Anda di halaman 1dari 2

Fadhila Iswi Deandra

165070307111017
PSIG

Body Positivity pada Obesitas: Positif atau Destruktif?

Obesitas sejatinya merupakan penyakit yang dicirikan sebagai timbunan lemak tubuh yang
berlebihan (Sandjaja dkk, 2010). Menurut cut off dari WHO (2000) dalam Handayani dkk (2015),
Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: 1) Pra-obesitas dengan IMT
23 – 24,9 kg/m2 2) Obesitas I dengan IMT 25 – 29,9 kg/m2 dan 3) Obesitas II dengan IMT 30
kg/m2 keatas. Umumnya, seseorang dengan obesitas memiliki bentuk tubuh yang cenderung lebih
besar daripada sebayanya.

Zaman sekarang, para remaja dengan aktif menggerakkan body positivity, dimana remaja didorong
untuk melakukan apa saja dengan tubuhnya dan tetap merasa percaya diri, baik dengan proporsi
tubuh yang ideal maupun tidak. Bahkan, model adibusana yang biasanya tampil dengan badan
yang sangat ramping sekarang mulai digantikan dengan model plus size, model dengan bentuk
tubuh yang cenderung gemuk. Timbulnya kelompok remaja yang mendorong gerakan body
positivity ini pada umumnya tidak terima apabila dinasehati untuk membuat tubuhnya lebih ideal
agar lebih sehat dan terhindar dari penyakit degeneratif, terlebih aksi tersebut dapat dikategorikan
sebagai body shaming. Body shaming merupakan tindakan yang mencerminkan pelecehan
terhadap fisik seseorang, khususnya bentuk badan,

Timbulnya percaya diri terhadap citra yang dimiliki terlepas dari bentuk tubuhnya memang bagus,
tapi apakah remaja-remaja tersebut tidak mengindahkan risiko dari obesitas?. Obesitas sendiri
apabila tidak ditangani dengan asuhan gizi yang tepat dapat meningkatkan risiko sindrom
metabolik dan penyakit degeneratif, seperti: hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus tipe 2,
penyakit jantung koroner atau PJK, gangguan pernapasan, ischemic stroke, kanker, gangguan
emosional, bahkan menyebabkan tingkat kematian (Mexitalia dkk, 2009; Wati dan Sumarmi,
2017). Sindrom metabolik adalah keadaan seorang individu yang memenuhi 3 atau lebih dari
faktor resiko sindrom metabolik, diantaranya obesitas abdomen (dilihat lewat lingkar pinggang),
trigliserida, kadar HDL, tekanan darah, kadar gula darah puasa (Kasiman, 2011).

Menurut penelitian yang dilakukan pada siswa Kelas VII SMP Domenico Savio Semarang yang
terdiri dari 82 laki-laki dan 34 perempuan dengan rincian status gizi 79 remaja obesitas dan 37
remaja normal, remaja obesitas memiliki komposisi tubuh yang lebih banyak daripada remaja
normal. Dari data yang ada didapatkan bahwa 31,6% remaja dengan status gizi obesitas memiliki
Fadhila Iswi Deandra
165070307111017
PSIG

3 atau lebih faktor risiko sindrom metabolik, bahkan 10,1% remaja dengan status gizi obesitas
memiliki 4 atau lebih dari faktor risiko sindrom metabolik. Sangat berbeda dengan mereka yang
memiliki status gizi normal, tidak ada yang memiliki lebih dari 3 atau lebih dari 4 faktor risiko
sindrom metabolik (Kasiman, 2011).

Berdasarkan penelitian terhadap obesitas dan sindrom metabolik dapat disimpulkan, bahwa
pervaya diri terhadap bentuk tubuh atau body positivity memang bagus, tapi ada baiknya kita
memperbaiki pola hidup dan asupan makanan kita agar terhindar dari obesitas serta risiko sindrom
metabolik dan penyakit-penyakit degeneratif yang mengikutinya. Ini bukan lagi soal bentuk tubuh,
tetapi soal status gizi yang dimiliki masing-masing individu agar individu tersebut memiliki derajat
kesehatan setinggi-tingginya dan senantiasa mendapatkan nikmat sehat dalam hidupnya.

Referensi

Handayani, D, dkk. 2015. Nutrition Care Process. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kasiman, S. 2011. Pengaruh Makanan terhadap Sindrom Metabolik. Jurnal Kardiologi Indonesia.
32: 24 – 26

Mexitalia, M, dkk. 2009. Sindroma Metabolik pada Remaja Obesitas. Media Medika Indonesiana.
43 (6): 300 – 307

Sandjaja, dkk. 2010. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Wati, DK dan Sumarmi, S. 2017. Citra Tubuh pada Remaja Perempuan Gemuk dan Tidak Gemuk:
Stud Cross-Sectional. Amerta Nutrition. Hal. 398 - 405

Anda mungkin juga menyukai