Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua wanita hamil beresiko komplikasi obstetri. Komplikasi yang
mengancam jiwa kebanyakan terjadi selama persalinan, dan ini semua tidak
dapat diprediksi. Prenatal screening tidak mengidentifikasi semua wanita yang
akan mengembangkan komplikasi (Rooks, Winikoff, dan Bruce 1990).
Perempuan tidak diidentifikasi sebagai "berisiko tinggi" dapat dan
melakukan mengembangkan komplikasi obstetrik. Kebanyakan komplikasi
obstetrik terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.
Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia dan
perdarahan. Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
yang penting. Akibat jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara
bermakna jika gangguan ini diketahui sebelum kelahiran (mis; pada keadaan
gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi/ oksigenasi janin
intrauterine atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat masa hipoksemia
janin yang terjadi
Pada saat ini angka kematian ibu dan angka kematian perinatal di
Indonesia masih sangat tinggi. Menusut survei demografi dan kesehatan
indonesia (SDKI) tahun 2011 Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi,
yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Balita di Indonesia
tahun 2007 sebesar 44/10.000 Kelahiran Hidup. Jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, maka angka kematian ibu di Indonesia adalah 15 kali angka
kematian ibu di Malaysia, 10 kali lebih tinggi dari pada thailan atau 5 kali lebih
tinggi dari pada Filipina.
Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi,
kemampuan kinerja petugas kesehatan berdampak langsung pada peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan maternal dan neonatal terutama kemampuan dalam
mengatasi masalah yang bersifat kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan
atau komplikasi yang terjadi dapat dihindari apabila kehamilan dan persalinan
direncanakan, diasuh dan dikelola secara benar. Untuk dapat memberikan asuhan
kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan benar diperlukan tenaga
kesehatan yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi
kegawatdaruratan

B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dlam penulisan makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang konsep dasar Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal.

C. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
a. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang Asuhan
Kebidanan dalam Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
b. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tenttang Asuhan
Kebidanan dalan Kegawatdaruratab Maternal dan Neonatal

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap
semua pasien yang memerlukan perawatan yang tidak direncnakan dan
mendadak atau terhadap pasien dengan penyakit atau cidera akut untuk menekan
angka kesakitan dan kematian pasien.
Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan
persalinan, hal-hal yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya . membahas
tentang fenomena dan penatalaksanaan kehamilian, persalinan, peurperium baik
dalam keadaan normal maupun abnormal.
Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan
intrauterin ke ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan
(lebih tepat 4 minggu atau 28 hari setelah lahir)

B. Kegawatdaruratan Obstetric
Macam-macam kegawatdaruratan obstetrik:
1. Abortus
a. Definisi abortus
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat
tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau
buah kehamilan belum mampu untuk hidup diluar kandungan
(Prawiroharjo, 2006).
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya
kurang dari 20 minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya
amenore, tanda-tanda kehamilan, perdarahan hebat per vagina,
pengeluaran jaringan plasenta dan kemungkinan kematian janin.Pada
abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau sedang, demam
(menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan kemungkinan
syok.
b. Etiologi
Abortus pada wanita hamil bisa terjadi karena beberapa sebab
diantaranya:
1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan inilah yang paling
umum menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur
kehamilan 8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan
ini antara lain : kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat
menempelnya hasil pembuahan yang tidak bagus atau kurang
sempurna dan pengaruh zat zat yang berbahaya bagi janin seperti
radiasi, obat obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus.
2) Kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa berupa gangguan
pembentukan pembuluh darah pada plasenta yang disebabkan oleh
karena penyakit darah tinggi yang menahun.
3) Faktor ibu seperti penyakit penyakit khronis yang diderita oleh sang
ibu seperti radang paru paru, tifus, anemia berat, keracunan dan
infeksi virus toxoplasma.
4) Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada
mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang
lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke
depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim.
c. Klasifikasi
Abortus pun dibagi bagi lagi menjadi beberapa bagian, antara lain:
1) Abortus Komplet
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari rahim pada kehamilan kurang
dari 20 minggu.
2) Abortus Inkomplet
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari rahim dan masih ada yang
tertinggal.
3) Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks yang
telah mendatar, sedangkan hasil konsepsi masih berada lengkap di
dalam rahim.
4) Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vaginam,
sedangkan jalan lahir masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik di
dalam rahim.

5) Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus terlah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih dalam kandungan.
6) Abortus Habitualis
Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut turut atau lebih.
7) Abortus Infeksius
Abortus yang disertai infeksi organ genitalia.
8) Abortus Septik
Abortus yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dan
produknya kedalam sirkulasi sistemik ibu
d. Penanganan Abortus
1) Abortus Komplet
Tidak memerlukan penanganan penanganan khusus, hanya apabila
menderita anemia ringan perlu diberikan tablet besi dan dianjurkan
supaya makan makanan yang mengandung banyak protein, vitamin
dan mineral.
2) Abortus Inkomplet
Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka pasien diinfus dan
dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi, dilakukan kuretase,
bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.
3) Abortus Insipiens
Biasanya dilakukan tindakan kuretase bila umur kehamilan kurang
dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan.
4) Abortus Iminens
Istirahat baring, tidur berbaring merupakan unsur penting dalam
pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan mekanis
dan menambah aliran darah ke rahim. Ditambahkan obat penenang
bila pasien gelisah.
5) Missed Abortion
Dilakukan kuretase. harus hati hati karena terkadang plasenta
melekat erat pada rahim
6) Abortus Habitualis
Transfusi leukosit / Heparin.
7) Abortus Infeksius- Abortus Septik
Infus; Kp Transfusi, Anti Biotika Spektrum Luas, Kultur – Sensitivity
Test, Bila keadaan sudah layak Kuret.
Kalau Tetanus :
a) Inj. ATS
b) Irigasi H2O2
c) Histerektomi
e. Terapi
Terapi untuk perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah dengan
Macrodex, Haemaccel, Periston, Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi
plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah sakit. Terapi untuk
perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik) dan memerlukan
anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika kehilangan darah
banyak. Pada syok berat, lebih dipilih kuretase tanpa anestesi kemudian
Methergin. Pada abortus pada demam menggigil, tindakan utamanya
dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan pemberian infus.
2. Mola Hidatidosa (Kista Vesikular)
a. Definisi
Mola Hidatidosa (Hamil Anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan
di dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan. Mola Hidatidosa
adalah kehamilan abnormal, dimana seluruh villi korialisnya mengalami
perubahan hidrofobik. Mola hidatidosa juga dihubungkan dengan edema
vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus
yang intak. Secara histologist, ditemukan proliferasi trofoblast dengan
berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan,
membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah.
b. Etiologi
Penyebab pasti mola hidatidosa tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang
mungkin dapat menyebabkan dan mendukung terjadinya mola, antara
lain:
1) Faktor ovum, di mana ovum memang sudah patologik sehingga mati,
tetapi terlambat dikeluarkan
2) Imunoselektif dari trofoblast
3) Keadaan sosioekonomi yang rendah
4) Paritas tinggi
5) Kekurangan protein
6) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
c. Klasifikasi
1) Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel – vesikel jernih.
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai
beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung
pada tangkai kecil. Temuan Histologik ditandai oleh adanya, antara
lain:
a) Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
b) Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
c) Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
d) Tidak adanya janin dan amnion
Mola sempurna tidak memiliki jaringan fetus. 90% merupakan
genotip 46XX dan sisanya 46XY. Vili korionik berubah menjadi
suatu massa vesikel-vesikel jernih. Mola sempurna dapat dibagi atas
2 jenis, yaitu :
a) Mola Sempurna Androgenetic
1. Homozygous
Merupakan 80% dari kejadian mola sempurna. Dua
komplemen kromosom paternal identik, didapatkan dari
duplikasi kromosom haploid seluruhnya dari ayah. Selalu
perempuan; 46,YY tidak pernah ditemukan
2. Heterozygous
Merupakan 20% dari kejadian mola sempurna. Dapat laki-laki
atau perempuan. Semua kromosom berasal dari kedua orang
tua, kemungkinan besar terjadi karena pembuahan dua
sperma.
b) Mola Sempurna Biparental
Genotip ayah dan ibu terlihat, tetapi gen maternal gagal
mempengaruhi janin sehingga hanya gen paternal yang
terekspresi. Mola sempurna biparental jarang ditemukan. Bentuk
rekuren mola biparental (yang merupakan familial dan sepertinya
diturunkan sebagai autosomal resesif) pernah ditemukan. Telah
ditemukan daerah kromosom yang menjadi calon yaitu 19q13.
Presentasi klinis yang tipikal pada kehamilan mola sempurna
dapat didiagnosis pada trimester pertama sebelum onset gejala
dan tanda muncul. Gejala yang paling sering terjadi pada mola
sempurna yaitu perdarahan vagina. Jaringan mola terpisah dari
desidua dan menyebabkan perdarahan. Uterus dapat menjadi
membesar akibat darah yang jumlahnya besar dan cairan merah
gelap dapat keluar dari vagina. Gejala ini terjadi pada 97% kasus
mola hidatidosa. Pasien juga melaporkan mual dan muntah yang
hebat. Ini diakibatkan peningkatan kadar human chorionic
gonadotropin (HCG). Sekitar 7% pasien juga datang dengan
takikardia, tremor, dan kulit hangat.
2) Mola Hidatidosa Parisal
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang,
dan mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan
hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang
biasanya avaskular, sementara villi-villi berpembuluh lainnya dengan
sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Pasien
dengan mola parsial tidak memiliki manifestasi klinis yang sama
pada mola sempurna. Pasien ini biasanya datang dengan tanda dan
gejala yang mirip dengan aborsi inkomplit atau missed abortion
yakni Perdarahan vagina dan hilangnya denyut jantung janin, Pada
mola parsial, jaringan fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan
pembuluh darah fetus pada villi merupakan penemuan yang
seringkali ada. Komplemen kromosomnya yaitu 69,XXX atau
69,XXY. Ini diakibatkan dari fertilisasi ovum haploid dan duplikasi
kromosom haploid paternal atau akibat pembuahan dua sperma.
Tetraploidi juga biasa didapatkan. Seperti pada mola sempurna,
ditemukan jaringan trofoblastik hyperplasia dan pembengkakan villi
chorionic.
d. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 – 16 dimana ukuran
rahim lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang
terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta
keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala:
1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk
RS
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih
besar):
a) Gejala-gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup,
penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan
berkeringat, kulit lembab
b) Gejala-gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan
tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein
pada air seni)
e. Manifestasi Klinis
1. Amenorrhoe dan tanda-tanda kehamilan.
2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat.
Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa
intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga
dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan
usia kehamilan.
4. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin maupun
ballottement.
5. Hiperemesis, pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
6. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke-24
7. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa
pasti
8. Gejala Tirotoksikosis
f. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola
hidatidosa yang komplet terdapat tanda dan gejala klasik yakni:
1. Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola
komplet adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari
desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh
karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir
melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
2. Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang
berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam
hormon β-HCG.
3. Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti
takikardi, tremor dan kulit yang hangat.
3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
a. Definisi
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi
diluar endometrium kavum uteri.
b. Penyebab
Gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi
mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama
di ampula, jarang terjadi kehamilan di ovarium.
c. Tanda dan gejala
Nyeri yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral
(abortus tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen
yang jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive
terhadap tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal, gejalanya
sebagai berikut:
1) Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada
abdomen bagian atas.
2) Abdomen tegang.
3) Mual.
4) Nyeri bahu.
5) Membran mukosa anemis.
Jika terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di
bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-
terutama hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan
mungkin terjadi gangguan kesadaran.
d. Diagnosis
Ditegakkan melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang lebih lama,
perdarahan per vagina tidak teratur (tidak selalu).
e. Penanganan
Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET):
1) Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
2) Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan
menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
3) Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga
perut sebanyak mungkin dikeluarkan.
Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu :
1) Kondisi penderita pada saat itu,
2) Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya,
3) Lokasi kehamilan ektopik.
4) Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi
(pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba.
Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif).
Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih
adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.
f. Terapi
Terapi untuk gangguan ini adalah dengan infuse ekspander plasma
(Haemaccel, Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit
secepatnya.
4. Plasenta Previa
a. Definisi
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir
b. Etiologi
Plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat
diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan
atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau dan dapat
menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena tidak nyata
dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada
penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila
aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti
pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan
meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali
pembukaan jalan lahir.
Gambaran klinis plasenta previa
1) Perdarahan tanpa nyeri
2) Perdarahan berulang
3) Warna perdarahan merah segar
4) Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5) Timbulnya perlahan-lahan
6) Waktu terjadinya saat hamil
7) His biasanya tidak ada
8) Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
9) Denyut jantung janin ada
10) Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11) Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
12) Presentasi mungkin abnormal.
c. Diagnosis
1) Anamnesis. Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya
perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada
pemeriksaan hematokrit.
2) Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu
atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas
pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam
pintu atas panggul.
3) Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui
apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4) Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta
secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan
ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini
ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan
janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
5) Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak
tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
6) Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif. Dilakukan dengan PDMO
yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks
pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia
berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan
diagnosis.
d. Klasifikasi
1) Plasenta Previa otalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh
jaringan Plasenta
2) Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh
jaringan Plasenta
3) Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir Plasenta berada tepat pada
pinggir pembukaan.
4) Plasenta Letak Rendah, Plasenta yang letaknya abnormal pada segmen
bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir
e. Terapi
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik.
Pada kasus perdarahan yang banyak, pengobatan syok adalah dengan
infuse Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada
kasus pasien gelisah, diberikan 10 mg valium (diazepam) IM atau IV
secara perlahan.
5. Solusio (Abrupsio) Plasenta
a. Definisi
Solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh jaringan plasenta
yang berimplantasi normal pada kehamilan di atas 22 minggu dan
sebelum anak lahir .
b. Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui pasti.
Meskipun demikian ada beberapa factor yang diduga mempengaruhi
nya, antara lain :
1) Penyakit hipertensi menahun
2) Pre-eklampsia
3) Tali pusat yang pendek
4) Trauma
5) Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior uterus
yang sangat mengecil ( hidramnion pada waktu ketuban pecah,
kehamilan ganda pada waktu anak pertama lahir
Di samping hal-hal di atas, ada juga pengaruh dari:
1) Umur lanjut
2) Multiparitas
3) Ketuban pecah sebelum waktunya
4) Defisiensi asam folat
5) Merokok, alcohol, kokain
6) Mioma uteri
c. Klasifikasi
Secara klinis solusio plasenta dibagi dalam :
1) Solusio plasenta ringan
2) Solusio plasenta sedang
3) Solusio plasenta berat
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai derajat
terlepasnya placenta. Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan
mencari jalan keluar antara selaput janin dan dinding rahim dan
akhirnya keluar dari serviks dan terjadilah solusio plasenta dengan
perdarahan keluar / tampak. Kadang-kadang darah tidak keluar tapi
berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom retroplasenta.
Perdarahan ini disebut perdarahan ke dalam / tersembunyi. Kadang-
kadang darah masuk ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan tetap
tersembunyi.
d. Gejala klinis
1) Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his.
2) Anemi dan syok, beratnya anemi dan syok sering tidak sesuai
dengan banyaknya darah yang keluar.
3) Uterus keras seperti papan dan nyeri dipegang karena isi uterus
bertambah dengan darah yang berkumpul di belakang placenta
sehingga uterus teregang (uterus en bois).
4) Palpasi sukar karena rahim keras.
5) Fundus uteri makin lama makin naik
6) Bunyi jantung biasanya tidak ada
7) Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi
uterus bertambah
8) Sering ada proteinuri karena disertai preeclampsia
e. Diagnosis
Diagnosis solusio plasenta didasarkan adanya perdarahan antepartum
yang bersifat nyeri, uterus yang tegang dan nyeri. Setelah plasenta lahir,
ditemukan adanya impresi (cekungan) pada permukaan maternal
plasenta akibat tekanan dari hematom retroplasenta.
f. Penanganan solusio plasenta
1) Solusio plasenta ringan
Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu, perdarahannya
kemudian berhenti, perutnya tidak menjadi sakit, uterusnya tidak
menjadi tegang maka penderita dapat dirawat secara konservatif di
rumah sakit dengan observasi ketat.
2) Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila perdarahannya berlangsung terus, dan gejala solusio plasenta
bertambah jelas, atau dalam pemantauan USG daerah solusio
plasenta bertambah luas, maka pengakhiran kehamilan tidak dapat
dihindarkan lagi. Apabila janin hidup, dilakukan sectio caesaria.
Sectio caesaria dilakukan bila serviks panjang dan tertutup, setelah
pemecahan ketuban dan pemberian oksitosin dalam 2 jam belum juga
ada his. Apabila janin mati, ketuban segera dipecahkan untuk
mengurangi regangan dinding uterus disusul dengan pemberian
infuse oksitosin 5 iu dalam 500cc glukosa 5% untuk mempercepat
persalinan.
6. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Retensio Plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu
1 jam setelah bayi lahir. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya plasenta
tidak lahir spontan dan tidak yakin apakah plasenta lengkap.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang
tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2) Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
3) Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari
uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik
yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan
menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.

b. Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:


1) Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat
lebih dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas
sama sekali dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat
perlekatannya dibagi menjadi:
a) Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai
membran basal.
b) Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
c) Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi
belum menembus serosa.
d) Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum
dinding rahim.
2) Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena
salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta
inkarserata)
c. Penanganan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan
kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
(sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila
memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan darah.
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer
laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.
Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan
kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir,
setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi
ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali
pusat putus.
5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa
plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati
karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk
pencegahan infeksi sekunder.
d. Terapi
Terapi untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon
(oksitosin) IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati dengan
tekanan pada fundus. Jika plasenta tidak lahir, usahakan pengeluaran
secara manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan tentang lengkapnya
plasenta,lakukan palpasi sekunder.
7. Pre-eklamsia
a. Pengertian Pre-Eklamsia
Pre-eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
Pre-eklamsia dan eklamsia, merupakan kesatuan penyakit, yakni
yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas
bagaimana hal itu terjadi. Pre eklamasi diikuti dengan timbulnya
hipertensi disertai protein urin dan oedema akibat kehamilan setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Ilmu Kebidanan
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1998).
Diagnosis pre-eklamsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari
tiga gejala, yaitu penambahan berat badan yang berlebihan, oedema,
hipertensi dan proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan bila
terjadi kenaikan 1 Kg seminggu berapa kali. Oedema terlihat sebagai
peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka.
Tekanan darah > 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat >30
mmHg atau tekanan diastolik >15 mmHg yang diukur setelah pasien
beristirahat selama 30 menit. (Kapita Selekta Kedokteran, Mansjoer Arif,
Media Aesculapius, Jakarta, 2000)
b. Penyebab pre-eklamsia
Penyebab pre-eklamsi belum diketahui secara pasti, banyak teori yang
coba dikemukakan para ahli untuk menerangkan penyebab, namun belum
ada jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang dipakai adalah teori
Iskhemik plasenta. Namun teori ini juga belum mampu menerangkan
semua hal yang berhubungan dengan penyakit ini. (Ilmu Kebidanan
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo, Fak. UI Jakarta, 1998)
c. Klasifikasi Pre-Eklamsia
Pre-eklamsia digolongkan menjadi 2 golongan:
1) Pre-eklamsia ringan
1. Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg atau >90 mmHg
dengan 2 kali pengukuran berjarak 1jam atau tekanan diastolik
sampai 110mmHg.
2. Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau > atau mencapai
140 mmHg.
3. Protein urin positif 1, edema umum, kaki, jari tangan dan muka.
Kenaikan BB > 1Kg/mgg. 2) Pre-eklampsia berat : a) Tekanan
diastolik >110 mmhg, Protein urin positif 3, oliguria (urine,
5gr/L). b) Hiperlefleksia, gangguan penglihatan, nyeri epigastrik,
terdapat edema dan sianosis, nyeri kepala, gangguan kesadaran
d. Gangguan klinis pre-eklamsia
1) Sakit kepala terutama daerah frontal
2) Rasa nyeri daerah epigastrium
3) Gangguan penglihatan
4) Terdapat mual samapi muntah
5) Gangguan pernafasan sampai sianosis
6) Gangguan kesadaran
e. Diagnosa pre-eklamsia
Pada umumnya diagnosis diferensial antara pre-eklamsia dengan
hipertensi manahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan
kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya tekanan darah yang meninggi
sebelum hamil pada keadaan muda atau bulan postpartum akan sangat
berguna untuk membuat diagnosis. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat
timbulnya proteinuria banyak menolong. Proteinuria pada pre-eklamsia
jarang timbul sebelum TM ke 3, sedangkan pada penyakit ginjal timbul
lebih dulu
f. Pencegahan pre-eklamsia
Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklamsia.
Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam,
diit tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium dan lain-lain). Atau
medikamentosa (teofilin, antihipertensi, diuretic, aspirin, dll) dapat
mengurangi timbulnya pre-eklamsia
g. Penanganan pre-eklamsia
1) Jika setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri obat
anti hipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.
2) Pasang infus dengan jarum besar (16G atau lebih besar).
3) Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload cairan.
4) Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.
5) Jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat
dan berikan cairan IV NaCl 0,9% atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan
pantau kemungkinan oedema paru.
6) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah
dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung tiap jam.
8) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda oedema paru.
9) Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg
IV sekali saja jika ada edema paru).
10) Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit
(kemungkinan terdapat koagulopati).
8. HPP (Hemorrhagic Post Partum)
a. Pengertian HPP
Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic post partum (HPP)
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi
plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau
keduanya. Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada
sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan
post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah
yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang
sangat banyak
b. Penyebab HPP
1) Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Merah)
Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan
baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
2) Retensio plasenta plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit
setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat
antara plasenta dan uterus
3) Robekan jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah
lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir
c. Klasifikasi HPP
1) Perdarahan post partum primer/dini (early postpartum hemarrhage)
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya
adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan
lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
2) Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum
hemorrhage) Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama
d. Diagnosa HPP
Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu
diperhatikan ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia.
apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam
keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka
yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan
kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan
yang deras biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat
ditangani sedangkan perdarahan yang merembes karena kurang nampak
sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang bersifat
merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah
yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang
keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina,
tetapi menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya
diketahui karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk
menentukan etiologi dari perdarahan postpartum diperlukan
pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum,
pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
e. Pencegahan dan Penanganan HPP
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post
partum adalah memimpin kala II dan kala III persalinan secara lega
artis. Apabila persalinan diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetrik
dan ginekologi ada yang menganjurkan untuk memberikan suntikan
ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan tujuan untuk
mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi. Penanganan umum pada
perdarahan post partum :
1) Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan
aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
3) Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di
ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam
berikutnya (di ruang rawat gabung).
4) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
5) Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila
dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
6) Atasi syok
7) Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah,
lakukam pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan
infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
8) Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan
robekan jalan lahir.
9) Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
10) Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
11) Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik

C. Kegawatdaruratan Neonatal
1. Pengertian Neonatus
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan
usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan
didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ
hampir pada semua system. Neonatus bukanlah miniatur orang dewasa,
bahkan bukan pula miniatur anak. Neonatus mengalami masa perubahan dari
kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan
diluar rahim yang serba mandiri.
Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72
pertama. Transisi ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang
terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar.
Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang
untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap neonatus.
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegawatdaruratan pada Neonatus
a. Faktor Kehamilan
1) Kehamilan kurang bulan
2) Kehamilan dengan penyakit DM
3) Kehamilan dengn gawat janin
4) Kehamilan dengan penyakit kronis ibu
5) Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat
6) Infertilitas
b. Faktor pada Partus
1) Partus dengan infeksi intrapartum
2) Partus dengan penggunaan obat sedatif
c. Faktor pada Bayi
1) Skor apgar yang rendah
2) BBLR
3) Bayi kurang bulan
4) Berat lahir lebih dari 4000gr
5) Cacat bawaan
6) Frekuensi pernafasan dengan 2x observasi lebih dari 60/menit
3. Kondisi-Kondisi Yang Menyebabkan Kegawatdaruratan Neonatus
a. Hipotermia
Hipotermia adalah kondisi dimana suhu tubuh < 36 0C atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu tubuh pada
hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia
dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi
hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis
anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan akibat
hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan
yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.
Etiologi dan faktor presipitasi dari hipotermia antara lain:
prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologik seperti meningitis dan
perdarahan cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran
dan eksposure suhu lingkungan yang dingin.
Penanganan hipotermia ditujukan pada:
1) Mencegah hipotermia
2) Mengenal bayi dengan hipotermia
3) Mengenal resiko hipotermia
4) Tindakan pada hipotermia.
Tanda-tanda klinis hipotermia:
1) Hipotermia sedang (suhu tubuh 320C - <360C ), tanda-tandanya
antara lain : kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah,
tangisan lemah dan kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis
marmorata.
2) Hipotermia berat (suhu tubuh < 320C ), tanda-tandanya antara lain :
sama dengan hipotermia sedang, dan disertai dengan pernafasan
lambat tidak teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai
hipoglikemi dan asidosisi metabolik.
3) Stadium lanjut hipotermia, tanda-tandanya antara lain : muka, ujung
kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat,
kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung,
kaki dan tangan (sklerema)
b. Hipertermia
Hipertermia adalah kondisi suhu tubuh tinggi karena kegagalan
termoregulasi. Hipertermia terjadi ketika tubuh menghasilkan atau
menyerap lebih banyak panas daripada mengeluarkan panas. Ketika
suhu tubuh cukup tinggi, hipertermia menjadi keadaan darurat medis
dan membutuhkan perawatan segera untuk mencegah kecacatan dan
kematian.
Penyebab paling umum adalah heat stroke dan reaksi negatif obat.
Heat stroke adalah kondisi akut hipertermia yang disebabkan oleh
kontak yang terlalu lama dengan benda yang mempunyai panas
berlebihan. Sehingga mekanisme penganturan panas tubuh menjadi
tidak terkendali dan menyebabkan suhu tubuh naik tak terkendali.
Hipertermia karena reaksi negative obat jarang terjadi. Salah satu
hipertermia karena reaksi negatif obat yaitu hipertensi maligna yang
merupakan komplikasi yang terjadi karena beberapa jenis anestesi
umum.
Tanda dan gejala : panas, kulit kering, kulit menjadi merah dan
teraba panas, pelebaran pembuluh darah dalam upaya untuk
meningkatkan pembuangan panas, bibir bengkak. Tanda-tanda dan
gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya. Dehidrasi yang terkait
dengan serangan panas dapat menghasilkan mual, muntah, sakit kepala,
dan tekanan darah rendah. Hal ini dapat menyebabkan pingsan atau
pusing, terutama jika orang berdiri tiba-tiba.
Tachycardia dan tachypnea dapat juga muncul sebagai akibat
penurunan tekanan darah dan jantung. Penurunan tekanan darah dapat
menyebabkan pembuluh darah menyempit, mengakibatkan kulit pucat
atau warna kebiru-biruan dalam kasus-kasus lanjutan stroke panas.
Beberapa korban, terutama anak-anak kecil, mungkin kejang-kejang.
Akhirnya, sebagai organ tubuh mulai gagal, ketidaksadaran dan koma
akan menghasilkan.
c. Hiperglikemia
Hiperglikemia atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi dimana
jumlah glukosa dalam plasma darah berlebihan.
Hiperglikemia disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada diabetes
melitus, hiperglikemia biasanya disebabkan karena kadar insulin yang
rendah dan / atau oleh resistensi insulin pada sel. Kadar insulin rendah
dan / atau resistensi insulin tubuh disebabkan karena kegagalan tubuh
mengkonversi glukosa menjadi glikogen, pada akhirnyanya membuat
sulit atau tidak mungkin untuk menghilangkan kelebihan
glukosa dari darah.
Gejala hiperglikemia antara lain : polifagi (sering kelaparan),
polidipsi (sering haus), poliuri (sering buang air kecil), penglihatan
kabur, kelelahan, berat badan menurun, sulit terjadi penyembuhan luka,
mulut kering, kulit kering atau gatal, impotensi (pria), infeksi berulang,
kussmaul hiperventilasi, arrhythmia, pingsan, koma.
d. Tetanus Neonaturum
Tetanus neonaturum adalah penyakit tetanus yang diderita oleh
bayi baru lahir yang disebabkan karena basil klostridium tetani.
Tanda-tanda klinis antara laian : bayi tiba-tiba panas dan tidak
mau minum, mulut mencucu seperti mulut ikan, mudah terangsang,
gelisah (kadang-kadang menangis) dan sering kejang disertai sianosis,
kaku kuduk sampai opistotonus, ekstremitas terulur dan kaku, dahi
berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik ke bawah, muka
rhisus sardonikus.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan :
1) Bersihkan jalan napas,
2) longgarkan atau buka pakaian bayi,
3) masukkan sendok atau tong spatel yang dibungkus kasa ke dalam
mulut bayi,
4) ciptakan lingkungan yang tenang dan
5) berikan ASI sedikit demi sedikit saat bayi tidak kejang.
e. Penyakit-penyakit pada ibu hamil
Kehamilan Trimester I dan II, yaitu : anemia kehamilan,
hiperemesis gravidarum, abortus, kehamilan ektopik terganggu
(implantasi diluar rongga uterus), molahidatidosa (proliferasi abnormal
dari vili khorialis).
Kehamilan Trimester III, yaitu : kehamilan dengan hipertensi
(hipertensi essensial, pre eklampsi, eklampsi), perdarahan antepartum
(solusio plasenta (lepasnya plasenta dari tempat implantasi), plasenta
previa (implantasi plasenta terletak antara atau pada daerah serviks),
insertio velamentosa, ruptur sinus marginalis, plasenta sirkumvalata).
f. Sindrom Gawat Nafas Neonatus
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih
dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan retraksi di
daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan Anak
Sakit, Ngastiah. 2010).
g. Penyakit Membran Hialin (PMH)
Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada
alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi
prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai sejak kehamilan
minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.
Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat
yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan
suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak.
Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35.
Fungsi surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan
alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih
besar dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi
CO2. dan oksidosis
Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh
prematuritas serta beratnya penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai
kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi prematur lain yang
tidak menderita PMH.
PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan
1000-2000 gram. Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan
pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan gejala
yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.
4. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto thorak
Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh
berbagai penyebab dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu
dilakukan pemeriksaan foto thoraks.
2) Pemeriksaan darah
Perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.
5. Penatalaksanaan Tindakan yang perlu dilakukan:
1) Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas
normal (36.5-37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.
2) Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh
kompleks terhadap bayi prematur, pemberian oksigen terlalu banyak
menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan retina dan lain-lain.
3) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan
hemeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-
10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg BB/ hari.
4) Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan
dosis 50.000-10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari
dengan atau tanpa gentasimin 3-5 mg / kg BB / hari.
5) Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan ekstrogen ( surfaktan dari luar)
6. Penanganan Kegawatdaruratan pada Bayi Baru Lahir
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak,
jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi
pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999).
Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi
kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian
dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan
segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997).
Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis
yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat
membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada
situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien
kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
Kira-kira 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan untuk memulai
pernafasan saat lahir,dan sekitar 1% saja yang memerlukan resusitasi lengkap
mulai dari pembersihan jalan nafas hingga pemberian obat – obatan darurat.
Untuk praktisnya, setiap menolong bayi baru lahir ada 5 pertanyaan yang
menentukan apakah resusitasi dibutuhkan:
1) Apakah bersih dari mekonium?
2) Apakah bernafas atau menangis?
3) Apakah tonus otot baik?
4) Apakah warna kulit kemerahan?
5) Apakah cukup bulan?
Jika salah satu dari 5 pertanyaan tersebut jawabannya tidak, maka perlu
dilakukan resusitasi.
Tindakan resusitasi diberikan untuk mencegah kematian akibat asfiksia.
Dan bila pada bayi asphiksia berat yang tidak dilakukan tindakan resusitasi
secara benar akan meninggal atau mengalami gangguan system saraf
pusat,misalnya “cerebral palsy”, kelainan jantung misalnya tidak menutupnya
“ductus arteriosus”.
Tiga hal penting dalam resusitasi:
1. Pernafasan
Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya pernafasan selama
1 menit. Nafas tersengal – sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu
tindakan misalnya apneu. Jika pernafasan telah efektif yaitu pada bayi
normal biasanya 30-50 x/menit dan menangis, kita melangkah ke penilaian
selanjutnya
2. Frekuensi Jantung
Frekuensi denyut jantung harus >100 per menit. Cara yang termudah dan
cepat adalah dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat.
Meraba arteria mempunyai keuntungan karena dapat memantau frekuensi
denyut jantung secara terus menerus, dihitung selama 6 detik (hasilnya
dikalikan 10 = Frekuensi denjut jantung selama 1 menit)
Hasil penilaian :
a. Apabila frekeunsi >100 x / menit dan bayi bernafas spontan,
dilanjutkan dengan menilai warna kulit
b. Apabila frekuensi <100 x / menit walaupun bayi bernafas spontan
menjadi indikasi untuk dilakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif
3. Warna Kulit
Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit menjadi
kemerahan. Jika masih ada sianosis central, oksigen tetap diberikan. Bila
terdapat sianosis perifer, oksigen tidak perlu diberikan, disebabkan karena
peredaran darah yang masih lamban, antara lain karena suhu ruang bersalin
yang dingin.

D. Peran Bidan Dalam Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal


Kematian ibu dan bayi terjadi karena kegawatdaruratan yang tidak tertangani
dengan baik, dapat disebabkan oleh :
1. Keterlambatan dalam memutuskan untuk mencari perawatan
2. Keterlambatan mencapai fasilitas rujukan tingkat pertama
3. Keterlambatan dalam benar-benar menerima perawatan setelah tiba di fasilitas
tersebut.
Sebagai contoh, staf di sebuah pos kesehatan pedesaan pelayanan
kegawatdaruratan dasar dengan akan kemampuan tidak diharapkan untuk
melakukan bedah caesar bagian tetapi akan diharapkan untuk membuat diagnosis
yang benar, resusitasi dan menstabilkan pasien, dan merujuk padanya. Hal ini
tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan yang antara lain
mengatur hal-hal berikut ini (keterangan: kami kutipkan yang berkaitan dengan
anak):
1. Pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan dimaksudkan untuk
mendekatkan pelayanan kegawatan obstetri dan neonatal kepada setiap ibu
hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0-28 hari), agar penanganan dini atau
pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat
waktu.
2. Dalam menjalankan kewenangan yang diberikan, bidan harus:
a. Melaksanakan tugas kewenangan sesuai dengan standar profesi
b. Memiliki keterampilan dan kemampuan untuk tindakan yang
dilakukannya
c. Mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku di wilayahnya
d. Bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara
optimal dengan mengutamakan keselamatan ibu dan bayi atau janin.
3. Pelayanan kebidanan dalam masa kehamilan, masa persalinan dan masa nifas
meliputi pelayanan yang berkaitan dengan kewenangan yang diberikan.
Perhatian khusus diberikan pada masa sekitar persalinan, karena kebanyakan
kematian ibu dan bayi terjadi dalam masa tersebut.
4. Pelayanan kesehatan kepada anak diberikan pada masa bayi (khususnya pada
masa bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah.
5. Pelayanan kesehatan pada anak meliputi:
a. Pelayanan neonatal esensial dan tata laksana neonatal sakit di luar rumah
sakit yang meliputi:
1) Pertolongan persalinan yang atraumatik, bersih dan aman
2) Menjaga tubuh bayi tetap hangat dengan kontak dini
3) Membersihkan jalan nafas,mempertahankan bayi bernafas spontan
4) Pemberian asi dini dalam 30 menit setelah melahirkan
5) Mencegah infeksi pada bayi baru lahir antara lain melalui perawatan
tali pusat secara higienis, pemberian imunisasi dan pemberian asi
eksklusif.
b. Pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dilaksanakan pada bayi 0-28
hari
c. Penyuluhan kepada ibu tentang pemberian asi eksklusif untuk bayi di
bawah 6 bulan dan makanan pendamping asi (mpasi) untuk bayi di atas 6
bulan.
d. Pemantauan tumbuh kembang balita untuk meningkatkan kualitas tumbuh
kembang anak melalui deteksi dini dan stimulasi tumbuh kembang balita.
e. Pemberian obat yang bersifat sementara pada penyakit ringan, sepanjang
sesuai dengan obat-obatan yang sudah ditetapkan dan segera merujuk
pada dokter.
6. Beberapa tindakan yang termasuk dalam kewenangan bidan antara lain:
a. Memberikan imunisasi kepada wanita usia subur termasuk remaja putri,
calon pengantin, ibu dan bayi
b. Ekstraksi vacum pada bayi dengan kepala di dasar panggul. Demi
penyelamatan hidup bayi dan ibu, bidan yang telah mempunyai
kompetensi, dapat melakukan ekstraksi vacum atau ekstraksi cunam bila
janin dalam presentasi belakang kepala dan kepala janin telah berada di
dasar panggul.
c. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia. Bidan diberi wewenang
melakukan resusitasi pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, yang
sering terjadi partus lama, ketuban pecah dini, persalinan dengan tindakan
dan pada bayi dengan berat badan lahir rendah, utamanya bayi prematur.
Bayi tersebut selanjutnya perlu dirawat di fasilitas kesehatan, khususnya
yang mempunyai berat lahir kurang dari 1750 gram.
d. Hipotermi pada bayi baru lahir bidan diberi wewenang untuk
melaksanakan penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dengan
mengeringkan, menghangatkan, kontak dini dan metode kangguru.
DAFTAR PUSTAKA

http://putryayyu.blogspot.com/2013/09/asuhan-kebidanan-kegawatdaruratan.html

Prof. Dr. Basri Saifuddin, SpOG, Mph.2002. Buku panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatus, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo.
Prof. Dr. Heller Luz. 1997. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri, cetakan kelima,
Edisi pertama, Jakarta : Buku Kedokteran.
Prof. Dr. Winjosastro Hanifa, SpOG.2005. Ilmu Kebidanan, Cetakan ketujuh, Edisi
Ketiga, Jakarta : Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Yayasan Bina.

Anda mungkin juga menyukai