Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah : Aplikasi Epidemiologi

Dosen : Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.Sc.PH

5W 1H dan Surveilans Penyakit Filariasis


serta Ide Kreatif Pencegahan Merokok

OLEH

HAJAR HASAN (K012171008)

ELSA PALINGGI (K012171111)

DEPARTEMEN EPIDEMIOLOGI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1. 5 w + 1 H
A. What’s Filariasis?
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filarial yang menyerang
saluran dan kelenjar getah bening serta merusak sistem limfe,
menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, grandula
mammae, dan skrotum.
B. Why Filariasis is dangerous?
Karena Penyakit filariasis dapat menimbulkan cacat seumur hidup
serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak
langsung, penyakit ini dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan
kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit
C. Who’s susceptible by Filariasis?
Insiden Filariasis pada laki-laki lebih lebih tinggi daripada
perempuan karena umumnya laki–laki lebih kontak dengan vektor
karena pekerjaannya
D. When Filariasis occurs?
Pada dasarnya semua manusia dapat tertular Filariasis apabila
digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor
infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap. Namun demikian,
dalam kenyataannya di suatu daerah endemis Filariasis tidak
semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi tidak semua
menunjukkan gejala klinis. Meskipun tanpa gejala klinis tetapi
sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya.
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis Filariasis
mempunyai risiko terinfeksi Filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria,
akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
E. Where Filariasis occurs?
Kejadian penyakit filariasis berada diseluruh dunia.
F. How’s Filariasis transmission?
Mekanisme penularan filariasis Seseorang dapat tertular atau
terinfeksi penyakit kaki gajah/ filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva
stadium III (L3). Kemudian memasuki periode laten atau prepaten.
Periode laten adalah waktu yang diperlukan antara seseorang
mendapatkan infeksi sampai dtemukannya mikrofilaria di dalam
darahnya. Waktu ini sesuai dengan pertumbuhan cacing hingga
dewasa sampai melahirkan mikrofilaria ke dalam darah dan
jaringan.
2. IDE KREATIF PENGENDALIAN TEMBAKAU BERDASARKAN
MPOWER
Indonesia merupakan salah satu negara perokok terbesar di
dunia dan terbesar di ASEAN dimana para remaja dan anak-anak
adalah bagian dari konsumen tersebut, bila tidak dihentikan akan
membahayakan kesehatan dan usia hidup mereka yang tidak panjang
perilaku merokok ini dimulai dari lingkungan sosial dan juga media
iklan. melihat negara-negara ASEAN yang lain yang sudah
menerapkan harga yang cukup tinggi tingkat konsumsi rokok jauh
berada di bawah Indonesia,
Upaya pemerintah yang harus dilakukan yaitu mulai melarang
gambar rokok tayang di iklan dan juga gambar mengerikan di
bungkus rokok nyatanya konsumsi rokok masih tinggi perlu dikaji
ulang tentang regulasi harga kenaikan rokok dan melarang iklan rokok
untuk menghentikan perilaku merokok remaja dan melindungi
masyarakat dari paparan rokok.
Pada tahun 2008, WHO memperkenalkan cara praktis, hemat
biaya untuk meningkatkan pelaksanaan ketentuan Konvensi
Kerangka Kerja WHO yang disingkat dengan: MPOWER. Setiap
ukuran MPOWER sesuai dengan setidaknya 1 ketentuan Konvensi
Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO. Berikut ini adalah
langkah-langkah MPOWER, yakni sebagai berikut:
a. Monitor tobacco use and prevention policies
b. Protect people from tobacco smoke
c. Offer help to quit tobacco use
d. Warn about the dangers of tobacco
e. Enforce bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship
f. Raise taxes on tobacco
Salah satu alasan Indonesia belum melakukan ratifikasi karena
rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai dengan
kontribusi sebesar 96 persen, dengan nilai Rp 139,5 triliun dari total
pendapatan cukai negara sebesar Rp 144,6 triliun pada tahun 2015.
Selain itu, Tembakau sebagai komoditi strategis dan petani tembakau
akan terancam kehilangan lapangan kerja jika ratifikasi dilakukan.
Akan tetapi, dampak positif akan diperoleh terkait dengan kesehatan
warga dan juga kepentingan generasi muda kedepan.
Dengan demikian, dibuatlah beberapa ide kreatif untuk
mencegah keluarga didalam rumah atau kerabat kita dapat berhenti
merokok, yakni sebagai berikut:
a. Membuang semua persediaan rokok dari rumah dan
menyingkirkan semua benda yang dapat menimbulkan dorongan
untuk merokok seperti asbak dan korek api yang biasa digunakan
oleh perokok.
b. Menanamkan doktrin rasa takut kepada perokok tersebut,
misalnya selalu menceritakan kisah orang-orang yang meninggal
dan terkena sakit akibat merokok, perlu diceritakan secara
berulang-ulang dan jangan menyerah, walaupun terkadang dapat
menimbulkan rasa emosional dari perokok tersebut.
c. Melarang setiap bentuk kegiatan yang dapat merangsang rasa
untuk merokok seperti begadang, main game, ataupun online
berjam-jam, dan menyuruh orang tersebut untuk segera tidur dan
beristirahat.
d. Menyediakan makanan yang sehat seperti buah-buahan, sayuran,
dan minuman bervitamin untuk menyegarkan tubuh orang yang
merokok tersebut.
Membuat peraturan bahwa rumah ataupun mobil merupakan
area bebas rokok, dan memberlakukannya hingga menjadi suatu
kebiasaan hingga perokok tersebut berhenti.

3. ANOMUIR ON EPIDEMILOGICAL PRACTICE


A. Surveilans Epidemilogical Filariasis
Menurut WHO (2002), survailans didefinisikan sebagai suatu
proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data
secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Survailans memantau terus-menerus kejadian dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak
pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada
agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya survailans
menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan
agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan
pengendalian penyakit (Last, 2001).
Survailans filariasis adalah kegiatan terus-menerus, teratur
dan sistematis dalam pengumpulan, pengolahan, analisis,
interpretasi data penyakit filariasis untuk menghasilkan informasi
yang akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan sebagai
dasar untuk melaksanakan tindakan penanggulangan yang cepat
dan tepat sesuai dengan kondisi daerah setempat.
Surveilans filariasis yang dilakukan dalam rangka
penanggulangan filariasis meliputi penemuan penderita, survei data
dasar prevalensi mikrofilaria, survei evaluasi prevalensi mikrofilaria,
dan survei evaluasi penularan Filariasis (Kemenkes RI, 2014).
1. Survei Data Dasar Prevalensi Mikrofilaria
Setiap kabupaten/kota yang terdapat penderita Filariasis
kronis melaksanakan Survei Darah Jari. Lokasi survei
ditetapkan di dua desa yang mempunyai penderita Filariasis
kronis terbanyak berdasarkan hasil Survei Penderita Filariasis
Kronis. Kabupaten/kota yang tidak mempunyai penderita
Filariasis kronis, Survei Darah Jari dilakukan di desa yang
secara epidemiologi berisiko terjadi penularan Filariasis
(vektor, kondisi lingkungan, berdekatan dengan daerah
endemis).
2. Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria
Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria adalah survei untuk
mengetahui prevalensi mikrofilaria (angka microfilaria rate) dan
densitas mikrofilaria (kepadatan) setelah dilaksanakan kegiatan
POPM Filariasis. Setiap kabupaten/kota yang sudah
melaksanakan kegiatan POPM Filariasis berkewajiban untuk
melaksanakan Survei Evaluasi Prevalensi
Mikrofilaria setelah pelaksanaan kegiatan POPM Filariasis
tahun ketiga dan kelima. Survei ini tidak dilakukan di seluruh
wilayah desa/kelurahan, tetapi hanya dilakukan pada beberapa
desa terpilih, yaitu ditetapkan di satu Desa Sentinel dan satu
Desa Spot (Spot Check).
3. Survei Evaluasi Penularan Filariasis
Survei Evaluasi Penularan Filariasis atau Transmission
Assessment Survey (TAS) merupakan metode survei untuk
menilai apakah masih ditemukan adanya penularan Filariasis
di suatu daerah. Pada dasarnya, setelah POPM filarisis
dilaksanakan setiap tahun selama 5 tahun berturut-turut, maka
diharapkan sudah tidak terjadi penularan Filariasis, sehingga
pada anak-anak berusia 6-7 tahun tidak ditemukan adanya
cacing dewasa dalam darahnya.
Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis kemudian
dilakukan interpretasi data. Selanjutnya dilakukan pengiriman data
pada tingkat yang lebih tinggi guna pengambilan langkah-langkah
penanggulangan Filariasis.

Survailans Masyarakat, Konfirmasi Menteri ub.


Penemuan Kepala Desa, Puskesmas Ditjen PP&PL
Kasus Faskes 1. Data Penderita
Filariasis
2. Data Prevalensi
Mikrofilaria
3. Data Evaluasi
Survailans Prevalensi Mikrofilaria
Pengambilan Pemeriksaan 4. Data Evaluasi Dinkes
Data Dasar spesimen Mikroskopis Provinsi
Prevalensi Penularan Filariasis
darah jari
Mikrofilaria

Konfirmasi
Lab. BTKLPP BTKLPP

Angka
Mf Rate Dinkes
Analisis Data Output data Kab/Kota

Survailans
Evaluasi
Prevalensi Pelaksana Survai
Mikrofilaria

Backup
data Base

Survailans
Evaluasi
Penularan Pelaksana Survai
Filariasis

Gambar 3.5 Alur Survailans Filariasis


B. Count Cases & Measure The Population Affected
Penemuan Penderita Filariasis
Penemuan Penderita Filariasis dilaksanakan dengan
melakukan survei penderita Filariasis kronis atau dengan kegiatan
rutin lainnya. Manfaat survei penderita filariasis kronis adalah
memperkirakan luas dan tingginya risiko penularan Filariasis
berdasarkan sebaran penderita Filariasis serta sebagai dasar
penentuan status endemisitas Filariasis suatu daerah. Cara
menemukan penderita Filariasis kronis adalah Laporan dari
masyarakat, terutama dari Kepala Desa/Lurah, kartu status di
Puskesmas dan Rumah Sakit, serta penemuan kasus oleh tenaga
kesehatan. Dari data penderita Filariasis kronis yang diperoleh,
dapat ditentukan Angka Kesakitan Filarisis Kronis (Chronic Disease
Rate = CDR) di suatu desa dalam persen.

CDR
Jumlah penderita Filariasis kronis di desa yang di survei
= x 100%
Jumlah penduduk desa tersebut

C. Detects, Investigates & Anayzes Promblems


Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia
sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun
1997. Filariasis adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan infeksi cacing filarial yang ditularkan melalui gigitan
berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini menimbulkan cacat seumur
hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara
tidak langsung, penyakit ini dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan
kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit (Kemenkes RI,
2010).
Pada tahun 2014, terdapat 1.103 juta kasus filariasis di 73
negara yang berisiko filariasis. Penyakit fillariasis menyerang 57%
penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Asia Tenggara (9
negara endemis) dan 37% penduduk di wilayah Afrika (35 negara
endemis), sedangkan sisanya (6%) di diderita oleh penduduk di
wilayah Amerika (4 negara endemis), Mediterania Timur (3 negara
endemis), dan wilayah barat Pasifik (22 negara endemis) (WHO,
2016). Di regional South-East Asia (SEAR) terdapat 3 jenis parasit
filariasis, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia
timori yang terdapat di 9 negara, yaitu Banglades, India, Indonesia,
Maldive, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand, dan Timor Leste
(Kemenkes RI, 2014).
Penyakit filariasis menyerang penduduk terutama di daerah
tropis seperti Indonesia, dan beberapa daerah sub tropis. Filariasis
tersebar luas hampir di seluruh provinsi di Indonesia, dimana di
beberapa daerah memiliki tingkat endemisitas yang cukup tinggi.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan di pedesaan. Pada tahun
2015, kasus filariasis menurun menjadi 13.032 kasus dari 14.932
kasus pada tahun 2014. Tiga provinsi dengan jumlah kasus klinis
filariasis terbanyak berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur
(2.864 kasus), Aceh (2.372 kasus), dan Papua Barat (1.244 orang).
Diperkirakan data ini masih belum menggambarkan data
sebenarnya, karena masih banyak kasus kronis yang belum
dilaporkan atau ditemukan (Anindita, 2016).
Pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 provinsi dan 239
kabupaten/kota endemis filariasis di Indonesia, sehingga
diperkirakan sebanyak 102.279.739 orang yang tinggal di
kabupaten/kota endemis filariasis berisiko terinfeksi filariasis. Rata-
rata prevalensi mikrofilaria pada tahun 2015 sebesar 4,7%. Jika
penularan filariasis di daerah endemis tidak ditangani, maka
penderita filariasis akan meningkat dari 13.032 penderita menjadi
4.807.148 orang yang akan terinfeksi filariasis dan berkembang
menjadi penderita kaki gajah (Pusdatin Kemenkes RI, 2016).
Saat ini penyakit filariasis telah menjadi salah satu penyakit
yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Hal ini diperkuat dengan
keputusan WHO pada tahun 2000 yang mendeklarasikan “The
Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasi as a Public Health
Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat untuk melakukan
program eliminasi filariasis yang dilaksanakan secara bertahap
mulai tahun 2002. Strategi yang digunakan adalah dengan
melaksanakan kegiatan Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) Filariasis untuk memutus rantai penularan Filariasis pada
penduduk di semua Kabupaten/Kota Endemis Filariasis dan
seluruh penderita Filariasis dapat terjangkau pelayanan kesehatan
yang memadai (Kemenkes RI, 2014).
D. Resulting Information Applied For Prevention & Control
1. Pencegahan
Prinsip pencegahan filariasis adalah sebagai berikut (Ditjen
PP & PL Kemenkes RI, 2013):
a) Melakukan pengobatan massal pada penduduk yang hidup
di daerah endemis filariasis
b) Pengobatan terhadap pendatang yang berasal dari daerah
non endemik filariasis.
c) Pengendalian nyamuk yang menjadi vektor penularnya
sesuai dengan daerah targetnya.
d) Memperbaiki lingkungan agar bebas vektor.
e) Mencegah gigitan nyamuk, seperti menggunakan repellent
atau kelambu waktu tidur.
2. Penanggulangan
Penanggulangan Filariasis merupakan upaya-upaya yang
dilakukan untuk mencapai eliminasi Filariasis di Indonesia tahun
2020, dan untuk mendukung hal tersebut perlu ditetapkan
kebijakan, strategi teknis serta beberapa pokok kegiatan dalam
pelaksanaan Penanggulangan Filariasis, yaitu (Kemenkes RI,
2014):
b. Surveilans kesehatan, yaitu penemuan penderita, survei data
dasar prevalensi mikrofilaria, survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria, dan survei evaluasi penularan Filariasis.
c. Penanganan penderita, bertujuan untuk mencegah dan
membatasi kecacatan karena Filariasis, dan agar penderita
mampu hidup lebih baik serta dapat berpartisipasi aktif dalam
kehidupan bermasyarakat, baik sosial maupun ekonomi.
d. Pengendalian faktor risiko, yaitu adanya vektor (nyamuk yang
infektif), adanya Hospes (manusia dan hewan) serta
lingkungan yang mendukung.
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi merupakan upaya untuk
menyusun rancangan strategis promosi kesehatan secara
efisien dan efektif untuk mendukung eliminasi Filariasis tahun
2020 di Indonesia.
E. Health Policy
Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional

program pemberantasan penyakit menular. Pelaksanakan

eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan

menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari

WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta

mencegah dan membatasi kecacatan serta mencegah

penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.

Adapun satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit)

eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota.

F. Health Programs
Program Eliminasi Filariasis
Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana
penularan filariasis sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini
tidak menjadi masalah kesehatanmasyarakat. Program eliminasi
filariasis di Indonesia dilaksanakan dengan pengobatan massal
filariasis dan penatalaksanaan kasus filariasis (Ditjen PP & PL
Kemenkes RI, 2013).
1. Pengobatan massal filariasis adalah pemberian obat kepada
semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC,
Albendazole dan Paracetamol sesuai takaran, setiap tahun
sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang bertujuan
untuk menghilangkan sumber penularan dan memutuskan
mata rantai penularan filariasis.
2. Talaksana kasus filariasis adalah pengobatan dan perawatan
penderita klinis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria
serta mencegah dan membatasi kecacatan. Perawatan
penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan
seumur hidup.
Adapun tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah
filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan khusus dari
program eliminasi filariasis adalah menurunnya angka mikrofilaria
(Mf rate) menjadi kurang dari 1% dan mencegah serta membatasi
kecacatan karena filariasis.
Pelaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan
dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global
dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta
mencegah dan membatasi kecacatan serta mencegah
penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.
Adapun satuan lokasi pelaksanaan (Implementation Unit )
eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota.
Stategi yang digunakan yaitu memutuskan rantai penularan
filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis;
mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan
kasus klinis filariasis; pengendalian vektor secara terpadu;
memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara; dan
memperkuat survailans dan mengembangkan penelitian.

G. Evaluation
Evaluasi pengobatan massal adalah bagian yang
paling penting dalam program eliminasi filariasis. Ada dua
hal yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi pengobatan
massal, yaitu (1) jumlah penduduk yang minum obat (cakupan
pengobatan) dan (2) Menurunnya prevalensi mikrofilaria.
Untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal di
kabupaten/kota, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Cakupan geografis. Cakupan geografis adalah persentase
desa atau kelurahan yang diobati dalam satu kabupaten/kota
di setiap tahun pengobatan. Cakupan ini dipergunakan untuk
menilai apakah pengobatan massal telah dilaksanakan di
seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota yang endemis
tersebut
Cakupan ini dihitung dengan rumus :
Jumlah desa/kelurahan yang diobati x 100
Jumlah seluruh desa/kelurahan
2. Cakupan pengobatan. Cakupan pengobatan dapat
menjelaskan jumlah penduduk yang beresiko untuk diobati
dan aspek epidemiologinya dibuat setiap tahun, dengan
perhitungan angka pencapaian pengobatan :
Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100
Jumlah seluruh penduduk di
kabupaten
3. Angka keberhasilan pengobatan. Cakupan ini dapat
menjelaskan efektivitas pengobatan massal, dihitung dengan
rumus :
Jumlah penduduk yang meminum obatnya x 100
Jumlah penduduk sasaran pengobatan massal
4. Survei cakupan. Tujuannya yaitu untuk menilai
kebenaran cakupan pengobatan massal berdasarkan laporan
di kabupaten. Pelaksana survei adalah provinsi atau badan
yang independen dan dilaksanakan satu bulan setelah
pengobatan massal. Survei ini dilaksanakan satu kali setelah
siklus pertama pengobatan massal dengan metode kuesioner
cluster survey.

Anda mungkin juga menyukai