Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan
A. Latar belakang
Indonesia memasuki area reformasi yang ditandai dengan perubahan-
perubahan yang cepat di segala bidang. Munculnya reformasi total karena
ketimpangan dari hasil pembangunan di bidang kesehatan antar daerah dan antar
golongan, serta derajat kesehatan masih tertinggal di negara tetangga. Ada lima
fenomena formasi bidang kesehatan meliputi perubahan pada bidang dinamika
kependudukan, temuan substansial iptek kesehatan, tantangan global perubahan
lingkungan dan demokrasi disegala bidang (nursalam, 2012).
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat
darurat (permenkes no. 147 tahun 2010). Salah satu pelayanan kesehatan yang
diberikan di rumah sakit adalah tenaga keperawatan, perawat memiliki tanggung
jawab dan kewenangan untuk mengambil langkah – langkah keperawatan dalam
kesembuhan pasien.
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang sangat dibutuhkan,
mengingat saat ini banyak pasien yang dalam penanganannya masih kurang
terpantau, dengan adanya sistem ini diharapkan dapat meminimalisir kesalahan
dalam penanganan pasien baik pada pasien igd, rawat inap maupun pada pasien
poliklinik (Persi, 2015). Dalam hal ini komitmen, kompeten dan etis keperawatan
diperlukan untuk menjaga keselamatan pasien (Can, 2012). Keperawatan sebagai
salah satu pemberi layanan kesehatan dirumah sakit wajib memberikan layanan
perawatan yang prima, efisien, efektif, dan produktif kepada masyarakat. Salah
satu upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan adalah pengelolaan
dalam manajemen keperawatan.
Pemberian asuhan keperawatan merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan
oleh setiap pasien rawat inap. Pelaksanaan serah terima pasien juga sangat
berkaitan dengan penentuan model pemberian asuhan keperawatan yang
disesuaikan dengan ruangan (marquis & houston, 2010). Serah terima pasien
merupakan sarana untuk menyampaikan tanggung jawab serta penyerahan
legalitas yang berkaitan dengan pelayanan keperawatan kepada pasien (wallis,
2010). Pelaksanaan serah terima pasien merupakan tindakan keperawatan yang
secara langsung akan berdampak pada perawatan pasien. Hal-hal yang perlu
diberitahukan dalam serah terima adalah identitas dan diagnosa medis, masalah
keperawatan, tindakan yang sudah dan belum dilakukan, intervensi.
Komunikasi dengan teknik sbar (situation, background, assessment,
recommendation) adalah salah satu teknik komunikasi yang disediakan untuk
petugas kesehatan dalam menyampaikan kondisi pasien. Sbar digunakan sebagai
strategi untuk meningkatkan komunikasi saat serah terima informasi pasien yang
berujung pada peningkatan patient safety. Format pendokumentasian model sbar
untuk serah terima antar shift adalah s (diagnose medis dan masalah keperawatan)
, b (sign and symptome dari masing-masing masalah keperawatan: data subjektif
dan data objektif), a (analisa dari data-data yang ada di background (b) sesuai
masalah keperawaatan dan mengacu kepada tujuan dan kriteria hasil masing-
masing diagnosa keperawatan), r (intervensi mandiri/ kolaborasi yang prioritas
dikerjakan dan hal-hal khusus yang harus menjadi perhatian).
Organisasi kesehatan dunia dalam who for patient safety solutions with joint
commission international (2007) juga telah menjelaskan bahwa sasaran
keselamatan pasien yang perlu tercapai pada sebuah rumah sakit (adji, 2012)
adalah: (1) ketepatan identifikasi pasien; (2) peningkatan komunikasi yang efektif;
(3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4) kepastian tepat-lokasi,
tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan; dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh. Untuk mencapai
sasaran keselamatan pasien, manajemen ruangan harus menjalankan fungsi
manajerial untuk patient safety dengan optimal.
Patient safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang membuat
asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Pengurangan resiko infeksi
dengan cuci tangan 6 langkah terkait layanan kesehatan merupakan salah satu
point dari patient safety yang dominan teridentifikasi di ruang irna non bedah
(neurologi) rsup dr. M djamil padang.
Dari survey yang dilakukan bagian humas BRSU Tabanan pada tahun 2011
tentang kepuasan pasien mengenai pelayanan kesehatan didapatkan, rata-rata
pasien merasa puas dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit, namun masih
ada beberapa keluhan dari responden terhadap pelayanan dan sikap perawat,
antara lain kurang senyum, kurang memberikan informasi, cara berkomunikasi
yang kurang baik dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang berkualitas yang
diberikan perawat tidak hanya diberikan kepada individu namun diberikan juga
kepada keluarga dan masyarakat baik dalam keadaan sehat ataupun sakit
(nursalam, 2007). Untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas seorang
perawat harus memiliki keterampilan manajemen emosi yang disebut dengan
istilah kecerdasan emosional.
Kernbach & schutte (2005) kecerdasan emosional yang baik, yang ditunjukan
pemberi pelayanan kesehatan, mampu meningkatkan tingkat kepuasan pasien
dalam berhubungan dengan petugas kesehatan. Kestabilan emosi sangat penting
karena perawat mungkin sering menghadapi keadaan darurat, misalnya orang
sakit dengan keluarga yang tertekan serta situasi sulit lainnya (pujianyuhono,
2011).
Kepuasan pasien adalah indikator pertama dari standar suatu rumah sakit dan
merupakan suatu ukuran mutu pelayanan. Sikap karyawan terhadap pasien akan
berdampak terhadap kepuasan pasien, dimana kepuasan pasien tentunya
berdampak terhadap jumlah kunjungan yang akan mempengaruhi provitabilitas
rumah sakit (heriandi, 2012). Pasien yang puas merupakan aset yang sangat
berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian
terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan
memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman
buruknya (purwanto, 2012). Namun dalam kenyataanya masih banyak opini
publik yang mengungkapkan tentang ketidakpuasan terhadap pelayanan perawat
seperti adanya persepsi bahwa perawat itu dalam pemberian pelayanan kesehatan
di rumah sakit kurang empati, judes, kurang senyum dan tidak memberikan
keterangan lengkap terhadap tindakan yang dilakukan (rustina, 1999 dalam
purwanto, 2012).
Keramahtamahan merupakan hal yang sangat utama dalam pelayanan
kesehatan, berhubungan dengan istilah' perawat sebagai ujung tombak rumah
sakit’, maka seorang perawat harus mampu memberikan pelayanan yang tulus
dalam hal sekecil apapun, termasuk disini adalah suatu "senyuman" sebagaimana
dijelaskan bahwa quality assurance (qa) adalah usaha untuk meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit. Qa ini merupakan salah satu faktor penting dan
fundamental bagi manajemen rumah sakit itu sendiri dan para stakeholder.
Dampak dari qa menentukan hidup matinya sebuah rumah sakit.
Berdasarkan laporan dari kepala ruangan bahwa tingkat kepuasan pasien dan
keluarga terhadap pelayanan keperawatan di ruang saraf dalam 2 bulan terakhir
cenderung menurun, hal ini diakibatkan karena bor pasien yang tinggi sehingga
membuat beban kerja perawat juga meningkat. Sementara, hal ini tidak seimbang
dengan kebutuhan tenaga yang ada diruangan ditambah dengan tingkat
ketergantungan pasien yang cenderung total care. Hal ini dapat dilihat dari hasil
kotak saran yang diberikan oleh keluarga pasien serta seringnya keluhan-keluhan
dari keluarga pasien terhadap penampilan perawat yang kurang senyum. Hal ini
juga ditemukan pada saat melakukan observasi bahwa dari 5 dari 10 perawat tidak
melakukan senyum pada pasien.
Secara keseluruhan pelaksanaan manajemen pelayanan telah berjalan dengan
cukup baik tetapi masih belum optimal hal ini terlihat dari motivasi perawat dalam
melakukan pelayanan sesuai dengan standar operasional prosedur (sop) yang ada
di rumah sakit terutama dalam hal patient safety. Berdasarkan paparan di atas,
maka penelitian ini bermaksud untuk meningkatkan mutu dari manajemen
pelayanan di ruangan irna non bedah (neurologi) rsup dr. M. Djamil padang
terutama mengenai patient safety. Mutu pelayanan keperawatan sangat
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan, bahkan menjadi salah satu faktor
penentu citra institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) di mata masyarakat. Hal
ini terjadi karena tenaga perawat merupakan kelompok profesi dengan jumlah
terbanyak, paling depan dan terdekat dengan pasien.
Dari hasil observasi pada tanggal 2-3 januari 2018 di ruangan irna non bedah
(neurologi) rsup dr. M. Djamil Padang didapatkan data bahwa saat melakukan
overan bersama tim tentang kondisi klien perawat kurang mengoptimalkan
komunikasi dengan teknik sbar secara konsisten dan overan yang dilakukan hanya
antar sesama perawat ruangan tanpa menyampaikan rencana tindak lanjut pada
hari ini kepada pasien atau keluarga
Berdasarkan observasi dan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 2-3
januari 2018 didapatkan data bahwa 4 dari 6 perawat tidak melakukan langkah 5
moment cuci tangan terutama langkah 2 sebelum (sebelum kontak dengan pasien
dan sebelum melakukan tindakan aseptik) dan saat melakukan handhygiene juga
tidak melakukan dengan gerakan 6 langkah secara sempurna, ada yang hanya
sampai langkah 4 dan tidak melanjutkan ke gerakan 5 dan 6.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Memaparkan hasil masalah yang ditemui dan penyelesaian masalah
(problem solving) yang berkaitan dengan mutu pelayanan keperawatan di
irna non bedah (neurologi) rsup dr. M. Djamil padang.
2. Tujuan khusus
Kelompok mahasiswa bersama perawat diruangan dapat menunjukkan
kemampuan:
a. Mengidentifikasi masalah manajemen pelayanan keperawatan yaitu
belum maksimalnya penerapan komunikasi efektif dengan teknik sbar
saat overan yang digunakan di ruangan irna non bedah (neurologi)
rsup dr. M. Djamil padang.
b. Mengidentifikasi pengoptimalan penerapan hand hygiene untuk
pengurangan resiko infeksi pada pasien dan keluarga pasien di
ruangan irna non bedah (neurologi) rsup dr. M. Djamil padang.
c. Mengidentifikasi pengoptimalan penerapan klinik budaya senyum
pada tenaga kesehatan khususnya perawat di ruangan irna non bedah
(neurologi) rsup dr. M. Djamil padang.
d. Membuat planning of action (poa) untuk pemecahan masalah
manajemen pelayanan keperawatan berdasarkan belum maksimalnya
penerapan komunikasi dengan teknik sbar saat overan yang digunakan
di ruangan irna non bedah (neurologi) rsup dr. M. Djamil padang.
e. Membuat planning of action (poa) untuk pengoptimalan penerapan
hand hygiene untuk pengurangan resiko infeksi oleh pasien dan
keluarga pasien di ruangan irna non bedah (neurologi) rsup dr. M.
Djamil padang.
f. Membuat planning of action (poa) untuk pengoptimalan penerapan
klinik budaya senyum pada tenaga kesehatan (khususnya perawat) di
ruangan irna non bedah (neurologi) rsup dr. M. Djamil padang.

C. Manfaat penulisan
1. Bagi rumah sakit
Lokakarya mini ini menjadi bahan masukan untuk pihak rumah
sakit sehingga dapat meningkatkan pencapaian komunikasi dengan teknik
sbar saat overan, penerapan hand hygiene untuk pengurangan resiko
infeksi serta pengoptimalan penerapan klinik budaya senyum pada tenaga
kesehatan (khususnya perawat) di ruangan irna non bedah (neurologi)
rsup dr. M. Djamil padang tahun 2018.
2. Bagi institusi
Lokakarya mini ini menjadi tolak ukur bagi pihak akademik dalam
mengevaluasi tingkat kemampuan dan kemahiran mahasiswa dalam
menerapkan aplikasi ilmu manajemen pada situasi nyata dilapangan.
3. Bagi mahasiswa
Lokakarya mini ini bisa menjadi sarana untuk menerapkan ilmu
manajemen, memecahkan suatu masalah dilapangan sekaligus menjadi
pedoman dalam pembuatan laporan-laporan kasus manajemen
selanjutnya.
BAB II
ANALISIS SITUASI RUANGAN

Hasil Winshield Survey di Ruang Anak Akut RSUP. DR. M. Djamil Padang
pada tanggal 1-2 Oktober 2018 2018 terhadap manajemen asuhan keperawatan
didapatkan beberapa masalah yaitu mengenai lima momen cuci tangan, tidak
menerapkan kewaspadaan universal, kekurangan sumber daya manusia,
komunikasi efektif (Handover).
RSUP DR. M Djamil Padang merupakan rumah sakit rujukan Sumatera
Tengah, Sumatera Barat, Riau, Jambi yang memiliki beberapa instalasi rawat
inap, salah satunya ruang Anak Akut. Ruang Anak Akut terdiri dari beberapa 5
kamar rawatan dengan kapasitas 30 tempat tidur.
Gambaran umum ruangan Anak Akut situasi RSUP DR.M Djamil Padang
adalah ruangan rawat inap kelas 2 dan kelas 3 yang dipimpin oleh kepala ruangan
dengan jumlah tenaga keseluruhan adalah 13 orang. Tenaga keperawatan dengan
jenjang pendidikan S1 Keperawatan sebanyak 2 orang, D3 Keperawatan sebanyak
11 orang.
Ruang Anak Akut RSUP DR M Djamil Padang memiliki 5 kamar rawatan.
Jumlah pasien pada tanggal 1-2 Oktober sebanyak 24 orang.

A. Winshield Survey
Data di Ruang Anak Akut RSUP DR M Djamil Padang pada tanggal 1-2
Oktober 2018 dilakukan dengan metode wawancara dan observasi yang
dilakukan dengan kepala ruangan, ketua tim, dan beberapa perawat pelaksana.
Observasi dilakukan mahasiswa profesi keperawatan manajemen pada shift
pagi meliputi observasi situasi dan kondisi ruangan, pelayanan asuhan
keperawatan, penyediaan sarana dan prasarana, sistem kerja, dan komunikasi
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
1) Pengelompokan tingkat ketergantungan pasien

Observasi
Dari hasil observasi kelompok selama dua hari, kelompok menemukan
masalah pada tingkat ketergantungan pasien yang belum sesuai, kondisi ini
diperkuat dengan karena tidak adanya pedoman yang jelas dan sesuai
dengan standar pada pasien anak dalam pengelompokan tingkat
ketergantungan pasien. Kelompok menemukan tidak terkajinya barthel
index pada semua status pasein. Sehingga tidak ada pengelompokan yang
jelas dalam tingkat ketergantungan pasien. Hal ini juga akan memberikan
dampak pada kinerja perawat di ruangan rawat anak akut. Tingkat
ketergantungan pasien harus dilihat perkembangannya secara
berkelanjutan untuk melihat apakah ada perubahan tingkat ketergantungan
pasien menuju lebih baik atau masih dalam proses penyembuhan. Dalam
penggolongan tingkat ketergantungan pasien perlu adanya landasan dalam
memilih hal tersebut, seperti adanya format SOP (standar operasional
prosedur). Menurut bagaian manajemen keperawatan untuk penggolongan
tingkat ketergantungan pasien memang belum ada SOP-nya. Kesalahan
dalam penggolongan tingkat ketergantungan pasien dapat meningkatkan
data kekurangan tenaga di ruangan, hal ini akan meningkatkan beban
rumah sakit untuk mencari tenaga kesehatan tambahan dimana juga akan
meningkatkan beban biaya pengeluaran rumah sakit.
Identifikasi Masalah : Belum optimalnya pengelompokan tingkat
ketergantungan pasien

2) Penerapan Standar Komunikasi Identifikasi Pasien Saat Pemberian


Obat
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk
mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan di rumah sakit. Depkes
melaporkan setiap tenaga kesehatan di Rumah Sakit termasuk didalamnya
perawat wajib menerapkan insiden keselamatan pasien. Joint Commission
Internasional (JCI) &World Health Organitation (WHO) melaporkan
beberapa negara terdapat 70% kejadian kesalahan dalam pemberian obat
(Depkes, 2008).
Menurut Kemenkes (2011) obat-obatan menjadi bagian dari rencana
pengobatan pasien, manajemen Rumah Sakit harus berperan secaran kritis
untuk memastikan keselamatan pasien. Nama obat, rupa , dan ucapan
mirip (NORUM), yang membingungkan staff pelaksana merupakan salah
satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (Medication
error). Penelitian Clancy, (2011) menunjukkan bahwa unit perawatan rata-
rata terjadi 3,7 insiden kesalahan obat setiap enam bulan. Weant,
Humpries, Hiet & Armitstead, (2010) menyatakan ribuan orang Amerika
meninggal setiap tahun akibat kesalahan obat selama dirawat di rumah
sakit, diperkirakan 29 milyard dollarAmerika dihabiskan tiap tahun akibat
kesalahan obat.
Pada tanggal 1-2 September 2018 diperoleh hasil wawancara dari pasien
dan keluarga bahwa penerapan identifikasi pasien belum terlaksana
dengan baik, ini ditunjukkan dengan pernyataan bahwa mereka sama
sekali tidak mengetahui fungsi dan warna gelang. Menurut pasien dan
keluarga mengatakan bahwa petugas kesehatan jarang melihat gelang
pasien sebelum melakukan tindakan. Berdasarkan observasi kelompok
pada saat petugas akan memberikan obat ke pasien tidak prinsip 6 benar
yang dilakukan, sedangkan injeksi pada spuit hanya tertulis nama pasien.
Langkah-langkah tersebut memang terkesan menghabiskan waktu tetapi
menurut data survey Peta Nasional Keselamatan Pasien (Kongres PERSI
2007) kesalahan dalam pemberian obat menduduki peringkat pertama
(24,8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan (Kemenkes, 2008) (Andi,
2013).
Pada tanggal 1-2 September 2018 diperoleh hasil wawancara dari pasien
dan keluarga bahwa penerapan identifikasi pasien belum terlaksana
dengan baik, ini ditunjukkan dengan pernyataan bahwa mereka sama
sekali tidak mengetahui fungsi dan warna gelang. Menurut pasien dan
keluarga mengatakan bahwa petugas kesehatan jarang melihat gelang
pasien sebelum melakukan tindakan. Berdasarkan observasi kelompok
pada saat petugas akan memberikan obat ke pasien tidak prinsip 6 benar
yang dilakukan, sedangkan injeksi pada spuit hanya tertulis nama pasien.
Identifikasi Masalah
Belum optimal penerapan identifikasi pasien yang digunakan di Ruang
rawat inap anak (akut) di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Berdasarkan uraian diatas, didapatkan daftar masalah sebagai berikut :


Daftar Masalah
a. Belum optimalnya penerapan standar komunikasi identifikasi pasien saat
pemberian obat
b. Belum optimalnya pengelompokan tingkat ketergantungan pasien

B. Rumusan Masalah

No. Data Masalah

1. Demografi
1. Lebih dari separuh perawat
(54,5%) berusia 21-30 tahun.
2. Lebih dari separuh perawat
(100%) berjenis kelamin
perempuan.
3. Lebih dari separuh perawat
(81,8%) memiliki pendidikan
terakhir Diploma III.
4. Seluruh perawat ruang rawat inap
lantai 3 akut (54,5%) diruang
rawat inap lantai 3 Rumah Sakit
M.Djamil padang memiliki masa
kerja 0-5 tahun.
2. Penerapan Standar Komunikasi Belum optimalnya penerapan
Identifikasi Pasien Saat Pemberian Obat standar komunikasi identifikasi
pasien saat pemberian obat.
Pengetahuan
1. Sebanyak 100 % perawat
mengetahui prinsip enam benar
pemberian obat
2. Sebanyak 7 % perawat yang
hanya tahu tentang ante cimunt
3. Lebih dari separuh 84% perawat
mengetaui cara pemberian obat
4. Kurang dari separuh 30% perawat
mengetahui rute obat dalam
bentuk padat
5. Hanya 46% perawat mengetahui
yang dilakukan saat pemberian
obat
6. Hanya 7% perawat yang
mengetahui tindakan yang
dilakukan apabila pasien menolak
dalam pemberian obat
Sikap
1. sebanyak 54% perawat sangat
setuju untuk 6 benar dalam
pemberian obat
2. sebanyak 38% perawat sangat
tidak setuju dalam mengeck
identitas pasien menambah beban
kerja perawat.
3. sebanyak 54% perawat setuju
melakukan pendokumentasia
segera stelah pemberian obat.
4. sebanyak 46% pasien setuju
sebelum memberikan obat, label
obat dicek sebanyak tiga kali.
5. sebanyak 46% setuju prawat
mengecek tanggal kadarluasa
bukanlah tugas perawat
6. 54% setuju perawat melakukan
pendidikan kesehatan tentang
kegunaan obat diberikan pada
pasien bila pasien bertanya saja.
7. sebanyak 53% perawat setuju
pasein memiliki hak untuk
mengajukan penolakan terhadap
pengobata yang diterima.
8. 38% perawat setuju jika ada
keraguan dosis obat harus dicek
ulang dan diperiksa oleh perawat
lain.
9. 31% perawat setuju evaluasi
pemberian obat cukup dipantau
saat perawat ganti shift atau
overant saja
10. 46% perawat memberikan obat
sesuai waktu yang dijadwalkan
11. 54% perawat setuju untuk
memastikan rute pemberian obat
secara benar sebelum memberikan
obat
12. 30% perawat mengidentifikasi
ulang ketepatan lokasi sebelum
pemberian obat.

3. Pengelompokan tingkat ketergantungan Belum optimalnya


pasien pengelompokan tingkat
ketergantungan pasien
Pengetahuan
1. Keseluruhan perawat (100%)
mengetahui cara menggolongkan
tingkat ketergantungan pasien.
2. Kurang dari separuh perawat
(37%) mengkaji keadaan pasien
sebelum menggolongkan tingkat
ketergantungan pasien.
3. Keseluruhan perawat (100%)
mengatakan tidak tersedianya
standart baku tertulis cara
menggolongkan tingkat
ketergantungan.
4. Lebih dari Separuh perawat (75%)
mengatakan pentingnya format
pengisian menggolongkat tingkat
ketergantungan.

C. Validasi Data

Validasi data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada


seluruh perawat di Ruang Akut Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang, yang
berjumlah 13 orang. Kuesioner disebarkan selama 2 hari pada hari Rabu / 3
Oktober 2018 dan Kamis / 4 Oktober 2018 pada shift dinas pagi, sore, dan
malam. Dari 13 orang orang perawat yang mengisi kuesioner didapatkan hasil
bahwa:

1. Pada pertanyaan no. 1 dengan pertanyaan “Prinsip enam benar pemberian


obat“ didapatkan data bahwa 100% atau 13 orang perawat menjawab
pertanyaan dengan benar.
2. Pada pertanyaan no. 2 dengan pertanyaan “Waktu pemberian obat dengan
singkatan a.c (ante cimunt)“ didapatkan data bahwa 7% atau 1 orang
perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
3. Pada pertanyaan no. 3 dengan pertanyaan “Definisi rute obat“ didapatkan
data bahwa 84% atau 11 orang perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
4. Pada pertanyaan no. 4 dengan pertanyaan “Rute obat dalam bentuk padat “
didapatkan data bahwa 30% atau 4 orang perawat menjawab pertanyaan
dengan benar.
5. Pada pertanyaan no. 5 dengan pertanyaan “Tindakan yang harus dilakukan
perawat dalam pembelian obat pasien“ didapatkan data bahwa 46% atau 6
orang perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
6. Pada pertanyaan no.6 dengan pertanyaan “Yang harus dilakukan perawat
saat pasien menolak tindakan pemberian obat“ didapatkan data bahwa 7%
atau 1 orang perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
7. Pada pertanyaan no. 7 dengan pertanyaan “Pendidikan kesehatan yang harus
disampaikan perawat tentang obat yang diberikan kepada pasien“
didapatkan data bahwa 0% atau tidak ada perawat menjawab pertanyaan
dengan benar.
8. Pada pertanyaan no. 8 dengan pertanyaan “Evaluasi yang harus dilakukan
perawat setelah memberi obat“ didapatkan data bahwa 7% atau 1 orang
perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
9. Pada pertanyaan no. 9 dengan pertanyaan “Persiapan yang diberikan
dilakukan perawat dalam pemberian obat“ didapatkan data bahwa 30% atau
4 orang perawat menjawab pertanyaan dengan benar.
10. Pada pertanyaan no. 10 dengan pertanyaan “Tindakan setelah pemberian
obat“ didapatkan data bahwa 7% atau 1 orang perawat menjawab
pertanyaan dengan benar.
11. Pada pertanyaan no. 4 dengan pertanyaan “Maksud dari benar dosis“
didapatkan data bahwa 69% atau 9 orang perawat menjawab pertanyaan
dengan benar.
Selain pengetahuan, berdasarkan kuesioner yang disebarkan didapatkan
data bahwa dari 12 jenis pertanyaan terkait sikap perawat, didapatkan data
bahwa:

1. 54% atau 7 orang perawat menyatakan sikap yang benar terkait prinsip enam
benar pemberian obat.
2. 38% atau 5 orang perawat menyatakan sikap yang benar terkait identifikasi
pasien.
3. 54% atau 7 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam
pendokumentasian obat.
4. 46% atau 6 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam tindakan
sebelum pemberian obat.
5. 46% atau 6 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam tindakan
pengecekan tanggal kadaluarsa obat.
6. 54% atau 7 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam melakukan
pendidikan kesehatan.
7. 53% atau 7 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam menghadapi
pasien yang menolak dilakukan pemberian obat.
8. 38% atau 5 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam melakukan
double check sebelum pemberian obat.
9. 31% atau 4 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam
mengevaluasi tindakan setelah pemberian obat.
10. 46% atau 6 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam “benar
waktu”pemberian obat.
11. 54% atau 7 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam “benar rute”
pemberian obat.
12. 30% atau 4 orang perawat menyatakan sikap yang benar dalam “benar
lokasi” pemberian obat.
Berdasarkan diagram diatas diatas didapatkan bahwa 25% perawat masih jarang
menjelaskan nama dan jenis obat ke pasien.

Berdasarkan diagram diatas didapatkan bahwa 100% perawat mengetahui cara


menggolongkan tingkat ketergantungan pasien.
Berdasarkan diagram diatas didapatkan bahwa tidak ada tersedianya standar baku
tertulis cara menggolongkan tingkat ketergantungan di ruangan.

Berdasarkan diagram diatas didapatkan bahwa cara menggolongkan tingkat


ketergantungan pasien berdasarkan arahan karu/katim, pengetahuan saat masa
pendidikan, dan berdasarkan kebiasaan di ruangan yaitu masing-masing sebanyak
25%.
Berdasarkan diagram diatas didapatkan bahwa lebih dari separuh (75%)
pentingnya format pengisian untuk menggolongkan tingkat ketergantungan pada
pasien.

Anda mungkin juga menyukai