Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH SINTESIS DAN KARAKTERISASI ANORGANIK

“METODE KERAMIK – MECHANICAL ALLOYING –


ANALISIS TERMAL”

OLEH :
TIO PUTRA WENDARI
1530412008
ILMU KIMIA

DOSEN : Dr. UPITA SEPTIANI, M.Si

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR ILMU KIMIA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini para peneliti banyak melakukan sintesis berbagai material anorganik
dengan berbagai sifat dan aplikasi yang banyak diperlukan dalam pengembangan
dunia teknologi. Material anorganik diketahui banyak diaplikasikan sebagai
material-material dalam peralatan bertekhnologi tinggi. Seperti material anorganik
keramik modern, saat ini banyak disintesis dikarenakan memiliki sifat dielektrik,
piezoelektrik, semikonduktor, magnetik, dll.
Dalam melakukan sintesis material anorganik, pemilihan metode sintesis
yang tepat sangat diperlukan. Berdasarkan prinsip “triangle of material” dalam
sintesis suatu material, aspek fungsi, bentuk dan proses dari material tersebut harus
diperhatikan dimana aspek ini akan mempengaruhi sifat dari material tersebut. Oleh
karena itu pemilihan teknik sintesis sangat mempengaruhi struktur, performance,
dan sifat dari material tersebut yang masing-masing akan saling terkait.
Banyak teknik sintesis yang telah dilaporkan dan digunakan dalam
mensintesis senyawa anorganik. Metode sintesis/ preparasi material tersebut dipilih
atas dasar komposisi, dan bentuk zat padat serta energi yang diperlukan dalam
pembuatannya. Metode sintesis yang tepat diharapkan akan menghasilkan material
anorganik yang berfasa tunggal yang nantinya akan memberikan pengaruh yang
besar dalam sifat material tersebut.
Beberapa teknik sintesis telah banyak dilaporkan oleh peneliti yang dapat
digunakan sesuai dengan produk yang diinginkan. teknik sintesis material
anorganik umumnya dibagi atas bentuk fasa dari reaktan yang bereaksi. Teknik
sintesis secara umum dibagi atas 3, yaitu :
1. Reaksi Padat-Padat
Teknik ini mereaksikan reaktan padatan dengan padatan pada suhu tinggi.
Reaksi ini pada dasarnya tanpa menggunakan media reaksi pembentukan
produknya.
Beberapa contoh reaksi padat-padat antara lain :
 Metode keramik
 Metode Reaksi Microwave
 Metode Reduksi Karbotermal
 Metode Prekursor, dll
2. Reaksi Padat-Cair
Teknik ini menggunakan salah satu senyawa berfasa cair baik sebagai
reaktan ataupun media reaksi.
Beberapa contoh reaksi padat-cair antara lain :
 Metode Hidrotermal
 Metode sol-gel
 Metode elektrochemical
 Metode presipitasi, dll
3. Reaksi padat-gas
Teknik sintesis ini umumnya menggunakan senyawa berfasa gas yang
dialiri dalam reaksi untuk membentuk produk.
Beberapa contoh reaksi padat-cair antara lain :
 Metode Chemical Vapour Transport
 Metode Physical Vapour Deposition, dll.
Dalam pemilihan teknik sintesis ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan,
yaitu:
1. Stabilitas senyawa. Senyawa mungkin stabil dalam kondisi reaksi dan tidak
stabil pada tekanan dan temperatur normal.
2. Bentuk produk yang dikehendaki. Untuk menyangkut aplikasi yang
memerlukan kristal tunggal, maka vapour phase epitaxy yang dipilih. Bila
dikehendaki produk yang homogen, maka metode prekursor atau sintesis
hidrotermal yang dipilih.
3. Kemurnian produk. Untuk mendapatkan kemurnian produk tinggi dapat
digunakan metode yang melibatkan penggunaan material awal adalah bahan
yang volatil, karena lebih mudah dimurnikan.
4. Ketersediaan reaktan. Bila memilih metode prekursor, maka harus
mempertimbangkan ketersediaan prekursor dengan stoikiometri yang benar.
Untuk metode CVD memerlukan reaktan dengan volatilitas yang hampir sama.
Untuk metode gelombang mikro, paling tidak mempunyai satu starting
material yang dapat menyerap gelombang mikro dengan kuat.
Material anorganik yang dihasilkan selanjutnya dilakukan karakterisasi
untuk menentukan keberhasilan suatu produk yang disintesis. Karakterisasi
material anorganik merupakan tahapan penting setelah dilakukan sintesis material
tersebut. Karakterisasi material dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dan sifat
fisika senyawa yang disintesis dan struktur senyawa tersebut. Teknik karakterisasi
dipilih berdasarkan hasil yang ingin didapatkan.
Beberapa karaterisasi terbatas untuk hasil yang diinginkan, oleh karena itu
dalam melakukan sintesis material anorganik para peneliti menggunakan 2 atau
lebih alat karakterisasi untuk mendapatkan gambaran sifat material yang lebih baik.
Secara umum beberapa instrument karakteriasi dapat dibagi atas :
 Karakteriasi kristalinitas material, karakteriasi ini merupakan karakterisasi
yang sangat penting dalam material anorganik, tidak hanya untuk
mengidentifikasi senyawa yang tidak diketahui dialam tetapi juga dapat
mengidentifikasi struktur kristal dan analisis fase kristalin material.
Karakterisasi kristalinitasi ini menggunakan metode karakterisasi Difraksi
sinar-X (X-ray diffraction, XRD). Metode XRD sangat bayak digunakan
dalam identifikasi material baru, penentuan kemurnian sample, penentuan
dan pemurnian parameter kisi, investigasi diagram fase material baru,
penentuan ukuran kristal, pemurnian struktur material dan perubahan
fase/koefisien ekspansi (Weller, 1994). Analisis kristalinitas lain dapat
dilakukan dengan menggunakan metode Neutron difraksi.
 Teknik mikroskopi secara luas digunakan untuk identifikasi material
anorganik terutama untuk analisis morfologi dari partikel. Optical
Miscroscopy (OM), salah satu instrument teknik analitik tertua, masih dapat
digunakan untuk memperoleh informasi awal dalam material anorganik.
Metode analisis dengan scanning electron microscopy (SEM) dapat
memberikan informasi mikrostruktur/ mikromorfologi material anorganik.
SEM jika digabung dengan detektor unsur sinar-X seperti energy dispersive
spectrometer (EDS) dapat memberikan informasi semi-kuantitatif tentang
komposisi unsur penyusun material anorganik. Metode mikroskopi lain
berupa TEM (Transmision Electron Microscopy) juga banyak digunakan
dan dapat mengamati hingga kristal dari material.
 Teknik analisis termal, sering digunakan untuk identifikasi dan analisis
senyawa anorganik maupun organic. karakterisasi ini dapat digunakan
menganalisa mengenai sifat fisika dari material seperti titik leleh,
temperatur fase transisi, dan stabilitas termal. Beberapa contoh teknik
analisa termal yang umum digunakan seperti differential thermal analysis
(DTA), differential scanning calorimetry (DSC), dan thermal gravimetric
analysis (TGA).
 Teknik analisis ukuran partikel (particle size), luas permukaan (surface
area), dan porositas umumnya digunakan untuk karakterisasi material-
material anorganik yang berpori (porous material) seperti zeolit dan clay.
BAB II
METODE SINTESIS ANORGANIK

2.1 Pengertian dan Sejarah Keramik


Akeolog telah menemukan keramik buatan manusia yang tanggal kembali ke
setidaknya 24.000 SM. keramik ini ditemukan di Cekoslovakia dan dalam bentuk
hewan dan manusia patung-patung, lembaran, dan bola. keramik ini dibuat dari
lemak hewan dan tulang dicampur dengan abu tulang dan bahan claylike baik.
Setelah dibentuk, keramik dibakar pada suhu antara 500-800 ° C di dalam tungku
pembakar.
Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani keramikos yang artinya
suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran. Kamus dan
ensiklopedi tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan
teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti gerabah,
genteng, porselin, dan sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua keramik berasal dari
tanah liat.
Namun dewasa ini, keramik didefinisikan sebagai bahan-bahan yang
tersusun dari senyawa anorganik selain logam yang diolah melalui perlakuan panas
pada suhu tinggi. Definisi ini menjelaskan bahwa keramik mencakup semua bahan
bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat. Umumnya senyawa keramik
lebih stabil dalam lingkungan termal dan kimia dibandingkan elemennya. Bahan
baku keramik yang umum dipakai adalah feldspard, ball clay, kwarsa, kaolin, dan
air. Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia dan
mineral bawaannya. Oleh karena itu sifat keramik juga tergantung pada lingkungan
geologi dimana bahan diperoleh. Secara umum strukturnya sangat rumit dengan
sedikit elektron-elektron bebas. Kurangnya beberapa elektron bebas keramik
membuat sebagian besar bahan keramik secara kelistrikan bukan merupakan
konduktor dan juga menjadi konduktor panas yang jelek. Di samping itu keramik
mempunyai sifat rapuh, keras, dan kaku. Keramik secara umum mempunyai
kekuatan tekan lebih baik dibanding kekuatan tariknya.

2.2 Sifat Keramik


Sifat yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis keramik
adalah rapuh, hal ini dapat kita lihat pada keramik jenis tradisional seperti barang
pecah belah, gelas, kendi, gerabah dan sebagainya, coba jatuhkan piring yang
terbuat dari keramik bandingkan dengan piring dari logam, pasti keramik mudah
pecah, walaupun sifat ini tidak berlaku pada jenis keramik tertentu, terutama jenis
keramik hasil sintering, dan campuran sintering antara keramik dengan logam. sifat
lainya adalah tahan suhu tinggi, sebagai contoh keramik tradisional yang terdiri dari
clay, flint dan feldfar tahan sampai dengan suhu 1200 C, keramik engineering
seperti keramik oksida mampu tahan sampai dengan suhu 2000 C. kekuatan tekan
tinggi, sifat ini merupakan salah satu faktor yang membuat penelitian tentang
keramik terus berkembang.
Keramik memiliki karakteristik yang memungkinkannya digunakan untuk berbagai
aplikasi termasuk:
1. Kapasitas panas yang baik dan konduktivitas panas yang rendah.
2. Sifat listriknya dapat insulator, semikonduktor, konduktor bahkan
superkonduktor
3. Sifatnya dapat magnetik dan non-magnetik
4. Keras dan kuat, namun rapuh
5. Titik leleh tinggi
6. Tahan korosi

2.3 Klasifikasi material keramik


Keramik dapat dikalsifikasikan berdasarkan material pemyusun beserta
kegunaannya. Beberapa contoh kelompok material keramik yang telah dikenal luas
antara lain:
1. Keramik Tradisional
Keramik tradisional yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan bahan
alam, seperti kuarsa, kaolin, dll.
Contoh keramik ini adalah: barang pecah belah (dinnerware), keperluan
umah tangga (tile, bricks), dan untuk industri (refractory).
2. Keramik Halus
Fine ceramics (keramik modern atau biasa disebut keramik teknik,
advanced ceramic, engineering ceramic, techical ceramic) adalah keramik
yang dibuat dengan menggunakan oksida-oksida logam atau logam, seperti:
oksida logam (Al2O3, ZrO2, MgO, dll). Penggunaannya: elemen pemanas,
semikonduktor, komponen turbin, dan pada bidang medis. (Joelianingsih,
2004)

Keramik Konvensional
a. Keramik Berstruktur
Keramik jenis ini mempunyai sifat mekanik yang baik. Antara bahan yang
termasuk di dalam golongan ini ialah alumina, silicon karbida, silicon nitrida,
komposite dan bahan yang di lapisi dengan keramik. Bahan ini sangat potensi
di gunakan di dalam mesin diesel sebagai piston dan ruang pra pembakaran,
turbo charge dan turbin gas. Keramik ini digunakan juga sebagai bahan
penyekat ruang pembakaran bersuhu tinggi dan mata pahat potong logam
(Cutting tool).
b. Keramik Putih
Keramik putih yaitu jenis keramik yang biasanya berwarna putih dan
mempunyai tekstur jaringan yang halus. Keramik ini dibuat dari bahan dasar
lempung kualitas terpilih dan fluks dalam jumlah bervariasi yang dipanaskan
pada suhu 1200-15000C di dalam tanur (kiln).
Contohnya keramik tanah, porselin, keramik china, ubin keramik putih, dan
sebagainya.
c. Keramik Refraktori
Keramik refrakori yakni keramik yang mencakup bahan – bahan yang
digunakan untuk menahan pengaruh termal, kimia dan fisik. Refraktori dijual
dalaam bentuk bata tahan api, bata silica, magnesit, dan sebagainya.
d. Keramik Listrik
Yang termasuk dalam kategori keramik listrik mempunyai fungsi
elektromagnet dan optik dan juga fungsi kimia yang berkaitan dengan
penggunaannya secara langsung. Keramik ini digunakan sebagai bahan
penyekat, magnet, tranducer, dan pensemikonduksi.
Keramik Modern
a. Keramik Oksida
Keramik oksida murni yang digunakan sebagai alat listrik khusus dan
komponen peleburan logam. Oksida yang umum digunakan adalah alumina
(Al2O3), Zirconia (ZrO2), Thoria (ThO2), Berillia (BeO), Magnesia (MgO),
Spinel (MgAl2O4) dan Forsterit (Mg2SiO4).
b. Keramik elektrooptik
Keramik elektrooptik seperti Lithium Niobate (LiNbO3) dan Lanthanum
Zirconat Titanat (PLZT) memberikan sebuah media yang dapat merubah
informasi elektrik menjadi informasi optik atau yang dapat menggerakkan
fungsi optik dengan perintah dari sinyal elektrik.
c. Keramik magnetik
Keramik magnetik dengan komposisi dan penggunaan yang bervariasi telah
dikembangkan. Bahan ini merupakan bahan dasar dari unit memori magnetik
pada komputer yang besar. Keunikan sifat elektriknya terutama digunakan pada
aplikasi elektronik gelombang mikro frekuensi tinggi.
d. Bahan bakar nuklir yang berbasis Uranium Oksida (UO2) sudah sangat luas
digunakan. Bahan tersebut mempunyai kemampuan yang unik untuk menjaga
sifat-sfat yang unggul setelah penggunaan yang lama sebagai bahan bakar pada
reaktor nuklir.
e. Kristal tunggal dari berbagai jenis bahan sekarang mulai diproduksi untuk
mengantikan kristal alami. Rubi dan kristal laser garnet dan tabung sapir dan
substrat (substrat = sejenis semikonduktor) dikembangkan dari sebuah
peleburan: kristal kwarsa (quartz) yang besar dikembangkan dengan proses
hidrotermal.
f. Keramik nitrida untuk refraktori (refractory = bahan tahan api), dan turbin gas.
g. Enamel untuk aluminium pada industri arsitektur.
h. Komposit logam-keramik untuk refraktori.
i. Keramik karbida untuk bahan abrasif (abrasive = bahan penghaluspermukaan)
j. Keramik borida untuk kekuatan dan temperatur tinggi, tahan terhadap oksidasi.
k. Keramik feroelektrik (barium titanat) mempunyai konstanta dielektrik yang
tinggi.
l. Gelas-gelas nonsilika misal transmisi infra merah, peralatan semi konduktor.

2.4 Pembuatan keramik


Proses pembentukan keramik dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a. Die pressing
Pada proses ini bahan keramik dihaluskan hingga membentuk bubuk, lalu dicampur
dengan pengikat (binder) organic, kemudian dimasukkan kedalam cetakan dan
ditekan hingga mencapai bentuk padat yang cukup kuat. Metode ini umumnya
digunakan dalam pembuatan ubin, keramik elektronik, atau produksi dengan cukup
sederhana karena metode ini cukup murah.
b. Rubber mold pressing
Metode ini dilakukan untuk menghasilkan bubuk padat yang tidak seragam dan
disebutrubber mold pressing, karena dalam pembuatannya menggunakan sarung
yang terbuat dari karet. Bubuk dimasukkan kedalam sarung karet, kemudian
dibentuk kedalam cetakan hidrostatis.
c. Extrusion Molding
Pembentukan keramik pada metode ini melalui lobang cetakan. Metode ini bias
digunakan untuk membuat pipa saluran, pipa reaktor, atau material lain yang
memiliki suhu normal untuk penampang lintang tetap.
d. Slip Casting
Metode ini dilakukan untuk memperkeras suspensi dengan air dari cairan lainnya,
dituang kedalam plaster berpori, air akan diserap dari daerah kontak kedalam
cetakan dan lapisan yang kuat akan terbentuk.
e. Injection molding
Bahan yang bersifat plastis diinjeksikan dan dicampur dengan bubuk pada cetakan.
Metode ini banyak digunakan untuk memproduksi benda-benda yang mempunyai
bentuk yang kompleks.
2.5 Pembentukan pembagian keramik:
a. Keramik tradisional
Adapun tahapan dalam pembuatan keramik tradisional adalah sebagai berikut:

Raw material Bahan baku Pengolahan Pengadonan


Pembentukan Pengeringan Pembakaran Produk

b. Keramik modern
Adapun tahapan dalam pembuatan keramik modernl adalah sebagai berikut:
Raw material Bahan baku Pengolahan Pengadonan
+ aditif Pembentukan Pengeringan Pembakaran
Sintering Finishing Produk

2.6 Bahan baku


Bahan dasar keramik terdiri dari fasa kompleks yang merupakan senyawa netral
dan non netral yang terikat secara ionic maupun kovalen. Keramik pada umumnya
mempunyai struktur kristallin dan sedikit elektron bebasnya. Susunan senyawa
kimianya sangat bervariasi, terdiri dari senyawa yang sederhana hingga campuran
dari beberapa fasa kompleks. Pada dasarnya bahan baku keramik terdiri dari :
• bubur (slury)
• pasta
• bubuk (powder)
Bubur dan pasta disebut juga bahan yang berasal dari lelehan (melts).

2.7 Metode Sintesis Keramik


Para peneliti secara umum menjelaskan metode sintesis keramik modern hampir
sama dengan metode reaksi padatan, oleh karena itu metode keramik sering juga
disebut dengan metode reaksi padatan. Metode ini dimulai dari mempersiapkan
oksida logam dan bahan padat lainnya, yang kemudian melibatkan penggilingan
bubuk oksida, karbonat, oksalat atau senyawa lain yang mengandung logam relevan
dan pemanasan campuran pada suhu yang diinginkan, setelah pelletizing materi.
Beberapa oksida, sulfat, fosfat dan senyawa lainnya disusun dengan metode ini. Hal
ini kadang-kadang sulit untuk mendapatkan produk yang komposisinya homogen
dengan teknik keramik bahkan ketika reaksi berlangsung hampir selesai. Terlepas
dari keterbatasan tersebut, teknik keramik telah berhasil digunakan untuk sintesis
berbagai bahan padat.
Metode keramik terdiri dari pemanasan bersama dua padatan yang bereaksi
membentuk produk yang diinginkan. Metode ini digunakan secara luas pada
industri dan laboratorium. Metode keramik pertama kali digunakan dalam
mensintesis material bersifat semikonduktor. Pemilihan metode keramik
dikarenakan proses yang dilakukan mudah dan produk yang dihasilkan lebih murni
dibandingkan metode lainnya.
Salah satu contoh penggunaan metode keramik adalah pada proses sintesis
keramik samarium sulfide (SmS). Samarium sulfide (SmS) merupakan material
yang penting karena mengandung samarium yang merupakan unsur lantanida
dalam keadaan oksidasi yang tidak biasa (+2) dibandingkan keadaan umum (+3).
Logam samarium dalam bentuk serbuk dicampur dengan serbuk sulfur dan
dipanaskan sekitar 1000 K dalam tabung silica terevaluasi. Produk dari pemanasan
pertama dihomogenasi dan dipanaskan pada 2300 K di dalam tabung tantalum
tertutup dengan melewatkan arus listrik sepanjang tabung.
Produksi butiran kermaik bermutu tinggi untuk keramik berteknologi tinggi
menjadi isu yang sangat urgent dalam industri keramik. Secara khusus,
pengembangan butiran keramik harus dengan sifat yang unik dan sangat baik
menjadi ketertarikan yang besar. Ini disebabkan oleh keuntungan teknis dan
ekonomis yang dapat dicaai melalui penggunaan material baru ini di berbagai
aplikasi, bervariasi dari mesin diesel yang ditingkatkan dengan komponenen
keramik, mesin turbin gas untuk penyuplai tenaga otomotif, bahan elektronik dan
amterial magnetik, fiber optik dan superkonduktor keramik lainnya
Preparasi produk keramik baisanya menyertakan proses pemanasan dari
butiran keramik yang melalui penanganan yang spesial untuk mengontrol
kemurnian, ukruan partikel, distribusi ukuran partikel dan kehomogenitasnya.
Faktor ini berperan penting dalam sifat dari keramiknya. Secara prinsipnya,
memungkinkan untuk membedakan keramik yang dibuat dari material yang secara
alami diambil dari prekursor yang telah dipreparasi secara sintetis. Walau
kebanyakan keramik oksida biner seperti alumina atau silika dapat diproses dari
sumber alaminya, rute sintesis kompleks harus dilakukan untuk menghasilkan
keramik non oksida dan keramik yang kompleks seperti superkonduktor suhu
tinggi. Kedua material alami dan sintetis harus dikontrol seperti komposisi
kimianya, kehomogenannya, bentuk spesifik, ukuran partikel dan distribusi ukuran
partikel.
Ada dua pendekatan utama untuk mensintesis butiran keramik. Yaitu metode
mekanikal dan metode kimiawi, metode mekanikal biasanya terbagi dua:
(a) Porses oksida campuran / proses reaksi solid state: ini meruapkan proses yang
oaling banyak digunakan karena cocok untuk produksi masal dan butiran yang
dihasilkan cukup murah. Butiran sangat halus berkemurnian tinggi dapat disintesisi
melalui reaksi fasa gas
(b) Sintesis fasa likudi atau ballmilling bernergi tinggi: Metode ini sangat
berguna untuk menghasilkan butiran keramik halus yang homogen dan melibatkan
metode kopresipitasi dan sintesis hidrotermal
Beberapa hal penting mengenai proses reaksi solid state :
 Padatan tidak bereaksi dengan padatan pada suhu kamar
 Suhu tinggi harus dilakukan
 Reaksi langsung antar padatan dilakukan untuk membentuk produk
 Reaksi antar padatan mudah untuk dilakukan
 Prekursornya mudah didapat pada harga yang murah
Semua produk keramik dibuat dengan mencampurkan berbagai kuantitas
bahan baku, membentuknya lalu memanaskan sampai suhu pembakaran. Suhu ini
mungkin hanya 700oC untuk beberapa glasir luar, tetapi banyak pula vitrifikasi
yang dilakukan pada suhu 2000oC. Pada suhu vitrifikasi terjadi sejumlah reaksi,
yang merupakan dasar kimia bagi konversi kimia:
1. Dehidrasi atau “penguapan air kimia” pada suhu 150-650oC
2. Kalsinasi, misal CaCO3 pada suhu 600-900oC.
3. Oksidasi besi fero dan bahan organic pada suhu 350-900oC.
4. Pembentukan silica pada suhu 9000C lebih.
Kelebihan metode keramik, antara lain :
1. Reaktan berupa material padatan
2. Tingkat keberhasilan sintesis tinggi
3. Kemurnian produk yang didapatkan tinggi
4. Pengerjaan tahapan sintesis mudah

Metode keramik memiliki beberapa kelemahan (Trisunaryanti, 2006) yaitu:


1. Membutuhkan temperatur tinggi (energi tinggi).
2. Fasa atau senyawa yang diinginkan kadang tidak stabil atau terdekomposisi
pada temperatur tinggi.
3. Lambatnya reaksi padatan. Padatan tidak mencapai titik leburnya dan reaksi
terjadi dalam keadaan padat.
4. Reaksi keadaan padatan hanya terjadi pada interface (antarmuka) dari dua
padatan dan satu kali lapisan permukaan bereaksi, reaksi hanya dapat
diteruskan jika reaktan terdifusi dari badan (bulk) ke permukaan. Sebaiknya
material awal digerus dan dihaluskan untuk mendapatkan partikel dengan
ukuran kecil, dan dapat bercampur dengan baik untuk memaksimalkan luas
kontak permukaan dan meminimalkan jarak difusi reaktan.
5. Waktu reaksi sangat panjang. Contoh untuk pembentukan CuFe2O4
membutuhkan waktu 23 jam.
6. Produk tidak homogen dalam komposisi

2.8 Sifat dan aplikasi keramik modern

Sifat Aplikasi (contoh)

Panas Lapisan bersuhu tinggi untuk insulasi (serat oksida,


Insulasi seperti silika, alumina, dan zirconia)
Refractoriness Lapisan bersuhu tinggi untuk insulasi dan
Konduktifitas panas mengandung logam dan perak
Penghantar panas untuk keperluan pengepakan
elektronik (AlN)
Elektrik dan dielektrik Elemen pemanas (SiC, ZrO2, MoSi2)
Konduktifitas Kapasitor (material mengandung Ba-titanate)
Ferroelektrisitas Insulasi keramik (porselen, steatit, forsterit)
Insulasi tegangan rendah Substrate untuk pengepakan elektronik dan insulasi
Insulasi pada aplikasi elektronik elektrik umumnya (Al2O3, AlN)
Insulasi pada lingkungan Busi (Al2O3)
Ion konduktor Sensor, sel bahan bakar, dan elektrolit padat (ZrO2, β-
Semikonduktor alumina, dll)
Karakteristik I-Vnonlinear Thermistor dan elemen pemanas (Oksida Fe, Co, Mn0
Konduktifitas gas sensitive Pelindung gelombanga rus (Bi-doped ZnO, SiC)
Sensor gas (SnO2, ZnO)

Kemagnetan dan Ferrite magnet [(Ba, Sr)O . 6FeO3]


superkoduktif Perubahan inti [(Zn, M)Fe2O3, dengan M=Mn, Co,
Magnet kuat Mg], pita magnetik (rare-earth gamets)
Magnet lemah Kawat dan magnetometer SQUID (YBa2Cu3O7)
Superkonduktifitas

Optik Jendela (kaca soda-kapur), kabel untuk hubungan


Transparan optik (silica murni)
Transluensi dan keaktifan zat Material panas dan anti karat, biasanya untuk lampu
kimia Na (Al2O3, MgO)
Kenonlinearan Perlengkapan dalam perhitungan optik (LiNbO3)
Kejernihan IR Jendela laser infra merah (CaF2, SrF3, NaCl)

Aplikasi nuklir Bahan bakar nuklir (UO3, UC), fuel cladding (C, SiC),
Pemecahan (Fission) moderator netron (C, BeO)
Peleburan (Fusion) Material turunan tritium (Zirconates dan silika Li,
Li2O), peleburan lapisan reaktor (C, SiC, Si3N4, B4C)

Sifat kimia Saringan (zeolites), pembersihan alat pembuangan


Katalis gas
Anti karat Pertukaran panas (SiC), proses kimia dalam
Biocompatibility perkaratan
Tiruan joint prostheses (Al2O3)

Mekanik Peralatan pemotongan (SiC whisker- reinforced


Kekerasan (Hardness) Al2O3, Si3N4)
Retensi kekuatan pada suhu Stator dan turbine blades, mesin keramik (Si3N4)
tinggi Bearings (Si3N4)
Wear resistance
2.9 Alloy (Campuran Logam)
Alloy merupakan campuran dari beberapa logam atau campuran logam dengan
unsur lainnya. Alloy memiliki karakter yaitu atom-atom didalamnya berikatan
melalui ikatan logam. Alloy biasanya dibua t untuk menciptakan material dengan
gabungan sifat komponen prekursornya seperti ketahanan terhadap korosi,
kekuatan mekanikal, dan lainnya. Alloy berbeda dengan logam yang tidak murni
dimana impuritas dari alloy biasanya dipertahankan pada suatu komposisi tertentu
agar tetap memberikan keuntungan pada materialnya sedangkan logam yang tidak
murni biasanya memiliki komposisi impuritas yang tidak diharapkan. Campuran
dari alloy selalu terdiri atas komponen unsur logam yang lebih besar komposisinya
dibandingkan substituen lainnya. Perbedaan antara alloy dan keramik biasanya
terdapat pada ikatannya, bila Alloy terbentuk melalui ikatan logam, keramik terbuat
dari atom-atom yang berikatan ionik.
Salah satu alloy yang pertama kali dikembangkan pada zaman dahulu
berupa perunggu, dimana diketahui sifat perunggu sangat berbeda dibandingkan
dengan sifat asli dari logam penyusun alloy tersebut yaitu tembaga dan seng.
Penemuan sifat baru alloy perunggu ini menjadi awala dari perkembangan
penemuan jenis alloy terbaru dikarenakan memiliki sifat yang lebih baik.
Selanjutnya berkembanngya alloy dari aluminium dan titanium yang sampai saat
ini diketahui sangat besar dalam aplikasi modern. Dan saat ini alloy menjadi
material anoranik yang sangat penting dalam aplikasi militer.
Sintesis material alloy sangat penting dikembangkan, dimana diketahui
jumlah komposisi logam penyusun alloy sangat mempengaruhi terhadap modifikasi
sifat alloy tersebut. Henry Ford meneliti oenambahan komposisi logam vanadium
sebesar 1% pada baja akan mengahasilkan sifat baja yang emapt kali lebih kuat.
Stailess steel juga merupakan jenis material alloy yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, pembentukan stainless steel dengan panmbahan logam
kromium dan nikel akan melindungi baja dari oksidasi, sehingga sangat aman untuk
digunakan pada makanan dan alat kesehatan.
Beberapa contoh alloy berdasarkan logam penyusunnya:
Baja : campuran besi dan karbon
Perunggu : campuran tembaga dan seng
Aluminium : campuran alumium dengan litium, magnesium, tembaga
Titanium : campuran titanium dengan aluminium dan magensium
Emas : campuran emas dengan perak

2.10 Teknik Mechanical Alloying


Teknik sintesis campuran logam (Alloy) telah banyak dilaporkan oleh
peneliti. Pembentukan alloy dimulai dengan pencampuran 2 atau lebih serbuk dasar
(logam) yang menghasilkan material serbuk baru berupa paduan logam yang
homogen. Teknik sintesis ini biasanya juga disertai dengan proses solid state
reaction. Teknik mekanikal alloying dikembangkan pada tahun 1970-an. Biasanya
teknik ini disebut juga dengan tekik kering yang tidak menggunakan pelarut dan
melalui proses pencampuran dengan ball milling untuk menghasilkan campuran
logam yang terkontrol dan memiliki mikrostruktur yang sangat halus. Metode
mekanikal alloying umumnya menggabungkan metode solid state (pemanasan pada
suhu tinggi) dengan metode mekanikal (penggilingan dengan tekanan) dari
percampuran beberapa logam dengan memanfaatkan proses deformasi untuk
membentuk suatu paduan dimana proses percampuran serbuk berupa proses
penghancuran partikel serbuk pada energi tinggi ball mill yang dihasilkan dari
tumbukan dari bola-bola zirkonia. Proses sebenarnya dari mekanikal alloying (MA)
adalah mencammpurkan serbuk dan medium gerinda. Campuran ini kemudian
dimilling beberapa lama sehingga keadaan tetap dari serbuk tercapai dimana
komposisi serbuk semuanya sama seperti ukuran elemen-elemen pada awal
pencampuran serbuk. Bagian-bagian terpenting dari proses mekanikal alloying
adalah bahan baku, tipe milling dan variabel proses milling.
Awalnya metode ini dikembangkan utnuk menghasilkan alloy yang tahan
suhu tinggi, dengan mencampur metode dispersi oksida dan penguatan senyawa
antar logam. Dalam proses ini terlibat 2 proses spontan, yaitu pengelasan dingin
antar bubuk prekursor dan penghalusan bubuk. Maka dari itu prekeursor yang
digunakan paling tidak memasukkan satu logam yang cukup ulet untuk bertindak
sebagai komponen induk atau komponen pengikat untuk menahan seluruh
prekursor lainnya. Butiran terdeformasi secara plastik dibawah kolisi energi tinggi
antara bola dan dinding kontainer. Dengan permukaan yang bersih, butiran dilas ke
antarbutiran untuk membentuk partikel baru dengan komposisi yang berbeda.
Pengelasan dan proses pengahlusan diulang sampai butiran alloy terbentuk. Dapat
dilihat bahwa, untuk memastikan keberlangsungan mechanical alloying,
pengelasan dingin dari butiran sangatlah penting. Mampunya butiran dilas
bergantung kepada sistem amterialnya, energi tumbukan bola dan suhu
penumbukan. Menurut prinsip pengelasan dingin, Deformasi yang lebih besar
mengakibatkan kekuatan pengikatan yang makin besar.
Ditahun-tahun belakangan ini, ketertarikan yang meningkat telah ditujukan
pada pengembangan alloy baruy yang berbasiskan teknik MA. Beberapa model,
berdasarkann dinamika alir dan matematika, telah menunjukkan proses fisika dari
MA. Studi terbaru mencoba untuk menggunakan teori cold welding dan model yang
simpel untuk mensimulasikan kondisi yang penting untuk aplikasi MA
menggunakan ball mill horizontal.

Gambar 1 . Proses pencampuran campuran logam

Pada proses MA butiran (reaktan) dimasukkan kedalam kontainer ball mill


dan ditumbukkan menggunakan bola yang bergerak dengan energi tinggi. Proses
ini dapat dilakukan menggunakan attritor, SPEX shaker mill, planetary mill atau
ball mill horizontal. Mill amnapun yang akan digunakan, prinsipnya tetaplah sama.
Karena butiran dilas dingin dan dihaluskan menggunakan metode MA, sangat
penting utnuk menetapkan keseimbangan antara cold welding dan penghalusan
untuk menjalankan metode MA dengan tepat.Kemampuan untuk cold welding dan
penghalusan butiran bergantung pada sistem alloy dan kondisi milling. Material
halus biasanya dapat diwelding namun juga memiliki kektangguhan yang tinggi
sehingga sulit untuk dipatahkan. Proses MA ini memasukkan pengelasan butiran,
penghancuran struktur berlapis dan pembentukan alloy .

Gambar 2. Perubahan mikrostruktur partikel selama proses mechanical alloying.

Gambar 1 mengilustrasikan berbagai tahap dari proses MA, yang mana dari ilustrasi
nampak jelas bahwa kondisi esensial dari MA adalah cold welding, yang mana
mengikat berbagai mcama material bersama dan mengaktifkan proses difusi yang
akan terjadi pada tahap berikutnya dari MA. Pada tahap intermediet dari proses,
buitran yang dilas terdeformasi secara plastik, butiran yang dilas terdeformasi
secara plastik untuk menghasilkan struktur yang laminar. Steelah itu, pelarutan dari
zat yang dilarutkan dan pembentukan area larutan padat pada matrik butiran
difasilitasi dengan pemanasan kecil akibat kolisi, cacat kisi dan kjarak difusi yang
pendek. Deformasi juga menciptakan densiti cacat yang tinggi, pengurangan jarak
difusi dan peningkatan suhu buitran, yang nantinya meningktakan laju difusi.
Butiran selanjutnya direfine saat penghalusan dan cold welding dilakukan sampai
pada akhirnya produk butiran alloy terbentuk.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan sintesis alloy dengan metode
mekanikal alloying :
 Tipe mesing milling
 kecepatan dan waktu milling
 vial atau grinding vessel
 rasio bahan terhadap ball mill
BAB III
METODE KARAKTERIASI ANORGANIK

Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik dan kimia
material sebagai fungsi dari suhu. Pada prakteknya, istilah analisa termal seringkali
digunakan untuk sifat-sifat spesifik tertentu. Misalnya entalpi, kapasitas panas,
masa dan koefisien ekspansi termal. Pengukuran koefisien ekspansi termal dari
batangan logam merupakan contoh sederhana dari analisa termal. Contoh lainnya
adalah pengukuran perubahan berat dari garam-garam oksi dan hidrat pada saat
mengalami dekomposisi akibat pemanasan. Dengan menggunakan peralatan
modern, sejumlah besar material dapat dipelajari dengan metode ini. Penggunaan
analisa termal pada ilmu mengenai zat padat telah demikian luas dan bervariasi,
mencakup studi reaksi keadaan padat, dekomposisi termal dan transisi fasa dan
penentuan diagram fasa. Kebanyakan padatan bersifat ‘aktif secara termal’ dan sifat
ini menjadi dasar analisa zat padat menggunakan analisa termal.
Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik
(TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari
suhu maupun waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur
perbedaan suhu, T, antara sampel dengan material referen yang inert sebagai fungsi
dari suhu. Teknik yang berhubungan dengan DTA adalah diferential scanning
calorimetry (DSC). Pada DSC, peralatan didisain untuk memungkinkan
pengukuran kuantitatif perubahan entalpi yang timbul dalam sampel sebagai fungsi
dari suhu maupun waktu. Analisa termal lainnya adalah dilatometry, dimana
perubahan dari dimensi linier suatu sampel sebagai fungsi suhu direkam.
Dengan peralatan analisa termal yang modern dan otomatik, dimungkinkan
untuk karakterisasi material dengan TGA, DTA dan DSC menggunakan alat yang
sama; dengan beberapa model yang memungkinkan pengukuran TGA dan DTA
secara simultan. Peralatan analisa termal agak rumit dan mahal, karena berbagai
peristiwa termal dan sifat-sifat fisik dapat dipelajari secara cepat, sensitif dan
akurat. Namun demikian, prinsip dasar operasi peralatan ini sebenarnya cukup
sederhana. Pada bab ini, prinsip dasar TGA, DTA, dan DSC dijabarkan berikut
aplikasinya; sedangkan deskripsi eksperimentalnya dihilangkan kuantitatif dari
perubahan komposisinya, dll. Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf,
merupakan harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan,
sifat dari padatan (ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini
dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2 untuk
dekomposisi CaCO3; pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~ 500oC,
namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung
hingga suhu di atas 900oC. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang sangat
bergantung pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu
dekomposisi pada equilibrium.
TGA merupakan penentuan kuantatif perubahan berat sampel dengan perubahan
temparatur ataupun waktu. Sehingga karakterisasi dengan TGA dapat dihubungkan
dengan analisis kandungan dari material dengan melihat senyawa yang
terdekomposisi pada suhu tertentu berdasarkan titik lelehnya/ uapnya.

Gambar 3. Skema kerja TGA


Pada suhu tertentu senyawa penyusun material akan mengalami dekomposisi
berdasarkan suhu lelehnya/uapnya, dimana perubahan dekomposisi ini akan
mengubah massa yang menunjukan senyawa spesifik pada suhu tersebut.
Prinsip dasar dari pengukuran termal TGA :
• Mengukur kecepatan rata rata perubahan massa suatu bahan atau cuplikan
sebagai fungsi dari waktu atau temperatur pada atmosfer yang terkontrol
• Metoda ini dapat mengkarakterisasi suatu bahan atau cuplikan yang dilihat
dari kehilangan massa atau terjadinya dekomposisi, oksidasi atau dehidrasi
Gambar 4. Skema termogram bagi reaksi dekomposisi satu tahap

Gambar 5. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda


Beberapa aplikasi dari metode termal TGA antara lain :
1. Menentukan kelembaban, kandungan solvent atau filler.
2. Mengetahui peristiwa reduksi atau oksidasi.
3. Analisa kinetika
4. Analisa dan karakterisasi bahan baku penyusun material

Differential Thermal Analysis (DTA) dan Differential Scanning Calorimetry


(DSC)
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sample dibandingkan
dengan material referen inert selama perubahan suhu terprogram. Suhu sample dan
referen akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya
beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur
kristal pada sample, suhu dari sample dapat berada di bawah (apabila perubahannya
bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat eksotermik) suhu
referen. Alasan penggunaan sample dan referen secara bersamaan diperlihatkan
pada Gambar 6. Pada Gambar (a) sampel mengalami pemanasan pada laju konstan
dan suhunya, Ts dimonitor secara kontinu menggunakan termokopel. Suhu dari
sample sebagai fungsi dari waktu diperlihatkan pada Gambar 6 (b); plotnya berupa
suatu garis linear hingga suatu peristiwa endotermik terjadi pada sampel, misalnya
titik leleh Tc. Suhu sample konstan pada Tc sampai peristiwa pelehan berlangsung
sempurna; kemudian suhunya meningkat dengan tajam untuk menyesuaikan
dengan suhu program. Peristiwa termal pada sample yang berlangsung pada Tc
teramati sebagai deviasi yang agak luas dari slop baseline (b). Plot seperti ini tidak
sensitif pada efek pemanasan yang kecil karena waktu yang diperlukan bagi proses
sejenis ini bisa sangat singkat dan menghasilkan deviasi yang juga kecil. Lebih jauh
lagi, beragam variasi tidak diharapkan dari baseline, yang bisa disebabkan oleh
fluktuasi laju pemanasan, akan menyerupai peristiwa termal. Karena
ketidaksensitivannya, teknik ini memiliki aplikasi yang terbatas; penggunaan utama
pada awalnya adalah pada ‘metode kurva pendinginan’ yang digunakan pada
penentuan diagram fasa; dimana suhu sample direkam pada proses pendinginan dan
bukan pemanasan, karena efek panas yang diasosiasikan dengan solidifikasi dan
kristalisasi biasanya cukup besar sehingga dapat dideteksi dengan metode ini.

Gambar6. Metode DTA. Grafik (b) hasil dari set-up yang diperlihatkan pada (a)
dan grafik (d), jejak DTA yang umum, hasil dari pengaturan yang diperlihatkan
pada (c)

Pada Gambar 6 (c) diperlihatkan pengaturan yang dugunakan pada DTA. Sampel
dan referen ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang dipanaskan
ataupun didinginkan pada laju konstan; termokopel identik ditempatkan pada
keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada pada suhu yang
sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama dengan nol. Pada saat
suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan suhu, ΔT, timbul antara
keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan dari kedua termokopel.
Termokopel ketiga (tidak diperlihatkan pada gambar) digunakan untuk memonitor
suhu heating block dan hasilnya diperlihatkan sebagai ΔT versus suhu (Gambar 6d).
Baseline horizontal, menunjukkan ΔT=0, sedangkan penyimpangan dari baseline
akan berupa puncak yang tajam sebagai akibat dari berlangsungnya peristiwa
termal pada sampel. Suhu puncak yang muncul dapat ditentukan dari suhu dimana
deviasi mulai timbul, T1,ataupun pada suhu puncak, T2. Penggunaan T1 mungkin
saja lebih tepat, namun seringkali kurang jelas kapan puncak bermula, dan
karenanya lebih umum digunakan T2. Ukuran dari puncak dapat diperbesar
sehingga peristiwa termal dengan perubahan entalpi yang kecil dapat terdeteksi.
Gambar 6(d) sangat mudah diolah, sehingga cara ini digunakan sebagai cara yang
lebih sensitif dan akurat untuk memperoleh data dibandingkan Gambar 6 (b) dan
dipakai pada metode umum mempresentasikan hasil DTA. Instrumen DTA
komersial dapat digunakan pada range suhu -190 sampai 16000C. Ukuran sampel
biasanya kecil, beberapa miligram, sehingga mengurangi pemunculan masalah
akibat gradien termal dalam sampel yang dapat mengurangi sensitivitas dan akurasi.
Laju pemanasan dan pendinginan biasanya berada pada range 1 sampai 500C /
menit. Pada penggunaan laju yang lebih lambat, sensitivitas akan berkurang karena
ΔT bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju
pemanasan. Sel DTA biasanya didisain untuk memaksimumkan sensitivitasnya
terhadap perubahan termal, namun hal ini sering berakibat pada kehilangan respon
kalorimetrik; sehingga tinggi puncak hanya berhubungan dengan besar perubahan
entalpi secara kualitatif saja. Dimungkinkan untuk mengkalibrasi peralatan DTA
sehingga harga entalpi yang kuantitatif dapat diperoleh, namun kalibrasi ini cukup
rumit. Apabila diperlukan data kalorimetrik, maka lebih mudah untuk memakai
DSC sebagai komplementer. DSC mirip dengan DTA. Sampel dan referen inert
juga digunakan pada DSC namun sel-nya didisain secara berbeda. Pada beberapa
sel DSC, sampel dan referen dipertahankan pada suhu sama selama program
pemanasan. Dalam hal ini, input panas ekstra ke sampel (atau ke referen bila sampel
mengalami perubahan eksotermik) yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan,
akan diukur. Pada sel DSC lain, perubahan suhu antara sampel dan referen diukur,
seperti halnya DTA, namun dengan pengaturan tertentu pada desain sel, respon
yang dihasilkan adalah kalorimetrik.

Gambar 7. Skema Pengukuran DTA

Aplikasi DTA (DSC) dan TGA


Penggunaan analisa termal pada ilmu keadaan padat sangat banyak dan bervariasi.
Secara umum DTA lebih bermanfaat dibandingkan TGA; TGA mendeteksi efek
yang melibatkan hanya perubahan massa saja. DTA juga dapat mendeteksi efek ini,
namun juga dapat mendeteksi efek lainnya seperti transisi polymorfik, yang tidak
melibatkan perubahan berat. DTA dapat diklasifikasikan menjadi beragam proses
yang melibatkan berat ataupun yang tidak melibatkan berat.

Gambar 8. Kurva TGA dan DTA untuk mineral kaolin. Kurva bervariasi
bergantung pada struktur sampel dan komposisi, misalnya kehilangan massa pada
TGA dan diasosiasikan dengan endoterm pada DTA yang dapat muncul dimana
saja pada range 450 hingga 750oC
Contohnya pada dekomposisi kaolin, Al4(Si4O10)(OH)8 (Gambar 4). Menggunakan
TGA, perubahan berat yang terjadi pada suhu ~500 sampai 600oC, yang
berhubungan dengan dehidrasi sampel; juga ditunjukkan pada DTA sebagai proses
endoterm. Efek kedua terdeteksi pada DTA terjadi pada 950 hingga 980oC, yang
tidak memiliki padanan pada jejak TGA; berhubungan dengan reaksi rekristalisasi
pada kaolin terdehidrasi. Proses ke dua ini bersifat eksotermik, yang mana tidak
biasa terjadi; menunjukkan bahwa struktur yang diadopsi antara ~ 600 dan 950oC
bersifat metastabil dan proses eksoterm DTA menandakan penurunan entalpi
sampel yang mengindikasikan perubahan ke struktur yang lebih stabil. Informasi
detil mengenai perubahan struktur yang terjadi pada transisi ini masih belum
sepenuhnya terpecahkan.
Plot lainnya yang juga bermanfaat adalah mengikuti perubahan termal pada
pendinginan dan pemanasan. Pada penggunaan keduanya, pemisahan antara proses-
proses reversibel, seperti pelelehan/pemadatan, dan proses-proses irreversibel,
seperti reaksi-reaksi dekomposisi, dimungkinkan. Sekuen skematik DTA yang
mengilustrasikan perubahan reversibel dan irreversibel diperlihatkan pada Gambar
9.

Gambar 9. Skema perubahan reversibel dan irreversible

Dimulai dengan material terhidrasi, dehidrasi menjadi proses pertama yang


terjadi pada pemanasan dan ditunjukkan oleh suatu endoterm. Material terdehidrasi
mengalami transisi polimorfik, yang juga endoterm, pada suhu yang lebih tinggi.
Akhirnya, sampel meleleh, memberikan endoterm ketiga. Pada pendinginan,
lelehan mengkristal, seperti yang ditunjukkan pada puncak eksotermik, dan
perubahan polimorfik juga berlangsung, secara eksotermal, namun rehidrasi tidak
terjadi. Diagram memperlihatkan dua proses reversibel dan satu proses irreversibel.
Harus menjadi catatan penting bahwa, bagi proses sejenis ini, bila pada pemanasan
adalah endotermik, maka pada proses kebalikannya, yaitu pendinginan, haruslah
eksotermik.

Gambar10. Skema Kurva DTA memperlihatkan pelelehan kristal akibat pemanasan


dan hysteresis yang besar pada pendinginan, yang menghasilkan pembentukan
gelas.
Pada studi proses-proses reversibel, yang diobservasi saat pemanasan dan
pendinginan sampel, sangat umum untuk mengamati hysteresis; misalnya,
eksoterm yang tampak pada pendinginan dapat berbeda posisi sehingga muncul
pada suhu lebih rendah dari endoterm yang berhubungan yang muncul pada
pemanasan. Idealnya, kedua proses ini seharusnya muncul pada suhu yang sama
namun hysteresis berkisar antara beberapa derajat hingga beberapa ratus derajat,
umum terjadi. Perubahan reversibel yang ditunjukkan pada Gambar 9
memperlihatkan hysteresis yang rendah namun teramati dengan jelas. Hysteresis
tidak saja bergantung pada sifat material dan perubahan struktur yang terlibat –
transisi sulit yang melibatkan pemutusan ikatan kuat berpotensi untuk
menghasilkan banyak hysteresis -, tetapi juga bergantung pada kondisi-kondisi
eksperimen, seperti laju pemanasan dan pendinginan. Hysteresis terjadi khususnya
pada pendinginan dengan laju relatif cepat; di beberapa kasus, apabila laju
pendinginan cukup cepat, perubahan dapat tiadakan sepenuhnya. Perubahan ini
dapat secara efektif dikategorikan irreversibel pada kondisi eksperimen tertentu.
Sebagai contohnya, adalah pembentukan gelas, peristiwa yang amat penting pada
industri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10. Berawal dari senyawa kristalin,
silika, sebuah endoterm muncul saat senyawa meleleh. Pada pendinginan, cairan
tidak mengalami rekristalisasi namun menjadi supercooled; seiring dengan
menurunnya suhu maka viskositas cairan supercooled meningkat sampai akhirnya
menjadi gelas. Artinya, kristalisasi telah sepenuhnya dihilangkan; dengan kata lain,
hysteresis yang terjadi sangat besar sehingga kristalisasi tidak berlangsung. Pada
kasus SiO2, cairan sangat viscous bahkan di atas titik lelehnya ~ 1700OC,
kristalisasi sangat lambat, bahkan pada laju pendinginan kecil.
BAB IV
ANALISIS JURNAL
DAFTAR PUSTAKA

1. Smallman, R. E., Ngan, A. H. W., & Smallman, R. E. Physical metallurgy and


advanced materials. Amsterdam: Butterworth Heinemann. 2007

2. Wang, F. E. Bonding theory for metals and alloys. Amsterdam: Elsevier. 2005

3. Dickinson, O. T. P. K. (1994). The Aegean Bronze age. Cambridge world


archeology. Cambridge: Cambridge University Press.

4. H. K. D. H. Bhadeshia, Differential Scanning Calorimetry, Materials Science &


Metallurgy ,University of Cambridge.

5. Sandler, S.R., Karo, W. Polymer Synthesis and Characterization, Academic


Press. 1998

6. Skoog, Holler, and Crounch. Principle of Instrumental Analysis, Thomson


Higher Education, USA. 2007

7. Wismogroho, Agus Sukarto dan Wahyu Bambang Widayatno. Pengembangan


Alat Differential Thermal Analysis untuk Analisa Termal Material Ca(OH)2.
2012. Pusat Penelitian Fisika LIPI : Banten.

8. Suryanarayana,C. Mechanical alloying and milling. Progress in Materials


Science 46 : 2001, 1-184

9. Kimura, T : Molten Salt Synthesis Of Ceramic Powders, Japan, 2012, Keio


University.

10. Richardson JT : Principles of instrumental analysis 2nd edition. New York :


Pelenum Press : 1989, 80-105.

11. Ismunandar : Padatan Oksida Logam Struktur Sintesis dan Sifat-sifatnya 2006,
ITB, Bandung.

12. Sandra E Dann. Reaction and Characterization of Solid. United Kingdom,


Loughborough University. 2000, 76-80.

13. Hossein Raanaei, Sadeq Abbasi, Structural and Magnetic Evolution of


Nanostructured Co40Fe10Zr10B40 Prepared by Mechanical Alloying. Journal of
Magnetism and Magnetic Material 384. 2015. 175-180

Anda mungkin juga menyukai