Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Non Stemi mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang
tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang (Brunner & Sudarth, 2002). Non
Stemi merupakan kondisi kematian pada miokard (otot jantung) akibat dari aliran darah ke
bagian otot jantung terhambat.
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak
ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI,
trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri
koroner (Kalim, 2004).

B. Etiologi

NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan kebutuhan


oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis
akut atau proses vasokonstrikai koroner, sehingga terjadi eskemia miokard dan dapat
menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada
subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun
menyebabkan pelepasan penandanekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan dari
penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus nonocclusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri
koroner mungkin juga bertanggung jawab menyebabkan NSTEMI.
Faktor resiko
1) Yang tidak dapat diubah
a) Umur
b) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita meningkat
setelah menopause
c) Riwayat penyakit jantung koroner pada anggota keluarga diusia muda
d) Hereditas
e) Ras
2) Yang dapat diubah
a) Mayor: hiperlipidemia, hipertensi, Merokok, Diabete, Obesitas, Diet tinggi
lemak jenuh, kalori.
b) Minor: Inaktifitas fisik, emosional, agresif, ambisius, kompetitif, stress
psikologis berlebihan.
C. Patofisiologi
Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
demand oksigen miokard. Mekanisme yang paling sering terlibat dalam ketidakseimbangan
tersebut disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke miokard, melalui lima mekanisme
dibawah ini:
1. Yang paling sering disebabkan oleh menyempitnya arteri koroner yang disebabkan oleh
trombus yang terdapat pada plak ateroskelotik yang terganggu dan biasanya nonoklusif.
Mikroemboli dari agregat trombosit dan komponen-komponen dari plak yang terganggu
tersebut diyakini bertanggung jawab terhadap keluarnya markers miokard pada pasien-
pasien NSTEMI. Trombus/plak oklusif juga dapat menyebabkan sindroma ini namun
dengan suplai darah dari pembuluh darah kolateral. Patofisiologi molekuler dan seluler
paling sering yang menyebabkan plak aterosklerotik terganggu adalah inflamasi arterial
yang disebabkan oleh proses non infeksi (mis, lipid teroksidasi), dapat pula oleh
stimulus proses infeksi yang menyebabkan ekspansi dan destabilisasi plak, ruptur atau
erosi, dan trombogenesis. Makrofag yang teraktivasi dan limfosit T yang berada pada
plak meningkatkan ekspresi enzim-enzim seperti metalloproteinase yang menyebabkan
penipisan dan disrupsi plak yang dapat menyebabkan NSTEMI.
2. Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat dipicu oleh
spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner epicardial (Prinzmetal’s angina).
Spasme lokal ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos vaskular dan atau
disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah besar dapat terjadi pada puncak obstruksi
atau plak, yang mengakibatkan angina yang berasal dari campuran kondisi tersebut atau
NSTEMI/UA. Obstruksi koroner dinamik dapat pula disebabkan oleh disfungsi
mikrovaskular difus, sebagai contoh akibat disfungsi endotel atau konstriksi abnormal
dari pembuluh darah kecil intramural.
3. Penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Kondisi ini terjadi pada
pasien dengan atherosklerosis progresif atau akibat restenosis setelah percutaneous
coronary intervention (PCI).
4. Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada wanita-wanita
peripartum).
5. UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri koroner. Pasien dengan
UA sekunder biasanya, namun tidak selalu, memiliki penyempitan atherosklerotik
koroner yang membatasi perfusi miokard dan sering memiliki angina kronik stabil. UA
sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi seperti peningkatan kebutuhan oksigen
miokard (demam, takikardia, tirotoksikosis), penurunan aliran darah koroner (hipotensi)
atau penurunan pasokan oksigen miokard (anemia atau hipoksemia).
D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri Dada
Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu.
Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada
infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya
keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu,
leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan
neuropati.
2. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hipervenntilasi. Pada
infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel
kiri yang bermakna.
3. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih sering
pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan
cegukan.
4. Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, gelisah.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Untuk mengetahui fungsi jantung : T. Inverted, ST depresi, Q. patologis
Segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien.
Pada Trombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru
sebanyak 0,05 mV merupkan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan
peningkatan resiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya
depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan tambahan
informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
2. Enzim Jantung.
Pemeriksaan enzim jantung :
a CPK-MB/CPK
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak
dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
b LDH/HBDH
Meningkat dalam 12-24 jam dam memakan waktu lama untuk kembali normal
c AST/SGOT
Meningkat (kurang nyata/khusus) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam,
kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
d Troponin T dan Troponin I
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard lebih spesifik dari
pada CK dan CKMB. Pada pasien IMA, peningkatan Troponin pada darah perifer
setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.
3. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal hipokalemi,
hiperkalemi
4. Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan
dengan proses inflamasi
5. Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
6. Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis
7. AGD
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
8. Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.
9. Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga aneurisma ventrikuler.
10. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup.
11. Angiografi coroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan
sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri
(fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati bedah
jantung angioplasty atau emergensi.
12. Tes stress olah raga/Tredmile
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan sehubungan
dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.
F. Penatalaksanaan
Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
yaitu :
1. Terapi Suportif
Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%, distres pernafasan, atau
memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia (Paxinos, 2012)
Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal spray (0.4mg).
Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis pemberian. Jika nyeri
masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun gagal jantung , nitrogliserin intra
vena dapat diberikan (dosis inisial 5-10 ug/menit dengan peningkatan 10 ug/menit sampai
tekanan darah sistolik turun dibawah 100 mmHg). Pemberian nitrogliserin
dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam sebelum
masuk rumah sakit atau 48 jam untuk tadalafil (ACCF, 2011). Morfin dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri, walaupun terdapat beberapa observasi yang mengindikasikan
adanya peningkatan mortalitas pada SKA dengan penggunaan nya. Sedangkan NSAID
disarankan untuk dihentikan pengunaannya pada pasien NSTEMI, karena dijumpai
peningkatan resiko mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung dan ruptur miokard
sehubungan dengan penggunaannya (Paxinos, 2012)
2. Terapi Anti Iskemik
a. Penghambat reseptor beta
Penghambat reseptor beta mengurangi insidensi iskemik berulang dan serangan
infark miokard berikutnya. Penghambat reseptor beta intravena dapat diberikan
apabila tidak dijumpai kontraindikasi. Pada pasienpasien yang dikontraindikasikan
menggunakan preparat penghambat beta dapat menggunakan non-dihydropyridine
calcium channel blocker (mis, verapamil atau diltiazem) sebagai terapi inisial dengan
memperhatikan bahwa pasien tersebut tidak mengalami disfungsi ventrikel kiri yang
signifikan atau kontraindikasi lainnya (Paxinos, 2012).
b. Nitrat
Keuntungan terapeutik dari penggunaan nitrat berhubungan dengan efek venodilator
yang menyebabkan penurunan preload miokard dan volume end diastolik ventrikel
kiri yang akhirnya menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokard. Selain itu
nitrat akan menyebabkan dilatasi arteri koroner normal maupun arteri koroner yang
mengalami aterosklerotik dan meningkatkan aliran kolateral korone (Hamm dkk,
2011)
c. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers merupakan obat vasodilator dan beberapa diantaranya
memiliki efek langsung terhadap konduksi atrioventrikular dan denyut jantung.
Terdapat tiga sub kelas dari calcium blocker yaitu dihydropyridines (nifedipine),
benzothiazepines (diltiazem), dan phenylethylamines (verapamil). Ketiga sub kelas
ini memiliki derajat yang bervariasi dalam hal vasodilatasi, penurunan kontraktilitas
miokard dan penghambatan konduksi atrioventrikular. Nifedipin dan amlodipin
memiliki efek vasodilatasi perifer yang paling besar, sementara diltiazem memiliki
efek vasodilator yang paling kecil.
3. Terapi Anti Platelet
a. Aspirin
Aspirin sebaiknya diberikan kepada semua pasien kecuali ada kontraindikasi, dosis
inisial aspirin non enterik 150-300 mg dikunyah. Selanjutnya 75-100 mg per hari
dalam jangka panjang dikatakan memiliki efikasi yang sama dengan dosis besar dan
memiliki resiko intoleran saluran cerna yang lebih kecil.1
b. P2Y12 Reseptor Inhibitor
Obat golongan P2Y12 Reseptor Inhibitor baru yang cukup menjanjikan sebagai obat
anti platelet adalah Ticagrelor. Seperti prasugrel, Ticagrelor memiliki onset of action
yang lebih cepat dan konsisten dibandingkan clopidogrel, namun juga memiliki
offset of action yang lebih cepat sehingga pemulihan fungsi platelet menjadi lebih
cepat
c. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors
Tiga obat yang termasuk golongan GP IIb/IIIa receptor inhibitors yang disetujui
untuk penggunaan klinis adalah abciximab yang merupakan suatu fragmen
monoklonal antibody; eptifibatide sebuah peptide siklik; dan tirofiban yang
merupakan molekul peptidomimetik.3 Studi terbaru mengenai SKA tidak
menemukan keuntungan dalam penggunaan GP IIb/IIIa dalam SKA
4. Terapi Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat pembentukan dan atau
aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan pembentukan thrombus. Antikoagulan direkomendasikan untuk semua pasien
sebagai tambahan terapi anti platelet.
Terdapat beragam jenis antikoagulan yang tersedia, dan pemilihannya didasarkan pada
resiko iskemik, kejadian perdarahan dan pilihan strategi manajemen inisial ( urgent
invasif, early invasif atau konservatif). Jenis antikoagulan antara lain :
a. Low Molecular Weight Heparin
Salah satu LMWH yang sering digunakan adalah enoxaparin yang merupakan
antikoagulan pilihan baik pada pasien-pasien yang direncanakan untuk tindakan
konservatif ataupun tindakan invasif. Dengan dosis 1 mg/kgBB dua kali sehari,
enoxaparin dapat dihentikan 24 jam setelah strategi invasif dilakukan. Dan sebaiknya
diberikan selama 3 hingga 5 hari untuk pasien yang direncanakan tindakan
konservatif.
b. Fondaparinux
Fondaparinux direkomendasikan atas dasar efikasi yang paling baik dan profil
keamanan nya. Fondaparinux paling sedikit menyebabkan komplikasi perdarahan
dan memiliki bioavailabilitas 100 % setelah disuntikkan secara sub kutan dengan
waktu paruh 17 jam serta diekskresikan oleh ginjal. Dosis yang direkomendasikan
adalah 2,5 mg/hari. Fondaparinux dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki
CrCl < 20 ml/menit. Tambahan UFH dengan dosis 50-100 U/kg BB bolus diperlukan
selama PCI karena didapatinya insidensi trombosis kateter yang sedikit tinggi.
c. Unfractionated Heparin
UFH kurang baik diabsorpsi melalui rute sub kutan, sehingga penggunaan infus
intravena menjadi rute pemberian yang lebih dipilih. Dengan dosis bolus inisial 60-
70 IU/kgBB (maksimal 5000 IU) diikuti infus inisial 12-15 IU/kg/jam (maksimal
1000 IU/jam (Hamm, 2011)
d. Direct Thrombin Inhibitor
Bivalirudin saat ini direkomendasikan sebagai antikoagulan alternatif untuk urgent
dan elektif PCI pada pasien-pasien NSTEMI resiko sedang atau tinggi. Bivalirudin
menurunkan resiko perdarahan dibandingkan dengan UFH/LMWH plus GP IIb/IIIa
inhibitor, namun membutuhkan tambahan bolus heparin selama PCI untuk mencegah
stent thrombosis (Daga, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc Physicians India.
2011 Dec;59 Suppl:19-25
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation The Task Force for the management of acute coronary syndromes
(ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the European
Society of Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054
Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI
Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute Coronary Syndromes.
Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71
ACCF/AHA. ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With Unstable
Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction (Adapted from the 2007 ACCF/AHA
Guideline and the 2011 ACCF/AHA Focused Update). diunduh dari
http://content.onlinejacc.org/ on Februari 20, 2013

Anda mungkin juga menyukai