Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa
kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar
1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa
itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketatanegaraan, yaitu antara lain dengan
adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system
supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa
kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang
satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
serta perlu dilembagakannya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan
produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip, The Rule of
Majority”.
Karena itu, fungsi-fungsi Judicial Review atas konstitusionalitas Undang-Undang dan proses
pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan / Wakil Preseiden dikaitkan
dengan fungsi MK. Disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan
berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang
biasa, seperti sengketa Pemilu dan tuntutan
pembubaran suatu partai politik. Perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan
kebebasan para warganegara dalam dinamika system politik demokratis yang dijamin oleh UUD
1945

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung.
Dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Permohonan yang diatur secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi adalah mengenai :
1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pembubaran partai politik.
4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum, atau pendapat DPR bahwa Presiden dan / Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.Kewenangan dan Hak Mahkamah Konstitusi
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
:
1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusnya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
2. Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaiana diatur dalam
Undang-Undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pudana penjara 5
(lima ) tahun atau lebih
d. Perbuatan yang tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan /atau
Wakil Presiden
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana
ditentukan dalam pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan mahkamah konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-
undang dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi akan
menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar lembaga negara yang
kewenangannya ditentukan dalam undang-undang dasar, karena itu sumber kewenangan
mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang dasar.
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Mk mempunyai 4 Kewenangan Konstitusional
yaitu :
1. Menguji undang-undang terhadap UUD
2. Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.
3. Memutuskan sengketa hasil pemilu
4. Memutuskan pembubaran partai politik .
Sementara kewajiban Konstitusi MK adalah memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD
1945.
1.DASAR HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7 B dan 24C)
a.Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28
sampai engan Pasal 85);
b.Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009
Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
c.Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009
Tata Tertib Persidangan
d.Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009
Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan
Jarak Jauh (Video Conference)
e.Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil Presiden
f.Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para pihak
bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di MK
merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat peradilam di MK adalah erga omnes yang
mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-
tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

2.KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang
sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat
(Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9
(sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari
Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii)
Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa
Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah
Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula
beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara
Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai
Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya,
namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang
tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan
nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum
yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.

Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan
perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ
negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan
bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau
bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah
pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya.
Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang,
misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat
Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
3.TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Mk mempunyai 4 tugas Konstitusional yaitu :
1. Menguji undang-undang terhadap UUD
2. Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.
3. Memutuskan sengketa hasil pemilu
4. Memutuskan pembubaran partai politik
Sementara kewajiban Konstitusi MK adalah memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.
Tanpa harus mengecilkan arti kewenangan lainnya dan apalagi tidak cukup ruang untuk
membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari keempat kewenangan dan satu kewajiban
konstitusional tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu
pengetahuan adalah pengujian atas Konstitusionalitas.
3. Tanggung Jawab dan akuntabilitas MK
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organoisasi, personalia, administrasi, dan
keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.

D.MASA KERJA MAHKAMAH KONSTITUSI


a. MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2)
huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain
ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif.

Dengan demikian, pengusaha tetap boleh menyerahkan atau memborongkan pekerjaannya


kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai
dengan pertimbangan MK yang menyatakan“...penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha
yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.”

b. MK tidak menyatakan sistem outsourcing sebagai sistem terlarang dalam relasi bisnis dan
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13
Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk
melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b)
sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.

c. Yang tidak mengikat dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No 13 Tahun
2003 hanya mengenai frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ sepanjang tidak mengatur syarat
jaminan pengalihan perlindungan hak pada perusahaan pemenang tender berikutnya. MK tidak
menyebutkan apa yang dimaksud dengan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh tetapi hal
itu dapat dipahami meliputi dua hal: (a) jaminan kelangsungan bekerja saat berakhir perjanjian
pemborongan; (b) jaminan penerimaan upah tidak lebih rendah dari perusahaan sebelumnya;

d. Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT
memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak pekerja/buruh bahwa hubungan kerja
pekerja/buruh yang bersangkutan akan dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek
kerjanya tetap ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan perlindungan
hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis,
syarat PKWT bisa diatur pada bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi
sebagai alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT atau PKWTT;

e. Amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam
lingkungan perusahaanoutsourcing harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Di dalam pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu
model outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan
PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan
pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan
sejak awal menerapkan PKWTT.

E.TANGGUNG JAWAB MAHKAMAH KONSTITUSI


Tanggung jawab Mahkamah Konstitusi adalah mengatur organoisasi, personalia, administrasi,
dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.
Mahkamah Konstitusi berkewajiban mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara
terbuka mengenai :
1. Permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputuskan.
2. Pengelolaan keuangan dan tugas administrasi Negara lainnya.
Laporan sebagaimana dimaksud diatas dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Hakim Konstitusi harus mempunyai syarat sebagai berikut :
1. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak buruk
2. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat
diantaranya :
1. Warga Negara Indonesia
2. Berpendidikan sarjana hukum
3.Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan
4. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang lebih memperoleh
kekuatan hukum tetap karena tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih ;
5. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan ; dan
6. Mempunyai pengalaman kerja dibidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung. 3 orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat , dan tiga orang oleh Presiden.
Masa jabatan Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun.
Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena
masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan
kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya
2 tahun).
F.HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA NEGARA
1.HUBUNGAN MK DENGAN MA

Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat
dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-
sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah
dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-
perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta
sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman
ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah
Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan
secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan
militer.

Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak
peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun
subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per
orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di
Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara
atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan
pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang
per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat
konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara ‘impeachment’
terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, seperti yang biasa saya sebut
untuk tujuan memudahkan pembedaan, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah‘court of
justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’[1]. Yang satu mengadili
ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan
sistem keadilan itu sendiri.

Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah


Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung
independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga
mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja,
sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata
kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian Mahkamah
Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu.
Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif
diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.DPR dan Pemerintah kemudian
membuat Rancangan Undang-Undang tantang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam , DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi pada 13 agustus 2003 dan disahkan oleh
Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil
sumpah jabatan para hakim konstitusi diistana Negara pada tanggal 16 agustus 2003.
Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama adalah Prof. dr . jimli Asshiddiqie SH. Guru Besar
hukum tata Negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal
antara anggota hukum Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.

BAB III
KESIMPULAN

1. Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara yang baru yang


diintrodusir pada perubahan UUD 1945, untuk menjaga kemurnian konstitusi dengan
kewenangan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang
dasar serta kewenangan lainnya yang terkait dengan fungsinya sebagai the guardian of the
constitution, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus sengketa pemilu,
memutus pembubaran partai politik serta mengadili dan memutuskan pendapat DPR mengani
usul pemberhentian presiden.
2. Posisi mahkmah konstitusi nampak lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya ketika
memutus konstitusionalitas dari suatu ketentuan undang-undang. Walaupun demikian
sesungguhnya dalamStruktur ketatanegaran RI, posisi mahkamah konstitusi sejajar
Dengan lembaga negara yang lainnya dengan kewenangan yang secara limitatif diberikan
undang-undang dasar.
Saran
Mahkamah konstitusi bersifat pasif, hanya memutus perkara yang diajukan kepadanya dan tidak
dapat memberikan fatwa selain dalam hubungan dengan putusan perkara yang diajukan
kepadanya sesuai kewenangan yang ditentukan undang-undang dasar. Pelaksanaan putusan
mahkmah konstitusi berada ditangan lembaga negara yang dikenai atau terkait putusan itu.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Mahkamah yang paling tinggi bersama Mahkamah
Agung , Mahkamah Agung hanya memperhubungkan dengan Undang-Undang, dan Peraturan
Daerah, sedangkan Mahkamah Konstitusi (Judicial review) menempatkan UUD 1945, Undang-
undang, yang mengkaji Undang-undang dengan UUD 1945. Agar maksud tersebut bisa
dicanangkan maka hendaklah pemerintah seperti Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak
melakukan hal-hal yang membuat kesalahan yang tidak bertanggung jawab karena Mahkamah
Konstitusi akan menindak tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai