Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Basha, 2004).

Menurut Joint National Commitee (JNC) VII tahun 2003, Hipertensi

adalah tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan

darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat anti

hipertensi (Guyton, 2007).

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah


Klasifikasi Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal 90 - 119 60 - 79
Prehipertensi 120 - 139 80 - 89
Hipertensi Tahap I 140 - 159 90 - 99
Hipertensi Tahap II ≥ 160 ≥ 100
Isolated Systolic Hypertension ≥ 140 < 90
Sumber : JNC VII (2003)

2.2.2 Penyebab Hipertensi

1. Hipertensi Primer (Essential Hypertension)

Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah

hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk

dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial

adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah

multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat
poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga.

Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan

terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan

resistensi insulin. Paling sedikit ada tiga faktor lingkungan yang dapat

menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis,

dan obesitas (Setiawati dan Bustami, 2005).

2. Hipertensi Sekunder (Secondary Hypertension)

Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder adalah kelainan dan

keadaan dari sistem organ lain seperti ginjal (gagal ginjal kronik, glomerulus

nefritis akut), kelainan endokrin (tumor kelenjar adrenal, sindroma cushing) serta

bisa diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan (kortikosteroid dan hormonal)

(Sustrani, 2006).

2.2.3 Gejala Hipertensi

Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki

gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara

lain gejala ringan seperti pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah,

tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas,

rasa berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunan dan mimisan (keluar

darah dari hidung). Namun, menurut Crea (2008), gejala hipertensi adalah sakit

kepala bagian belakang dan kaku kuduk, sulit tidur dan gelisah atau cemas dan

kepala pusing, dada berdebar- debar dan lemas, sesak nafas, berkeringat, dan

pusing.

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi.


Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling

berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi

esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit ginjal atau korteks adrenal

(2% dan 5%) merupakan penyebab utama peningkatan tekanan darah (hipertensi

sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang jelas pada pasien

penderita hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi turut berperan aktif

pada tekanan darah normal dan yang terganggu. Hal ini mungkin berperan penting

pada perkembangan penyakit hipertensi esensial. Terdapat banyak faktor yang

saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien

hipertensi (Crea, 2008).

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar

dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke

bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron

preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang

vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Crea,

2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medull adrenal mensekresi

epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol

dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh

darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,

menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I

yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang

pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan

keadaan hipertensi (Crea, 2008).

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural

dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan

tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi

otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan

distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar

berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa

oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan

peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).

2.2.5 Komplikasi Hipertensi


Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit

diantaranya adalah stroke hemorragik, penyakit jantung hipertensi, penyakit arteri

koronaria anuerisma, gagal ginjal, dan ensefalopati hipertensi (Shanty, 2011).

1. Stroke

Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena

berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang

mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi. Kadang pula stroke

disebut dengan CVA(cerebrovascular accident). Hipertensi menyebabkan tekanan

yang lebih besar pada dinding pembuluh darah, sehingga dinding pembuluh darah

menjadi lemah dan pembuluh darah rentan pecah. Namun demikian, hemorrhagic

stroke juga dapat terjadi pada bukan penderita hipertensi. Pada kasus seperti ini

biasanya pembuluh darah pecah karena lonjakan tekanan darah yang terjadi secara

tiba-tiba karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan atau faktor

emosional. Pecahnya pembuluh darah di suatu tempat di otak dapat menyebabkan

sel-sel otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan nutrisi yang dibawa

melalui pembuluh darah tersebut menjadi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati.

Darah yang tersembur dari pembuluh darah yang pecah tersebut juga dapat

merusak sel-sel otak yang berada disekitarnya.

2. Penyakit Jantung

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel

untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium

akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban

kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah

mempercepat aterosklerosis dan arteriosklerosis.

3. Penyakit Arteri Koronaria

Hipertensi umumnya diakui sebagai faktor resiko utama penyakit arteri

koronaria, bersama dengan diabetes mellitus. Plak terbentuk pada percabangan

arteri yang ke arah aterikoronaria kiri, arteri koronaria kanan dan agak jarang pada

arteri sirromflex. Aliran darah kedistal dapat mengalami obstruksi secara

permanen maupun sementara yang di sebabkan olehakumulasi plak atau

penggumpalan. Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar obstruksiarteromasus

yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium. Kegagalan

sirkulasikolateral untuk menyediakan suplai oksigen yang adekuat ke sel yang

berakibat terjadinya penyakit arteri koronaria.

4. Aneurisme

Pembuluh darah terdiri dari beberapa lapisan, tetapi ada yang terpisah

sehingga memungkinkan darah masuk. pelebaran pembuluh darah bisa timbul

karena dinding pembuluh darah aorta terpisah atau disebut aorta disekans.

kejadian ini dapat menimbulkan penyakit aneurisma diamana gejalanya adalah

sakit kepala yang hebat, sakit di perut sampai ke pinggang belakang dan di ginjal.

aneurisme pada perut dan dada penyebab utamanya pengerasan dinding pembuluh

darah karena proses penuaan (aterosklerosis) dan tekanan darah tinggi memicu

timbulnya aneurisme.

2.2.6 Penatalaksanaan Hipertensi

1. Penatalaksanaan Farmakologi

1) Diuretik
Diuretik adalah obat antihipertensi yang efeknya membantu ginjal

meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air (Setiawati, 2005). Meningkatkan

ekskresi natrium pada ginjal akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh

sehingga menurunkan tekanan darah (Sheps, 2005).

2) Penghambat Adrenergik

Menurut Sheps (2005), penghambat adrenergik merupakan sekelompok

obat yang terdiri dari alfa-bloker, beta-bloker, dan alfa-beta-bloker (abetol).

Penghambat adrenergik berguna untuk menghambat pelepasan renin, angiotensin

juga tidak akan aktif. Angiotensin I tidak akan dibentuk dan angiotensin II juga

tidak akan berubah. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam

menaikkan tekanan darah (Setiawati, 2005).

3) Vasodilator

Vasodilator adalah obat-obat antihipertensi yang efeknya memperlebar

pembuluh sarah dan dapat menurunkan tekanan darah secara langsung (Setiawati,

2005).

4) Penghambat Enzim Konversi Angiotensin

Penghambat enzim konversi angiotensin mengurangi pembentukan

angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang

menyebabkan terjadinya eksresi natrium dan air, serta retensi kalsium. Akibatnya

terjadi penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi (Setiawati, 2005).

5) Antagonis Kalsium

Menurut Sheps (2005), cara bekerja antagonis kalsium hampir sama

dengan vasodilator. Antagonis kalsium adalah obat antihipertensi yang

memperlebar pembuluh darah.


2. Penatalaksanaan Nonfarmakologi

1) Berhenti Merokok

Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat antihipertensi. Dengan

berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat (Sheps, 2005).

2) Diet

Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus membatasi asupan natrium,

mengurangi makanan berlemak, makan lebih banyak biji- bijian, buah-buahan,

sayuran dan produk susu rendah lemak dengan begitu akan meningkatkan

kesehatan kita secara menyeluruh dan memberikan manfaat khusus bagi penderita

tekanan darah tinggi (Sheps, 2005).

3) Olahraga teratur

Olah raga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta meningkatkan

kekuatan otot terutama otot jantung. Berkurangnya lemak dan volume tubuh,

berarti mengurangi resiko hipertensi (Sheps,2005).

4) Penanganan Stres

Hormon epinefrin dan kortisol yang dilepaskan saat stres menyebabkan

peningkatan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan

meningkatkan denyut jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung

pada beratnya stres, koping yang adekuat dapat berpengaruh baik terhadap

penurunan tekanan darah (Sheps, 2005).

2.2 Lanjut Usia

2.2.1 Pengertian Lansia


Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 yang dimaksud lansia

adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.

2.2.2 Batasan Lanjut Usia

WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/biologis

menjadi 4 kelompok yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

2. Lanjut usia (eldery) usia 60-74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) usia diatas 90 tahun

2.2.3 Kemunduran akibat proses menua

Usia lanjut mengubah jaringan tubuh seseorang. Proses menua ini

mengubah jaringan ikat dan jaringan yang bersifat elastis menjadi kurang elastis.

Akibatnya, jaringan menjadi lebih kaku, dan pengisian darah kejantung, terutama

ke bilik kiri, menjadi terganggu. Fungsi jantungpun akan menurun. Pembuluh

darah besar juga mengalami perubahan, akibatnya kekakuan pebuluh darah yang

mengalirkan darah ke jantung.

Penyempitan pembuluh darah juga akan terjadi, akibat pengelolaan unsur

natrium (unsur utama yang sehari-hari ditemukan pada garam dapur) terganggu.

Tekanan darah meninggi. Namun, ini bervariasi antara satu dengan yang lainnya.

Hal ini erat hubungannya dengan kepekaan pembuluh darah. Karena itulah,

walaupun seks sama, usia dan berat badan sama, tapi belum tentu tekanan

darahnya sama.
Gangguan pada fungsi jantung juga mengganggu aliran darah, baik itu

keotak, ginjal, otot-otot, juga paru-paru. Paru-paru berkurang daya hirupnya,

sehingga kapasitas fisik berkurang dan orang pun mudah lelah. Perubahan penting

terjadi pada fungsi hati dan ginjal. Ini sangat penting diperhitungkan, sebab

berhubungan dengan pengelolaan obat-obatan yang diberikan untuk mengobati

penyakit tertentu.

2.2.4 Hipertensi pada Lansia

Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun.

Kontrol tekanan darah yang ketat berhubungan dengan pencegahan terjadinya

hipertensi yang tak terkendali.

Hipertensi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada orang lanjut

usia dan menjadi faktor risiko utama insiden penyakit kardiovaskular. Karenanya,

kontrol tekanan darah menjadi perawatan utama orang-orang lanjut usia. Jose

Roesma, dari divisi nefrologi ilmu penyakit dalam FKUI-RSUPN dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta mengungkapkan bahwa pada orang tua umumnya terjadi

hipertensi dengan sistolik terisolasi yang berhubungan dengan hilangnya

elastisitas arteri atau bagian dari penuaan. Jenis yang demikian lebih sulit untuk

diobati dibanding hipertensi esensial atau pada pasien yang lebih muda. Obat-obat

antihipertensi terbaru yang bekerja pada sistem renin-angiotensin-aldosteron,

misalnya Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin-

receptor blocker memiliki potensi perbaikan kardiovaskular pada orang tua akibat

penurunan tekanan darah efektif.

Seperti telah disebutkan, para lansia ternyata lebih sering mengalami

hipertensi sistolik dan pengobatan hipertensi sampai saat ini masih banyak yang
terfokus pada tekanan diastolik <90 mmHg tanpa memikirkan angka sistoliknya,

sehingga banyak lansia yang tidak terdeteksi menderita hipertensi sistolik.

Penelitian juga menyebutkan bahwa menurunnya tekanan sistolik dapat

menyebabkan penurunan curah jantung, risiko infark miokard, serta penyakit

kardiovaskular lainnya. Tekanan sistolik juga menjadi prediktor yang lebih

sensitif dibanding tekanan diastolik.

2.2.5 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penderita Lanjut Usia

Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang

terbaru yaitu :

1. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah

diastolik 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis

dengan cara modifikasi gaya hidup.

2. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan penatalaksanaan

secara farmakologis dengan diberikan obat golongan diuretik atau bisa juga

diberikan obat dari golongan lain.

3. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus

dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah

diastoliknya tidak.

4. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi antihipertensi,

salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.

5. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk

mencapai tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang

diinginkan.
6. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic

masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan hipertensi

yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.

Selain itu, juga diperlukan modifikasi pola hidup bisa dilakukan dengan

cara memperbaiki beberapa pola hidup, seperti menurunkan berat badan jika ada

kegemukan, mengurangi minum alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik,

mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang adekuat,

mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat, menghentikan

merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada

orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum

menggunakan obat-obatan (Kuswardhani,2006).

2.3 Gaya Hidup

2.3.1 Pengertian gaya hidup

Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan

dalam aktifitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri

seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya (Sakinah, 2002 dalam Puspita

RW, 2009).

Gaya hidup sehat menggambarkan pola prilaku sehari-hari yang mengarah

pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan

positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat

badan, tidak merokok dan alkohol, olahraga secara teratur dan terampil dalam

mengelola stres yang dialami. (Lisnawati, 2001 dalam Puspita RW, 2009).
Gaya hidup yang dapat menyebabkan / pemicu hipertensi adalah sebagai

berikut :

1. Berat badan berlebih

Orang yang memiliki berat badan berlebih cenderung memiliki tekanan

darah yang lebih tinggi dari orang yang kurus. Hal ini karena tubuh orang yang

memiliki berat badan berlebih harus bekerja lebih keras untuk membakar

kelebihan kalori yang dikonsumsi. Selain itu juga orang yang memiliki berat

badan berlebih cenderung mengkonsumsi garam lebih banyak. Hubungan berat

badan dan tekanan darah juga berkaitan dengan efek-efek penting dari hormon-

hormon tertentu, selain kapasitas tubuh untuk mengolah garam. Namun dari sudut

pandang yang praktis, menurunkan berat badan adalah cara efektif untuk

menurunkan tekanan darah (Beevers DG, 2002).

2. Jarang berolahraga

Orang yang tidak aktif berolahraga lebih rentan terhadap tekanan darah

tinggi. Penelitian telah membuktikan hubungan yang jelas antara olahraga dan

tekanan darah yaitu efek jangka panjang dari olahraga secara teratur adalah

tekanan darah diastolic berkurang hingga 10 mmHg. Olahraga juga mengurangi

faktor resiko penyakit jantung koroner dan stroke. Tidak hanya mengurangi lemak

jahat (LDL – low density lipoprotein) dan kolesterol VLDL (very low density

lipoprotein), namun juga meningkatkan lemaik baik kolesterol dalam darah (HDL

– high density lipoprotein). Olahraga juga mengurangi penggumpalan darah yang

disebut fibrinogen (Jain R, 2011).

3. Pola konsumsi alkohol yang tinggi


Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah. Peminum berat atau

alkoholik sangat berisiko mengalami peningkatan tekanan darah dan memiliki

faktor resiko yang tinggi untuk menderita stroke. Hal ini disebabkan efek

mengkonsumsi alkohol yang tinggi dapat mempengaruhi kolesterol dalam darah

dan pembekuan darah (Jain R, 2011).

4. Merokok

Merokok tidak menyebabkan tekanan darah tinggi, tapi meningkatkan

risiko penyakit lain yang berkaitan dengan hipertensi. Orang dengan tekanan

darah tinggi yang berumur diatas 50 tahun tiga kali lebih rentan terhadap serangan

jantung yang disebabkan oleh merokok. Merokok memiliki risiko yang sangat

besar tidak hanya bagi munculnya penyakit jantung koroner dan serangan stroke,

tetapi juga kanker mulut, tenggorokan, hidung, paru-paru, pangkal tenggorokan,

kandung kemih, dan pancreas, asma, serta penyakit gangguan fungsi paru-paru

dan gangguan arteri kaki. Hampir semua orang dibawah 45 tahun yang terkena

serangan jantung merupakan perokok (Jain R, 2011).

5. Kebiasaan Tidur

Kualitas tidur dulunya belum dikenal sebagai penyebab hipertensi karena

kebanyakan orang hanya menganggap enteng hal tersebut. Mekanisme biologis

yang berperan ialah meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis saat tidur akibat

penurunan kadar oksigen dan episode bangun singkat. Hal ini mengakibatkan

rusaknya pembuluh darah serta meningkatnya tekanan pada aliran darah sehingga

menyebabkan hipertensi (Candra, 2012). Javaheri dkk (2008) mengatakan bahwa

pencegahan hipertensi harus diberi perhatian khusus terhadap kualitas tidur yaitu

dengan mengoptimalisasi waktu tidur juga sangat penting selain memodifikasi


gaya hidup, berolahraga, dan pengaturan diet akan mengurangi resiko hipertensi

dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Menurut penelitian orang lansia

membutuhkan tidur selama 8 jam dalam satu hari. Dalam tidur seseorang secara

alami tekanan darah akan menurun. Namun akibat kurang jam tidur orang lansia

dapat memicu masalah tekanan darah (Yulianti, 2006).

6. Keadaan Stres

Suheni (2007), yang menyatakan bahwa responden yang mengalami stres

memiliki resiko terkena hipertensi sebesar 9,333 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan responden yang tidak memiliki stres. Dalam Cahyono (2008), stres adalah

respon fisiologik, psikologis, dan perilaku seseorang individu dalam menghadapi

penyesuaian diri terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal.

Menurut Hawari (2001), stress adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik

terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang berdampak pada

sistem kardiovaskuler. Stresor Psikososial itu sendiri terdiri dari: perkawinan,

orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan,

penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma.

Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi

saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan

pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin, 2006).

Menurut Depkes RI (2006) dan Sutanto (2010), stres atau ketegangan jiwa

(rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan bersalah). Ketika otak

menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk meningkatkan

sistem simpatetik berjalan dan mengakibatkan hormon stres dan adrenalin

meningkat. Liver melepaskan gula dan lemak dalam darah untuk menambah
bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah oksigen bertambah.

Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin cepat sehingga

meningkatkan tekanan darah.

Sutanto (2010), menjelaskan bahwa pelepasan hormon adrenalin oleh anak

ginjal sebagai akibat stres berat akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan

meningkatkan kekentalan darah yang membuat darah mudah membeku atau

menggumpal. Adrenalin juga dapat mempercepat denyut jantung, menyebabkan

gangguan irama jantung dan mempersempit pembuluh darah koroner.

7. Mengurangi konsumsi garam

Seperti yang telah diketahui, garam memiliki peranan yang penting dalam

peningkatan tekanan darah, dalam hal ini adalah kandungan natrium dalam garam

(Jain R, 2011). Natrium bersifat mengikat air. Pada saat garam dikonsumsi, maka

garam akan mengikat air sehingga air akan terserap masuk ke dalam pembuluh

darah yang menyebabkan meningkatnya volume darah. Apabila volume darah

meningkat, kerja jantung akan meningkat dan akibatnya tekanan darah juga

meningkat. Selain itu natrium merupakan salah satu komponen zat terlarut dalam

darah. Dengan mengkonsumsi garam, konsentrasi zat terlarut akan tinggi sehingga

menyerap air masuk dan selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan darah

(Puspitorini M, 2008 dalam Budiyanti YM, 2012).


2.4 Kerangka Konseptual

LANSIA HIPERTENSI

Gaya hidup penderita Hiperetnsi pada


lansia
 Berat Badan berlebih
 Jarang Olah Raga
 Pola Konsumsi Alkohol
 Merokok
 Kebiasaan Tidur
 Keadaan Stress
 Mengurangi Konsumsi Garam

Gambar 2.1 Kerangka konsep


Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Penjelasan Kerangka Konsep :

Hipertensi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada orang lanjut

usia dan menjadi faktor risiko utama insiden penyakit kardiovaskular. Karenanya,

kontrol tekanan darah menjadi perawatan utama orang-orang lanjut usia.

Gaya hidup sehat menggambarkan pola prilaku sehari-hari yang mengarah

pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan

positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat

badan, tidak merokok dan alkohol, olahraga secara teratur dan terampil dalam

mengelola stres yang dialami.

Anda mungkin juga menyukai