OLEH :
TIO PUTRA WENDARI
1530412008
ILMU KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR ILMU KIMIA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini para peneliti banyak melakukan sintesis berbagai material anorganik
dengan berbagai sifat dan aplikasi yang banyak diperlukan dalam pengembangan
dunia teknologi. Material anorganik diketahui banyak diaplikasikan sebagai
material-material dalam peralatan bertekhnologi tinggi. Seperti material anorganik
keramik modern, saat ini banyak disintesis dikarenakan memiliki sifat dielektrik,
piezoelektrik, semikonduktor, magnetik, dll.
Dalam melakukan sintesis material anorganik, pemilihan metode sintesis
yang tepat sangat diperlukan. Berdasarkan prinsip “triangle of material” dalam
sintesis suatu material, aspek fungsi, bentuk dan proses dari material tersebut harus
diperhatikan dimana aspek ini akan mempengaruhi sifat dari material tersebut. Oleh
karena itu pemilihan teknik sintesis sangat mempengaruhi struktur, performance,
dan sifat dari material tersebut yang masing-masing akan saling terkait.
Banyak teknik sintesis yang telah dilaporkan dan digunakan dalam
mensintesis senyawa anorganik. Metode sintesis/ preparasi material tersebut dipilih
atas dasar komposisi, dan bentuk zat padat serta energi yang diperlukan dalam
pembuatannya. Metode sintesis yang tepat diharapkan akan menghasilkan material
anorganik yang berfasa tunggal yang nantinya akan memberikan pengaruh yang
besar dalam sifat material tersebut.
Beberapa teknik sintesis telah banyak dilaporkan oleh peneliti yang dapat
digunakan sesuai dengan produk yang diinginkan. teknik sintesis material
anorganik umumnya dibagi atas bentuk fasa dari reaktan yang bereaksi. Teknik
sintesis secara umum dibagi atas 3, yaitu :
1. Reaksi Padat-Padat
Teknik ini mereaksikan reaktan padatan dengan padatan pada suhu tinggi.
Reaksi ini pada dasarnya tanpa menggunakan media reaksi pembentukan
produknya.
Beberapa contoh reaksi padat-padat antara lain :
Metode keramik
Metode Reaksi Microwave
Metode Reduksi Karbotermal
Metode Prekursor, dll
2. Reaksi Padat-Cair
Teknik ini menggunakan salah satu senyawa berfasa cair baik sebagai
reaktan ataupun media reaksi.
Beberapa contoh reaksi padat-cair antara lain :
Metode Hidrotermal
Metode sol-gel
Metode elektrochemical
Metode presipitasi, dll
3. Reaksi padat-gas
Teknik sintesis ini umumnya menggunakan senyawa berfasa gas yang
dialiri dalam reaksi untuk membentuk produk.
Beberapa contoh reaksi padat-cair antara lain :
Metode Chemical Vapour Transport
Metode Physical Vapour Deposition, dll.
Dalam pemilihan teknik sintesis ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan,
yaitu:
1. Stabilitas senyawa. Senyawa mungkin stabil dalam kondisi reaksi dan tidak
stabil pada tekanan dan temperatur normal.
2. Bentuk produk yang dikehendaki. Untuk menyangkut aplikasi yang
memerlukan kristal tunggal, maka vapour phase epitaxy yang dipilih. Bila
dikehendaki produk yang homogen, maka metode prekursor atau sintesis
hidrotermal yang dipilih.
3. Kemurnian produk. Untuk mendapatkan kemurnian produk tinggi dapat
digunakan metode yang melibatkan penggunaan material awal adalah bahan
yang volatil, karena lebih mudah dimurnikan.
4. Ketersediaan reaktan. Bila memilih metode prekursor, maka harus
mempertimbangkan ketersediaan prekursor dengan stoikiometri yang benar.
Untuk metode CVD memerlukan reaktan dengan volatilitas yang hampir sama.
Untuk metode gelombang mikro, paling tidak mempunyai satu starting
material yang dapat menyerap gelombang mikro dengan kuat.
Material anorganik yang dihasilkan selanjutnya dilakukan karakterisasi
untuk menentukan keberhasilan suatu produk yang disintesis. Karakterisasi
material anorganik merupakan tahapan penting setelah dilakukan sintesis material
tersebut. Karakterisasi material dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dan sifat
fisika senyawa yang disintesis dan struktur senyawa tersebut. Teknik karakterisasi
dipilih berdasarkan hasil yang ingin didapatkan.
Beberapa karaterisasi terbatas untuk hasil yang diinginkan, oleh karena itu
dalam melakukan sintesis material anorganik para peneliti menggunakan 2 atau
lebih alat karakterisasi untuk mendapatkan gambaran sifat material yang lebih baik.
Secara umum beberapa instrument karakteriasi dapat dibagi atas :
Karakteriasi kristalinitas material, karakteriasi ini merupakan karakterisasi
yang sangat penting dalam material anorganik, tidak hanya untuk
mengidentifikasi senyawa yang tidak diketahui dialam tetapi juga dapat
mengidentifikasi struktur kristal dan analisis fase kristalin material.
Karakterisasi kristalinitasi ini menggunakan metode karakterisasi Difraksi
sinar-X (X-ray diffraction, XRD). Metode XRD sangat bayak digunakan
dalam identifikasi material baru, penentuan kemurnian sample, penentuan
dan pemurnian parameter kisi, investigasi diagram fase material baru,
penentuan ukuran kristal, pemurnian struktur material dan perubahan
fase/koefisien ekspansi (Weller, 1994). Analisis kristalinitas lain dapat
dilakukan dengan menggunakan metode Neutron difraksi.
Teknik mikroskopi secara luas digunakan untuk identifikasi material
anorganik terutama untuk analisis morfologi dari partikel. Optical
Miscroscopy (OM), salah satu instrument teknik analitik tertua, masih dapat
digunakan untuk memperoleh informasi awal dalam material anorganik.
Metode analisis dengan scanning electron microscopy (SEM) dapat
memberikan informasi mikrostruktur/ mikromorfologi material anorganik.
SEM jika digabung dengan detektor unsur sinar-X seperti energy dispersive
spectrometer (EDS) dapat memberikan informasi semi-kuantitatif tentang
komposisi unsur penyusun material anorganik. Metode mikroskopi lain
berupa TEM (Transmision Electron Microscopy) juga banyak digunakan
dan dapat mengamati hingga kristal dari material.
Teknik analisis termal, sering digunakan untuk identifikasi dan analisis
senyawa anorganik maupun organic. karakterisasi ini dapat digunakan
menganalisa mengenai sifat fisika dari material seperti titik leleh,
temperatur fase transisi, dan stabilitas termal. Beberapa contoh teknik
analisa termal yang umum digunakan seperti differential thermal analysis
(DTA), differential scanning calorimetry (DSC), dan thermal gravimetric
analysis (TGA).
Teknik analisis ukuran partikel (particle size), luas permukaan (surface
area), dan porositas umumnya digunakan untuk karakterisasi material-
material anorganik yang berpori (porous material) seperti zeolit dan clay.
BAB II
METODE SINTESIS ANORGANIK
Keramik Konvensional
a. Keramik Berstruktur
Keramik jenis ini mempunyai sifat mekanik yang baik. Antara bahan yang
termasuk di dalam golongan ini ialah alumina, silicon karbida, silicon nitrida,
komposite dan bahan yang di lapisi dengan keramik. Bahan ini sangat potensi
di gunakan di dalam mesin diesel sebagai piston dan ruang pra pembakaran,
turbo charge dan turbin gas. Keramik ini digunakan juga sebagai bahan
penyekat ruang pembakaran bersuhu tinggi dan mata pahat potong logam
(Cutting tool).
b. Keramik Putih
Keramik putih yaitu jenis keramik yang biasanya berwarna putih dan
mempunyai tekstur jaringan yang halus. Keramik ini dibuat dari bahan dasar
lempung kualitas terpilih dan fluks dalam jumlah bervariasi yang dipanaskan
pada suhu 1200-15000C di dalam tanur (kiln).
Contohnya keramik tanah, porselin, keramik china, ubin keramik putih, dan
sebagainya.
c. Keramik Refraktori
Keramik refrakori yakni keramik yang mencakup bahan – bahan yang
digunakan untuk menahan pengaruh termal, kimia dan fisik. Refraktori dijual
dalaam bentuk bata tahan api, bata silica, magnesit, dan sebagainya.
d. Keramik Listrik
Yang termasuk dalam kategori keramik listrik mempunyai fungsi
elektromagnet dan optik dan juga fungsi kimia yang berkaitan dengan
penggunaannya secara langsung. Keramik ini digunakan sebagai bahan
penyekat, magnet, tranducer, dan pensemikonduksi.
Keramik Modern
a. Keramik Oksida
Keramik oksida murni yang digunakan sebagai alat listrik khusus dan
komponen peleburan logam. Oksida yang umum digunakan adalah alumina
(Al2O3), Zirconia (ZrO2), Thoria (ThO2), Berillia (BeO), Magnesia (MgO),
Spinel (MgAl2O4) dan Forsterit (Mg2SiO4).
b. Keramik elektrooptik
Keramik elektrooptik seperti Lithium Niobate (LiNbO3) dan Lanthanum
Zirconat Titanat (PLZT) memberikan sebuah media yang dapat merubah
informasi elektrik menjadi informasi optik atau yang dapat menggerakkan
fungsi optik dengan perintah dari sinyal elektrik.
c. Keramik magnetik
Keramik magnetik dengan komposisi dan penggunaan yang bervariasi telah
dikembangkan. Bahan ini merupakan bahan dasar dari unit memori magnetik
pada komputer yang besar. Keunikan sifat elektriknya terutama digunakan pada
aplikasi elektronik gelombang mikro frekuensi tinggi.
d. Bahan bakar nuklir yang berbasis Uranium Oksida (UO2) sudah sangat luas
digunakan. Bahan tersebut mempunyai kemampuan yang unik untuk menjaga
sifat-sfat yang unggul setelah penggunaan yang lama sebagai bahan bakar pada
reaktor nuklir.
e. Kristal tunggal dari berbagai jenis bahan sekarang mulai diproduksi untuk
mengantikan kristal alami. Rubi dan kristal laser garnet dan tabung sapir dan
substrat (substrat = sejenis semikonduktor) dikembangkan dari sebuah
peleburan: kristal kwarsa (quartz) yang besar dikembangkan dengan proses
hidrotermal.
f. Keramik nitrida untuk refraktori (refractory = bahan tahan api), dan turbin gas.
g. Enamel untuk aluminium pada industri arsitektur.
h. Komposit logam-keramik untuk refraktori.
i. Keramik karbida untuk bahan abrasif (abrasive = bahan penghaluspermukaan)
j. Keramik borida untuk kekuatan dan temperatur tinggi, tahan terhadap oksidasi.
k. Keramik feroelektrik (barium titanat) mempunyai konstanta dielektrik yang
tinggi.
l. Gelas-gelas nonsilika misal transmisi infra merah, peralatan semi konduktor.
b. Keramik modern
Adapun tahapan dalam pembuatan keramik modernl adalah sebagai berikut:
Raw material Bahan baku Pengolahan Pengadonan
+ aditif Pembentukan Pengeringan Pembakaran
Sintering Finishing Produk
Aplikasi nuklir Bahan bakar nuklir (UO3, UC), fuel cladding (C, SiC),
Pemecahan (Fission) moderator netron (C, BeO)
Peleburan (Fusion) Material turunan tritium (Zirconates dan silika Li,
Li2O), peleburan lapisan reaktor (C, SiC, Si3N4, B4C)
Gambar 1 mengilustrasikan berbagai tahap dari proses MA, yang mana dari ilustrasi
nampak jelas bahwa kondisi esensial dari MA adalah cold welding, yang mana
mengikat berbagai mcama material bersama dan mengaktifkan proses difusi yang
akan terjadi pada tahap berikutnya dari MA. Pada tahap intermediet dari proses,
buitran yang dilas terdeformasi secara plastik, butiran yang dilas terdeformasi
secara plastik untuk menghasilkan struktur yang laminar. Steelah itu, pelarutan dari
zat yang dilarutkan dan pembentukan area larutan padat pada matrik butiran
difasilitasi dengan pemanasan kecil akibat kolisi, cacat kisi dan kjarak difusi yang
pendek. Deformasi juga menciptakan densiti cacat yang tinggi, pengurangan jarak
difusi dan peningkatan suhu buitran, yang nantinya meningktakan laju difusi.
Butiran selanjutnya direfine saat penghalusan dan cold welding dilakukan sampai
pada akhirnya produk butiran alloy terbentuk.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan sintesis alloy dengan metode
mekanikal alloying :
Tipe mesing milling
kecepatan dan waktu milling
vial atau grinding vessel
rasio bahan terhadap ball mill
BAB III
METODE KARAKTERIASI ANORGANIK
Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik dan kimia
material sebagai fungsi dari suhu. Pada prakteknya, istilah analisa termal seringkali
digunakan untuk sifat-sifat spesifik tertentu. Misalnya entalpi, kapasitas panas,
masa dan koefisien ekspansi termal. Pengukuran koefisien ekspansi termal dari
batangan logam merupakan contoh sederhana dari analisa termal. Contoh lainnya
adalah pengukuran perubahan berat dari garam-garam oksi dan hidrat pada saat
mengalami dekomposisi akibat pemanasan. Dengan menggunakan peralatan
modern, sejumlah besar material dapat dipelajari dengan metode ini. Penggunaan
analisa termal pada ilmu mengenai zat padat telah demikian luas dan bervariasi,
mencakup studi reaksi keadaan padat, dekomposisi termal dan transisi fasa dan
penentuan diagram fasa. Kebanyakan padatan bersifat ‘aktif secara termal’ dan sifat
ini menjadi dasar analisa zat padat menggunakan analisa termal.
Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik
(TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari
suhu maupun waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur
perbedaan suhu, T, antara sampel dengan material referen yang inert sebagai fungsi
dari suhu. Teknik yang berhubungan dengan DTA adalah diferential scanning
calorimetry (DSC). Pada DSC, peralatan didisain untuk memungkinkan
pengukuran kuantitatif perubahan entalpi yang timbul dalam sampel sebagai fungsi
dari suhu maupun waktu. Analisa termal lainnya adalah dilatometry, dimana
perubahan dari dimensi linier suatu sampel sebagai fungsi suhu direkam.
Dengan peralatan analisa termal yang modern dan otomatik, dimungkinkan
untuk karakterisasi material dengan TGA, DTA dan DSC menggunakan alat yang
sama; dengan beberapa model yang memungkinkan pengukuran TGA dan DTA
secara simultan. Peralatan analisa termal agak rumit dan mahal, karena berbagai
peristiwa termal dan sifat-sifat fisik dapat dipelajari secara cepat, sensitif dan
akurat. Namun demikian, prinsip dasar operasi peralatan ini sebenarnya cukup
sederhana. Pada bab ini, prinsip dasar TGA, DTA, dan DSC dijabarkan berikut
aplikasinya; sedangkan deskripsi eksperimentalnya dihilangkan kuantitatif dari
perubahan komposisinya, dll. Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf,
merupakan harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan,
sifat dari padatan (ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini
dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2 untuk
dekomposisi CaCO3; pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~ 500oC,
namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung
hingga suhu di atas 900oC. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang sangat
bergantung pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu
dekomposisi pada equilibrium.
TGA merupakan penentuan kuantatif perubahan berat sampel dengan perubahan
temparatur ataupun waktu. Sehingga karakterisasi dengan TGA dapat dihubungkan
dengan analisis kandungan dari material dengan melihat senyawa yang
terdekomposisi pada suhu tertentu berdasarkan titik lelehnya/ uapnya.
Gambar6. Metode DTA. Grafik (b) hasil dari set-up yang diperlihatkan pada (a)
dan grafik (d), jejak DTA yang umum, hasil dari pengaturan yang diperlihatkan
pada (c)
Pada Gambar 6 (c) diperlihatkan pengaturan yang dugunakan pada DTA. Sampel
dan referen ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang dipanaskan
ataupun didinginkan pada laju konstan; termokopel identik ditempatkan pada
keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada pada suhu yang
sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama dengan nol. Pada saat
suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan suhu, ΔT, timbul antara
keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan dari kedua termokopel.
Termokopel ketiga (tidak diperlihatkan pada gambar) digunakan untuk memonitor
suhu heating block dan hasilnya diperlihatkan sebagai ΔT versus suhu (Gambar 6d).
Baseline horizontal, menunjukkan ΔT=0, sedangkan penyimpangan dari baseline
akan berupa puncak yang tajam sebagai akibat dari berlangsungnya peristiwa
termal pada sampel. Suhu puncak yang muncul dapat ditentukan dari suhu dimana
deviasi mulai timbul, T1,ataupun pada suhu puncak, T2. Penggunaan T1 mungkin
saja lebih tepat, namun seringkali kurang jelas kapan puncak bermula, dan
karenanya lebih umum digunakan T2. Ukuran dari puncak dapat diperbesar
sehingga peristiwa termal dengan perubahan entalpi yang kecil dapat terdeteksi.
Gambar 6(d) sangat mudah diolah, sehingga cara ini digunakan sebagai cara yang
lebih sensitif dan akurat untuk memperoleh data dibandingkan Gambar 6 (b) dan
dipakai pada metode umum mempresentasikan hasil DTA. Instrumen DTA
komersial dapat digunakan pada range suhu -190 sampai 16000C. Ukuran sampel
biasanya kecil, beberapa miligram, sehingga mengurangi pemunculan masalah
akibat gradien termal dalam sampel yang dapat mengurangi sensitivitas dan akurasi.
Laju pemanasan dan pendinginan biasanya berada pada range 1 sampai 500C /
menit. Pada penggunaan laju yang lebih lambat, sensitivitas akan berkurang karena
ΔT bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju
pemanasan. Sel DTA biasanya didisain untuk memaksimumkan sensitivitasnya
terhadap perubahan termal, namun hal ini sering berakibat pada kehilangan respon
kalorimetrik; sehingga tinggi puncak hanya berhubungan dengan besar perubahan
entalpi secara kualitatif saja. Dimungkinkan untuk mengkalibrasi peralatan DTA
sehingga harga entalpi yang kuantitatif dapat diperoleh, namun kalibrasi ini cukup
rumit. Apabila diperlukan data kalorimetrik, maka lebih mudah untuk memakai
DSC sebagai komplementer. DSC mirip dengan DTA. Sampel dan referen inert
juga digunakan pada DSC namun sel-nya didisain secara berbeda. Pada beberapa
sel DSC, sampel dan referen dipertahankan pada suhu sama selama program
pemanasan. Dalam hal ini, input panas ekstra ke sampel (atau ke referen bila sampel
mengalami perubahan eksotermik) yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan,
akan diukur. Pada sel DSC lain, perubahan suhu antara sampel dan referen diukur,
seperti halnya DTA, namun dengan pengaturan tertentu pada desain sel, respon
yang dihasilkan adalah kalorimetrik.
Gambar 8. Kurva TGA dan DTA untuk mineral kaolin. Kurva bervariasi
bergantung pada struktur sampel dan komposisi, misalnya kehilangan massa pada
TGA dan diasosiasikan dengan endoterm pada DTA yang dapat muncul dimana
saja pada range 450 hingga 750oC
Contohnya pada dekomposisi kaolin, Al4(Si4O10)(OH)8 (Gambar 4). Menggunakan
TGA, perubahan berat yang terjadi pada suhu ~500 sampai 600oC, yang
berhubungan dengan dehidrasi sampel; juga ditunjukkan pada DTA sebagai proses
endoterm. Efek kedua terdeteksi pada DTA terjadi pada 950 hingga 980oC, yang
tidak memiliki padanan pada jejak TGA; berhubungan dengan reaksi rekristalisasi
pada kaolin terdehidrasi. Proses ke dua ini bersifat eksotermik, yang mana tidak
biasa terjadi; menunjukkan bahwa struktur yang diadopsi antara ~ 600 dan 950oC
bersifat metastabil dan proses eksoterm DTA menandakan penurunan entalpi
sampel yang mengindikasikan perubahan ke struktur yang lebih stabil. Informasi
detil mengenai perubahan struktur yang terjadi pada transisi ini masih belum
sepenuhnya terpecahkan.
Plot lainnya yang juga bermanfaat adalah mengikuti perubahan termal pada
pendinginan dan pemanasan. Pada penggunaan keduanya, pemisahan antara proses-
proses reversibel, seperti pelelehan/pemadatan, dan proses-proses irreversibel,
seperti reaksi-reaksi dekomposisi, dimungkinkan. Sekuen skematik DTA yang
mengilustrasikan perubahan reversibel dan irreversibel diperlihatkan pada Gambar
9.
2. Wang, F. E. Bonding theory for metals and alloys. Amsterdam: Elsevier. 2005
11. Ismunandar : Padatan Oksida Logam Struktur Sintesis dan Sifat-sifatnya 2006,
ITB, Bandung.