Kelompok A-18
Ketua : Bella Bonita (1102014057)
Sekretaris : Anindya Anjas Putriavi (1102014027)
Anggota : Firdaus Saleh (1102013112)
Futuh Muhammad Perdana (1102013116)
Anggi Suryati (1102014025)
Dini Pela Rudia (1102014076)
Dira Adhitiya Ningrum (1102014077)
Diyah Fathonah (1102014078)
Eka Syafnita (1102014083)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015
DAFTAR ISI
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam yang hilang
timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada
persendian, rambut rontok dan pipi bewarna merah bila terkena sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut.
Pada wajah terlihat malarash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien
menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun
(autoantibodimisalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada
pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan
penanganan seumur hidup.
Pertanyaan
Jawaban
1. Mual, sakit kepala, sariawan, nyeri sendi, malar rash, rambut rontok, kehilangan nas=fsu
makan, demam, lelah, anemia, kejang, gangguan daya ingat.
2. Pada wanita terdapat hormone esterogen yang dapat memicu daya kerja imun sehingga
mendukung proses terjadinya penyakit ini. Sedangkan pada pria terdapat hormone
testosterone yang menurunkan daya kerja imun sehingga dapat menekan penyakit ini.
Perbandingan pasien lupus perempuan dan laki-laki adalah 9:1.
3. Penyebab LES : Genetik dan Autoimun
Faktor yang mempengaruhi : Hormon, sinar UV, lingkungan, komplemen, obat-obatan,
toksin
4. Saat tubuh dimasuki oleh antigen, antibodi akan mengikat antigen tersebut dan
membentuk kompleks Ag-Ab. Lalu komplemen akan berikatan dengan FC antibody yang
telah berikatan dengan antigen tadi. Setelah itu makrofag akan datang dan berikatan
dengan komplemen yang akan menyebabkan histamin keluar dan terjadinya vasodilatasi
pertama. Proses makrofag yang berikatan akan terus berulang sehingga vasodilatasi terus
terjadi. Pada saat itu komplemen akan berada di tepi dinding arteri.
5. Karena terjadi vasodilatasi kapiler darah di pipi
6. Terdapat mediator IL-1, IL-6 yang dapat mempengaruhi set-point hipotalamus
7. Karena kemungkinan relaps dapat terjadi dan lupus sampai sekarang belum dapat diterapi
secara tuntas
8. Autoimun spesifik: kelainan lokal, ex: kelainan kelenjar tiroid
Autoimun nonspesifik : kelainan sistemik, ex: LES
9. Untuk pemeriksaan penunjang
Membantu menegakan diagnosis
Untuk marker autoimun
10. Lupus dan HIV pada dasarnya sama-sama penyakit autoimun namun dalam hal
penyebabnya ada perbedaan. Lupus adalah penyakit autoimun yang non-infeksi.
Sedangkan HIV adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh virus (infeksi virus)
11. Manusia harus percaya bahwa semua penyakit ada obatnya
Manusia harus sabar dan tabah dalam menghadapi penyakit, harus selalu berikhtiar dan
bertawakal kepada Allah SWT.
Karena penyakit itu adalah cara Allah SWT untuk menggugurkan dosa-dosa kecil
manusia
HIPOTESA
LES adalah penyakit autoimun tipe non-spesifik yang disebabkan oleh genetik dan autoimunitas.
LES ditandai dengan malar rash, anemis, demam hilang timbul dengan suhu subfebris dan
diperlukan pemeriksaan ds-DNA untuk penegakan diagnosis. LES paling banyak ditemukan
pada wanita karena adanya pengaruh hormon esterogen. Sampai saat sekarang ini, LES belum
dapat disembuhkan oleh karena itu diperlukan penanganan seumur hidup. Sebagai umat Islam,
kita harus ikhlas, sabar, ikhtiar, tawakal dan percaya bahwa percaya bahwa semua penyakit itu
ada obatnya.
SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan menjelaskan Autoimun
1.1.Definisi + Toleransi Imun
1.2.Etiologi
1.3. Klasifikasi
1.4. Mekanisme
LI.3. Memahami dan menjelaskan pandangan Islam tentang akhidah , sabar, ikhlas, ridha
menghadapi musibah
1. Memahami dan menjelaskan Autoimun
1.1. Definisi + Toleransi imun (Definisi, Etiologi dan Mekanisme)
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B,
sel T atau keduanya. (Karnen, Imunologi dasar, 10th Edition)
Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang
ditimbulkan oleh respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting, oleh karena
respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang ditimbulkan
mekanisme lain (seperti infeksi).
Toleransi Imun
Toleransi Sel T
a. Toleransi sentral
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan limfosit
yang self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel hidup melalui
ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self
MHC dalam timus akan mati dengan apoptosis.
b. Toleransi perifer
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan
toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau
terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi
primer. Terdapat mekanisme yang dapat mencegah terjadinya toleransi perifer,
seperti ignorance, anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.
Toleransi Sel B
a. Toleransi sentral
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self reaktif pada toleransi sel T juga
berlaku pada sel B. sel B yang self reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang.
Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen yang
multivalent dalam sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau
spesifisitas baru yang disebut receptor editing.
b. Toleransi perifer
Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke
zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa,
diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi ke sel folikel sel B dan
apoptosis ditingkatkan. Siklus hidup sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari.
Namun beberapa sel B anergik self-reaktif masih dapat mengikat antigen dengan
afinitas tinggi, berperan dalam respon terhadap antigen asing. Proses hipermutasi
somatik gen immunoglobulin pada sel B matang di sentrum germinativum kelenjar
limfoid juga mempunyai potensi untuk membentuk autoantibodi. Produksi antibodi
self-reaktif adalah terbatas. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima
bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak dapat berfungsi.
Bila sel T dan sel B keduanya mengenal antigen asal pathogen pada waktu dan lokasi
yang sama, sel T akan memberikan bantuan untuk sel B dan memacunya untuk
memproduksi dan melepas antibodi. Seperti halnya dengan
sel T stimulasi kronis kadar rendah antigen lebih cenderung menimbulkan anergi,
sedang stimulasi yang meningkat dengan cepat cenderung menimbulkan aktivasi.
1.2. Etiologi
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen
Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai
risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai
gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit
LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi
anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung
membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES
dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm
dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau
C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi
komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan
manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada
komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi
menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan
menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan
predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun
selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi
komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi
interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam
sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan
eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat
oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada
permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi
kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan
berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan
estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria
memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada
percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome
dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan
dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat
melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I
atau II.
1.3. Klasifikasi
Penyakit autoimun dapat di anggap sebagai segolongan penyakit yang jika di susun
secara berurutan akan membentuk spektrum. Pada ujung spektrum yang satu terdapat
penyakit autoimun yang spesifik organ dan pada ujung lainnya terdapat penyakit
autoimun yang non-spesifik organ.
1.4. Mekanisme
Ada empat dasar mekanisme yang menyebabkan kejadian penyakit autoimun :
A. Mediasi Antibodi :
Keberadaan antibodi spesifik melakukan perlawanan terhadap
antigen tertentu (protein) mendorong kerusakan dan timbulnya tanda-tanda penyakit.
Contohnya; auto-immune mediated hemolytic anemia, dimana targetnya adalah
permukaan sel darah merah; myesthenia gravis dimana targetnya adalah acetylcholine
receptor pada neuromuscular junction; hypoadrenocorticism (Addisons’s) dimana
targetnya adalah sel dari kelenjar adrenal (Aronson, 1999 : Mims, 1982).
B. Mediasi Immune Kompleks:
Antibodi diproduksi melawan protein didalam tubuh,
komplek ini dalam bentuk molekul besar yang bersikulasi keseluruh tubuh. Pada
systemic lupus erythematosus (LES), antibodi dibentuk justru merusak beberapa
komponen-komponen didalam inti selnya ( sehingga anti-nuclear antibody test (ANA)
dilakukan untuk LES). Sebagian besar antibodi-antibodi yang diproduksi merusak
double stranded DNA, dan membentuk komplek terlarut yang tersirkulasi yang akan
memecah kulit dan menyebabkan peningkatan sensitivitas pada ultraviolet dan
berbagai gejala lainnya. Karena darah tersaring melalui ginjal, maka kompleks
tersebut akan tertahan dalam glomeruli dan pembuluh darah yang menyebabkan ginjal
kekuarangan protein sehingga mengalami glomeulonephritis. Kondisi ini juga merusak
pembuluh darah lainnya, dan dimungkinkan terjadinya haemorhagi, sebagaimana
akumulasi dari cairan synovial dan menyebabkan tanda-tanda arthritis dan kesakitan
persendian. Rheumatoid arthritis diakibatkan dari immune complexes (kelompok
antibodi IgM mengikat rheumatoid factor) merusak bagian dari sistem kekebalan
hewan (bagian dari molekul Ig G). Bentuk komplek ini dideposit di ruang persendian
synovial yang menyebabkan respon peradangan, pembengkakan persendian dan
kesakitan. Kolagen dan cartilage dirusak dan seringkali digantikan dengan fibrin
sehingga menyebabkan fuses dari persendian – ankylosis (Aronson, 1999).
C. Mediasi Antibodi dan sel T cell :
Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang
satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi immune. Ketika
dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan merusak
protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose pada suatu
antigen, maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan respon lebih banyak
dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap antigen tertentu itu
dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan vaksinasi. Pada kejadian Thyroiditis
(autoimmune hypothyroidism) tampaknya memberikan dampak mixed ethiology,
dimana beberapa antigen yang menjadi target dan juga sekaligus hormon penting
thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi dikenali. Autoantibodi terhadap
antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh
sejumlah besar sel T, sel B demikian pula sel Makrophage yang akan "menelan" dan
menghancurkan sel-sel lainnya. Sel T yang terprogram secara spesifik terhadap
thyroglobulin ini telah diidentifikasi (Aronson, 1999 : Salyers dan Whitt, 1994 :
Madigan dkk, 1997).
Patofisiologi Autoimunitas
Sebetulnya sel T mampu untuk mengenali antigen self, karena pada masa
pematangannya, sel T yang belum matang telah terpajan kepada banyak antigen self. Sel
T yang tidak bisa mengenali self (T-cell self-reactive) akan dibuang, yaitu pada proses
clonal deletion. Antigen dari jaringan yang berada diluar dari sirkulasi darah dan tidak
diperkenalkan kepada sel T, tidak dapat menimbulkan self-tolerance. Pajanan antigen
tersebut kepada sel T yang sudah matang, nantinya, dapat mengaktivasi respon imun.
Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP), yaitu antigen yang
terletak di luar sistem imun; MBP tidak terjangkau oleh sistem imun karena dihalang oleh
blood-brain barrier. Pada percobaan, seekor hewan diinjeksi dengan MBP + adjuvant,
yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus tersebut, sistem imun hewan
percobaan terpajan oleh antigen self yang asing, namun dalam keadaan nonfisiologis
(dalam keadaan percobaan). Pada eksperimen yang sama, ternyata kasus tersebut dapat
dicegah apabila MBP diinjeksi langsung ke timus, sehingga sel T dapat terpajan oleh
antigen terkait pada saat pematangannya. (Kindt, et. al., 2007)
Mimikri Molekuler
Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan terjadinya autoimunitas.
Perlu disadari bahwa manusia terserang penyakit di mana penyakit tersebut endemik di
wilayah tertentu. Namun seiring dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia
meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian autoimunitas juga meningkat. Hal ini
diduga karena beberapa mikroba atau virus tertentu memiliki determinan antigen yang
mirip dengan antigen sel yang dimiliki host. Hal ini dinamakan mimikri. Pada satu studi,
sebanyak 600 antibodi monoklonal yang spesifik terhadap 11 virus dites reaktivitasnya
terhadap sel tubuh host. Sebanyak 3% dari antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga
berikatan dengan sel tubuh normal, sehingga disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa
menjadi fenomena yang sering terjadi. (Kindt, et. al., 2007)
2.2. Etiologi
1. Genetik:
Elemen yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadal LES pada manusia
adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Pada penelitian
populasi menunjukan bahwa kepekaan terhadam LES melibatkan polimorfisme dari
gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Gen HLA kelas II juga berhubungan
dengan dengan adanya antibodi tertenu seperti anti –Sm (small nuclear
ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-RNP, (nuclear ribonuclear protein) dan
anti-DNA.
Banyak gen non-MHC polimorfik yang berhibungan dengan LES, termasuk gen
yang mengkode mannosebinding protein (MBP), TNF-α, reseptor sel T, interleukin 6
(IL-6), immunoglobulin Gm dam Km allotypes, FcγRIIIA dan heat shock protein 70
(HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple (multiple chromosome regions)
sebagai resiko berkembangnya LES, mendukung pendapat bahwa LES merupakan
peyakit poligenik.
2. Defisiensi komplemen
a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.
d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan
menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.
Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat, menaikkan
jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di
jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.
3. Hormon
LES adalah penyakit yang lebih banyak menyerag perempuan. Serangan pertama
kali LES jarang terjadi pada usia pubertas dan setelah monopouse. Penderita sindrom
Klinefelter’s dengan karakteristik hypergonadotrophic hypgogonadism, cenderung
akan berkembang menjadi LES. Hal ini menunjukan adanya peran hormone sex
endogen dalam predispose penyakit.
Perempuan dengan LES mempunyai androgen plasma yang rendah, termasuk
testosterone dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Konsentrasi testosterone plasma yang rendah
dan meningkatnya konsentrasi Luteinising hormone (LH) ditemukan pada beberapa
penderita LES laki-laki. Jadi esterogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone
androgen yang tidak adekuat pada laki-laki dan perempuan dapat mengakibatkan
adanya perubahan respon imun.
Esterogen dengan dosis tinggi menghabat respons sel T, seperti poliferasi dan
produksi IL-2. Esterogen juga meningkatkan kadar calcineurin mRNA dan menambah
ekspresi CD40 ligand (CD40L) permukaan pada sel pada kultur sel T dari penderita
LES. Efek ini mengindikasikan bahwa sel T lupus lebih sensitif terhadap esterogen.
Esterogen diduga memperburuk LES dengan memperpanjang hidup sel-sel
autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T helper tipe 2 (Th2) dan menstimulasi
produksi autoantibody oleh sel B. penghambatan respons Th1 dan penambhan ekspresi
CD40L pada sel T lupus, secara tidak langsung meningkatkan respon Th2 dan
selanjutnya akan mengakibatkan hiperaktivitas sel B.
4. Disfungsi Imun
Gangguan imunologis utama pada penderita LES adalah produksi autoantibodi.
Antibodi ini ditunjukan kepada self molecules yang terdapat pada nucleus, sitoplasma,
permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi.
Antibodi antinuclear (ANA) adalah antibody yang paling banyak ditemukan pada
penderita LES (> 95%).Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm
antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk LES, sehingga dimasukan dalam
klasifikasi dari LES.
5. Autoantibodi
Antigen Spesifik Prevalensi (%) Efek Klinik Utama
Anti ds-DNA 70 – 80 % Gangguan ginjal, kulit
Nukleosom 60 – 90 % Gangguan ginjal, kulit
Ro 30 – 40 % Gangguan ginjal, kulit
Gangguan jantung fitus
La 15 – 20 % Gangguan jantung fetus
Sm 10 – 30 Gangguan ginjal
Reseptor NMDA 33 – 50 % Gangguan otak
Fosfolipid 20 – 30 % Trombosis, abortus
α Actinin 20 % Gangguan ginjal
C1q 40 – 50 % Gangguan ginjal
6. Lingkungan
a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi
reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel
setelah itu terjadi inflamasi.
Faktor fisika / kimia
Amin aromatik
Hydrazine
Obat – obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin)
Merokok
Pewarna rambut
Sinar ultra violet (UV)
Faktor makanan
Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
L – canavenine (kuncup dari alfalfa)
Agen infeksi
Retrovirus
DNA bakteri / endotoksin
2.5. Manifestasi
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks,
atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara
bersamaan. Hence, manifestasi ini dibagi menjadi:
a. Manifestasi konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu
kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagaian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
b. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada Muskuloskeletal ditemukan poliarthritis,
biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa
erosi sendi. Selain itu, ditemukan juga mialgia pada 60% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis
sering didapatkan dan berhubungan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan steroid.
c. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly rash,
ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform, dll. Selain itu, pada
kulit juga dapat ditemukan tanda tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedo retikularis, ulkus jari, gangrene.
d. Manifestasi Kardiovascular
Diantara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial
sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai
oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.
e. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES sering kali bersifat subklinik sehingga foto torax dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan
respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi
pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak
bermakna.
f. Manifestasi ginjal
Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada
tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proterinuria kuantitative dan klirens kreatinin.
g. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
kronik, gastritis erosif dengan pendarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu
ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus
dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus,
i. Manifestasi gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak specifik, splenomegali, peritonitis
aseptik, vaskulitis mesenterial, pancreatitis. Selain itu ditemukan juga peningkatan SGOT
dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
Gejala lainnya :
2.6. Diagnosis
Anamnesis
Demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu, mual, tidak nafsu makan, mulut
sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi bewarna merah bila terkena
sinar matahari.
Pemeriksaan Fisik
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala yang sangat
bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak adapengujian tunggal
yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus
eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan oleh Asosiasi Reumatik Amerika
(ARA). Kesebelas kriteria tersebut berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan
diatas.
Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin
tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun
setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis
lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus
eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana
hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang
lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian.
Bila 4 dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas
Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti doublestranded-
DNA*, antibodi antifosfolipid, antibodi lain (anti-Ro, anti-La, anti-RNP), faktor
rheumatoid, titer komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan IgA, uji Coombs,
kreatinin, ureum darah*, protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis), foto Rontgen toraks
Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada,
tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat
diagnosa LES, antara lain :
1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel
sering muncul di dalam darah.
2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).
Menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel
3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi
Menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yangditemukan dalam sel
protein inti).
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) didalam
darah
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat
spesifik dari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu: pemeriksaan darah untuk mencari
keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap
lapisan inti sel lain.
7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8. Urine Rutin
9. Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit
11. Biopsy Ginjal
Terapi konservatif
Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat
diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.
OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid.
OAM mempunyai efek :
Sunblocking
Mengikat melanin
Antiinflamasi
Imunosupresan
Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu
metabolisme rantai α dan β HLA II.
Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh makrofag, IL-2 dan IFN-γ oleh sel
T.
Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid
sistemik dan obat eksperimental lainnya.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis,
lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :
Methemoglobinemia
Sulfhemoglobinemia
Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)
Terapi agresif
Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius LES
dan mengancam nyawa, misalnya :
Vaskulitis
Lupus kutaneus berat
Poliartritis
Poliserositis
Miokarditis pneumonitis lupus
Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Sindrom otak organik
Defek kognitif berat
Mielopati
Neuropati perifer
Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau
jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan
dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan
selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan
secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid
meliputi :
Nausea
Vomitus alopesia
Sistitis hemoragika
Keganasan kulit
Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia
Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari
siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol
dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan
dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :
Penekanan sistem hemopoetik
Peningkatan enzim hati
Mencetuskan keganasan
Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada LES baik
tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah
meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :
Terapi hormonal
Imunoglobulin
Afaresis
- Plasmafaresis
- Leukofaresis
- Kriofaresis
Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat
mengatasi trombositopenia pada LES. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.
Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400
mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk
mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi
IgA pada penderita LES.
Penatalaksanaan non-farmako :
Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat LES merupakan penyakit
yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada
wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil
maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama
hamil
Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien
Lupus, yakni Care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta.
Mereka bekerja sama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai
lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan financial untuk pasien
yang kurang mampu dalam pengobatan
Istirahat
Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
Tabir surya
Pada penderita LES aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar
sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum
terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
Monitor ketat
Penderita LES mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian
kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita LES,
sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.
Trombositopenia
Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :
Efek samping obat
Purpura trombositopenia trombotik
Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)
Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)
Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit <
50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit >
50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau
splenektomi.
Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat
diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.
Nefritis lupus
Penatalaksanaan umum :
1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila
tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut.
2. Kurangi asupan :
a. Garam (bila ada hipertensi)
b. Lemak (bila ada dislipidemia)
c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)
3. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid
4. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema
5. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS
6. Terapi agresif terhadap hipertensi
7. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal
8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi LES kulit, dapat diberikan OAM
9. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :
a. Tekanan darah
b. Sedimen urin
c. Kreatinin serum
d. Albumin serum
e. Protein urin 24 jam
f. Komplemen C3
2.9. Komplikasi
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk.
Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada LES,
dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
2.10. Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak
penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil
dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan
penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk
ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan
ginjal yang berat.
3. Memahami dan menjelaskan pandangan Islam tentang akhidah & sabar, ikhlas, ridha
menghadapi musibah
1. Sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah
berfirman:
واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan
senja hari.” (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Allah berfirman:
والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).
2. Ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal
yang bisa mencampurinya.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar
manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau
membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan
(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan
amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan
inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak
menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung
dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb
manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia
tidak meridhoimu).
3. Ridho
Ridho ()رضِ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan
qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang
menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun
yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi
hamba-Nya.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
BalaiPenerbit FKUI.
Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V,
volIII Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Goronzy JJ, Weyand CM. The innate and adaptive immune systems. In: Goldman L,
Ausiello D, eds.Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;2007: chap
42.
Siegel RM, Lipsky PE. Autoimmunity. In: Firestein GS, Budd RC, Harris Ed, et al,
eds. Kelley's Textbook of Rheumatology. 8th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;
2009:chap 15.