Dokumen - Tips - Laporan Kasus Jaundice Obstructive
Dokumen - Tips - Laporan Kasus Jaundice Obstructive
OBSTRUKSI JAUNDICE
- M. Faqih Lazuardi
- Fadila Safira
- M. Arief Pratama
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
Obstructive Jaundice”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing,
dr. Bayu Rusfandi Nst , yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesiakan tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah
laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Gangguan sistem empedu cukup banyak pada populasi dan kasus terbanyak disebabkan
oleh batu saluran empedu (kolelititasis). Di Amerika, 20 % pasien batu saluran empedu
memiliki umur di atas 65 tahun dan 1 juta kasus batu saluran empedu dilaporkan setiap
tahunnya (Bonheur, 2012).
Jaundice merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan konsentrasi bilirubin
serum yang menyebabkan manifestasi klinis berupa kulit dan sklera yang kuning. Ini bisa
disebabkan adanya obstruksi parsial atau total dari empedu dan komponen dari hati ke
saluran cerna (kolestasis). Kolestasis dapat muncul di dalam hati maupun di saluran empedu
karena adanya obstruksi mekanis (jaundice obstruksi) (Briggs, 2007).
Obstruksi jaundice bukan merupakan diagnosis definitf dan dibutuhkan diagnosis yang
cepat karena dapat muncul keadaan patologis jika tidak segera ditangani. Diagnosis yang
cepat baik berupa invasif maupun noninvasif dibutuhkan untuk menegakkan penyebab
obstruksi jaundice. Tes yang invasif dapat menyebabkan kolangitis dan tidak semua daerah
memiliki tes noninvasif seperti Computed Tomography Scan (CT scan) dan Magnetic
Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) sehingga Ultrasonography (USG)
merupakan tes yang masih dapat dipakai (Chalya, 2011).
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana gambaran klinis dan
penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami jaundice obstruksi ?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dalam laporan kasus ini adalah :
1. Untuk memahami tinjauan teoritis mengenai jaundice obstruksi.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus jaundice obstruksi pada
pasien secara langsung.
3. Untuk memahani perjalanan penyakit jaundice obstruksi.
5
1.4.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari laporan kasus ini adalah :
1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidan ilmu penyakit dalam
khususnya mengenai jaundice obstruksi.
2. Sebagai bahan informasi bagi para pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut
mengenai topik yang berkaitan dengan jaundice obstruksi.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Klasifikasi
1. Prehepatic : merupakan gangguan hati yang terjadi sebelum organ hepar yang
disebabkan oleh adanya peningkatan hemolisis seperti: malaria, leptospirosis , sindrom
uremik hemolitik , anemia sel sabit,
thalasemia dan G - 6 - PDH defisiensi dapat menyebabkan peningkatan lisis sel darah
merah.
Temuan laboratorium : Urine - tidak ada bilirubin, urobilirubin > 2 unit , serum :
peningkayan bilirubin tak terkonjugasi.
7
2. Hepatic : yaitu dimana jaundice yang berasal dari gangguan hepar sendiri, sehingga
mengakibatkan penyakit kuning yang disebabkan oleh hepatitis akut , hepatotoksisitas ,
sindrom Gilbert , sindrom Crigler - Najjar dan alkoholik. Penyebab lainnya adalah
ikterus neonatal ( biasanya tidak berbahaya , yang berlangsung sampai dsy 8 sampai 14
dalam kelahiran prematur yang disebabkan oleh metabolisme dan penyesuaian
fisiologis setelah kelahiran ) dan primary biliary cirrhosis .
Temuan laboratorium : Urine : adanya bilirubin terkonjugas, urobilirubin > 2 unit .
2.1.2. Patofisiologi
Obstruksi ekstrahepatik terhadap aliran empedu dapat terjadi di dalam saluran
sekunder atau kompresi eksternal . Secara keseluruhan , batu empedu adalah penyebab paling
umum dari obstruksi bilier . Penyebab lain penyumbatan dalam saluran termasuk keganasan ,
infeksi , dan sirosis bilier . Eksternal kompresi dari saluran-saluran sekunder dapat terjadi
peradangan ( misalnya , pankreatitis ) dan keganasan .
Akumulasi dari bilirubin dalam aliran darah dan berpindahnya ke kulit menyebabkan
penyakit kuning ( ikterus ) . Ikterus konjungtiva merupakan tanda yang lebih sensitif untuk
hiperbilirubinemia daripada tanda penyakit kuning biasanya . Jumlah nilai bilirubin serum
biasanya 0,2-1,2 mg / dL . Pada ikterus dijumpai nilai bilirubin serum hingga 3 mg / dL .
Urine bilirubin biasanya tidak ada, hanya bilirubin terkonjugasi yang dapat dilewatkan ke
dalam urin . Hal ini dapat dibuktikan dengan urin berwarna gelap terlihat pada pasien dengan
ikterus obstruktif atau penyakit kuning karena cedera hepatoseluler . Namun, strip reagen
sangat sensitif terhadap bilirubin , mendeteksi sesedikit 0,05 mg / dL . Dengan demikian ,
bilirubin urine dapat ditemukan sebelum bilirubin serum mencapai tingkat yang cukup tinggi
untuk mendiagnosa ikterus secara klinis .
Kurangnya bilirubin dalam saluran usus bertanggung jawab atas tinja pucat biasanya
terkait dengan obstruksi bilier . Penyebab gatal ( pruritus ) yang berhubungan dengan
obstruksi bilier tidak jelas . Beberapa kasus ini mungkin berhubungan dengan akumulasi
asam empedu di kulit (Constantin, 2011)
8
2.1.3 Diagnosa
2.1.3.1 Gejala Klinis & Pemeriksaan Fisik
Pada saat datang Pasien biasanya mengeluh tinja pucat, urin gelap, sakit kuning, dan
pruritus.
Pada pemeriksaan fisik, pasien mungkin menampilkan tanda-tanda penyakit kuning (kulit dan
ikterus). Ketika perut diperiksa, kantong empedu dapat teraba (tanda Courvoisier ). Hal ini
dapat dikaitkan dengan keganasan pankreas. Kemudian ditemukan adanya tanda-tanda
penurunan berat badan, adenopathies, dan darah samar pada tinja, menunjukkan lesi
neoplastik. Lalu perhatikan ada atau tidak adanya ascites dan sirkulasi kolateral yang
berhubungan dengan sirosis. Bila diikuti demam tinggi dan menggigil dapat dicurigai adanya
kolangitis .
Nyeri perut dapat membingungkan diagnosa, beberapa pasien dengan CBD memiliki
penyakit kuning tanpa rasa sakit, sedangkan beberapa pasien dengan hepatitis mengalami
nyeri menyedihkan di kuadran kanan atas. Keganasan lebih umumnya terkait dengan tidak
adanya rasa sakit dan nyeri selama pemeriksaan fisik (Medscape, 2012)
Penggunaan radiografi polos adalah pemilihan alat yang terbatas untuk membantu
mendeteksi kelainan pada sistem bilier. Sering, batu tidak dapat divisualisasikan karena
sedikit yang radiopak.
9
Ultrasonografi adalah alat yang paling aman, dan paling sensitif teknik untuk
memvisualisasikan sistem bilier, terutama kantong empedu. Akurasi alat ini mendekati
dengan 95%.
Computed tomography (CT) scan biasanya dianggap lebih akurat daripada USG untuk
membantu menentukan penyebab dan tingkat obstruksi tertentu. Selain itu, membantu
memvisualisasikan struktur hati yang lebih konsisten dari USG. Penambahan kontras
intravena membantu membedakan dan menentukan struktur pembuluh darah dan saluran
empedu (Medscape,2012)
2.1.3. Komplikasi
Komplikasi jaundice bisa menyebabkan sepsis terutama akibat kolangitis, sirosis bilier,
pankreatitis, koagulopati, ginjal dan gagal hati. Komplikasi lain yang terkait dengan penyakit
yang mendasari timbulnya jaundice
Cholangitis terutama jenis supuratif (Charcot triad atau pentad Raynaud) biasanya
sekunder choledocholithiasis (Constantin, 2012).
2.1.4. Tatalaksana
2.1.4.1.Non-Farmakologi
Pengobatan tergantung pada apa yang menyebabkan obstruksi, namun untuk tatalaksana
operasi yang bersifat intervensi operatif adalah dekompresi bilier
dengan pemindahan debris tumor atau bekuan darah tumor
dan jika mungkin reseksi kuratif tumor hati. itu
umum digunakan metode operasi adalah lobektomi (termasuk
tumor primer dan trombus tumor di saluran empedu),
hepatectomy ditambah thrombectomy, choledochotomy dengan T-tube
drainase saja, stenting bilier internal atau pengalihan empedu. (Qin, 2002)
2.1.4.2 Farmakologi
Bile acid–binding resins, cholestyramine (4 g) or colestipol (5 g) ,dilarutkan dalam air
atau jus 3 kali sehari mungkin berguna dalam pengobatan gejala pruritus berhubungan
dengan obstruksi bilier . Namun, kekurangan vitamin A , D , E , dan K dapat terjadi jika
adamya steatorrhea dan dapat diperburuk oleh penggunaan cholestyramine atau colestipol.
10
Antihistamin dapat digunakan untuk pengobatan gejala pruritus , terutama sebagai obat
penenang pada malam hari . Efektivitas mereka sederhana . Opioid endogen telah berperan
dalam pengembangan pruritus kolestasis . .
Rifampisin telah disarankan sebagai tambahan medis untuk pengobatan kolestasis .
Dengan mengurangi bakteri usus , memperlambat konversi utama untuk garam empedu
sekunder dan dapat mengurangi kadar bilirubin serum , kadar ALP ,dan pruritus pada pasien
tertentu (Medscape,2012).
11
a
12
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Antignac C. 2002. Genetic models: clues for understanding the pathogenesis of idiopathic
nephrotic syndrome. J. Clin. Invest; 109:447–449.
Berre LB. 2002. Extrarenal effects on the pathogenesis and relapse of idiopathic nephrotic
syndrome in Buffalo/Mna rats. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC150869/
Brady HR. 2008. Glomerular diseases. In: Fauci AS et.al. (eds). Harrison's Principles of
Internal Medicine 7th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. 1684-1688.
Cohen EP et.al. 2011. Nephrotic Syndrome. In: Batuman V. Medscape Reference. [Online].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/244631. [Accessed: June
10th, 2012].
Davis ID. 2004. Glomerular diseases. In: Kleigman, RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF (eds). Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier.
Dugdale DC, Lin HY. 2011. Nephrotic syndrome. PubMed Health. A.D.A.M. Medical
Encyclopedia. Atlanta (GA): A.D.A.M.; 2011. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001520/[Accessed:10 June
2012].
Grimbert P et al. Recent approaches to the pathogenesis of minimal-change nephrotic
syndrome. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18: 245–248
Gunawan CA. 2006. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150; 50-53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_
150_SindromaNefrotikPatogenesis.html.
Frank C. Dominant T cells in idiopathic nephrotic syndrome of childhood. Kidney
International, Vol. 57. 2000; 510–517.
Hogg RJ. Adolescents with proteinuria and/or the nephrotic syndrome. Adolesc Med. 16.
2005; 163–172.
Ismail D, et.al. 2006. Sindrom Nefrotik. Rani AA, et.al. (eds). Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. Jakarta: PB. PAPDI.
Jalanko H. Congenital nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2009; 24: 2121–2128.
Keddis MT, Karnath BM. The Nephrotic Syndrome. Hospital Physician. 2007; 38: 25 – 30.
Mansjoer A, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 edisi ketiga. Jakarta : fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.526.
Prodjosudjadi W. 2009. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW .et.al.(eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 992-1002.
14