Trauma muskuloskeletal adalah salah satu trauma yang paling banyak terjadi
dalam kegawatdaruratan (Dolan and Holt, 2000 dalam Drozd Mary, 2009). Salah
satu dari tauma muskuloskeletal adalah fraktur (Spain, 2000 dalam Drozd Mary,
2009). Fraktur diklasifikasikan berdasarkan kerusakan jaringan disekitarnya yaitu
fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Jika kulit tetap utuh, fraktur diklasifikasikan
sebagai fraktur tertutup atau sederhana tetapi jika terdapat luka terbuka yang
berhubungan langsung pada daerah fraktur, maka diklasifikasikan sebagai fraktur
terbuka atau fraktur compound (Halpern J.S, dalam Amelia, dkk, 2018).
Menurut Altizer (2003), fraktur yang dapat terjadi di bagian humerus dan
lengan bawah yaitu:
1. Fraktur di bagian shaft radius/ulna yang dimulai dari area proses koronoid
dan berlanjut ke mid shaft yang berhubungan dengan dislokasi radial head.
2. Fraktur di ektremitas atas dengan tidak adanya pergeseran dan stabil maka
yang perlu dilakukan adalah pemasangan gips/bidai.
3. Fraktur di bagian siku dengan tiga tipe yaitu tipe I dengan fraktur yang kecil
dan tidak memiliki treatment yang wajib karena hanya simtomatik, tipe II
melibatkan 50% proses koronoid yang dikaitkan dengan unstabil dan jika
sendi ulnar humerus tidak stabil maka perlu dilakukan fiksasi, tipe III fraktur
dengan keseluruhan proses koronoid dan dilakukan dengan open reduksi dan
internal fiksasi.
4. Fraktur di bagian radial kepala dan leher maka tindakan yang dilakukan yaitu
pengobatan radial head fraktur untuk mempertahankan rentang gerak di siku
dan sendi yang stabil atau jika sangat dibutuhkan maka dilakukan allografft
atau pergantian prostetik dengan menggunakan methalik implan.
5. Fraktur di bagian humerus shaft dilakakukan open reduksi dan internal fiksasi
apabila dalam keadaan metode konserfatif tidak membaik, cedera ekstrim lain
yang memerlukan mobilisasi dini, fraktur patologi terjadi, pembuluh darah
utama mengalami cedera berkaitan dengan fraktur dan bedrest yang
diperlukan karena pengobatan yang berkaitan dengan injury/cedera.
6. Fraktur yang terjadi di bagian proksimal humerus maka tindakan yang
dilakukan yaitu open reduksi dan fiksasi internal.
Adapun cedera lain di bagian ekstremitas atas yang dapat terjadi yaitu cedera
di siku yang merupakan tipe yang paling umum dari cedera minor yang dapat di
jumpai di IGD, cedera ini sering terjadi pada anak-anak dan remaja yang di
akibatkan karena jatuh dan juga kejadian non traumatik (Platt, 2004 dalam
Ritchie, 2007).
Dalam cedera siku hal yang penting di lakukan yaitu pemeriksaan klinis yang
baik pada siku dan ekstremitas atas, menilai riwayat trauma, mengeksplor
pengkajian dengan benar dan treatment dari cedera yang umum terjadi (Ritchie,
2007). Pada pemeriksaan ekstremitas lakukan dengan prinsip look, feel, move.
Masalah yang umum terjadi pada siku adalah dislokasi, fraktur suprakondilar dan
fraktur olecranon. Pada kejadian dislokasi siku, pasien akan merasa kesulitan,
nyeri dan terdapat tanda yang jelas seperti bengkak. Sebelum merelokasi sendi,
suplai vaskular pada lengan harus dicek dengan pengkajian warna, derajat
kehangatan, kemampuan merasakan sensasi dan nadi serta dilakukan
pendokumentasian. Penelitian menunjukkan perawat emergency harus memiliki
skill dan informasi yang jelas yang diberikan sebelum pasien pulang dan promosi
kesehatan (Dunlop, 1999 dalam ritchie, 2007).
Ada perbedaan cara untuk menangani fraktur pada ekstremitas bagian atas,
tetapi tujuan untuk setiap rencana perawatan adalah untuk memiliki reduksi
anatomi, solid union, rentang gerak yang baik, kekuatan yang baik dan sebisa
mungkin bebas dari rasa sakit serta pasien harus didorong untuk mendapatkan
rehabilitasi yang lengkap untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Altizer, Linda,
2003).
Salah satu contoh fraktur yang dapat terjadi pada ekstremitas atas dikenal
dengan boxer fraktur yang biasa terjadi pada petinju, hal ini dapat terjadi ketika
sebuah objek dipukul dengan kepala tertutup dan menghasilkan dampak pada
buku- buku jari tangan yang umumnya dikaitkan dengan perilaku agresif. Adapun
perawatan setelah pasien dengan boxer fraktur yaitu palmar reduksi, efikasi
reduksi, manipulasi dan imobilisasi, mobilisasi awal pada tangan (Keenaan,
Martin, 2013). Close reduksi dapat diberikan pada beberapa fraktur tetapi sering
gagal karena otot tangan akan terus- menerus mendapatkan paksaan tekanan pada
tulang yang retak. (Hofmeister, et al, 2008).
Fraktur yang terjadi pada ekstremitas bawah dapat terjadi pada tibia dan
tibula. Fraktur tibia terbagi menjadi dua yaitu fraktur tibia tertutup dan fraktur
tibia terbuka. Fraktur tibia tertutup lebih umum sedangkan fraktur tibia terbuka
dianggap lebih resiko tinggi untuk terjadi komplikasi, fraktur tibia tertutup pada
pasien muda umumnya cedera yang berhubungan dengan olahraga. Fraktur tibia
tertutup pada orang tua biasanya disebabkan karena jatuh (Court-
Brown&McBirnie, 1995).
Semua luka di anggota tubuh harus ditutup dengan tepat dan didokumentasikan
secara akurat (Nursing and Midwifery Council, 2002), dan pasien harus menerima
analgesik yang memadai sebelum pemasangan gips. Penggunaan analgesik
inhalasi self-demand, diberikan misalnya dengan penggunaan nitrous oxide harus
dipertimbangkan selama pemasangan gips. Pemeriksaan pasien secara mendetail
harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan apakah ada alergi atau kontra
indikasi lainnya.
Langkah-langkah dalam pemasangan gips:
1. Cincin dan perhiasan lainnya harus dibuka (Figure 1) sehingga pemasangan
gips tidak menyebabkan pembengkakan yang dapat menyebabkan gangguan
neurovascular. Cat kuku juga harus dihapus sehingga warna dasar kuku dapat
dinilai secara akurat (Lucas 2005, Miles et al, 2000).
Penting untuk memastikan bahwa semua jari tangan atau kaki benar-benar
terlihat dan bebas dari tekanan gips serta bebas bergerak. Ini juga memungkinkan
untuk penilaian neurovaskular yang adekuat (Altizer, 2004, Judge, 2007, Miller
and Askew, 2007).
Definisi kompartemen adalah area tubuh di mana otot, pembuluh darah, dan
saraf dikompresi dalam jaringan seperti fasia atau tulang. Sindrom kompartemen
terjadi ketika tekanan yang sangat tinggi menumpuk di ruang fasia tertutup.
Ketika sindrom kompartemen terjadi, perfusi darah kapiler menurun yang
kemudian menghambat sirkulasi yang cukup ke area yang diperlukan, dan
kompromi viabilitas jaringan. Tiga klasifikasi sindrom kompartemen termasuk
akut, kronis, atau crush (Altizer, 2004).
Evaluasi diagnostik
Teknik kateter Wick adalah ketika kateter dimasukkan ke dalam
kompartemen dan dipertahankan disana untuk terus mengukur tingkat tekanan.
Sistem Stiyker adalah unit portabel yang dapat digunakan untuk satu kali
pengukuran atau pemantauan berkelanjutan. Terlepas dari perangkat, jarum
disuntikkan ke kompartemen yang terkena dampak, melalui Fascia, dan tekanan
diukur dalam mmHg. Tekanan kompartemen normal adalah 0 hingga 8 mmHg.
Tekanan yang meningkat tampaknya mempengaruhi jaringan saraf lebih awal dan
lebih parah daripada jaringan otot. Dengan tekanan kompartemen 30 mmHg atau
lebih selama 8 jam, kerusakan saraf kemungkinan besar akan terjadi (Mubaiak &
Hargens, 1981). Kerusakan otot permanen dapat terjadi setelah 4 hingga 12 jam
iskemia.
Evaluasi diagnostik
Dengan sindrom kompartemen chronic, diagnosis dilakukan dengan
mengidentifikasi pola klinis nyeri dengan latihan positif, menetapkan bahwa nyeri
berhubungan dengan kompartemen otot, dan mengukur tekanan kompartemen.
Disarankan untuk mengukur tekanan kompartemen setelah pasien melakukan olah
raga. Tekanan saat istirahat biasanya 15 hingga 30 mm Hg pada pasien sindrom
kompartemen kronis. Tekanan postexercising di atas 30 mm Hg dianggap tidak
normal. Telah disarankan bahwa kriteria tekanan istirahat lebih dari 15 mm Hg
dan tekanan postexercise 1 menit lebih dari 30 mm Hg atau 5 menit postexercise
tekanan lebih dari 20 mm Hg adalah indikasi sindrom kompartemen kronis.
Magnetic resonance imaging (MRl) mungkin bermanfaat dalam
mendiagnosis sindrom kompartemen kronis karena menilai perubahan kepadatan
otot dan perubahan area cross-sectional otot. Ini juga dapat memperjelas
perubahan patofisiologis yang terjadi di sindroma kompartemen kronis (Altizer,
2004)
Treatment
Beberapa memilih perawatan non-bedah dan mengharuskan pasien untuk
menghentikan semua kegiatan. Yang lain mungkin memilih terapi fisik,
peregangan, dan penyediaan alas kaki yang memadai, obat anti-inflamasi, dan
perangkat orthotic.
Pengobatan definitif untuk sindrom kompartemen kronis adalah fasciotomy
parsial atau lengkap. Ini dapat dilakukan secara rawat jalan dengan anestesi lokal.
Setelah 48 jam, pembalut dapat dilepas dan pasien dapat sepenuhnya menanggung
beban pada hari ketiga. Latihan peregangan dapat dimulai sekitar 2 minggu
setelah operasi, dan kembali ke tingkat aktivitas normal dalam 3 bulan (Altizer,
2004)
Evaluasi diagnostik
Pasien dengan sindrom kompartemen crush telah meningkatkan tekanan
kompartemen serta gejala sistemik. Mereka sering mengalami penurunan tekanan
vena sentral, penurunan tekanan baji, dan penurunan curah jantung sebagai akibat
dari hipovolemia. Kadang-kadang mereka juga memiliki hemokonsentrasi, oleh
karena itu jumlah hemoglobin dan hematokrit dapat meningkat. Ada juga
peningkatan kadar mioglobin serum menjadi lebih dari 1,5 mg / dL,
myoglobinuria, tes positif 0-toluidine, tes positif spun-plasma, dan peningkatan
serum kalium dan tingkat enzim otot seperti aldolase, aspartat transaminase,
dehidrogenase laktat, dan creatine kinase (CK). CK biasanya meningkat di atas
10.000 lU.
Dengan gagal ginjal yang terjadi dengan sindrom kompartemen crush, ada
juga peningkatan kadar BUN dan kreatinin bersama dengan perubahan kadar
kalium, fosfat, kalsium, dan natrium serum. Pada pola ritme jantung tinggi,
gelombang T memuncak serta depresi segmen ST terjadi bersamaan dengan
peningkatan durasi QRS dan interval PR. Hiperkalemia dari kerusakan otot juga
akan menciptakan kontraksi ventrikel prematur (PVC), yang mengindikasikan
perubahan irama jantung.
Treatment
Pengobatan sindrom crush bertujuan tidak hanya untuk menyelesaikan
peningkatan tekanan jaringan otot melalui fasciotomy, tetapi juga untuk
mengelola efek sistemik yang mungkin mengancam jiwa dari sindrom.
Pemantauan parameter hemodinamik sangat penting dan menyediakan
penggantian cairan kristaloid yang cepat untuk mengimbangi hipovolemik dari
jarak ketiga juga penting. Keluaran 100 hingga 200 mL / jam adalah tujuan setelah
mioglobinuria diidentifikasi (Altizer, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
TRAUMA MUSKULOSKELETAL
Dosen Pembimbing:
DR. Dudut Tanjung
Disusun Oleh:
Kelompok 1