Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH HADIS MASA SAHABAT DAN TABI’IN

DI SUSUN OLEH

1. NITA SARI

2 . YUDA PRATAMA

JURUSAN AGRIBISNIS

MUHAMMADIYAH TANA PASER

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini, yang
alhamdulillah selesai tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Hadis Masa Sahabat dan
Tabi’in .Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
penulisan hadis masa sahabat dan tabi’in. Kami menyadari bahwa makalah ini masih tidak
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhai segala usaha saya. Amin.

Tana Paser, 05 Maret 2018

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................

A. Pengertian Sahabat dan Tabi’in....................................................................................2


B. Mengetahui Sejarah Hadis.............................................................................................2
1. Siapa Yang di sebuat Sahabat Dan Tabi’in ..........................................................2
2. Bagaimana Sejarah Hadis pada periode sahabat....................................................2
3. Bagaimana Sejarah hadis pada periode Tabi’in .......................................................... 8

BAB III PENUTUP .....................................................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 13


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dan memeriksa benar-
benar suatu Hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, setelah
wafatnya Nabi Muhammad Saw. para sahabatpun sedikit demi sedikit menyampaikan Hadis
kepada orang lain.
Para sahabat setelah wafatnya Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka pergi
kekota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima Hadis dan para Tabi’in
mempelajari Hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang riwayat
dalam kalangan Tabi’in.
Riwayat Hadis pada permulaan periode sahabat masih sangat terbatas, hanya disampaikan
kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran.
Perkembangan Hadis dan membanyakkan riwayatnya, terjadi setelah sesudah masa Abu
Bakar dan Umar bin Khattab atau masa Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Pada masa
khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab belum diperluaskna, mereka mengerahkan minat
ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al-qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat Hadis.
Maka dari dari itu, makalah ini kami harapkan dapat menjadi acuan dan sarana untuk
mengetahui serta dapat mempelajari mengenai Sejarah Hadis Periode Sahabat dan
Tabi’in, agar dapat memahami bagaimana sejarah islam dalam pembukuan Hadis.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa yang disebut Sahabat dan Tabi’in?


2. Bagaimana Sejarah Hadis pada Periode Sahabat?
3. Bagaimana Sejarah Hadis pada Perode Tabi’in?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Sahabat dan Tabi’in serta mengetahui siapa saja yang termasuk
Sahabat dan Tabi’in
2. Mengetahui Sejarah Hadis pada Periode Sahabat
3. Mengetahui Sejarah Hadis pada Periode Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN

A. SAHABAT DAN TABI’IN

1. Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat yang berlangsung sekitar
tahun 11 H sampai dengan 40 H masa ini disebut dengan masa sahabat besar.[1]
Setelah mengetahui sejerah perkembangan hadis yang kedua adalah pariode sahabat maka
akan timbul pertanyaan “siapa yang disebut sahabat” maka jawabannya antara lain:
1. Orang yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya
dan mati sebagai orang islam.
2. Orang yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan
perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
3. Orang islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul dengan
Nabi dan mereka beragama Islam. Jika periode Rasul adalah periode ketika Rasul masih
hidup, yang sering disebut periode wahyu dan pembentukan tata aturan isalam, maka yang
disebut periode sahabat adalah periode sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat.[2]
Begitu banyaknya sahabat nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti. Mereka juga
tidak bersamaan masuk islam sehingga pengelompokan sahabat ini dapat dilihat dari tingkat
keutamaannya.
 Sahabat yang masuk islam di Mekkah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman.
 Sahabat yang tergabung dalam Dar al nadwah.
 Sahabat yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad Saw.
 Sahabat yang membai’at Nabi Saw. di Aqabat al-Ula.
 Sahabat yang ikut berperang bersama Nabi Saw. (perang Badar)
 Para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah.[3]

2. Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam yang masa hidupnya setelah para Sahabat
Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari
Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masaSahabatTabi'indisebut
B. SEJARAH HADIS PERIODE SAHABAT

Pada tahun sekitar 11 H sampai 40 H periose ini disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada periode ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan terlihat masih
dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama menganggap sebagai periode yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.

1. Menjaga pesan Rasul Saw.


Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul Saw. berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain,
sebagaimana sabdanya:

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang
kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Hadis)’’. HR. Malik
Dan sabdanya pula:

“sampaikan dariku walau satu ayat/ satu hadis.’’ (HR. Al-Bukhari).


Pesan-pesan Rasul Saw. sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga
segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-
pesan kecintaan mereka kapada Rasul SAW. dibuktikan dengan melaksanakan segala yang
dicontohkannya.

2. Berhati- hati dalam meriwayatkan dan menerima Hadis

Perhatian para sahabat pada masa ini difokuskan pada usaha pemeliharaan dan
menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaiman Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar
atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini juga diulang pada masa Usman ibn
Affan.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat,
disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa
hadis merupakan sumber tasyri’ setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruannya
sebagaiman al-qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa’urasyidin (Abu
Bakar, Umar, Usman, Ali) dan sahabat lainnya, seperti Zubair, ibn Abbas dan ubaidah
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[4]
Abu Bakar
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam
memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali
menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain
ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang
ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .” kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan
seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa
diantara kalian yang mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin
Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian
seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar
memberikan bagian tersebut.[5]
Umar bin Khattab

Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu
Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula
dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi untuk
menghimpun hadis dalam suatu kitab seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak
memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an.
Alasan kedua, para sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar
keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina
masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka
secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan para sahabat
sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz
dan kesahihannya.[6]

Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu
Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku
meriwayatkan hadis dimasa umar bin khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu,
niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.[7]
3. Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat
dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan, khususnya
berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seperti dalam permasalahan ibadah
dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis
tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul Saw. pertama dengan
jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul Saw.) dan kedua
dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).

a. Periwayatan lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persisi seperti yang disampaikan kepada Rasul Saw. ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul Saw.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha
agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul Saw. bukan menurut redaksi mereka.
Sebagian dari sahabat secara ketat melarang meriwayatkan dengan maknanya saja, hingga
satu huruf atau satu katapun tidak beleh diganti.
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan
lafzhi adalah ibnu Uamar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang
berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul Saw., seperti yang
pernah dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir yang menyebutkan hadis tentang lima prinsip
dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak
menyeruh agar meletakkan urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari rasul Saw.
b. Periwayatan maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang perpendapat, bahwa dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul Saw., boleh meriwayatkan hadis secara
maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan yang matannya tidak sama dengan yang
didengarnya dari Rasul Saw. akan tetapi, isi atau maknanya tetap secara utuh sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasul Saw. tanpa ada perubahan sedikitpun.[8]
C. HADIS PADA PERIODE TABI’IN

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan
yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai guru-guru
mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada periode Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushap. Di pihak lain,
usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa
kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan
Islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari Hadis.
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai
meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madina,
Makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan
Islam, menyebarnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa
ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan Hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1. Pusat-Pusat Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai
tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari Hadis ialah.
a. Madina
Di antara tokoh-tokoh hadis di kota Madina dalam kalangan sahabat ialah: Abu Bakar,
Umar, Ali (sebelum berpindah kekufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu sa’id Al
Khudri dan Zaid bin Tsabit.
Di antara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada sahabat-sahabat itu ialah: Sa’id, Urwah,
Az Zuhri, Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abi Bakar, Nafi, Abu
Bakar ibn Abdir Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam dan Abul Sinad.
b. Makkah
Di antara tokoh Hadis Makkah, ialah: Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Di antara tabi’in
yang belajar padanya ialah: Mujahid, Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abu Zubair Muhammad
ibn Muslim.

c. Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadis di Kufah ialah: Ali, Abdullah ibn Mas’ud,
Sa’ad ibn Abi Waqqash, Sa’id ibn Zaid, Khabbah ibn Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah
Ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir, Abu Musa-Al Baraq Al-Mughirah, Al-nu’Man, Abul
Thufail, Abu Juhaifah dan lain-lain.

d. Bashrah
Pemimpin hadis di basrah dari golongan sahabat ialah: Anas ibn malik, Utbah,’ imran ibn
husain, Abu Barzah, ’Abdullah ibn syakhir, ’Ma’qil, Abu bakar, ibn Yasar ,Abd rahman ibn
samurah, ’Abdullah ibn yikhkhir dan jahraiah ibn kudamah.
Sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada mereka antara lain ialah: Abul’Aliyah, Rafi’ ibn
Mihram Al Riyahy, Al Hasan Al Bishry, Muhammad ibn Sirim, Abu say’tsa’, Jabir ibn Zaid,
Qatadah, Mutaharraf ibn Abdullah, Ibn Syikhir dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e. Syam
Tokoh hadis dari sahabat di syam ini ialah: Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu
Darda’. Pada beliau-beliau itulah banyak tabi’in belajar diantaranya: Abu Idris Al Khaulany,
Qabisah ibn Dzuaib, Makhul, Raja ibn Haiwah.
f. Mesir
Di antara sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir ialah: Abdullah ibn Amer,
’Uqbah ibn Amir, Khrijah ibn Hudzaifah, Abdullah ibn Sa’ad, Muhammiyah ibn Juz,
Abdullah ibn Harits, Abu khair, Basyrah, Abu Sa’ad Al Khair, Mu’adz ibn Anas Al juhary.

Ada kira-kira 140 orang sahabat yang mengembangkan hadis di Mesir di antara tabi’in
yang belajar pada mereka, ialah Abul Khair Martsad Al Yasini dan Yazid ibn Abi
Habib. Dengan masuknya hadis dalam fase ini, mulailah hadis mendapatkan perhatian yang
luas dan dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Para tabi’in memindahka isi hati mereka
sebelum berpulan. Perkunjungan para sahabat ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian
para tabi’in. Mereka mendatangi sahabat untuk menerima Hadis yang ada pada sahabat itu.
Di antara sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis ialah:
1. Abu Hurairah, meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
2. Abdullah ibn Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
3. Anas ibn Malik, meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
4. Aisyah, meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
5. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis.
6. Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
7. Abu Said Al Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis.[9]

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup
panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hadits. Pengaruh yang berlangsung dan bersifat negatif, ialah dengan
munculnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-
masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong di adakannya kodifikasi atau Tadwin hadits, sebagai upaya penyelamatan dari
pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolaan politik tersebut.

D. LARANGAN MENULIS HADIS


Terdapat sejumlah Hadis Nabi SAW yang melarang para Sahabat untuk menuliskan
Hadis-hadis yang mereka dengar atau terima'dari Nabi SAW. Hadis-badis tersebut adalah:

1. Hadis Abi Sa'id al,Khudri

Dari Abi Sa'id al,Khudri, bahwasanya RasuI SAW bersabda, "Janganlah kamu
menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Alquran
maka hendaklah ia menghapusnya. " (H. R. Muslim)

2.Hadis Abi Hurairah

Abu Hurairah berkata, "Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang
menuIiskan Hadis-hadis, maka Rasul SAW bertanya, 'Apakah yang kamu tuliskan ini?' Kami
menjawab, "Hadis-hadis yang kami dengar dari engkau ya Rasulallah. " RasuI SAW berkata,
"Apakah itu kitab selain Kitab Allah (Alquran)?, Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang
terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab--kitab lain bersama Kitab Allah". (H. R.
al,Khatib)

E. Perintah (Kebolehan) Menuliskan Hadis

Terdapat sejumlah Hadis yang membolehkan, bahkan memerintahkan untuk


menuliskan Hadis, sebagai padanan dari Hadis-hadis yang melarang dari menuliskan
Hadis. Di antara Hadis-hadis yang membolehkan atau memerintahkan menuliskan
Hadis adalah:

1. Hadis Rafi’

Dari Raft' ibn Khudaij bahwa dia menceritakan, kami bertanya kepada
Rasulullah, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak
hal (Hadis-hadis), apakah (boleh) kami menuliskannya?" Rasulullah menjawab,
"Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak ada keberatan (tidak ada dosa)" (H. R.
al-Khatib)

2. Hadis Anas ibn Malik

Dari Anas ibn Malik bahwa dia berkata; "Rasulullah SAW bersabda: 'Ikatlah
ilmu itu dengan tulisan (menuliskannya). "

3. Hadis Abi Hurairah

Hadis ini berasal dari al-Walid ibn Muslim dari al-Auza'i dari Yahya ibn Abi
Katsir dari Abi Salamah ibn 'Abd al-Rahman dari Abi Hurairah, dia menceritakan
tentang khutbah Nabi SAW di Mekah ketika penaklukkan kotaMekah. Setelah
penyampaian khutbah tersebut, seorang laki-laki dari negeri Yaman yang bemama
Abu Syah berdiri seraya berkata:

Berkata Abu Syah, "Tuliskanlah bagiku khutbah itu ya Rasulullah." Maka Rasulullah
SAW bersabda: "Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah." Walid berkata, "Aku
bertanya kepadaal~Auza'i, 'Apakah yangdimaksudkan dengan perkataan Rasulullah
"tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah." Auza'i menjelaskan, "Yang dimaksud
dengannya adalah khutbah yang didengamya dari Rasul SAW. " (H. R. Bukhari dan
Ahmad)
4. Hadis ‘Abd Allah ibn’Amr

Dan 'Abd Allah ibn 'Amr, aku berkata: Ya Rasuulalh (bolehkah) aku
menuliskan apa yang aku dengar dari engkau? Rasulullah menjawab: "Boleh".
Aku selanjutnya bertanya: "Dalam keadaan marah atau senang?" Rasul SAW
menjawab: "Ya, sesungguhnya aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang haq
(kebenaran). (H. R. Ahmad).

Keempat Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasul SAW membolehkan bahkan menganjurkan
para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis beliau.

Faktor-Faktor Yang Menjamin Kesinambungan Hadis

Ada beberapa faktor yang mendukung terpeliharanya kesinambungan Hadis sejak masa Nabi
SAW, yaitu:

1. Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para Sahabat yang menerima dan

mendengarkan langsung Hadis-Hadis dari Nabi SAW, dan ketika mereka


meriwayatkan Hadis-Hadis yang sudah menjadi hafalan mereka tersebur kepada
Sahabat lain ataupun generasi berikutnya,. mereka menyampaikannya persis seperti
yang mereka hafal dari Nabi SAW.

2. Kehati-hatian para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini

mereka lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan Hadis
ke dalam Hadis. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian Sahabat ada yang sedikit
sekali meriwayatkan Hadis, seperti 'Umar ibn al-Khaththab. Selain itu, para Sahabat hanya
akan meriwayatkan Hadis manakala diperlukan saja, dan ketika meriwayatkannya me:reka
berusaha secermat mungkin dalam pengucapannya.

3. Kehati-hatian mereka dalam menerima Hadis, yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa

dalam menerima Hadis dari seseorang kecuali jika bersama perawi itu ada
orang lain yang ikut mendengarnya dari.Nabi SAW atau dari perawi lain di atasnya.
Menurut AI-Hafidz al- Dzababi. Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat
berhati-hati dalam mrnenerima Hadis. Diriwayatkan Ibn Syihab dari Qubaishah ibn
Dzu'aib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta bagian warisan.
Abu Bakar berkata kepadanya, "Tidak kudapatkaurn di dalam Al-Qur'an bagian
untukmu, dan tidak kuketahui pula bahwa Rasulullah menyebutkan bagian untukmu,”
Kemudian Abu Bakar bertanya para Sahabat, maka Al_Mughirah berdiri dan berkata,
“Kudengar Rasulullah SAW memberinya seperenam bagian.” Abu Bakar selanjutnya
bertanya, “Adakah bersamamu orang lain (yang mendengarnya)?” Maka berdiri
Muhammad Ibn Maslamah memberikan kesaksian tentang hal itu. Abu Bakar
kemudian, berdasarkan kabar tersebut, melaksanakan pemberian bagian tersebut.
4. Pemahaman terhadap Ayat “Innaa nahnu nadjalnaa dzikra waannaalahuu lahaafidhuun”

Mustafa al-Siba’I berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan
(pemutarbalikan) adalah Al-Dzikir dan Al-Dzikr, selain Al-Quran, juga meliputi Sunnah atau Hadis.
Dan apabila pendapat ini dapat diterima, maka ini merupakan factor penjamin yang cukup penting,
karena yang sifatnya langsung dari Allah SWT.

A. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Pada masa kekhalifahan Khulafa' al.-Rasyidin, khususnya masa Abu Bakar al-Shiddiq dan 'Umar ibn
alKhaththab, periwayatan Hadis adalah sedikit dan agak lamban. Dalam periode ini periwayatan
Hadis dilakukan dengan cara yang ketat dan sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka
menerima Hadis. Abu Bakar sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dalam kasus bagian seorang
nenek dalam harta warisan, bahwa dia meminta kesaksian (syahadah) seseorang yang lain untuk
menerima Hadis yang disampaikan oleh Mughirah ibn Syu 'bah, dan ketika itu yang menjadi saksi
atas kebenaran bahwa Hadis tersebut adalah berasal dari Nabi SAW ialah Muhammad ibn
Maslamah.

Demikian juga halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab, bahwa dia tidak mudah menerima suatu Hadis
sebagaimana yang terlihat dalam keterangan berikut. Ketika Abu Musa al-Asy'ari bertamu kepada
Umar, dia mengucapkan salam sampai tiga kali. “Umar mendengarnya, namun tidak menjawab,
karena ia mengira Abu Musa akan masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset, karena
dilihatnya Abu Musa kembali pulang. Ketika 'Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia
berbalik pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasul.ullah SAW pemah bersabda, “Apabila
seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga dijawab oleh si pemilik rumah, maka
hendaklah dia pul.ang kembali”. Umar tidak puas atas keterangan Abu Musa tersebut, bahkan Umar
mengancamnya dengan hukuman apabila dia tidak dapat menghadirkan bayyinah, yaitu seorang
saksi atas keterangan yang disampaikan Abu Musa tersebut. Dan, pada saat itu tampillah Ubay ibn
Ka'ab memberikan penjelasan tentang kebenaran riwayat tersebut, sehingga akhirnya Umar
menerimanya dan seraya berkata, “Aku tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku
khawatir kalau orang-orang berbicara tentang Rasul SAW dengan mengada-ada” Menurut Ibn
Qutaibah Umar Ibn al_Khaththab adalah orang yang paling keras dalam menentang mereka dalam
periwayatan Hadis. Hal itu dimaksudkannya untuk menghindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.

Sejarah mencatat bahwa dalam periode Khulafaurrasyidin, khususnya masa Abu Bakar dan
Umar, begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka secara umum
untuk menyedikitkan riwayat (taqlil al-riwayat), di samping sikap hati-hati dan teliti para
Sahabat dalam menerima Hadis. Pada dasarnya mereka bersikap demikian adalah karena
khawatir akan terjadi kekeliruan (al-khatha') dalam meriwayatkan Hadis, sebab Hadis
merupakan sumber ajaran Islarn setelah Al-Qur'an. Ketelitian serta kehati-hatian dalam
menerima sebuah Hadis tidak hanya terlihat pada diri para Khulafa' al-Rasyidin, tetapi juga
pada para Sahabat yang-lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayyub pernah melakukan
perjalanan ke Mesir hanya dalam rangka untuk mencocokkan sebuah Hadis yang berasal
dari'Uqbah ibn Amir. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara Hadis
diikuti pula oleh para Tabi'in yang datang sesudah mereka.
B. Penyebar Luasan Periwayatan Hadis

Setelah Nabi SAW wafat, yakni pada periode sahabat, para Sahabat tidak lagi mengurung diri di
Madinah. Mereka telah mulai menyebar ke kota-kota lain selain Madinah. Intensitas penyebaran
Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat begitu besar terutama pada masa kekhalifahan 'Utsman ibn
'Affan, yang memberikan kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah.

a. Wilayah kekuasaan Islam pada periode sahabat

'Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan
Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand.

Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-
masjid di daerah-daerah baru itu dan di tempat-tempat yang baru itu sebagian dari mereka
menyebarkan ajaran Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW kepada
penduduk setempat. Dengan tersebarnya para Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat
menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW. Sejalan dengan kondisi di
atas, dan dengan adanya tuntutan untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat yang baru
memeluk agama Islam, maka Khalifah 'Utsman ibn 'Affan, dan demikian juga Ali ibn Abi Thalib, mulai
memberikan kelonggaran dalam periwayatan Hadis. Akibatnya, para Sahabat pun mulai
mengeluarkan khazanah dan koleksi Hadis yang selama ini mereka miliki, baik dalam bentuk hafalan
maupun tulisan. Mereka saling memberi dan menerima Hadis antara satu dengan yang lainnya,
sehingga terjadilah apa yang disebut dengan iktsar riwayah al-Hadits (peningkatan kuantitas
periwayatan Hadis). Keadaan yang demikian semakin menarik perhatian para penduduk di daerah
setempat untuk datang menemui para Sahabat yang berdomisili di kota mereka masing-masing
untuk mempelajari Al-Qur'an dan Hadis, dan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai generasi
Tabi'in yang berperan dalam menyebarluaskan Hadis pada periode berikutnya.

b. Periwayatan Hadis pada masa Tabi’in

umumnya masih bersifat dari mulut ke mulut (al-musyafahat), seperti seorang murid langsung
memperoleh Hadis- Hadis dari sejumlah guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka,
dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka.

Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah, bahwa pada masa ini periwayatan Hadis sudah
semakin meluas dan banyak sehingga dikenal istilah iktsar al-riwayah (pembanyakan riwayat). Dan,
bahkan pada masa ini pulalah dikenal tokoh-tokoh Sahabat yang bergelar al-muktsirin (yang banyak
memiliki Hadis) dalam bidang Hadis yang terdiri atas 7 orang dan di antaranya yang terbanyak
adalah Abu Hurairah. Pada masa Tabi'in ini mulai dikenal pula apa yang disebut dengan rihlah, yaitu
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari satu kota ke kota lain dalam rangka mencari Hadis-
Hadis yang diduga dimiliki oleh Sahabat yang bertempat tinggal di kota lain tersebut.
c. Tradisi rihlah untuk mendapatkan Hadis

sebenarnya telah mengakar pada Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Namun, pada masa itu rihlah
lebih bersifat umum untuk tujuan mencari informasi ajaran Islam yang dinilai “baru”. Umpamanya,
diriwayatkan bahwa Dhamam ibn Tsa'labah pernah melakukan rihlah ke hadapan Nabi SAW guna
mendengarkan AI-Qur'an dan ajaran Islam yang dibawa beliau sesaat setelah ia mengetahui adanya
misi kerasulan Muhammad SAW. Dhamam kemudian kembali ke kaumnya segera setelah secara
tulus menyatakan keislaman dirinya.

d. Pada masa Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'i al-Tabi'in

tradisi rihlah semakin berkembang dan terarah kepada kegiatan mencari dan mendapatkan
Hadis secara khusus. Banyak di antara mereka yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan
serta memakan waktu yang cukup lama untuk tujuan mendengarkan suatu Hadis atau mencek
validitas Hadis tersebut, atau karena ingin bertemu dan bersilaturahmi dengan Sahabat untuk
selanjutnya mendapatkan Hadis dari mereka. Yang terakhir ini umumnya dilakukan oleh para Tabi'in.
Dengan cara demikian, terjadilah pertukaran riwayat antara satu kota dengan kota yang lain.

Sahabat yang dating bertanya kepada beliau, sehingga seorang Badawi yang dating dari
tempat yang jauh pun akan mendapat perlakuan yang sama dengan apa yang diperoleh
sahabat yang selalu mendampingi Rasul SAW. Bahkan apabila seorang Sahabat mendengar
sesuatu (secara tidak langsung) dari Rasulullah SAW, maka Sahabat tersebut, dalam rangka
mengkonfirmasikan berita tersebut, tanpa segan-segan menanyakan kembali hal tersebut
kepada beliau. Dan pada.umumnya dalam rangka, untukmendapatkan keterangan yang
meyakinkan dan menenteramkan hati mereka tentang peristiwa yang terjadi pada diri mereka,
para Sahabat merasa malu untuk datang secara langsung menanyakan kepada Rasulullah
SAW. Akan tetapi diantara mereka ada yang malu untuk bertanya secara langsung kepada
Rasulullah SAW tentang masalah tang dialaminya maka biasanya Sahabat yang bersangkutan
akan mengutus seorang sahabat yang lain untuk bertanya tentang kedudukan masalah
tersebut.
C.Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah SAW

Kegiatan baca tulis sebenarnya sudah dikenal bangsa Arab sejak masa Jahiliyah, walupun
sifatnya belum menyeluruh. Setelah Islam turun kegiatan membaca dan menulis semakin
lebih digiatkan dan digalakkan, hal ini terutama adalah karena diantara tuntutan yang pertama
yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi melalui Wahyu-Nya adalah perintah membaca dan
belajar menulis(QS Al-Alaq [96] : 1-5).

Pada dasarnya pada masa Rasulullah SAW sudah banyak umat Islam yang bisa membaca
dan menulis. Bahkan Rasul mempunyai sekitar 40 orang penulis wahyu disamping penulis-
penulis untuk urusan lainnya. Oleh karena argument yang mengatakan kurangnya jumlah
umat Islam yang pandai membaca dan menulis adalah penyebab tidak dituliskannya Hadis
secara resmi pada masa Rasulullah SAW adalah kurang tepat karena ternyata berdasarkan
keterangan diatas terlihat bahwa telah banyak umat Islam yang mampu membaca dan
menulis.

Mengapa hadis belum ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW, terdapat berbagai
keterangan dan argumentasi yang terkdang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Diantaranya ditemukannnya hadis yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan
Hadis, disamping ada hadis lain yang melarang penulisan Hadis ini.

1.Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, adalah seorang Sahabat yang berpendirian tidak menuliskan
Hadis. Diriwayatkan oleh AI-Hakim dengan sanadnya dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari 'A'isyah r.a.,
dia ('A'isyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan Hadis yang berasal dari Rasul SAW yang
jumlahnya sekitar 500 Hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya berkali-
kali, dan tatkala Subuh datang dia meminta kepada A'isyah Hadis-Hadis yang ada padanya.
Selanjutnya, ketika 'A'isyah datang membawa Hadis-Hadis tersebut, Abu Bakar menyalakan api, lalu
membakar Hadis-Hadis itu.

a. Demikian pula halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab yang semula berpikir untuk
mengumpulkan Hadis, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya tersebut.
Diriwayatkan oleh 'Urwah ibn al-Zubair, bahwasanya 'Umar ibn al-Khaththab bermaksud
hendak menuliskan Sunnah, maka dia meminta fatwa para Sahabat yang lain tentang hal itu,
dan para Sahabat mengisyaratkan agar Umar menuliskannya.

b. Umar kemudian melakukan istikharah kepada Allah selama sebulan,


dan akhirnya dia mengambil suatu keputusan yang disampaikannya di hadapan para Sahabat, di
suatu pagi, seraya berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud hendak membukukan Sunnah, namun
aku teringat suatu kaum sebelum kamu yang menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik dengan
kitab-kitab tersebut dati meninggalkan Kitab Allah; dan sesungguhnya aku, “Demi Allah, tidak akan
mencampurkan Kitab Allah dengan apa pun untuk selamanya.” Pada riwayat lain melalui jalur Malik
ibn Anas, Umar, ketika ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, mengatakan, “Tidak ada
suatu kitab pun yang dapat menyertai Kitab Allah.”
c. Dari pernyataan 'Umar di atas, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan Hadis
adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam kepada mempelajari
sesuatu yang lain selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab Allah (Al-Quran). Justru itu, dia
melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Qur'an, termasuk Hadis.
Dan terhadap mereka yang telah telanjur menuliskannya, “Umar memerintahkan mereka
untuk membawanya kepadanya, dan kemudian ia sendiri membakarnya”

Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada masa-masa
awal itu di antaranya, adalah 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn
'Abbas, dan Abu Sa'id al-Khudri. Akan tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan Hadis
tersebut, yaitu kekhawatiran akan terjadinya percampur bauran antara Al-Qur'an dengan
Hadis atau dengan yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan
larangan tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau
menganjurkan untuk menuliskan Hadis. Hal tersebut adalah seperti yang dilakukan Umar,
yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeliharaan terhadap Al-Qur'an telah aman dan terjamin,
dia pun mulai menuliskan sebagian Hadis Nabi SAW yang selanjutnya dikirimkannya kepada
sebagian pegawainya atau sahabatnya. Abu 'Utsman al-Nahdi mengatakan, “Ketika kami
bersama 'Utbah ibn Farqad, ’Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan yang
didengarnya dari RasuI SAW, yang di antaranya adalah mengenai larangan Rasulullall SAW
memakai sutera,”

Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan
penulisan Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur'an, salah satu
penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka mereka mulai
membolehkan, bahkan melakukan sendiri, penulisan Hadis.

D.Kegiatan penulisan Hadis, di masa Tabi'in semakin meluas pada akhir abad pertama
dan awal abad kedua Hijriah.

'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), sebagai seorang Amir al-Mu'minin ketika itu,
juga turut aktif secara langsung mencari dan menuliskan Hadis. Diriwayatkan dari Abi
Qilabahal-Jarmi al-Bashri (w. 104 H), dia mengatakan, “Keluar bersama kami 'Umar ibn
'Abd al-'Aziz di suatu hari untuk melaksanakan shalat zuhur dan dia membawa kertas
bersamanya. Selanjutnya dia juga keluar bersama karni untuk melaksanakan shalat asar, juga
sambil membawa kertas, dan pada saat itu aku bertanya kepadanya, “Wahai Amir al-
Mu'minin, kitab apakah ini?” Dia menjawab, “Ini adalah Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aun
ibn'Abd Allah, dan Hadis tersebut menarik perhatianku sehingga aku menuliskannya”
a. Te1ah datang seorang laki-Iaki kepada Sa'id ibn alMusayyab, salah seorang
Fuqaha dari kalangan Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan Hadis.

Laki-laki tersebut menanyakan suatu Hadis kepada Ibn al-Musayyab, yang


dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan Hadis tersebut kepada laki-laki tadi.
Setelah itu, laki-laki tersebut menanyakan tentang pendapat Ibn alMusayyab berkenaan
dengan Hadis tadi, yang pertanyaan tersebut segera dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan
mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu ternyata menuliskan pendapat Ibn al-Musayyab
tersebut bersama-sama dengan Hadis yang baru saja di diktekan oleh Ibn alMusayyab.
Melihat kejadian itu, salah seorang yang ketika itu hadir bersama Ibn al-Musayyab berkata,
“Apakah pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu Muhammad?” Mendengar hal itu, Sa'id
ibn al-Musayyab berkata kepada laki-laki tadi, “Berikan kepadaku lembaran catatan itu.”
Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn al-Musayyab segera mengoyaknya.

Berdasarkan peristiwa di atas, terlihat bahwa yang sebenarnya tidak disukai oleh para Ulama
dari kalangan Tabi'in adalah penulisan pendapat mereka bersama-sama dengan Hadis
NabiSAW, dan bukan penulisan Hadis itu sendiri. Karena apabila hal itu terjadi, besar
kemungkinan akan terjadi percampuran antara pendapat mereka dengan Hadis Nabi SAW.
Hal ini serupa dengan pelarangan penulisan Hadis yang dilakukan oleh Rasul SAW dan para
Sahabat sebelumnya, yang tujuan utamanya adalah agar tidak terjadi percampuran antara
Hadis dengan Al-Qur'an.

b.Taqlil ar-Riwayah

Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya
upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang tampuk
kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang memperbanyak
periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak
banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. “Jika aku memberitakan hadis pada masa
Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu (saat ini), niscaya ia akan memukulku.” Demikian
jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak ada lagi tekanan dari Umar, Abu
Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini merupakan kesadaran sendiri dari diri
beliau untuk mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu
saat sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca dua ayat Al Qur’an surah al-
Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak saat itu barulah beliau memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd al-muth-
thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang mereka
riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul SAW. Demikian pula misalnya
dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga, tidak meriwayatkan
hadis kecuali hanya sekitar dua sampai tiga hadis
E. As-Sa’ib bin Yazid pernah berkata, “Aku berteman dengan Sa’d bin Malik dari

Madinah ke Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan hadis dari Nabi saw.
Az-Zubair pernah ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar engkau
menyampaikan hadis Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si pulan.” Beliau
menjawab, “Sungguh aku tidak akan memenggalnya, tetapi aku mendengar Nabi bersabda,”
“Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar
hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian

. Pertama, pada masa Abu Bakar,


pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi dan
pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh sebab itu, gerakan
periwayatan dengan sendirinya terbatas.

Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi,


dimana umumnya mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan
sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka. Memang diakui adanya
pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi
itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat. Dalam masalah-
masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang diantara mereka tidak mengetahui
adanya sunnah, maka mereka saling memberi peringatan.

Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau melihatnya di dalam kitab
Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak
menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi SAW. Lalu, ia menghukum dengan sunnah
tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat, “Apakah kamu mengetahui
Rasulullah memutuskan perkara ini?” Maka, terkadang berdiri satu kaum, merka berkata, “Rasul
menetapkannya begini dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang
menjelaskannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan memusyawarahkannya. Menurut
‘Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab.

Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al
Qur’an.
Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-
tulisan dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid bin Tsabit,
pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Al Qur’an
bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.

Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya ‘Umar, agar sahabat
menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan
diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Al
Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan,
maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Al Qur’an dan lebih
memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an tentu tidak akan
mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar merupakan
pemarkasa penulisannya Al Qur’an dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya
sahabat-sahabat Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru
masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar
pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan sumpah,
namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu.

Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam
meriwayatkan Sunnah.

F.Tatsabbut Fi Ar-Riwayah

Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka
sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah
menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut,
muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan
penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang mereka riwayatkan dengan
cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian warisan.
Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu, seorang
sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena kedudukannya
sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap pengakuanya, lalu
Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima. Dengan demikian,
pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.

1. Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa
Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar sebanyak tiga kali. Ia
tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah itu, Umar mengutus dan
mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia menjawab,”Aku mendengar Rasulullah
saw bersabda,” “Apabila salah seorang kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak
menjawabnya, maka hendaklah ia kembali.” Umar meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu
Hasan datang dengan wajah suram ke satu majlis. Kami menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan
kepada kami problema yang dihadapinya. Ia berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar
sunnah Nabi tersebut?” Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus
bersamanya salah seorang di antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin
al-Khattab

2.Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, kemudian
ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali, selanjutnya ia
menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia berkata,”Aku melihat
Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!” Mereka menjawab, “benar”.
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang
menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku
membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada kemungkinan,
hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan sahabat ini. Abu
Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di dekat balai-balai. Lalu,
marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan, menulis hadis yang
disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu, tepatnya di awal tahun,
Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik tabir. Lalu, ia
kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu Hurairah menjawabnya persis
sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya pun tidak berubah.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk
menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan,
kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul SAW. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap
eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan
sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang
menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.

3. Man’u Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Ya’lu ‘Ala Fahm Al ‘Ammah


Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya
kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat
mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang
keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang syahadat.

Nabi bersabda, “ Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia tuhan kecuali Allah dengan
kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya api neraka.” Mu’az berkata, “Wahai
utusan Allah, aku akan memberitahu manusia, maka niscaya mereka akan bergembira.” Sekoyong-
koyong berpeganglah kamu.” Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis
yang dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah begini dan begitu,“ Nabi SAW
menjawab,”Benar,” Umar berkata,”Jangan engkau lakukan itu, aku takut manusia akan berpegang
padanya dan mencederai mereka dalam bertindak.” Nabi SAW mengakuinya, dan berkata,”Mereka
akan rusak.”

Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu,
melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki
tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk
meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas berkata,”Ceritakan kamulah
hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu menghendaki mereka
mendustakan Allah dan Rasul.

” Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimahnya bahwa Ibn Mas’ud mengatakan,
“Orang yang menyampaikan hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah
bagi kaum tersebut.
a.Tabi’in
Tabi’in Orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tapi tidak
bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) Tabi’in yang
banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini diantaranya
yang dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr,
Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah
Ibn Abdurahman ibn Auf Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in): Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih
banyak belajar dan mendengar hadist dari Tabi’in besar.

b.Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadist tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu
pernanan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadist. Khusunya setelah masa
pemerinatahan Utsman dan Ali. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah
usaha dan kesungguhan mencari hadist dan menghafal hadist oleh kalangan Tabi’in dengan
mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian hadist-hadist
Nabi).

Setelah Islam menguasai Syam (Jordan sekarang), Irak, Mesir, Samarkand (Asia) dan Spanyol, para
sahabat banyak berhijrah ke daerah-daerah baru itu untuk berdakwah dan sekaligus mendirikan
madrasah-madrasah sebagai wadah untuk menyebarkan ilmu. Daerah yang didatangi para sahabat
itu kemudian dikenal sebagai pusat penyebaran ilmu yang nantinya menghasilkan sarjana-sarjana
Islam, khususnya dalam disiplin ilmu hadist dari kalangan Tabi’in.
Dengan demikian, para tabi’in ini menerima hadist dari para sahabat sekaligus mereka pula belajar
kepada sahabat tentang makna dan arti hadist yang mereka terima. Di masa tabi’in pun, para
shighor sahabat, masih terus menimba ilmu. Khususnya mencari hadist dengan belajar kepada
sahabat-sahabat besar.

Jika sahabat besar itu ternyata berhijrah ke daerah-daerah lainnya, seperti di Mesir, di Jordan atau di
Irak sekalipun, sahabat kecil inipun, yang berada di kota Mekkah ataupun Madinah, langsung
mengadakan perlawatan ke daerah itu hanya untuk bertanya tentang satu hadist atau berguru
langsung ke sahabat tersebut.

Hal ini dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad, Thabarani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir pernah pergi
ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk sampai di Syam hanya untuk menanyakan satu hadist
saja yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang didatangi nya adalah Abdullah Ibn Unais Al-
Anshary. Demikian pula halnya dengan Abu Ayyub Al-Anshory yang pernah melawat ke Mesir untuk
menemui Uqbah Ibn Amir untuk bertanya satu hadist saja.

Para Tabi’in Belajar Kepada Sahabat Mulailah babak baru penyebaran hadist di masa tabi’in dan
mereka mulai mencarinya sekaligus belajar kepada sahabat-sahabat yang mulai bertebaran di
beberapa pelosok bahkan di beberapa Negara. Ada yang menarik dari periode tabi’in ini, jika
diketahui ada seorang sahabat Nabi berkunjung ke daerahnya, mereka berlomba-lomba
mendatanginya untuk belajar.
Terkadang para tabi’in mengklasifikasi penerimaan hadist mereka dengan beberapa kategori, artinya
mereka mementingkan kriteria yang pertama kemudian kedua dan seterusnya. Kriteria itu adalah:
1. Sahabat yang pertamna kali masuk Islam, seperti: Khulafa Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud dll
2. Sahabat yang terus-menerus hidup bersama Nabi dan kuat hafalannya seperti: Abu Hurairah, Ibnu
Abbas dll
3. Selain mendengar hadist langsung dari Nabi dan dari sahabat lainya, sahabat inipun panjang
umurnya, seperti: Anas Bin Malik dll
4. Riwayat dari para istri Nabi
5. Sahabat yang memiliki catatan hadist pribadi, seperti, Abdullah Bin Ash dll Tokoh-Tokoh Hadist Di
Kalangan Tabi’in Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin
Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn
Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar dll Di Mekkah: Ikrimah, Atha Ibn Aii Rabah,
Dhohak, (ketiganya murid Ibn Abbas), Abul Zubair dll Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakhai,
Alqamah an-Nakhai dll Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah Di Syam: Umar ibn
Abdil Aziz, Qabishah dll Di Mesir: Yazid Ibn Habib Di Yaman: Wahhab ibn Munabbih dll.

Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala
sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat.
Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka
memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan
generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan
khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang
menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang
sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan
menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas
mereka menganjurkannya.

C .Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu
dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka
benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka
memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan
generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan
khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang
menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang
sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan
menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas
mereka menganjurkannya.

G . MUNCUL PEMALSUAN HADITS


Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang
shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu; pertama:
golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan
Mu’awiyah, ketiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya
umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan
golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya
dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsiri hadits-
hadits sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka
mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits yang mengenai
orang-orang yang mereka agung-agungkan.
Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn Ali
al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut
ditandingi oleh golongan jamaah memalsukan hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.

Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula
mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-
Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”,
sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.Mulai saat itu,
terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan
yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana
hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang
berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-
aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam
menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan
mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang
yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan
menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis-hadis palsu.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits
berikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawannya.
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi
hadis, sebagai

Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula
mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-
Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”,
sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.Mulai saat itu,
terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan
yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana
hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang
berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-
aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya.

Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad,
mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan
penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka,
menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis-hadis
palsu.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits
berikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu (maudhu)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawannya.
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi
hadis, sebagai

I.KODIFIKASI HADITS
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai
pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir
membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah
Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in
wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk
menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis.

Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga
tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits
kitabah al-hadits.

II. Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan
susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan
yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil
kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa
disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan
maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-
tulisan atau catatan-catatan pribadi.
Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah
sebagai berikut:
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat,
sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan
mendokumentaskannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap
berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam
khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini.

Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.

III. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti
‘Aisyah.

Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula
kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih
banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya.

Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat
Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar,
bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok
mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini.
H. Masa Penyebaran Hadis

orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir
dalam majlis ini. Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits dari kamu lebih
memahami dari pada +kamu sendiri yang mendengar +langsung dariku."perintah tersebut
membahas pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits.

Karena bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di madinah maupun yang di
luar madinah akan segera mengetahui hukum7hukum agama yang telah diajarkan oleh
r/asulullah. sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari /asulullah, mereka akan
memperoleh dari saudara7saudara mereka yang mendengar langsung dari /asulullah.
penyebaran hadits
Perkembangan Hadis Pra Kodifkasi

tersebut berlanjut sampai !aji 8ada’ dan #afatnya rasulullah.9aktor-faktor yang mendukung
percepatan penyebaran hadits di masa rasulullah rasulullah sendiri rajin menyampaikan
dakwahnya. b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat
orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini,
selanjutnya se%ara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.. " istri
rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian sahabat dan tabi’in
 Sahabat
a) Orang yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya
dan mati sebagai orang islam.
b) Orang yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan
perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelaharan darinya.
c) Orang islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
 Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para
Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih
muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat
masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi.
2. pada periode sahabat perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan terlihat masih
dibatasi. Oleh karena itu, periode ini oleh para ulama menganggap sebagai periode yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan terutama pada masa Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.
3. Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh para sahabat. Mereka mengikuti jejek para sahabat sebagai guru-guru mereka.
Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada periode Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushap. Di pihak lain,
usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’Al-Rasyidin, khususnya masa
kekhalifaan Usman. Para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan
Islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelajari Hadis. Di antara sahabat yang banyak
meriwayatkan Hadis ialah:
8. Abu Hurairah, meriwayatkan Hadis sebanyak 5374 Hadis.
9. Abdullah ibn Umar, meriwayatkan Hadis sebanyak 2630 Hadis.
10. Anas ibn Malik, meriwayatkan Hadis sebanyak 2276 Hadis.
11. Aisyah, meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis.
12. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan Hadis sebanyak 1660 Hadis. Jabir ibn Abdullah,
meriwayatkan Hadis sebanyak 1540 Hadis.
14. Abu Said Al Khudry, meriwayatkan Hadis sebanyak 1770 Hadis

B. Saran
Sebagai Mahasiswa dengan Prodi Pendidikan Agama Islam, Wajib untuk mengetahui,
memahami, serta mempelajari Hadis, karena Hadis merupakan sumber pedoman hidup
setelah Al-Qur’an. Mahasiswa juga harus mengetahui peroses bagaiman para pendahulu
Islam dalam mepertahankan dan memperjuangkan islam terutama dalam pembukuan Hadis.
Maka dari itu, makalah ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu dan berharap agar
makalah ini dapat menjadi acuan sebagai bahan diskusi untuk lebih memahami serta
mempelajari sejarah Hadis periode sahabat dan tabi’in.

DAFTAR PUSTAKA

Assiddiqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
Suparta, Drs. Munzier MA.. Ilmu Hadis Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Zuhri, DR.Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 199

[1] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 7

[2] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.37-38.

[3]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.41-42.


[4] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm.
79-81
[5] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.
[6] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82
[7]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.39.
[8]DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.83-84.
[9]M

Anda mungkin juga menyukai