Anda di halaman 1dari 32

PROBLEM PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK

A. Pendahuluan.

1. Latar Belakang.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

(pilkada) serentak merupakan momentum penting perjalanan

demokrasi di tanah air. Demokrasi di tingkat lokal dalam satu

dekade yang terasa makin kapitalistik, emosional dan transaksional

menyandarkan kita akan pentingnya pelaksanaan demokrasi yang

lebih efisien, mengedepankan akal sehat, derajat kompetisi yang

seimbang tanpa mengurangi makna kedaulatan rakyat.

Smith dan Dahl (dalam Suara KPU, 2015), para pemerhati

demokrasi mengatakan tentang local accountability, political equity,

dan local responsiveness yang menjadi pertaruhan di setiap daerah.

Ketiganya menjadi tolok ukur untuk melihat sejauhmana

pemerintahan di daerah berjalan. Untuk memperkuat demokrasi

di tingkat lokal, pilkada serentak merupakan mekanisme untuk

melahirkan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan

akuntabilitas di daerahnya, kesetaraan hak warga dalam berpolitik

serta bagi penguatan demokrasi nasional.

Munculnya gagasan tentang pilkada serentak itu pada

dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk

1
memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Sebagaimana Robert

A. Dahl (dalam Kacung, 2007), disamping untuk menghindari

munculnya tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai

tujuan-tujuan lain, diantaranya adalah terwujudnya hak-hak

esensial individu, terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral

otonomi, terdapatnya kesempatan untuk menentukan posisi diri

individu, dan adanya kesejahteraan. Didalam konteks tersebut,

munculnya demokratisasi di daerah melalui pilkada serentak

diharapkan tidak hanya memiliki muara terdapatnya kebebasan

rakyat di daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri, juga

dapat melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah.

Proses pelaksanaan pilkada serentak di Indonesia,

berawal dari adanya penetapan peraturan pengganti perundang-

undangan, atau yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang kemudian menjadi

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi

Undang-undang.

Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah dan DPR

telah sepakat merevisi undang-undang tersebut, dan terbitlah

2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi

Undang-undang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai instansi yang

mengemban amanat melaksanakan undang-undang tersebut, telah

menyelesaikan tugas besar menggelar pemilihan kepala daerah

secara serentak di Indonesia pada tanggal 9 Desember 2015, yang

merupakan kali pertama dalam sejarah demokrasi pemilihan

kepala daerah di tanah air. Kekhawatiran dari berbagai kalangan

akan terjadinya kegaduhan yang luar biasa dalam penyelenggaraan

pilkada serentak di Indonesia tahun 2015 akhirnya tidak terbukti.

Dari gelombang pertama pelaksanaan Pilkada serentak

yang direncanakan KPU, ada 269 daerah terdiri dari 9 provinsi, 224

kabupaten dan 36 kota. Namun, yang terealisasi hanya 264 daerah

provinsi/kabupaten/kota. Lima daerah yang tertunda

melaksanakan Pilkada tersebut, akibat terbitnya putusan 3

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) di Indonesia, yaitu

PTTUN Medan untuk 1 perkara, PTTUN Jakarta untuk 1 perkara,

PTTU Makasar untuk 2 perkara dan Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) Medan untuk 1 perkara. Kelima daerah yang pilkadanya

3
ditunda adalah Kota Pemantang Siantar, Kabupaten Simalungun,

Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Manado, dan Kabupaten Fakfak.

Kemudian dari 269 daerah yang telah menggelar Pilkada

serentak pada 9 Desember 2015, tiga daerah yaitu Kabupaten

Tasikmalaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Timor Tengah

Utara, sempat mengalami penundaan yang karena hanya ada

calon tunggal. Namun kondisi menjadi berubah setelah adanya

putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan pemilihan

kepala daerah dengan calon tunggal.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut

diatas, terdapat beberapa poin perubahan maupun penekanan

kembali pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015,

diantaranya :

a. Penguatan pendelegasian tugas kepada KPU dan Bawaslu

sebagai penyelenggara pemilihan disertai adanya penguatan

bahwa kedua lembaga tersebut secara atributif diberikan tugas

oleh undang-undang ini, untuk menegaskan bahwa pemilihan

gubernur bupati dan wali kota adalah rezim pemerintah daerah

sebagaimana pasal 18 ayat 4 UUD 1945,

b. Syarat pendidikan kepala daerah/wakil kepala daerah seperti

dalam Perpu No 1 Tahun 2014 yaitu berpendidikan paling

rendah SLTA atau sederajat,

4
c. Syarat usia gubernur tetap seperti dalam Perpu No 1 Tahun

2014 yaitu berusia paling rendah 30 tahun dan bupati/wali kota

berusia paling rendah 25 tahun,

d. Tahapan uji publik dihapus, dengan alasan bahwa proses

tersebut menjadi domain atau kewajiban dari parpol dan

termasuk perseorangan yang harus melakukan proses

sosialisasi calon,

e. Syarat dukungan penduduk untuk calon perseorangan

dinaikkan 3,5% sehingga nantinya treshold perseorangan antara

6,5 % - 10%. Tergantung daerah dan jumlah penduduknya,

f. Pembiayaan pilkada dari Anggaran Pendapadan dan Belanja

Daerah (APBD) didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN),

g. Ambang batas kemenangan 0 (nol) %, yang berarti satu putaran,

dengan alasannya untuk efisiensi, baik waktu maupun

anggaran. Selain itu dengan syarat dukungan baik dari parpol

atau gabungan parpol dan calon perseorangan yang sudah

dinaikkan maka sesungguhnya para calon sudah memiliki dasar

legitimasi yang cukup, sehingga proses pemilihan menjadi

lebih sederhana,

5
h. Tentang sengketa hasil pemilihan disepakati bahwa sebelum

terbentuknya lembaga peradilan khusus yang menangani, maka

proses penyelesaiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

(MK),

i. Jadwal pilkada dilaksanakan dalam beberapa gelombang

sebagai berikut :

1) Gelombang pertama dilaksanakan Desember 2015 (untuk

yang akhir masa jabatan 2015 dan semester pertama tahun

2016),

2) Gelombang kedua dilaksanakan Februari 2017 (untuk yang

akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh

yang akhir masa jabatan 2017),

3) Gelombang ketiga dilaksanakan Juni 2018 (untuk yang akhir

masa jabatan tahun 2018 dan akhir masa jabatan 2019)

4) Serentak Nasional dilaksanakan tahun 2027,

j. Pengajuan pencalonan dilakukan secara berpasangan, yaitu

pasangan gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati

dan walikota/wakil wali kota secara paket dalam pemilihan

secara langsung oleh rakyat,

k. Tentang penjabat kepala daerah, disepakati bahwa akan diisi

oleh pejabat sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu bagi penjabat

6
gubernur oleh pejabat tinggi madya, dan untuk penjabat bupati

wali kota oleh pejabat tinggi pratama,

l. Tentang tambahan syarat calon kepala daerah yang terkait

syarat tidak pernah dipidana, disepakati bahwa rumusannya

disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana yang tercantum dalam rumusan perpu,

m. Tentang jumlah pasangan atau jumlah wakil kepala daerah

sangat terkait dengan apakah paket atau tidak paket, yaitu asal

disepakati pasangan calon dengan satu wakil kepala daerah.

Dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut

mengamanahkan proses keserentakan yang pertama

diselenggarakan pada bulan Desember 2015 dan Komisi

Pemilihan Umum melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal

Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati

dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota

menetapkan 9 Desember 2015 sebagai hari pemungutan dan

penghitungan suara pilkada serentak 2015.

Dengan pertimbangan memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya bagi warga negara untuk menggunakan hak

pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati

dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara

7
serentak, maka Pemerintah menetapkan hari pelaksanaan

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tanggal 9 Desember

2015 sebagai hari libur nasional, yang dituangkan dalam Keputusan

Presiden Nomor 25 Tahun 2015 tentang Hari Pemungutan Suara

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati

Serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2015 sebagai Hari Libur

Nasional.

2. Rumusan Masalah.

Walaupun penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

secara serentak di 264 daerah pada 9 Desember 2015 itu telah

berjalan dengan lancar dan damai dari sisi pemungutan suara.

Namun, pasca pemungutan dan penghitungan suara terjadi

beberapa permasalahan baik itu riak riak politik secara lokalistik di

beberapa daerah maupun permasalahan-permasalahan secara

umum yang perlu mendapat perhatian yang serius dari

pemerintah, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi masalah serupa

atau masalah baru pada periode pilkada serentak berikutnya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka rumusan masalah

yang dapat diketengahkan adalah bagaimana problem yang terjadi

pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015.

8
B. Analisis.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

Menjadi Undang-undang dijelaskan bahwa Pemilihan kepala daerah

adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan

kabupaten/kota, untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati

dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung

dan demokratis. Sehingga hakikat pilkada adalah mekanisme tertentu

yang digunakan untuk mengubah suara menjadi dukungan konkret

kepala daerah.

Memperhatikan rumusan masalah diatas, maka problem

pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak setidaknya

dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Masalah dalam implementasi peraturan pemilihan kepala

daerah.

Dalam pilkada serentak, setidaknya ada tiga problem

dalam mengimplementasikan peraturan pilkada, yaitu :

a. Skema atau format pemilihan kepala daerah.

9
Skema atau format pemilihan kepala daerah serentak

bukan hanya tidak menjanjikan melembaganya demokrasi

substansial yang terkonsolidasi, tetapi juga tidak

melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis.

Dimana format pilkada yang berlaku cenderung

melembagakan pemerintahan yang tidak terkoreksi dan yang

lebih kental lagi politik transaksional masih mewarnai relasi

kekuasaan.

Dengan menaikkan formula pencalonan kepala

daerah dari 15 % kursi atau 15 % perolehan suara menjadi 20 %

atau 25 % perolehan suara (pasal 40 Undang-undang Nomor 8

Tahun 2015), setidaknya memberikan gambaran bahwa politik

transaksional dalam pilkada serentak akan semakin kuat.

Bagi pasangan calon agar peluang memenangi

pilkada cukup besar, umumnya mereka diusulkan oleh

gabungan partai politik, atau koalisi partai politik, dan sangat

jarang sekali diusulkan hanya oleh 1 (satu) partai politik saja.

Sebelum koalisi partai politik dibangun, maka

transaksi-transaksi politik diantara mereka harus sudah

disepakati terlebih dahulu. Apabila transaksi politik tersebut

berorientasi materi (bukan berorientasi pada kepentigan

masyarakat daerah), bisa dipastikan akan berlanjut kepada

10
sistem pemerintahan yang cenderung korup. Kepala daerah

yang terpilih karena melalui proses transaksional, akan

memanfaatkan jabatannya untuk memenuhi kesepakatan

tersebut terlebih dahulu. Ketika kesepakatan tersebut untuk

membiayai proses pencalonan pilkada, maka pasangan terpilih

akan mengembalikan hutang materi yang telah mereka

keluarkannya untuk pilkada.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian

Dalam Negeri (Kemendagri) selama 2005-2014 terdapat 328

pejabat yang tersangkut kasus hukum dimana sekitar 80%

diantaranya harus masuk penjara lantaran kasus korupsi.

(Sindonews.com, 2014).

Setelah dilakukan kajian mendalam, terdapat korelasi

antara pemilihan kepala daerah langsung, perbuatan

melanggar hukum dengan persoalan korupsi yang dilakukan

para kepala daerah dan wakilnya. Faktor utama persoalan

tersebut, karena besarnya pengeluaran yang dilakukan para

kepala daerah dan wakilnya selama proses pencalonan

berlangsung.

Kemudian, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 pun

setidaknya telah memberikan celah terjadinya politik

transaksional, hal ini dapat dilihat dari :

11
1) Tidak adanya sanksi pidana bagi Pengurus Partai Politik

atau Gabungan Partai Politik dan setiap orang yang terlibat

di dalam jual beli dukungan Partai Politik. Memang pada

Pasal 47 Undang-undang No. 8 tahun 2015 menyebutkan

larangan untuk melakukan jual beli dukungan partai, tetapi

ancaman pidana tidak ada. Konsekuensinya muncul

fenomena partai politik tidak berani mengajukan

kandidatnya, karena transaksi politik berbasis uang bukan

karena ideologi dan program,

2) Tidak ada sanksi pidana untuk jual beli perahu partai,

diikuti juga dengan tidak adanya sanksi pidana terhadap

praktik jual beli suara atau lazim disebut politik uang.

Pasal 73 Undang-undang No. 8 tahun 2015 menyatakan

tentang larangan itu, tetapi sekali lagi tidak ada sanksi

pidana dan denda. Konsekuensinya, pelanggaran politik

uang tidak akan bisa dibawa ke ranah pengadilan, karena

tidak ada pasal ancaman hukuman. Tentunya pembatalan

pasangan calon atau calon tunggal tidak bisa diterapkan,

karena tidak ada putusan hukum yang berkekuatan tetap

(inkrah) terhadap pelaku uang.

Sampai saat ini memang pelaku politik transaksional

hasil pilkada serentak Tahun 2015 belum terungkap, tetapi

12
melihat pelaksanaan pilkada sebelumnya, sama-sama pilkada

secara langsung (walaupun tidak serentak) dan dengan

tertangkapnya seorang bupati hasil pilkada serentak 2015

terkait penyalahgunaan narkoba semakin memperkuat dugaan

kita bahwa politik transaksional masih melekat/ada dalam

pilkada 2015 khususnya.

Dalam kasus Bupati Ogan Ilir Provinsi Sumatera

Selatan (Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi), memang tertangkap

bukan karena politik transaksional, tetapi dengan melihat

rekam jejaknya :

- sebagai salah seorang anak muda, putra mantan Bupati

Ogan Ilir selama 2 (dua) periode, Ketua DPD Golkar Ogan

Ilir, H. Mawardi Yahya, (Tempo.co, 2016),

- diusung oleh banyak partai yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai

Hanura dan Partai Keadilan Sejahtera (Cnnindonesia, 2016),

- mempunyai kekayaan Rp. 20 Milyar (Detiknews, 2016),

- lolos tes kesehatan dalam pencalonan kepala daerah,

padahal yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium melalui urine, darah dan rambut oleh Badan

Narkotika Nasional positif mengkonsumsi narkoba, bahkan

sudah sangat lama, dan hasilnya sudah diatas ambang

maksimal (Detiknews, 2016).

13
Hal-hal tersebut semakin memperkuat dugaan kita bahwa

politik transaksional telah terjadi dalam pemilihan Ahmad

Wazir Nofiadi Mawardi sebagai Bupati Ogan Ilir Provinsi

Sumatera Selatan.

b. Kapabilitas dan akuntabilitas calon.

Format pilkada secara serentak juga tidak menjanjikan

tampilnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang

kapabel sekaligus akuntabel, dimana orientasi dan arah

kompetisi masih berputar pada upaya popularitas dan

elektabilitas.

Popularitas dan elektabilitas yang tinggi nampaknya

menjadi rumus umum untuk memenangi pemilihan kepala

daerah secara langsung dan serentak kali ini. Tanpa

memandang sisi kapabilitas dan akuntabilitas calon pasangan

tersebut, masyarakat kita lebih memilih calon yang dikenal,

disukai, public figure, gagah, berwibawa, ganteng/cantik, dan

lain sebagainya. Sehingga dalam beberapa kasus muncullah

beberapa orang yang menjadi calon kepala/wakil kepala

daerah, tanpa latar belakang pendidikan perpolitikan yang

jelas, ternyata sukses memenangi kompetisi pilkada serentak.

Memang setiap warga negara mempunyai hak untuk

dipilih dan memilih, sesuai peraturan perundang-undangan

14
yang berlaku dan menjadi bagian dari hak asasi bagi setiap

individu, sehingga menjadi sah-sah saja bagi siapa saja yang

terjun langsung dalam ranah perpolitikan di Indonesia.

Tentunya hal ini kembali kepada mereka sendiri para

calon kepala/wakil kepala daerah, mereka harus tahu diri,

harus berpikir mengenai kecakapan mereka, apakah mereka

mampu dalam memegang amanah besar sebagai pemimpin

daerah, tidak hanya mengikuti nafsu ingin berkuasa semata.

Juga kepada partai pengusung maupun koalisinya,

partai sebagai wahana untuk meraih kursi wakil rakyat

haruslah selektif dalam memilih siapa yang akan maju menjadi

wakil rakyat, jangan sampai jutaan rakyat Indonesia diwakili

orang yang unqualified, yang akan terjadi tentunya penderitaan

rakyat dan berbagai malapetaka lainnya.

Oleh karena itu partai tidak hanya mempertimbangkan

popularitas sosok yang mereka tunjuk sebagai kader untuk

melaju pada pilkada, tetapi tetap harus memperhatikan faktor

akuntabilitas dan kapabilitas calon tersebut.

Tentunya dalam contoh kasus, kita bisa melihat ada

seorang pimpinan daerah hasil pemilihan pilkada serentak

dimana faktor popularitas dan elektabilitas lebih dominan dari

akuntabilitas dan kapabilitasnya, yang ternyata belum bisa

15
menyesuaikan dengan kehidupan barunya di organisasi

pemerintahan daerah, mulai dari perilaku pada saat upacara di

lingkungan pemerintah (marah-marah pada saat upacara),

merokok pada saat acara resmi, maupun berpakaian yang tidak

lazim pada saat hari kerja.

c. Penetapan calon.

Penetapan calon dan mekanisme kandidat masih secara

oligarkis oleh ketua umum ataupun pimpinan parpol.

Didalam pemilihan kepala daerah, partai politik yang

seharusnya berperan sebagai agent acapkali menetapkan

pasangan calon itu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

para pengelola partai. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan

oleh partai bukan berasal dari tokoh yang selama ini dekat

dengan partainya, melainkan orang-orang yang mampu

membangun kedekatan dengan pimpinan partai serta

mempunyai posisi tawar yang jelas dengan pimpinan

partainya. Implikasinya, pasangan calon yang diputuskan oleh

partai politik tidak selalu berbanding lurus dengan apa

dikehendaki oleh konstituennya.

Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa

pasangan calon yang diajukan dalam pilkada serentak

umumnya sudah mendapat restu dari ketua umum atau

16
pimpinan parpol tersebut, sehingga tidak adanya kandidat

yang memenuhi syarat mewakili suara rakyat.

Hal ini disebabkan kurangnya kaderisasi dari partai politik itu

sendiri, sehingga calon yang diajukan kadang berasal dari luar

partai politik yang bersangkutan, asalkan sudah mendapat

ijin/restu dari pimpinan partainya, maka calon tersebutlah

yang diajukan dalam kompetisi pilkada tersebut.

2. Masalah dalam pelaksanaan pilkada.

Persoalan mendasar dalam pelaksanaan pemilihan kepala

daerah secara serentak pada tahun 2015 yang lalu, secara umum

dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) dua problem utama, yaitu :

a. Proses pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah.

Pada proses pencalonan kepala daerah/wakil kepala

daerah, masih ada residu atas tahapan pencalonan. Dimana

ada tiga daerah yang bermasalah karena hanya memiliki satu

pasangan calon, yakni Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa

Barat, Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur, dan Timor

Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun,

17
akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan legalitas kepada

pasangan calon tunggal untuk melaksanakan pilkada serentak

2015 dengan mengabulkan permohonan uji materi soal calon

tunggal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. MK

memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk

melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode

pertama pada Desember 2015 kepada Kabupaten Tasikmalaya

berdasarkan Putusan MK Nomor 100/PUU/VIII/2015,

Kabupaten Blitar dengan Putusan MK Nomor 100/PUU-

XIII/2015 dan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Putusan

MK Nomor 115/PUU-XIII/2015).

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai

bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai

pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah

secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan

kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasaan

tertinggi di tangan rakyat.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi menimbang

perumusan norma Undang-undang Nomor 8 tahun 2015, yang

mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak

memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum.

18
Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya

pilkada. Sehingga, syarat mengenai jumlah pasangan calon

berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk

memilih.

b. Anggaran penyelenggaraan pilkada.

Problem anggaran dalam penyelenggaraan pilkada

dapat terlihat dari :

1) Sikap Pemerintah dan DPR yang selalu berubah-ubah

dalam menentukan sumber pendanaan kegiatan Pilkada,

dimana dalam kurun waktu 6 (enam bulan), pengaturan

umum pendanaan pilkada mengalami perubahan-

perubahan selama proses pembentukan dan penetapan

undang-undang pilkada. Khusus pengaturan pendanaan

Pilkada Serentak 2015 yang dibebankan pada APBD secara

prinsip tidak berubah.

Dapat di jelaskan secara kronologis, sebagai berikut :

- Tanggal 30 September 2014, Undang-undang Nomor 22

Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota disahkan oleh Presiden, dimana dalam pasal 41

menyatakan bahwa ”pendanaan pemilihan kepala daerah

sepenuhnya dibebankan pada APBD “, tidak ada

dukungan dari APBN,

19
- Tanggal 2 Oktober 2014, Presiden SBY mengeluarkan

Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, Dan Walikota. Perpu ini mengubah pengaturan

pendanaan pemilihan kepala daerah yang semula

didanai oleh APBD menjadi ”...dibebankan pada APBN

dan dapat didukung melalui APBD” (Pasal 166). Namun

dalam ketentuan peralihan di Pasal 200 Ayat (1) secara

khusus dinyatakan bahwa “pendanaan kegiatan Pilkada

Serentak tahun 2015, dibebankan pada APBD”. Perpu ini

kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang

No 1 Tahun 2015 yang disahkan tanggal 2 Februari 2015,

- Tanggal 18 Maret 2015, Presiden mengesahkan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Norma pengaturan

pendanaan kegiatan pilkada kemudian berubah lagi

menjadi ”Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan

pada APBD dan dapat didukung oleh APBN sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

(Pasal 166 Ayat (1). Dan pasal 200 secara khusus

pengaturan pendanaan pilkada serentak tahun 2015 tetap

20
dibebankan pada APBD dalam 2 tahun anggaran (APBD

2015 dan APBD 2016).

2) Belum jelasnya bentuk kegiatan yang akan didukung oleh

APBN.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015, tidak

begitu jelas mengatur mengenai bentuk-bentuk kegiatan

yang akan dianggarkan melalui APBN dalam mendukung

pilkada, termasuk mekanisme pelaksanaan dan

pertanggungjawabannya. Sehingga perlu diperjelas melalui

peraturan pemerintah (PP) sebagaimana mandat Pasal 166

Ayat (2) dalam undang-undang tersebut. Tetapi sampai saat

ini, pemerintah belum juga menerbitkan peraturan

pemerintah tersebut.

3) Belum adanya pengaturan teknis pendanaan kegiatan

Pilkada melalui APBD yang menyesuaikan kebutuhan yang

diatur Undang-undang 8 tahun 2015.

Secara teknis, penyusunan anggaran kegiatan

Pilkada sebelumnya telah diatur dalam Permendagri 44

Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilu

Kepala Daerah, sebagaimana diubah dengan Permendagri

57 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Permendagri 44

Tahun 2007. Namun dengan adanya perubahan undang-

21
undang pilkada maka perlu penyesuaian yang mendasar

terkait item-item pendanaan baru yang dibiayai APBD,

seperti pelaksanaan kampanye kandidat melalui,

penyebaran bahan Kampanye kepada umum; pemasangan

alat peraga dan iklan media massa cetak dan media massa

elektronik dan lain-lain.

Hanya saja Presiden Joko Widodo (dalam Pikiran

Rakyat.com, 2015) mengatakan, dana pilkada serentak yang

mencapai Rp 7 triliun seluruhnya menjadi tanggungan

Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dari

masing daerah yang akan menyelenggarakan Pemilihan

Kepala Daerah (Pilkada) dan hanya biaya pengamanan dari

kepolisian saja yang sepenuhnya tidak bisa dibiayai oleh

APBD.

Karena belum adanya pengaturan teknis tersebut,

sehingga dalam beberapa kasus, menurut Forum Indonesia

untuk Transparansi Anggaran (Fitra) (Beritasatu.com, 2015),

mencatat 19 hari menjelang tahapan awal pilkada serentak,

sebanyak 64 persen dari 286 daerah yang akan mengikuti

pilkada serentak, yaitu 184 daerah belum mengesahkan

anggaran pilkada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) masing-masing.

22
Kemudian, sejumlah daerah juga diindikasikan

belum menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah

(NPHD) yang berguna untuk mencairkan anggaran

penyelenggaraan pilkada tersebut.

Selain hal tersebut, semangat efisiensi anggaran

untuk melakukan pilkada serentak tahun 2015 dirasakan

sudah tidak sesuai lagi, dimana banyak daerah yang

mengeluarkan dana dalam APBD yang begitu banyak untuk

pagelaran pilkada serentak, contoh kasus di Kabupaten

Rokan Hulu, sebelumnya hanya menganggarkan Rp 8

miliar, membengkak menjadi Rp 23 miliar, begitu juga di

Kabupaten Pelalawan dari Rp 11 miliar menjadi Rp 21

miliar (Tribunnews.com, 2015).

Dengan masuknya dana anggaran pilkada yang

berasal dari APBD melalui NPHD, merupakan konsekuensi

logis dari membengkaknya dana daerah yang dipakai untuk

pemilihan kepala daerah serentak.

Hal tersebut setidaknya berimplikasi pada

munculnya temuan BPKRI dalam audit penyelenggaraan

pilkada serentak (Tempo.co, 2015), yang menuntut peran

pemerintah dan DPR baik dalam perumusan undang-

23
undang maupun dalam kewenangan penambahan anggaran

pilkada serentak.

Berikut 10 (sepuluh) temuan BPKRI dalam audit

penyelenggaraan Pilkada serentak, yang diantaranya

menyangkut penganggaran pilkada serentak, sebagai

berikut :

a) Penyediaan anggaran Pilkada belum sesuai ketentuan,

b) Naskah Hibah Perjanjian Daerah untuk Pilkada di

beberapa daerah belum ditetapkan dan belum

sepenuhnya sesuai ketentuan,

c) Rencana penggunaan anggaran hibah Pilkada belum

sesuai ketentuan,

d) Rekening hibah Pilkada serentak 2015 pada KPU

Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta Bawaslu Provinsi,

Kabupaten, dan Kota belum sesuai ketentuan,

e) Perhitungan biaya pengamanan Pilkada serentak belum

dapat diyakini kebenarannya,

f) Bendahara, Pejabat Pembuat Komitmen, pejabat

pengadaan atau Pokja ULP, dan PPHP pada Sekretariat

KPU dan Bawaslu untuk penyelenggaraan Pilkada

sebagian besar belum bersertifikat dan belum ditetapkan

dengan surat keputusan,

24
g) Kesiapan pedoman pertanggungjawaban dan pelaporan

penggunaan dana hibah belum memadai,

h) Mahkamah Konstitusi belum menetapkan prosedur

operasional standar sebagai acuan dalam penyelesaian

perselisihan hasil Pilkada,

i) Tahapan persiapan Pilkada serentak belum sesuai

dengan jadwal dalam peraturan KPU Nomor 2 Tahun

2015,

j) Pembentukan panitia ad hoc tidak sesuai ketentuan.

C. Kesimpulan dan Saran.

1. Kesimpulan.

Proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara

serentak pada tahun 2015 telah dilaksanakan pada tanggal 9

Desember 2015, sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun

2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Berawal dari sebuah penetapan Peraturan Pengganti

Perundang-undangan yang dikenal dengan Perpu Nomor 1 Tahun

25
2014, kemudian menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015

Tentang Pemilihan (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota) dan direvisi

kembali sehingga terbit Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015.

Pentingnya pilkada serentak dimungkinkan untuk

mendapatkan kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan

akuntabilitas. Pilkada serentak dilakukan untuk menciptakan

stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal,

serta dengan pilkada serentak terbuka kemungkinan untuk

meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin

terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional

yang berasal dari bawah atau daerah. Selain itu, pilkada serentak

yang mulai bergulir diharapkan dapat terus memperkokoh upaya

mewujudkan good governance di tingkat lokal.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada tanggal 9

Desember 2015 itu telah berjalan dengan lancar dan damai dari sisi

pemungutan suara. Namun, pasca pemungutan dan

penghitungan suara berbagai problematika penyelenggaraan

pilkada serentak muncul di permukaan, baik itu sifatnya lokalistik

di beberapa daerah, maupun yang bersifat nasional/strategis yang

memerlukan penanganan yang lebih serius dari pemerintah,

26
problematika penyelenggaraan pilkada serentak itu sendiri secara

garis besar meliputi :

a. Skema atau format pemilihan kepala daerah yang masih

memberikan peluang terjadinya politik transaksional,

b. Kapabilitas dan akuntabilitas calon yang masih kalah oleh

faktor elektabilitas dan popularitas,

c. Penetapan calon dan mekanisme kandidat masih secara

oligarkis oleh ketua umum ataupun pimpinan parpol,

d. Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak,

yang tidak/belum diatur oleh undang-undang pilkada,

e. Fenomena anggaran penyelenggaraan pilkada serentak yang

belum didukung dengan pengaturan secara teknis penggunaan

anggaran pilkada, baik melalui APBD maupun APBN.

2. Saran.

Memperhatikan berbagai problematika dalam

penyelenggaraan pilkada serentak, sebagaimana tersebut diatas,

maka saran yang dapat diketengahkan adalah :

a. Perlunya revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, khususnya

27
pengaturan penetapan pasangan calon yang tidak

memberikan ruang terjadinya politik transaksional, politik

uang, dan sejenisnya, pengaturan yang jelas apabila terjadi

pasangan calon tunggal, juga pengaturan yang jelas terhadap

penggunaan anggaran pilkada serentak, baik yang bersumber

dari APBD maupun APBN dalam bentuk peraturan

pemerintah atau sejenisnya,

b. Perlunya kaderisasi melalui pendidikan perpolitikan yang

jelas di dalam partai politik itu sendiri sehingga

dimungkinkan muncul kader internal partai yang mempunyai

kapabilitas dan akuntabilitas yang tinggi untuk ikut serta

dalam kompetisi pilkada serentak. Karena sehebat dan se-

komprehensif apa pun undang-undang pilkada / pemilu,

sebaiknya dimulai dari partai politik yang melakukan

kaderisasi yang baik bagi calon pasangannya.

D. Referensi

Catatan Kemendagri, 328 Kepala Daerah Tersangkut Persoalan

Hukum,

http://nasional.sindonews.com/read/901190/12/catatan

kemendagri-328-kepala-daerah-tersangkut-persoalan-

hukum-1410604072

28
Indra Utoyo Curiga Bupati Ogan Ilir Menang karena Politik

Transaksional

http://www.tribunnews.com/nasional/2016/03/25/indra-

utoyo-curiga-bupati-ogan-ilir-menang-karena-politik-

transaksional?page=1

Kacung Marijan, Pilkada Langsung : Resiko Politik, Biaya Ekonomi,

Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal, In-House

Discussion Komunikasi Dialog Partai Politik, Jakarta,

Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), 2007

Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2015 tentang Hari

Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Serta Walikota dan

Wakil Walikota Tahun 2015 sebagai Hari Libur Nasional

Komisi II DPR Pertanyakan Efisiensi Anggaran Pilkada Serentak

2015

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/08/27/komisi

-ii-dpr-pertanyakan-efisiensi-anggaran-pilkada-serentak-

2015

Komjen Buwas: Bupati Nofi Sudah Sangat Lama Konsumsi Narkoba,

Rekam Jejak Dicek

http://news.detik.com/berita/3169870/komjen-buwas-

29
bupati-nofi-sudah-sangat-lama-konsumsi-narkoba-rekam-

jejak-dicek

Nofiadi, Bupati Muda Berharta Rp 20 Miliar Pemakai Narkoba.

http://news.detik.com/berita/3164655/nofiadi-bupati-

muda-berharta-rp-20-miliar-pemakai-narkoba

PDIP dan Golkar Cek Keanggotaan Bupati Ogan Ilir

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160314134225-

12-117239/pdip-dan-golkar-cek-keanggotaan-bupati-ogan-

ilir/

Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program dan

Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan

Wakil Walikota

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota

Pilkada Tanpa Kesiapan Anggaran, Revisi UU Pilkada Diperlukan

http://www.beritasatu.com/politik/275935-pilkada-tanpa-

kesiapan-anggaran-revisi-uu-pilkada-diperlukan.html

Presiden: Anggaran Pilkada Serentak Ditanggung APBD

http://www.pikiran-

30
rakyat.com/politik/2015/07/08/334084/presiden-

anggaran-pilkada-serentak-ditanggung-apbd

Profil Bupati Ogan Ilir Noviadi Mawardi, Dimanja Orang Tua?

https://m.tempo.co/read/news/2016/03/14/063753325/pr

ofil-bupati-ogan-ilir-noviadi-mawardi-dimanja-orang-tua

Soal Anggaran Pilkada Serentak, Ini Temuan BPK.

https://m.tempo.co/read/news/2015/07/14/078683726/so

al-anggaran-pilkada-serentak-ini-temuan-bpk

Suara KPU, Menyongsong Pilkada Serentak, Jakarta, Edisi II Maret-

April, 2015

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi

Undang-undang

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota Menjadi Undang-undang

31
32

Anda mungkin juga menyukai