Anda di halaman 1dari 21

Bagian Anak Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

CKD

Disusun Oleh:
Inbar Surya Seru (1310019011)

Pembimbing:
dr. Sherly, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK)


merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Chronic Kidney Disease (CKD)
didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal minimal tiga bulan
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu <60
mL/mnt/1.73 m2.1 Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18
2
per 1 juta anak Menurut laporan data tahun 2006, di Amerika Serikat pada
populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Angka kejadian PGK pada anak
di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Di RSCM Jakarta antara tahun
1991-1995 ditemukan PGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal
yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat
jalan.3 Pada anak-anak, CKD dapat merupakan kelainan bawaan, didapat, atau
penyakit ginjal metabolik, dan penyebab yang berkorelasi erat dengan usia pasien
pada saat pertama kali terdeteksi. 1
Pasien CKD seringkali datang dengan berbagai keluhan yang
menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan
diagnosis. Awal penyakit ini biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan
keluhan-keluhan yang tidak khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan
menurun dan muntah, 1 Selain itu dapat ditemukan juga gangguan pertumbuhan,
anemia, hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal.2 Pengobatan
konservatif bertujuan untuk memanfatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai factor pemberat, dan bila mungkin memperlambat
progresivitas gagal ginjal. Selain itu terdapat pengobatan pengganti adalah
melakukan dialisis dan cangkok ginjal. Pencegahan dan deteksi dini merupakan
hal yang sangat penting, karena dengan deteksi dini progresivitas penyakit dapat
dikendalikan. Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year
survival rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit
primer, dialisis dan transplantasi.4

2
BAB II
CHRONIC KIDNEY DISEASE

2.1. DEFINISI
Definisi yang tercantum dalam clinical practise guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari criteria
dibawah ini : 1,4

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,


berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
 Kelainan Patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium


Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta
2
anak Menurut laporan 2006, kejadian Gagal Ginjal Terminal (GGT) / End-
Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun
adalah 14 per satu juta. Studi kohort yang dilakukan dari Chronic Renal
Insufficiency arm of the North American Pediatric Renal Transplant Cooperative
Study (NAPRTCS) menunjukkan persentase 19% pada kelompok usia 0-
1tahun,17% pada kelompok usia 2-5tahun, 33% pada kelompok usia 6-12tahun,
31% pada kelompok usia diatas 12 tahun.

3
Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada.
Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-
1988) menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan
PGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan
2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan 3. CKD pada anak
umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal
kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat
tinggal di bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun
(1984-1988) sebesar 0,17% 1.

2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan
congenital misalnya displasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia
> 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal
polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis). 1,4
Tabel 2.2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD 1,4

 Riwayat keluarga dengan penyakit polistik ginjal atau penyakit


ginjal genetic
Bayi berat lahir rendah
Anak dengan riwayat gagal ginjal akut
Hipoplasia atau displasia ginjal
Penyakit urologi terutama uropati obstruktif
Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran
kemih dan parut ginjal
Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut
Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik
Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura
Diabetes mellitus
Lupus Eritematosus Sistemik
Riwayat menderita tekanan darah tinggi
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

4
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium lebih
tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. 1,4

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat


Penyakit 1,4
LFG
Derajat Penjelasan
(ml/menit/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
1 > 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
2 60 - 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan penurunan
3 30 - 59
LFG sedang
4 Gagal Ginjal 15 - 29
5
Sumber: < 15
Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia atau dialisis
Kompendium N

Nilai LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena
LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat
dihitung berdasarkan rumus berikut: 5
K X TB (cm)
LFG (mL/menit/1,73 m2) =
Kreatinin serum (mg/dL)
 K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah
usia 1 tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1
tahun, K= 0,55 untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk
perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
 TB=tinggi badan

2.5. PATOGENESIS

5
Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh
sebab struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut
meskipun penyebab utamanya telah dihilangkan 2. Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada CKD. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut
ialah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik
yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron
yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan
jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal
terminal (GGT) atau Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD) 3.
Hyperfiltration injury / cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari
kerusakan glomerulus,dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari
kerusakan ginjal. Dengan hilangnya nefron , sisa nefron yang lain mengalami
hipertrofi struktural dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah
glomerular. Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron
yang masih hidup. Meskipun mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat
memelihara fungsi ginjal , hal ini dapat menimbulkan kerusakan progresif pada
glomeruli yang masih hidup,disebabkan efek langsung dari peningkatan tekanan
hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau efek beracun dari
peningkatan protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu, dengan
populasi nefron yang mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup
akan mengalami peningkatan beban ekskresi yang bertambah,sehingga akan
menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah
glomerulus 2.
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal,
sebagaimana dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat
menunjukan efek yang menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler
glomerulus dapat memberikan efek toksik langsung dan mendatangkan monosit
atau makrofag, hal itu meningkatkan proses glomerular sclerosis dan
tubulointerstitial fibrosis 2,3.
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan
penyakit dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses
6
hiperfiltrasi. Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena
deposisi kalsium-fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah. Hiperlipidemia,
sebuah kondisi umum pada pasien PGK, dapat merusak fungsi glomerular
melalui oxidant-mediated injury 2, 6..

2.6. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis yang timbul pada CKD merupaa manifestasi:3
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif
vitamin D.
4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen
(hormon pertumbuhan).
Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi,
kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti:1,2
 Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan : hiperkalemia
/hipokalemia, hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
 Gangguan asam basa: asidosis metabolic.
 Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak
(hiperlipidemia).
 Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid
sekunder, osteodistrofi ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi
jaringan lunak.
 Gangguan metabolisme hormon: anemia normokrom normositer
hipertensi.
 Gangguan perdarahan.
 Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard
terhadap latihan rendah.

7
 Gangguan jantung : kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri
dan penebalan septum interventrikular.
 Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif
dan retardasi mental.
 Gangguan perkembangan seksual : keterlambatan pubertas.

Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama.
Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada CKD
,kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sisa maupun
overload cairan pada tubuh .
Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan PGK kemampuan nefron
untuk mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan
CKD yang stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau
kadang tidak begitu terlihat pada pemeriksaan fisik.Pada berbagai bentuk
gangguan ginjal (cth,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada glomerulotubular
sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih
terhadap jumlah yang diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan
ekspansi dari cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin
6
menambah kerusakan pada ginjal .Hiponatremia (dilutional hyponatremia)
kadang ditemukan pada penderita CKD,hal ini disebabkan retensi dari air yang
berlebihan,sehingga menyebabkan dilusi pada cairan intravascular 6,7.
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi
kalium,dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat LFG <10mL/menit/1.73m 2.
apabila hiperkalemia terjadi pada LFG >10mL/menit/1.73m2 ,harus dicari penyebab dari
hiperkalemia,termasuk diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic
hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat,tranfusi darah, hemolisis, katabolisme
protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron
antagonist3,6,7. Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi
biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang berlebihan,
kehilangan kalium dari GIT.

8
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD
sebagai akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia3,6,7.
Uremia, walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan
sebagai ukuran kapasitas ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua
molekul ini tidak bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada
uremic syndrome pada gagal ginjal yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi
pada penderita gagal ginjal berperan dalam uremic syndrome. Hal ini meliputi
water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged compound.
Sebagai tambahan,produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat,
hippurat, produk dari metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol,
benzoate, dan indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap
sistem organ. Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan
dari gangguan ini .Kadar urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada
mulut,yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak
enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia),dan uremic
frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi,dan
dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic
pericarditis maupun uremic cardiomyopathy6.
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan
yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin
yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular
Anemia ,hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan
karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial,
tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk
kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari
eritrosit 2,3,6,7.
Abnormal hemostasis, pada pasien PGK terjadi waktu perdarahan yang
memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III, agregasi platelet yang
abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik
karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal.
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang
dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam
keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH

9
namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari
2,3,6
insulin like growth factor–binding proteins .
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan
untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan
CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan
berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme
sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi
osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD ketika LFG menurun
kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional menyebabkan
penurunan aktivitas hidroksilase-1α ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D aktif
(1,25 dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan
penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan
peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH)
sebagai upaya untuk memperbaiki hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi
tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal,
mekanisme kompensasi untuk meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai,
sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan
mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH. 3,6,7

2.7.DIAGNOSIS
Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.4
 Anamnesis
Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala,
lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan.
Keadaan ini dapat berlangsung secara bertahun-tahun.4

 Pemeriksaan Fisik
Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda
pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.4

 Pemeriksaan Penunjang

10
 Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid,
kadar vitamin D, factor pembekuan.
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin dan penurunan LFG.Kelainan biokimiawi darah meliputi
anemia, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperfosfatemia,dan asidosis metabolic. 4,7
 Radiologi: USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran
ginjal yang mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks
untuk melihat pembesaran jantung.4,7
 Foto tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal.

2.8. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan konservatif
Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila
klirens protein >10 mL/menit/1,73m2 . Dengan tujuan untuk
memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbgai factor
pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal ginjal.1,4

a. Diet
Pada prinsipnya diet yang diberikan pada penderita CKD adalah: 1,4
 Mencukupi semua nutrin esensial yang adekuat termasuk vitamin.
 Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan lemak.
 Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen (+) dan mendorong kecepatan pertumbuhan.
 Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimal –
minimalnya untuk menghindari akibat uremia, misalnya kelainan
hematologis dan neurologis serta mencegah osteodistrofi.
 Mengurangi beban asam yang harus diekskresikan oleh ginjal.
 Menghindari masukan elektrolit yang berlebihan.

11
Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15-20
mL/menit/1,73m2. . Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk
anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan
menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal.kgBB/hari sedangkan jumlah
protein diberikan sesuai dengan usia dan tingkat penurunan LFG. Retriksi
protein dilakukan bila kadar ureum darah > 30 mmol/L atau terdapat
gejala uremia. Umum diberikan 1,4 g/kgBB/hari untuk bayi dan 0,8-1,1
g/kgBB/hari untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi
( paling sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila retriksi
protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga jumlah
protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah total kalori
atau 1g/kgBB/hari. Maksud pembatasan protein adalah mencegah
katabolisme protein endogen, mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta
membatasi toksisitas sistemik. 1,4

Tabel.2.3 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan


Untuk Anak dengan CKD
Usia Tinggi Energi Minimal Kalsium Fosfor
(cm) (kkal) Protein (g) (g) (g)
0-2 bulan 55 120/kgBB 2,2/kgBB 0,4 0,2
2-6 bulan 63 110/kgBB 2,0/kgBB 0,5 0,4
6-12 bulan 72 100/kgBB 1,8/kgBB 0,6 0,5
1-2 tahun 81 1.000 18 0,7 0,7
2-4 tahun 96 1.300 22 0,8 0,8
4-6 tahun 110 1.600 29 0,9 0,9
6-8 tahun 121 2.000 29 0,9 0,9
8-10 tahun 131 2.200 31 1,0 1,0
10-12 tahun 141 2.450 36 1,2 1,2
12-14 tahun
Laki-laki 151 2.700 40 1,4 1,4
Perempuan 154 2.300 34 1,3 1,3
14-18 tahun
Laki-laki 170 3.000 45 1,4 1,4

12
Perempuan 159 2.350 35 1,3 1,3
18-20 tahun
Laki-laki 175 2.800 42 0,8 0,8
Perempuan 163 2.300 33 0,8 0,8

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium


Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

b. Natrium
Pada CKD akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran
natrium yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat.
Pada keadaan ini dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya,
pada penderita yang disertai hipertensi, edema, atau gagal jantung, harus
dilakukan retriksi natrium dan pemberian diuretic seperti furosemid (1-4
mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah garam pada CKD tanpa hipertensi
atau sembab adalah 2 g/kgBB/hari (80 mEq/kgBB/hari). Bila disertai
sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hari dan bila ditemukan oligouria
atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari. Catatan 1 g
garam dapur sebandung dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium. 1,4

c. Asidosis
Penderita CKD sering mengalami asidosis kronis yang menyebabkan
kerusakan tulang dan gagal tumbuh. NaHCO3 aman digunakan dengan
dosis 1-5 mEq//kgBB/hari disesuaikan dengan beratnya asidosis. Untuk
mempertahankan pertumbuhan anak secara adekuat maka kadar
bikarbonat plasma harus dipertahankan anatara 23-25 mEq/L. Bila
asidosis berat (HCO3 < 8 mEq/L) koreksi dengan dosis 0,3 x kgBB x (12-
HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3 325 mg = 4 mEq HCO3. 1,4

d. Hipertensi

13
Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah tindakan
nonfarmakologis yaitu diet rendah garam , penurunan berat badan, dan
berolah raga. Bila dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat
farmakologis.

Pengobatan farmakologis dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai


gejala kerusakan organ atau peninfkatan tekanan darah sangat cepat. Yang
sering dipakai adalah :1,4
 Diuretika
 Beta –Bloker adrenergic (propanolol atau etanolol)
 Agonis adrenergic alfa
 Vasodilator perifer (hidrolazid)
 Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor
Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretic, bila tidak
berhasil atau hipertensi makin berat dapat diberikan beta-bloker
adrenergic (propanolol atau etanolol) dan atau vasodilator perifer
(hidralazid). Bila gabungan obat-obatan tersebut masih tidak memberikan
hasil dapat diberikan Calsium channel blocker ( nifedipin) atau ACE
inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut dapat diberikan
nifedipin sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgBB. Furosemid
diberikan dengan dosis 1-5 mg/kgBB i.v diulang tiap 6-12 jam kecepatan
maks. 4 mg/kgBB/menit atau dapat diberikan klonidin drip dengan dosis
0,002 mg/kgBB/8jam + 100 mL dekstrose 5%, tetesan awal 12 tetes
mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun tetesan dinaikan 6
tetes/mikridrip/menit tiap 30 menit (maksimal 36 tetes mikrodrip/menit).
Bila 30 menit setelah tetesan maksimal tekanan darah belum turun,
ditambah kaptopril dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali
sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Pemberian kaptopril harus hati-hati
pada pasien kelainan ginjal bilateral atau steosis arteri renalis bilateral
karena dapat mempercepat kerusakan ginjal.1,4

e. Anemia

14
Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebabnya. Bila ditemukan
defisiensi zat besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2-3 mg besi
elemental/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 3 bulan. Bila terjadi
defesiensi asam folat, diberikan asam folat dengan dosis 1-5 mg.hari
selama 3-4 minggu, pasien yang menjalani dialisis secara teratur diberi
asam folat oral 1 mg/hari. Anemia pada CKD dapat diobati dengan
androgen karena dapat meningkatkan produksi eritropoietin oleh
hepatosit. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa pemberian
recombinan human erythropoietin (rhuEPO) dengan dosis antara 50-150
IU/kgBB/kali subkutan (pada sedang yang menjalani dialisis dapet
diberikan intravena), diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPO dapat
mengurangi atau menghindarkan transfuse darah pada CKD. Bila
ditemukan pasien anemia disertai mengancam jiwa perlu diberikan
transfuse darah PRC 10-20 ml/kgBB. Biasanya transfuse PRC diberikan
bila kadar Hb < 6 mg/dL. Kalau ditemukan hipersplenisme dan usaha
untuk menaikan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi. 1,4

f. Gagal jantung
Terjadinya gagal jantung biasanya akibat kelebihan cairan dan atau
hipertensi berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan
tekanan darah dengan nifedipin sublingual dan mengeluarakan cairan
dengan diuretic seperti furosemid baik secara oral maupun intravena. Bila
terjadi perikarditis pada uremia yang berat, merupakan indikasi untuk
dilakukan dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu tindakan
perikardiosintesis. Adanya cairan pericardium yang persisten atau terjadi
rekurensi mungkin membutuhkan pemberian steroid non –adsorber
(triamnisolon) setalah tindakan perikardiosentesis. 1,4

g. Gagal Pertumbuhan
Dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal
dan konsultasi gizi. Akhir-akhir ini dicoba memberikan human
recombinan hormon dosis 0,35 mg/kg atau 30 U/m2 perminggu,
memberikan hasil yang efektif untuk mempercepat pertumbuhan anak.
Terapi dengan rHuGH dilanjutkan hingga pasien : 1,4,6
15
1. Tinggi badan sesuai umur mencapai persentil 50
2. Mencapai tinggi badan yang cukup untuk dewasa (pada anak yang
lebih besar atau remaja)
3. Menjalani transplantasi ginjal

Penggunaan rHuGH jangka panjang secara signifikan


meningkatkan tinggi badan dan dapat mengejar pertumbuhan secara
persisten.Pada beberapa pasien dapat mencapai tinggi badan sesuai
dewasa normal.

h. Osteodistrofi Renal
Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi
2
ginjal ringan, yaitu pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m . Kadar fosfat
plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.
Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium
serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya
kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi
dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling
sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan
akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk
mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu
sapi dan produknya. 3,6
Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat
fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama
makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara
harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih
baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga
merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat. 3,6
Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu
menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar
fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi. Tipe,

16
dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan
terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi.

Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30


ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan
250-500 mg sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk
menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar
PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan
sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena
lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan
adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis
tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast. 3,6
Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya
diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap
kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi
disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal,
hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan
tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang. 3,6

2. Pengobatan pengganti
Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis (dialisis
peritoneal maupun hemodialisis) dan cangkok ginjal. 1,4

 Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan
tergantung dari status klinis pasien. Tindakan dialisis baik
peritoneal maupun hemodialisis harus dilakukan sebelum LFG
<10 mL/ menit/1,73m2. Indikasi absolut untuk tindakan awal
dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:
a. Hipertensi tidak terkendali, hipertensiensefalopati.
b. Gagal jantung : kardiomiopati
c. Perikarditis tamponade
d. Neuropati perifer: parestesis, disfungi motorik.

17
e. Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang.
f. Depresi sumsum tulang: anemia berat, leucopenia.

Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan


hemodialisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di Inggeris,
Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis
peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis
adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut
dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui
membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses
sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa
radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan. 8
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi
sebagai membran semi-permeabel untuk melakukan pertukaran
dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan
cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter
peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis
peritoneal, yaitu: 8
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis
dilakukan malam hari dengan mesin dialisis peritoneal,
sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis
berlangsung 24 jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan
dialisat setiap 6 jam sekali.

Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan


Terapi pengganti ginjal yang efektif, angka mortalitas dialisis
lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.
Keuntungan dari Perionial dialysis dan hemodialisis dapat dilihat
pada tabel dibawah ini : 8

Tabel 2.4 Kelebihan masing-masing Peritonial dialysis dan hemodialisis .


Peritoneal dialysis Haemodialysis

18
 Secara teknik, lebih mudah  Pemindahan metabolit dapat
dikerjakan meliputi molekul yang lebih
 Menghindari pemindahan kecil
cairan, elektrolit dan  Hanya tersedia di beberapa fasi-
metabolit lain secara litas pelayanan kesehatan
mendadak  Membutuhkan pengaturan res-
 Meminimalisasi restriksi triksi cairan
kebutu- han cairan dan  Dapat dilakukan 3x/minggu
dietetic dengan lama hemodialisis 3-5
 Membutuhkan tanggung jawab jam tergantung dengan kebu-
yang lebih dari orangtua/pe- tuhan
ngasuh
 Mengurangi komplikasi
anemia, mengontrol
hipertensi lebih baik.
 Dapat membosankan karena
men- jadi rutinitas harian

Sumber: Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic
Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009

 Transplantasi Ginjal
Trasplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan
gagal ginkal tahap akhir. Indijasi transplantasi ginjal adalah pasien
gagal ginjal tahap akhir dengan gagal tumbuh berat atau
mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan yang

19
optimal. Pemerikasaan imunologi yang penting untuk keberhasilan
transplantasi adalah golongan darah ABO dan antigen HLA 3.
Transplantasi dapat berasal dari kadaver (jenazah) atau donor
hidup keluarga.
Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk
bayi, anak dan remaja karena merupakan usaha yang paling baik
yang dilakukan untuk mengembalikan anak ke kehidupan normal.
Dialisis hanya merupakan usaha untuk memelihara dan
mempertahankan keadaan pasien sampai saat pasien akan
dilakukan transplantasi.1,4

2.9. PROGNOSIS
Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival
rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit
primer, dialisis dan transplantasi. Angka mortalitas pada anak dengan PGK
lebih rendah daripada penderita dewasa. Bayi yang menjalani dialysis
memiliki angka mortalitas yang lebih buruk dibanding anak yang usianya
lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan usia ≤18 tahun, yang
berada dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA ditemukan bahwa
anak yang telah menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas yang lebih
rendah (13,1 kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih
berada dalam daftar tunggu (17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada
tahun 2005 Annual Data report (ADR) menunjukkan bahwa 92% anak-anak
yang menjalani transplantasi ginjal dapat bertahan selama 5 tahun kedepan
dibanding 81% dari anak-anak yang menjalani hemodialisis maupun
peritoneal dialysis. Akhirnya, Usia harapan hidup untuk anak berusia 0–
14 tahun dan sedang menjalani dialisis hanya 18.3 tahun, dimana populasi
usia yang sama dan menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 50 tahun.
1,10

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia. Kompendium


Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter
535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in
Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU
Dr. Soetomo.2005.Surabaya
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-
RSUP Dr.HAsan Sadikin Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ed.. 4 .
Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran: 2012
5. Sudung O. Pardede, Swanty Chunnaedy. Sari Pediatri Vol. 11, No. 3. Penyakit
Ginjal Kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta; 2009
6. Bangga Arvin Srivastava RN. Pediatric Nephrology. 5th ed. Jaypee Brothers
Medical Publisher. Indiaa;2011
7. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF)
NKDOQI.2002.
8. Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney
Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
9. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.
10. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.

21

Anda mungkin juga menyukai