jumhur yaitu hakim mazhab Syafiâi, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Pada masa
ini, di samping adanya lembaga peradilan, dibenarkan pula adanya hakam-hakam (Badan
Arbitrase Lembaga Tahkim) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau
menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Lembaga
Tahkim ini dibenarkan dalam Islam. Dan Undang-Undang modernpun ternyata telah banyak
mencontoh dan membentuk lembaga tahikm ini. Selain itu ada lagi apa yang disebut dengan
Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Mazhalim yang dipisahkan dari wilayah peradilan. Wilayah
Mazhalim Wilayah mazhalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih
tinggi daripada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-
perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-
perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-
anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga
ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula
tidak memerlukan pengaduan dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga
ini untuk memeriksanya. Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zaman dahulu. Kekuasaan
ini terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyah.
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyelesaikan segala rupa
pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga
ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-
ajaran agama. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh
pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa
perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan
terhadap penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi menentukan hari-hari
yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan
waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat
ialah Abdul Malik bin Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan
berpegang pada pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah
seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh
karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil oleh Bani Umayyah secara
zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang pertama sekali mempelopori dan melaksanakan
Wilayatul Mazhalim ini adalah Al-Mahdi. Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan
bahwa di dalam risalah Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid
supaya mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para
pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan
kepala daerah atau hakim-hakim. Mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima
pengaduan rakyat terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara
kezaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui
sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya
mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya. Al-Mawardy
di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh
lembaga ini ada 10 macam, yaitu : 1. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan
maupun terhadap golongan. 2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk
mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara yang lain. 3. Mengontrol/mengawasi
keadaan para pejabat. 4. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka
dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya. 5. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta
mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zhalim. 6. Memperhatikan harta-harta
wakaf. 7. Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-
hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi
derajatnya. 8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tak
dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah. 9. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-
ibadat yang nyata sepertu Jumat, Hari Raya, Haji dan Jihad. 10. Menyelesaikan perkara-perkara
yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Lembaga Mazhalim
sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan sebagai berikut : 1.
Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang
yang membangkang di dalam masa pemeriksaan. 2. Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya
pendapatnya tentang jalannya pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis). 3. Ahli-ahli fiqh untuk
ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi Ahli Penulis). 4. Panitera untuk mencatat
segala keterangan yang diberikan oleh masing-masing pihak. 5. Saksi untuk dipergunakan di
masa-masa persidangan, sebagai orang yang diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-
putusan yang diberikan oleh ketua pengadilan mazhalim. Penutup Demikianlah makalah ini saya
sampaikan sebagai bahan bagi kita dalam berdiskusi dalam rangka meningkatkan pemahaman
kita terhadap sistem peradilan yang dilaksanakan pada masa Pemerintahan Bani Abbasiyah.
Semoga ini dapat kita jadikan pelajaran untuk selanjutnya dapat diterapkan pada masa kekinian
dan kedisinian kita.

Anda mungkin juga menyukai