Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Industri perfilman Hollywood semakin gencar untuk diproduksi. Permintaan pasar yang
banyak membuat banyak studio berdiri baik yang bersifat professional dengan produksi selangit
maupun yang low budget. Perfilman merupakan bisnis yang cukup menjanjikan di Hollywood.

Persaingan dengan Bollywood tidak membuat Hollywood takut, justru mereka membuat
pasar semakin sehat. Hollywood tenang karena penggemar mereka masih banyak di penjuru dunia.
Kehidupan masyarakat dunia memandang AS sebagai negara adidaya merupakan hasil dari
penyebaran kehidupan yang diperlihatkan industri perfilman mereka.

Hollywood mengincar Pasar Asia sekarang, terutama Indonesia. Konsumsi Indonesia


terhadap hiburan yang tinggi membuat produsen perfilman memprioritaskan rilis film mereka
lebih awal untuk Asia karena antusiasme penonton yang meledak.

Resensi Film “Mile 22”

1
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur saya panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena saya diizinkan
untuk mencari ilmu selanjutnya pada Semester 5 ini. Saya bersyukur orang tua saya masih mampu
untuk bekerja keras membiayai saya penuh untuk menuntut ilmu. Saya merasa tanggung jawab
saya semakin berat pada Semester 5 karena orang tua saya menaruh harapan besar kepada saya
selaku mahasiswa yang mengikuti perkembangan salah satu bidang politik dibagian fokus berupa
politik luar negeri. Orang tua saya menginginkan saya menjadi salah satu kebaikan bagi bangsa
Indonesia suatu hari nanti.

Tak lupa saya mengucapkan kepada dosen-dosen, dan karyawan-karyawan UNJANI yang
tidak bisa saya ucapkan satu persatu karena akan memakan tempat dan waktu. Ucapan terima kasih
kepada mereka karena dengan tulus dan sabar membantu para mahasiswa sejak dahulu hingga
sekarang untuk selalu aktif dan membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam
menghadapi masalah pembelajaran.

Ucapan terima kasih pun saya ucapkan kepada Dosen mata kuliah ” Kerjasama Pertahanan
dan Keamanan” sekaligus dosen wali saya, yakni Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si yang menjadi
salah satu dosen favorit di FISIP karena metode pembelajarannya yang mudah dipahami, mudah
dihubungi, dan tidak segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dengan jawaban
menggunakan tuturan bahasa yang mudah dipahami.

Resensi Film “Mile 22”

2
IDENTITAS FILM

Judul film : Mile 22

Sutradara : Peter Berg

Produser : Peter Berg, Mark Wahlberg, Stephen Levinson

Skenario : Lea Carpenter

Cerita : Graham Roland, Lea Carpenter

Pemeran : Mark Wahlberg, John Malkovich, Lauren Cohan, Iko Uwais, Ronda

Rousey

Musik oleh : Jeff Russo

Sinematografi : Jacques Jouffret

Penyunting : Colby Parker Jr., Melissa Lawson Cheung

Perusahaan Produksi : STXfilms, Huayi Brothers

Distributor : STXfilms

Tanggal rilis : 17 Agustus 2018 (Amerika Serikat), 21 Agustus 2018 (Indonesia)

Durasi : 100 menit

Anggaran : $35–60 million

Penghasilan : $59.8 million

Daftar Pemain : (in order of appearance)

 Mark Wahlberg sebagai James Silva


 John Malkovich sebagai uskup
 Lauren Cohan sebagai Alice Kerr
 Iko Uwais sebagai Li Noor

Resensi Film “Mile 22”

3
 Ronda Rousey sebagai Sam Snow
 Nikolai Nikolaeff sebagai Alexander
 Carlo Alban sebagai Douglas
 Terry Kinney
 Poorna Jagannathan
 CL (penyanyi) (CL) sebagai Queen

Resensi Film “Mile 22”

4
Resensi Film “Mile 22”

5
BAB I
Pendahuluan

INDONESIA kembali kedatangan film Hollywood yang mengagumkan. Salah satu film
terbaik dari 2018 yang menjadi topik pembicaraan karena masuk dalam nominasi beberapa
rekomendasi film Hollywood yang masuk ke tanah air

Euforia masyarakat Indonesia menyambut kiprah pertama Iko Uwaissebagai bintang


utama Hollywood rupanya tak berlebihan. Iko sudah digadang-gadang akan muncul dalam film
besar Hollywood sejak beberapa tahun lalu. Mile 22, judul film itu.

Ia memang sudah ditawari sejak 2015. Namun filmnya sempat mandek lantaran jadwal
Mark Wahlberg, aktor besar Hollywood yang bakal bermain bersama Iko di film itu, bentrok
dengan Transformers. Baru tahun lalu Iko syuting, dan Mile 22 tayang Agustus ini.

Penantian bertahun-tahun tak sia-sia. Meski baru pertama menjadi pemain utama dan
beradu akting dengan artis-artis besar Hollywood, aksi Iko boleh dibilang semakin menjanjikan.
Ia seakan tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya mewakili Indonesia di Hollywood.

Bersanding dengan sejumlah bintang Hollywood tak membuat bintang The Raid itu
tenggelam. Bisa dibilang Iko justru berhasil mencuri panggung dibanding pemeran utama lainnya.
Lihat saja tepuk tangan, elu-eluan dan histeria penggemar saat Iko promosi Mile 22 di Amerika
Serikat beberapa waktu lalu. Ia bahkan selalu diikutkan wawancara media asing.

Ini sejalan dengan niat sutradara Peter Berg yang memang ingin menonjolkan Iko dalam
filmnya. Ia bahkan mengatakan bahwa tujuan awal menggarap film itu adalah Iko. Namun hal itu
juga yang tampaknya membuat Berg kemudian abai dengan aspek serta posisi pemeran lain.
Mereka seolah dibayang-bayangi karakter Iko.

Karakter lain jadi tampak membosankan. James Silva, yang diperankan Wahlberg dan
seharusnya tampok menonjol, justru terasa cerewet, hingga terdengar menyebalkan dan
membosankan. Dialognya terlalu monoton dan kurang unsur komedi.

Penggalian latar belakang karakter lain pun terasa nanggung. Agen Alice yang diperankan
Lauren Cohan misalnya, diceritakan rela meninggalkan anaknya demi terlibat dalam misi itu.
Resensi Film “Mile 22”

6
Bahkan, ia terancam tak dapat bertemu dengan putrinya kembali karena kehilangan hak asuh.
Sayang, gambaran itu tampak kurang kuat. Padahal jika ikatan emosinya dieksplorasi lebih dalam
bisa menambah kuat cerita, meski tak terlalu berhubungan dengan alur utama.

Mile 22 adalah film thriller aksi spionase Amerika 2018 yang disutradarai oleh Peter
Berg dan ditulis oleh Lea Carpenter, dari cerita oleh Carpenter dan Graham Roland. Film ini
dibintangi Mark Wahlberg, John Malkovich, Lauren Cohan, Iko Uwais, dan Ronda Rousey.Film
ini mengikuti gugus tugas elit CIA, yang terdiri dari petugas paramiliter dari Ground Branch of
Special Activities Division, yang harus mengawal sebuah aset prioritas tinggi 22 mil ke titik
ekstraksi saat diburu oleh pemerintah.

Film ini menandai kolaborasi keempat antara Berg dan Wahlberg, mengikuti Lone
Survivor, Deepwater Horizon, dan Patriots Day. Film ini dirilis di Amerika Serikat pada 17
Agustus 2018. Film ini telah meraup untung $59 juta di seluruh dunia dan menerima ulasan yang
umumnya kurang baik dari para kritikus, yang menyebutnya "membingungkan dan kekacauan
yang kacau," di samping mengkritik sinematografi dalam urutan aksi, meskipun kinerja Uwais
telah menerima pujian.

Mengedepankan nama-nama yang sudah tidak asing malang-melintang dalam perfilman


Hollywood seperti Mark Wahlberg, Lauren Cohan, Ronda Rousey, dan John Malkovich, film ini
seolah dapat menjadi sebuah sajian yang menjanjikan. Tambah menjanjikan dengan bergabungnya
Iko Uwais, salah satu aktor laga Indonesia yang saat ini sudah mulai menapaki langkah menuju
aktor laga papan atas Asia, bahkan mungkin dunia. Sejak perilisan promo awal, setidaknya di
Indonesia sendiri film ini menjadi salah satu “highly anticipated movies”, tentunya sebagian besar
karena faktor Iko.

Cerita besar Mile 22 adalah tentang penyelundupan seorang polisi sekaligus informan
penting CIA dari sebuah negara fiktif bernama Indocarr City. Polisi bernama Li Noor itulah yang
diperankan Iko. Ia 'mengkhianati' pemerintah yang disebutnya "jahat" dan memilih membongkar
informasi penting pada CIA dengan satu syarat: bawa dirinya pergi dari situ.

Dibantu Silva, Alice dan timnya Noor diselundupkan dari Kedutaan Amerika Serikat
negara itu ke pesawat yang sudah menantinya di bandara terdekat. Jarak antarkeduanya 22 mil.

Resensi Film “Mile 22”

7
Namun perjalanan ke sana sama sekali tak mulus. Sejumlah aral lintang dihadapi, termasuk dari
pemerintah yang ingin merebut Li Noor kembali dengan melancarkan serangan demi serangan. Di
satu sisi, itu semakin meyakinkan bahwa Li Noor sosok kunci berharga.

Mile 22 menarik karena menampilkan aksi laga ala Hollywood yang semakin kaya
dengan silat khas Indonesia yang dibawa Iko. Tak perlu ditanya soal efek visual dan jalan cerita.
Keduanya bisa dibilang mulus. Sayang, seakan ada beberapa aspek yang belum disampaikan.

Salah satunya pada adegan kejar-kejaran di sebuah apartemen. Adegan ini mirip dengan
momen di film The Raid, hanya saja kehidupan yang digambarkan di sini agak kurang nyata.
Apartemen itu seolah kosong. Hanya satu dua penghuni yang tersorot. Kalau pun terlihat ada
kehidupan, tak tampak kegentingannya. Itu terasa kurang gereget, dibanding The Raid garapan
Gareth Evans yang melambungkan nama Iko, dan sekaligus menjadi referensi Berg.

Tak ada ancaman yang benar-benar seolah menghantui penghuni apartemen.Tak ada
evakuasi, penjagaan atau lainnya. Kelak, bila benar Berg menjadikan cerita ini sebagai trilogi,
diharapkan dua film selanjutnya dapat mengekplorasi poin-poin utama dari cerita, termasuk latar
belakang beberapa karakter yang menjadi kunci dan lebih peduli soal detail.

Secara keseluruhan, film ini layak dinikmati, terutama dengan aksi Iko yang cukup
memukau. Mile 22 sudah dapat disaksikan di bioskop Indonesia.

Resensi Film “Mile 22”

8
BAB II

ISI/SUBSTANSI

Jika Anda menanti Iko Uwais, harap bersabar. Mark Wahlberg sebagai James Silva dan
tim Overwatch mau menyelesaikan misi terlebih dulu di awal film Mile 22. Mereka menyusup ke
rumah yang ditempati awak Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) secara rahasia, di kawasan
suburban yang sepi di Amerika Serikat.

Misi Overwatch adalah menemukan dan menghancurkan pengiriman cesium sebelum zat
beracun itu dipakai untuk melakukan pembunuhan massal. Tim Overwatch sukses menghabisi
penghuni rumah. Termasuk remaja lelaki yang berupaya kabur dari jendela, memohon untuk tak
dibunuh, tapi tetap dieksekusi oleh Silva.

Mile 22 dibuka dengan adegan dimana Overwatch melakukan penyergapan ke sarang


teroris Rusia. Di film ini, Overwatch digambarkan sebagai salah satu badan rahasia Amerika.

Operasi penyergapan itu dipimpin oleh Jimmy Silva (Mark Wahlberg) dan diawasi oleh
pimpinan Overwatch yakni ‘Mother’ (John Malkovich). Selain dukungan pasukan lengkap, Jimmy
dibantu pula oleh beberapa agen Overwatch lainnya yakni Alice (Lauren Cohan), Sam (Ronda
Rousey) dan William (Carlo Alban).

Di adegan pertama ini, persenjataan, alat komunikasi dan intelejen modern yang biasanya
digunakan saat agen rahasia elit Amerika melakukan penyergapan, turut pula dipertontonkan.
Termasuk salah satunya adalah kemampuan tokoh Jimmy dalam menggunakan senjata laras
panjang.

Namun, karena informasi intelejen yang diberikan salah, operasi tersebut berakhir dengan
terbunuhnya beberapa warga sipil oleh agen-agen Overwatch. Di antaranya adalah remaja berusia
belasan tahun. Selanjutnya, Overwatch melakukan tindakan pembalasan dengan menjebak para
teroris Rusia dan menghabisi mereka.
Eksekusi yang dilakukan Silva dan kawan-kawannya berlangsung buas dan membuat film
terasa sangat militeristik. Sutradara Peter Berg memilih untuk menampilkan citra gagah-gagahan

Resensi Film “Mile 22”

9
elite pasukan rahasia AS yang seenaknya membunuhi “penjahat” semudah lari pagi—tipikal
tentara bermotto “persetan dengan HAM”.

Enam belas bulan kemudian, di sebuah negara di Asia Tenggara bernama Indocarr,
seorang anggota polisi elite Li Noor (Iko Uwais) menyerahkan diri ke kedutaan besar AS dan
memicu sedikit ketegangan di gerbang kedubes.

Dua tahun berselang, Overwatch kembali menjalankan misi rahasianya. Kali ini di
sebuah negara fiksi yang terletak di Asia Tenggara, dan nama negaranya adalah Indocarr. Di
Indocarr, Mother bersama Overwatchnya ditugaskan untuk mencari dan menemukan sebuah
senjata pemusnah masal.

Ngomong-ngomong, di bioskop saya hampir tersedak minuman sebab nama negara fiktif
tersebut terlalu lucu untuk tidak ditertawakan. Di Asia Tenggara sendiri, tidak ada kota (di
Indonesia) yang penampakannya seperti Indocarr. Faktanya memang kru film melakukan syuting
di Bogota, Kolombia.

Noor sedang diburu elite keamanan Indocarr lain sebab dianggap pengkhianat dan minta
diterbangkan ke AS. Imbalannya, dia akan memberi info akurat terkait sisa cesium yang masih
dicari Overwatch. Silva setuju. Overwatch mengawalnya menuju bandara dengan jarak sesuai
judul film, 22 mil (35 kilometer lebih sedikit).

Mile 22 adalah kolaborasi kesekian Wahlberg dan sutradara Peter Berg. Dulu hasilnya
cukup baik untuk ukuran genre film laga. Sayangnya, kali ini mereka gagal total. Salah satu perkara
pokoknya adalah karakter Silva itu sendiri.

Sepanjang kariernya, karakter Mark Wahlberg dalam film bisa dibagi menjadi dua jenis.
Pertama, perannya dalam film-film 'militeristik', seperti saat ia memerankan Marcus Luttrell
dalam Lone Survivor (2013), yang juga disutradarai oleh Peter Berg.

Karakter jenis ini cenderung irit bicara. Bentuk tubuh Wahlberg yang seperti model
(meski tingginya tidak) dan gesturnya yang dingin sekaligus tegas adalah jualan utamanya. Ia
pendiam, tapi bisa diandalkan untuk berlaga.

Resensi Film “Mile 22”

10
Kedua, film-film 'non-militeristik'. Ia banyak dipakai di film-film drama
berbumbu thriller. Di sini ia memang dituntut untuk banyak bicara serta minim laga. Contohnya
adalah perannya sebagai profesor di The Gambler (2014) atau sebagai detektif polisi di The
Departed (2006).

Mile 22 menggabungkan keduanya. James Silva punya persoalan pada sikapnya ke orang
lain. Kecerewetannya bukan monolog atau dialog yang bermutu, melainkan tumpahan kemarahan-
kemarahan yang selalu diselipi kata makian khas, semisal “fucking” di depan kata benda atau sifat.

Anda pasti ingat hukum ekonomi ketika satu barang akan berharga nilainya jika
jumlahnya semakin sedikit. Kata makian yang meluber-luber dari mulut Silva juga membuat
makian itu sendiri tidak lagi keren. Tidak elegan pula, mengingat Silva adalah pemimpin tim.

Saya, dan barangkali penonton lain, merasa tidak nyaman sepanjang film. Ada perasaan
“cringe” saat melihat tingkah Silva yang pecicilan dan tak kenal sopan-santun. Gerak-geriknya
seakan ingin menantang orang-orang berkelahi, bahkan dengan orang-orang di timnya sendiri.

Silva meneriaki mereka persis di muka, membuang sarapan salah satu teknisi karena
dianggap belum tuntas menyelesaikan tugas, dan yang paling ganjil, menyebut tim IT sebagai
gerombolan manusia “nerd” alias cupu.

Agen operasi hitam Amerika, James Silva (Mark Wahlberg) memimpin tim pemogokan
bernama kode Overwatch untuk menyusup ke safehouse FSB Rusia di Amerika Serikat. Di bawah
pengawasan James Bishop (John Malkovich), misi Overwatch adalah untuk menemukan dan
menghancurkan pengiriman sesium.1 sebelum zat yang sangat beracun dapat disemprotkan untuk
membunuh ribuan orang. Tim berhasil membunuh para penghuni, sementara anggota Overwatch,
Alice Kerr (Lauren Cohan) terluka. Salah satu anak laki-laki jatuh dari ledakan setelah gagal
mencoba menyelamatkan semua saesium. Silva mengeksekusi anak lelaki yang memohon agar
tidak terbunuh, dan semua orang lolos.

1Sesium adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Cs(dari nama Latinnya, Caesium) dan nomor atom 55.
Unsur kimia ini merupakan logam alkaliyang lunak dan berwarna putih keemasan, yang adalah salah satu dari lima
unsur logam berwujud cair pada atau sekitar suhu ruangan. Penggunaan paling terkenal unsur kimia ini adalah dalam jam atom.

Resensi Film “Mile 22”

11
Enam belas bulan kemudian, petugas polisi Indonesia Li Noor (Iko Uwais) menyerahkan
diri di kedutaan AS untuk bernegosiasi agar dapat keluar dari negara itu untuk ditukar dengan
informasi. Noor terungkap menjadi aset Alice dan mengungkapkan bahwa disk berisi informasi
mengenai sesium terakhir, tetapi dia bernegosiasi untuk keluar dari negara dalam pertukaran untuk
kode. Informasi dalam piringan itu menghancurkan dirinya sendiri dan akan menjadi tidak berguna
dalam beberapa jam.

Ketika Noor sedang diuji, Alice mencoba untuk menerima masalah keluarganya. Axel
(Sam Medina), memimpin tim dari Badan Intelijen Negara Indonesia, tiba di kedutaan dan
menuntut agar Noor diserahkan. Sementara itu, Noor menolak upaya pembunuhan oleh agen
Indonesia. Operasi Overwatch Sam Snow (Ronda Rousey) dan Alice tiba, mengejutkan kekuatan
tempurnya, mengetahui bahwa Noor pernah menjadi anggota Pasukan Khusus Indonesia.

Silva setuju untuk membawa Noor ke pesawat terbang di landasan udara sejauh 22 mil.
Ketika mereka mengemudi, Noor mengungkapkan alasannya untuk menyerahkan pemerintah
Indonesia: Pemerintah telah korup dan membunuh keluarganya. Saat mengemudi, kamera Bishop
melihat orang kulit hitam keluar, lalu muncul lagi. Selama pemadaman kamera, Axel menyuruh
anak buahnya memasang bom di mobil, membuatnya meledak. Sementara tim Silva membantu
menangkis anak buah Axel, Sam terluka parah. Setelah mengalahkan sebagian besar pasukan Axel,
Silva memberi Sam dua granat, dan meninggalkannya, membiarkan dia bunuh diri-menyerang
anak buah yang tersisa.

Silva, Noor, Alice, dan Douglas memasuki sebuah restoran. Silva melihat Axel, dan
menghadapkannya, meskipun Bishop menyuruhnya untuk tidak melakukannya. Axel mengatakan
Silva menyerah Noor, tetapi Silva menolak, dan berjalan pergi.

Silva menyapu dua gadis, dan menyadari bahwa ada granat di restoran, dan mengenai
penduduk sipil sebelum meledak. Ketika debu membersihkan, Douglas terluka parah, dan Silva
diserang oleh gadis-gadis yang sama, hanya untuk Noor menyelamatkan Silva dengan membunuh
mereka. Mereka pergi ke rumah persembunyian, di mana Douglas meninggal saat menahan
pasukan Axel.

Resensi Film “Mile 22”

12
Saat memasuki safehouse, Alice dipisahkan dan bertemu dengan seorang gadis di sebuah
apartemen. Alice dan gadis itu melarikan diri dari bahaya dengan menggunakan granat yang
dijebak. Sementara itu, Silva dan Noor berpisah, melawan Axel dan anak buahnya masing-masing.
Silva dan Noor bertemu lagi, dan bertemu gadis yang diselamatkan Alice. Dia menuntun mereka
ke Alice, yang hampir dibunuh oleh anak buah Axel sebelum Noor mengintervensi —
menyelamatkan Alice dan membunuh para antek dengan menembak kepalanya.

Dalam perjalanan ke landasan udara, anggota tim yang tersisa secara singkat dihadapkan
oleh Axel. Silva telah Overwatch membunuh Axel dengan menghancurkan mobilnya dengan
serangan drone "Tangan Tuhan". Tim ini hampir tidak sampai ke pesawat, di mana Noor dan Alice
naik pesawat untuk bertemu keluarganya sekali lagi.

Saat berada di pesawat terbang, Bishop melihat detak jantung Noor meningkat dan
terungkap bahwa Noor bukanlah agen ganda, tetapi agen triple yang bekerja untuk pemerintah
Rusia, dan bocah yang dibunuh Silva adalah putra dari seorang wanita Rusia berpangkat tinggi.
umum. Pejabat itu menyewa Noor untuk memberi Alice informasi yang salah sehingga mereka
akan mempercayainya, dan ketika Alice menyadari ini, Overwatch disergap, dan seluruh tim
ditembak. Bishop nyaris kabur, dan beristirahat di luar sementara nasib Alice tidak diketahui. Silva
menyadari ini terlambat dan menceritakan pengalamannya selama pembekalan pasca-misi.

Sebagian orang bisa tidur dengan damai di malam hari karena mereka mengetahui ada
orang-orang yang siap untuk berbuat kekerasan demi mereka. Begitu kata tokoh yang diperankan
dengan sangar oleh Mark Wahlberg di film Mile 22. Enggak jelas juga apakah Si James Silva ini
memang penggemar George Orwell, atau dia hanya terlalu obsesif dengan menegakkan kedamaian
sehingga bocah jenius yang jadi yatim piatu tersebut jadi ‘setengah-gila’ menyangkut urusan
membasmi orang jahat. Kita enggak akan pernah tahu, karena cerita latar tokoh ini hanya disajikan
dalam montase klip-klip berita yang muncul di pembuka. Tidak sampai lima menit, kemudian film
melaju begitu saja tanpa memberikan kita kesempatan untuk bernapas. Apalagi memikirkan
kegilaan filosofis si James ini.

Tapi toh, tokoh James memang menarik. Dia adalah agen rahasia pemerintah yang
menyamar sebagai agen CIA. Bayangin tuh! James punya kebiasaan jebretin lengannya pake karet
gelang yang selalu ia kenakan di pergelangan tangan. Harus memutuskan antara yang baik dengan

Resensi Film “Mile 22”

13
yang efisien? Jebret! Menangani siasat yang mesti diputuskan dengan cepat? Jebret! Rasa sakit
membantu James untuk fokus. Dirinya sangat obsesif, dia punya kesadaran tinggi tentang apa
yang harus dilakukan – tidak peduli itu salah atau benar. Dia paham kecerdasanya di atas rata-rata
jadi dia agak kesel dan tak ragu untuk menjadi begitu intens jika ada bawahannya yang meragukan
apa yang ia perintahkan ataupun ketika ada yang bekerja di bawah standar yang ia percaya.

Untuk satu hal, film ini adalah laga konvensional tentang satu kelompok yang berusaha
untuk mengantar seseorang ke dalam lingkungan yang aman, di mana untuk mencapai keselamatan
tersebut mereka harus menerjang peluru dan berantem numpahin darah. Tim James melakukan
operasi rahasia untuk membawa polisi lokal yang menyerahkan diri ke embassy Amerika.

Polisi rendahan tersebut, si Iko Uwais bernama Li Noor di sini,mengaku mengetahui sandi
untuk menonaktifkan enam bom yang dicari oleh para agen. Jadi ia menukar pengetahuannya
tersebut dengan posisi yang aman di Amerika. Syaratnya; Tim James harus memastikan
keselamatannya sampai ia tiba di Amerika – karena tampaknya, pihak polisi lokal enggak mau
satu polisi yang dianggap berbahaya ini meloloskan diri ke negara lain.

Dua-puluh-dua mil actually adalah jarak dari embassy ke bandara yang harus James
tempuh dalam misinya ini. Tapi untuk kita para penonton, itu berarti 100 menit yang rasanya begitu
lama karena tak sekalipun kita dikasih waktu untuk mikirin para tokohnya.

Seperti yang kubilang tadi, ada hal menarik yang coba diangkat oleh film dari perilaku
tokohnya. Li Noor dibuat kontras dengan James. Dia lebih tenang, hobinya meditasi dengan jari-
jari sebagai lawan dari James dan jebretan karet gelangnya. Film sebenarnya bisa bekerja dengan
lebih baik dari menggali ini saja, dengan pelan-pelan. Tapinya, enggak.

Film berusaha untuk menjadi banyak hal. Salah satunya adalah menjadi sok lucu. Ada
begitu banyak dialog yang diniatkan pinter dan keren, malah jatohnya konyol. Receh. Kayak
momen terakhir antara James dengan Noor. Setelah semua aksi tersebut, kontras antara mereka
diperlihatkan, rasanya aneh dan konyol sekali film ini memberikan sentuhan ‘realita’ yang
mengacknowledge Wahlberg sebagai seorang selebriti sebagai titik puncak dari tokoh-tokoh ini.

Film ini – sama seperti James – menyangka dirinya pintar dengan memasukkan
lelucon “Say hi to your ‘mother’ for me”(Wahlberg terkenal dengan jargon dari sketsa Saturday
Resensi Film “Mile 22”

14
Night Live ini, yang diucapkan untuk meledek dirinya) mentang-mentang konteksnya adalah
pimpinan tokoh James menyebut diri sebagai Mother dalam kode operasi rahasia mereka.

Hal lain yang dilakukan oleh film ini adalah, berusaha menjadi nendang
dan impactful dengan pesan-pesan politiknya. Tapi tidak pernah menyampur dengan baik. Antara
maksud dengan apa yang benar-benar film ini lakukan, enggak klop. Karena film ini tidak benar-
benar mengembangkan apa-apa selain ledakan dan aksi laga.

Film bahkan tidak berani menyebut nama negara yang jadi settingnya. Mereka
menampilkan nama Indocarr yang menunjukkan ini negara fiktif, tapi tidak pernah benar-benar
menyebutnya. Para tokoh berkelit dari menyebutkan nama. Ketika harus nyebutin, mereka
mereferensi tempat ini dengan sebutan “our host country”.

Aku gak mengerti kenapa mereka gak langsung bilang Indocarr aja . Atau langsung sebut
Indonesia aja, toh kita tahu letaknya di Asia Tenggara, kita mendengar penduduk lokal berbahasa
Indonesia. Orang sini akan dapat hiburan tersendiri saat menonton Mile 22 dari bahasa yang
terdengar. Tokoh-tokoh yang lain juga sekedar ada di sana. Tokoh pemimpin mereka hanya ada
untuk teriak-teriak kepada komputer.

Ada tokoh cewek namanya Alice yang diceritakan punya masalah dengan perceraian dan
keluarga, tapi tidak mendapat finality yang pantas. Dan Ronda Rousey (our new WWE RAW
WOMEN’S CHAMPION!), dang menurutku film ini melewatkan kesempatan gede; mereka
punya Iko Uwais dan the baddest woman in the planet, tapi keduanya enggak dibikin berantem.
Mubaziiiirrr, I want to see them fight each other!

Dalam film laga, umumnya kita melihat proses pembangunan hubungan antara aktor utama
dengan rekan-rekan lain selaku pemeran pembantu. Kadang ada kendala-kendala personal maupun
yang di luar kehendak tim. Mile 22 tidak demikian. Silva cuma representasi tukang bully yang
dilanda narsisisme.

Silva dikisahkan sebagai seorang jenius yang sejak lahir menyandang sindrom hiperakif.
Hal tersebut rupanya ingin dijadikan dalih sebagai pembenaran atas sikap sengaknya. Tapi, saya
tidak melihat wujud kejeniusan itu hingga film berakhir. Silva cuma mematuhi misi dari atasan,
sedikit jago tembak-tembakan, dan pintar mengutip kata-kata bijak para politisi perang.
Resensi Film “Mile 22”

15
Iko Uwais, pahlawan silat dari Indonesia, juga jadi korban visi produser yang ingin
menjadikan Mile 22 sebagai trilogi Bourne jenis baru. Dana cukup besar dikucurkan untuk
mewujudkan ambisi ini. Namun prosesnya terlihat sangat instan, sehingga ujung-ujungnya hanya
menyia-nyiakan talenta Iko.

Saya mengutip satu analisis menarik dari Insider yang pada Mei lalu membahas
trilogi Bourne. Menurut Insider, trilogi Bourne justru merusak film laga selamanya. Adegan laga
dalam film-film Bourne direkam dengan teknik kamera jarak dekat yang shaky alias bergoyang-
goyang, dan setelah itu dicincang sehingga adegan terlihat berlangsung kilat. Hasilnya memang
nampak kacau.

Saking kacaunya, penonton pun bingung atas apa yang barusan ia lihat. Penonton sulit
memahami siapa yang memukul siapa, atau bagaimana pukulan dilancarkan. Tiba-tiba, setelah
sekian potongan adegan yang disorot tak lebih dari dua detik, protagonis pun menang.

Adegan laga ala Bourne ini murah meriah sebab pemain tak perlu bisa benar-benar
berkelahi. Teknik yang diwariskan ke film-film laga Hollywood itu kemudian dipakai agar
pukulan dan tendangan benar-benar terlihat mematikan. Kenyataannya tak sedramatis itu.

Pendeknya: trilogi Bourne dan film laga Hollywood kekinian “mengkhianati” teknik
mengabadikan adegan laga yang dirancang oleh para aktor Hong Kong, mulai dari Bruce Lee
hingga Jacky Chan.

Mereka adalah aktor yang benar-benar bisa berkelahi, atau setidaknya mengetahui
tekniknya. Jadi, selama berhadapan dengan tokoh antagonis di film bikinan sendiri, mereka dengan
percaya diri memakai kamera diam, bersudut lebar, dan hanya sedikit dipotong. Mereka
menampilkan pukulan dan tendangan senatural mungkin.

Peter Berg merekrut Iko karena terkesan dengan penampilannya di dua film The Raid. The
Raid memang mampu memenuhi ekspektasi banyak orang akan film laga yang bermutu. Kuncinya
adalah menyajikan adegan laga sesuai teknik yang dijajaki Jacky Chan. Bukan yang kacau ala
Hollywood.

Resensi Film “Mile 22”

16
Sayangnya, laga yang Iko tampilkan di Mile 22 dibungkus melalui teknik kacau itu.
Adegan laga Noor terlihat tak bernyawa karena pemakaian kamera tangan yang bergoyang-
goyang, close-up, dan pemotongan adegan secara kilat. Kebrutalannya memang masih ada, tapi
teknik penyuntingan film membuat adegan-adegannya tidak elegan apalagi otentik.

Dalam konteks film laga, isu ini lebih bisa dimaklumi. Tapi yang bikin kepala pusing
adalah fakta bahwa pemakaian teknik kacau itu terjadi sepanjang film Mile 22. Meski cuma
menampilkan obrolan Silva dan aktor lain, misalnya, pemotongan adegan secara kilat sungguh
keterlaluan.

Dalam satu tarikan napas Silva, kamera menyorot wajahnya, wajah lawan bicara, gang
tempat mereka bertemu, lalu close-up ke kebiasaan Silva memainkan karet gelang di tangannya,
dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Saya tak menghitung, tapi dalam adegan sekitar satu
menit, masing-masing sorotan hanya berlangsung tidak lebih dari dua detik.

2 https://tirto.id/mile-22-hadiah-buruk-mark-wahlberg-iko-uwais-untuk-ultah-ke-73-ri-cUs6 diakses pada tanggal 01 Oktober


2018

Resensi Film “Mile 22”

17
KEKUATAN & KELEMAHAN FILM

 KEKUATAN FILM

Sejak kabar bakal dibikin film Mile 22, jagat perfilman Indonesia bangga. Bagaimana
enggak? aktor laga ternama, Iko Uwais jadi bagian dalam film tersebut. Bukan sebagai cameo, tapi
jadi leading role kedua yang dapat porsi besar dalam film. Enggak sedikit yang penasaran dan
antusias untuk segera menonton film ini.

Film Mile 22 yang diperankan aktor laga Indonesia, Iko Uwais tak henti-hentinya
menuai pujian dan menjadi inspirasi bagi generasi milenial, dalam film tersebut, Iko
berperan sebagai Li Noor beradu akting dengan Mark Wahlberg yang berperan sebagai
agen CIA, James Silva dan Luren Cohan.

Film Mile 22 dibintangi oleh sederet aktor-aktris Hollywood seperti Mark Wahlberg,
Ronda Rousey, dan Lauren Cohan. Jadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia melihat
Iko Uwais bisa beradu akting dengan mereka. Para aktor laga pun tersenyum puas dan bangga
setelah keluar dari bioskop dalam premiere film Mile 22.

Untuk mempromosikan film yang tayang di Indonesia pada 21 Agustus lalu itu ada
sejumlah video yang dibuat. Salah satunya adalah video adu tinju yang dilakukan para
bintang utama, Iko Uwais, Mark Wahlberg, Luren Cohan.

Dalam video tersebut para bintang ditantang untuk bermain mesin Punch O Matic
Roulete. Mesin tersebut secara otomatis dapat menghitung kekuatan pukulan yang
dilayangkan ke kantong tinju. Para pemain harus memukul kantong tinju sekuat tenaga,
kemudian muncul angka yang merupakan score dari jumlah kekuatan pukulan.

Peserta pertama adalah Luren Cohan, dalam video tersebut terlihat ia mengepal
tangan lalu memukul kantong tinju sekuat tenaga dengan tangan kanan. Kemudian angka
di mesin bergerak lalu berhenti di angka 135 sebagai nilai kekutan tenaga Lauren.

Resensi Film “Mile 22”

18
Selanjutnya adalah Carlo Alban. Dengan ekspresi wajah sedikit cemas, Alban
mengumpulkan tenaga sambil menatap fokus kantong tinju yang akan dipukul. Kemudian
ia berjalan sambil mengangkat tenaga dalam. Dalam hitungan detik, ia memukul kantong
tinju, dan score kekuatan tenaganya cukup fantastis, jauh dari score Lauren. Alban
mendapat score tenaga sebesar 383. Angka yang tampaknya sulit dikalahkan Iko Uwais,
bintang Asia.

Tibalah giliran Iko Uwais, bintang pencak silat ini kemudian mengumpulkan fokus
sambil menatap kantong tinju. Ketika beraksi, tak disangka Iko memakai tangan kiri untuk
mengadu kekuatan tenaga lawannya.

Setelah melayangkan pukulan, hasilnya sungguh tak disangka. Mesin penghitung


score cukup lama berhenti, penontong yang ada di video itu terlihat menantikan hasil.
Sungguh tak disangka Iko berhasil memeroleh score paling tinggi. Dengan tangan kiri Iko
berhasil mengalahkan dua pesaingnya. Iko mendapat score 478.

Terakhir giliran Mark Wahlberg yang bakal unjuk gigi. Dalam video, ia sempat
googling dulu bagaimana mengalahkan skor tinju Iko Uwais, namun kocaknya google
menjawab nihil. Hingga akhirnya Mark Wahlberg hanya mencium kantong tinju, tanpa
memukulnya, yang tentunya game ini dimenangkan Iko Uwais

Joe Taslim, sahabat sekaligus partner laga Iko, mengungkapkan kebangaannya setelah
menonton film tersebut. Bahkan, dia mengakui bahwa akting Iko Uwais lebih keren dibandingkan
Mark Walhberg. Dia mengungkapkan respon positif setelah menonton film Mile 22. Begitupun
dengan saya sendiri merasa bangga dengan aktor Indonesia yaitu Iko Uwais.

Ini sebuah film yang bagus. Satu hal yang memang jadi kebanggaan saya. Saya yakin ini
jadi kebanggaan perfilman Indonesia dan juga kebanggaan kita sebagai orang Indonesia. Semoga
Iko Uwais yang jadi aktor di sini jadi kebanggaan kita juga. Film ini harus ditonton oleh kita semua
warga indoensia. Saya rasa Iko pantes.

Bahwa akhirnya adalah kekalahan. Itu yang menariknya buat saya. Selama ini, ‘kan tokoh
utama selalu mengakhirnya dengan kemenangan, tapi ini kemenangannya dengan kekalahan.
Menariknya di sini, Iko mainnya bagus sekali. Jadi wajar aja kalau ada yang bilang Iko bagus di
Resensi Film “Mile 22”

19
film ini. Soalnya, punya kekuatan yang luar biasa dari segi fisik dan pendalaman karakter. Itu
terbukti, sih! Mark Walhberg ketemu Iko itu klop dan pas banget!

Jika membaca resensi ini, mungkin akan berpikir bahwa film ini layaknya film -film
laga kebanyakan yang menceritakan tentang isu-isu pertahanan keamanan negara dan politik
dunia yang identik dengan kesan “tidak masuk akal”. Akan tetapi, sang sutradara, telah
berusaha untuk mengadaptasi cerita yang kompleks tersebut dengan sangat unik sehingga
mudah dipahami oleh orang awam sekali pun (walaupun sedikit ketidak jelasan laga yang
ada dalam film tersebut).

Salah satu keunikan dari film ini adalah terdapat beberapa adegan yang diperankan
oleh cameo bintang film, penyanyi, maupun aktor/aktris dunia yang sebenarnya tidak
terlibat dalam alur cerita. Mereka berperan menjelaskan berbagai hal yang terkait tema
besar film ini sehingga semakin mudah untuk dipahami. Selain itu, film ini juga terkesan
cukup interaktif. Hal ini terlihat dari perpaduan antara narasi film dan visualisasinya
serta acting para tokoh yang sukses “memanggil” penontonnya. Bahkan unsur komedi pun
bisa kita dapatkan pada banyak adegan. Penyuntingan filmnya juga sangat unik dan patut
diacungi jempol–tidak mainstream.

Resensi Film “Mile 22”

20
 KELEMAHAN FILM

Dari segi cerita, Mile 22 tidak menawarkan kebaruan apapun. Ada banyak kejanggalan
sepanjang pengawalan Noor ke bandara, yang dipenuhi oleh ledakan bom dan tembak-
menembak antara tim Overwatch dengan pasukan elite Indocarr yang ingin merebut Noor.

Oleh pemerintah mana pun, situasi yang sedemikian bombastis tentu dianggap serangan
teroris. Kota akan segera dilumpuhkan aktivitasnya demi menjaga keamanan warga setidaknya
dalam radius beberapa kilometer dari lokasi kejadian.

Tapi tak demikian di Mile 22. Usai menghabiskan banyak peluru dan granat di lokasi
penyerbuan pertama, tim Overwatch meneruskan perjalanan, dan mampir untuk menuntaskan
misi di sebuah kafe. Jarak kafe dengan lokasi penyerbuan pertama hanya beberapa kilometer.

Memakai asumsi pengamanan kota dalam dunia nyata, semestinya kafe dan lingkungan
sekitarnya sepi. Tapi tidak di Mile 22. Kafe tetap ramai pengunjung, dalam nuansa yang tenang,
damai, dan sentosa sebelum akhirnya diobrak-abrik kembali oleh pasukan pemburu Noor.

Nalar saya terasa betul-betul cedera. Belum lagi saat Silva dan sisa tim Overwatch
berlindung ke sebuah apartemen padat penduduk, lalu melanjutkan tembak-menembak dan
bermain granat. Bagian dalam gedung bertingkat memang terlihat sinematik untuk film laga,
tapi pasukan elite macam apa yang bikin keputusan sebodoh itu?

Barangkali Iko tahu kejanggalan-kejanggalan itu. Tapi ia cuek. Mungkin ia sekadar


menjadikan Mile 22 batu loncatan untuk berkarier di Hollywood.

Mile 22 ditayangkan pertama kali di AS pada 17 Agustus 2018. Mengingat kualitasnya


yang anjlok, saya tak ragu untuk menyebutnya sebagai kado buruk yang dipersembahkan
Wahlberg, Iko, dan kru film lain untuk perayaan ulang tahun ke-73 Republik Indonesia.

Bagian tengah film ini betul-betul kosong. Kita dapat pembuka yang basically mengeset
siapa James, apa yang ia lakukan, siapa yang berasosiasi dengannya. Film juga memberikan
penutup apa yang terjadi kepada James, dan semuanya. Namun, bagian tengahnya – dimulai dari

Resensi Film “Mile 22”

21
kemunculan mendadak Li Noor – hanya terasa seperti sekuen aksi yang begitu panjang tanpa
ada esensi di baliknya. Tidak ada pengembangan di sana. Film begitu bedeterminasi untuk
membuat pengungkapan di bagian penutup sebagai sebuah ledakan yang wow, jadi kita tidak
dapat apa-apa di babak kedua ini selain adegan berantem dan tembak-tembakan. Kita dilempar
begitu saja ke dalam sekuens aksi dengan sesedikit mungkin build up sehingga akan susah sekali
untuk peduli pada apa yang terjadi.

Sebaiknya jangan nonton film ini saat perut kalian sedang kosong. Serius. Babak kedua
yang katanya penuh aksi itu, well, berkat kerja kamera dan editing yang begitu rusuh apa-apa
yang di layar akan tampak sangat membingungkan. Kita enggak bisa ngikutin siapa nyerang
siapa, apa yang terjadi di layar terjadi begitu cepat. Begitu banyak cut-cut cepat yang membuat
mata kita berpindah-pindah tanpa arahan. Aku gak paham kenapa film ini malah menggunakan
teknik edit dan kamera yang heboh seperti itu. Ini kubalikkan saran James buat rekannya kepada
pergerakan kamera: Stop.

Film ini perlu memikirkan ulang konsepnya; pengen menangkap suasana rusuh
semestinya bisa dilakukan tanpa membuat penonton bingung dan mau muntah. Dan lagi, jika
kau punya aktor laga sehebat Iko Uwais, yang juga kau pekerjakan sebagai koreografi laga –
yang berarti kau percaya pada kemampuannya – maka dijamin kau akan punya sekuen aksi yang
dashyat; Kenapa tak merekamnya dengan wideshot, dengan tenang. Kamera bergoyang dan
quick-cut yang hiperaktif digunakan untuk menyamarkan kerja stunt dan aksi yang buruk.
Kehadiran Iko menjamin masalah tersebut tidak bakal ada, jadi kenapa teknik demikian – yang
sama sekali tidak mengangkat buat gaya Iko – masih terus digunakan?

Sungguh aneh pilihan dan arahan yang dilakukan oleh sutradara Peter Berg. Semuanya
sangat cepat, dengan orang-orang yang bersuara lantang. Membuat film ini jadi kayak versi loud
dari Sicario (2015). Ceritanya tak lagi menyenangkan, kita tidak bisa untuk peduli pada
siapapun. Sangat gak jelas dengan apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh film yang menyangka
akan terlihat pintar jika menyampaikan semua dengan hiperaktif. Mengecewakan, Peter
Berg sejatinya could be so much better. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi
kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.

Resensi Film “Mile 22”

22
Kontribusi Film Terhadap Studi Hubungan Internasional

Film ini menggambarkan tentang film ini adalah, berusaha menjadi nendang
dan impactful dengan pesan-pesan politiknya melalui mengantarkan seseorang untuk mencapi
tujuannya dengan cara menghadang musuh dari serbuan amunisi peluru-peluru. Dalam mata kuliah
Kerjasama Pertahanan ini film tersebut mampu menciptakan sebuah realita pandangan terhadap
materi yang disampaikan dalam film tersebut.

Lain halnya dengan akademisi Ilmu Hubungan Internasional. Dalam Film Mile 22 justru
menjadi bahan analisa berbagai pihak dan tokoh-tokoh HI. Tak jarang substansi film Mile 22 ini
di teliti oleh mereka yang berfikir latar belakang dari sebuah film keamanan dan pertahanan

Kontribusi film Mile 22 dalam perkembangan studi Ilmu Hubungan Internasional dapat di
rincikan sebagai Sebagai bahan penelitian, kajian, serta sumber analisa studi Ilmu Hubungan
Internasional di masa modern, Sebagai ilmu pengetahuan sejarah Ilmu Hubungan Internasional,
dll.

Resensi Film “Mile 22”

23

Anda mungkin juga menyukai