Anda di halaman 1dari 20

TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Trauma muskuloskeletal adalah salah satu trauma yang paling banyak terjadi
dalam kegawatdaruratan (Dolan and Holt, 2000 dalam Drozd Mary, 2009). Salah
satu dari tauma muskuloskeletal adalah fraktur (Spain, 2000 dalam Drozd Mary,
2009). Fraktur diklasifikasikan berdasarkan kerusakan jaringan disekitarnya yaitu
fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Jika kulit tetap utuh, fraktur diklasifikasikan
sebagai fraktur tertutup atau sederhana tetapi jika terdapat luka terbuka yang
berhubungan langsung pada daerah fraktur, maka diklasifikasikan sebagai fraktur
terbuka atau fraktur compound (Halpern J.S, dalam Amelia, dkk, 2018).

Menurut Altizer (2003), fraktur yang dapat terjadi di bagian humerus dan
lengan bawah yaitu:
1. Fraktur di bagian shaft radius/ulna yang dimulai dari area proses koronoid
dan berlanjut ke mid shaft yang berhubungan dengan dislokasi radial head.
2. Fraktur di ektremitas atas dengan tidak adanya pergeseran dan stabil maka
yang perlu dilakukan adalah pemasangan gips/bidai.
3. Fraktur di bagian siku dengan tiga tipe yaitu tipe I dengan fraktur yang kecil
dan tidak memiliki treatment yang wajib karena hanya simtomatik, tipe II
melibatkan 50% proses koronoid yang dikaitkan dengan unstabil dan jika
sendi ulnar humerus tidak stabil maka perlu dilakukan fiksasi, tipe III fraktur
dengan keseluruhan proses koronoid dan dilakukan dengan open reduksi dan
internal fiksasi.
4. Fraktur di bagian radial kepala dan leher maka tindakan yang dilakukan yaitu
pengobatan radial head fraktur untuk mempertahankan rentang gerak di siku
dan sendi yang stabil atau jika sangat dibutuhkan maka dilakukan allografft
atau pergantian prostetik dengan menggunakan methalik implan.
5. Fraktur di bagian humerus shaft dilakakukan open reduksi dan internal fiksasi
apabila dalam keadaan metode konserfatif tidak membaik, cedera ekstrim lain
yang memerlukan mobilisasi dini, fraktur patologi terjadi, pembuluh darah
utama mengalami cedera berkaitan dengan fraktur dan bedrest yang
diperlukan karena pengobatan yang berkaitan dengan injury/cedera.
6. Fraktur yang terjadi di bagian proksimal humerus maka tindakan yang
dilakukan yaitu open reduksi dan fiksasi internal.
Adapun cedera lain di bagian ekstremitas atas yang dapat terjadi yaitu cedera
di siku yang merupakan tipe yang paling umum dari cedera minor yang dapat di
jumpai di IGD, cedera ini sering terjadi pada anak-anak dan remaja yang di
akibatkan karena jatuh dan juga kejadian non traumatik (Platt, 2004 dalam
Ritchie, 2007).

Dalam cedera siku hal yang penting di lakukan yaitu pemeriksaan klinis yang
baik pada siku dan ekstremitas atas, menilai riwayat trauma, mengeksplor
pengkajian dengan benar dan treatment dari cedera yang umum terjadi (Ritchie,
2007). Pada pemeriksaan ekstremitas lakukan dengan prinsip look, feel, move.
Masalah yang umum terjadi pada siku adalah dislokasi, fraktur suprakondilar dan
fraktur olecranon. Pada kejadian dislokasi siku, pasien akan merasa kesulitan,
nyeri dan terdapat tanda yang jelas seperti bengkak. Sebelum merelokasi sendi,
suplai vaskular pada lengan harus dicek dengan pengkajian warna, derajat
kehangatan, kemampuan merasakan sensasi dan nadi serta dilakukan
pendokumentasian. Penelitian menunjukkan perawat emergency harus memiliki
skill dan informasi yang jelas yang diberikan sebelum pasien pulang dan promosi
kesehatan (Dunlop, 1999 dalam ritchie, 2007).

Ada perbedaan cara untuk menangani fraktur pada ekstremitas bagian atas,
tetapi tujuan untuk setiap rencana perawatan adalah untuk memiliki reduksi
anatomi, solid union, rentang gerak yang baik, kekuatan yang baik dan sebisa
mungkin bebas dari rasa sakit serta pasien harus didorong untuk mendapatkan
rehabilitasi yang lengkap untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Altizer, Linda,
2003).

Salah satu contoh fraktur yang dapat terjadi pada ekstremitas atas dikenal
dengan boxer fraktur yang biasa terjadi pada petinju, hal ini dapat terjadi ketika
sebuah objek dipukul dengan kepala tertutup dan menghasilkan dampak pada
buku- buku jari tangan yang umumnya dikaitkan dengan perilaku agresif. Adapun
perawatan setelah pasien dengan boxer fraktur yaitu palmar reduksi, efikasi
reduksi, manipulasi dan imobilisasi, mobilisasi awal pada tangan (Keenaan,
Martin, 2013). Close reduksi dapat diberikan pada beberapa fraktur tetapi sering
gagal karena otot tangan akan terus- menerus mendapatkan paksaan tekanan pada
tulang yang retak. (Hofmeister, et al, 2008).

Fraktur yang terjadi pada ekstremitas bawah dapat terjadi pada tibia dan
tibula. Fraktur tibia terbagi menjadi dua yaitu fraktur tibia tertutup dan fraktur
tibia terbuka. Fraktur tibia tertutup lebih umum sedangkan fraktur tibia terbuka
dianggap lebih resiko tinggi untuk terjadi komplikasi, fraktur tibia tertutup pada
pasien muda umumnya cedera yang berhubungan dengan olahraga. Fraktur tibia
tertutup pada orang tua biasanya disebabkan karena jatuh (Court-
Brown&McBirnie, 1995).

Fraktur pada tibia yang tertutup biasanya sederhana dengan kurangnya


jaringan lunak daripada fraktur tibia terbuka. Adapun klasifikasi fraktur tibia
tertutup dapat juga diklasifikasikan untuk mengkomunikasikan cedera jaringan
lunak yang terkait dengan fraktur (Schmidt & Tornetta, 2003), sedangkan fraktur
tibia terbuka penanganannya dengan melibatkan waktu dan tempat untuk menutup
luka. Alat bantu penutup luka yaitu vakum (luka vakum) yang dapat digunakan
untuk luka besar tidak dapat ditutup dan biasanya dilakukan pada saat fraktur
distabilkan dalam eksternal. Spons di tempatkan di luka terbuka, tertutup dan
terhubung dengan tekanan negatif yang mengurangi jaringan edema, lingkar
keliling yang meningkatkan granulasi untuk pembentukan jaringan (Parret,
Matros&Orgill, 2005).

Untuk mengoptimalkan kenyamanan, fungsi dan keamanan, praktisi


kesehatan harus mempertimbangkan berbagai macam faktor yang mempengaruhi
hasil jangka pendek dan jangka panjang saat pemasangan gips. Pertimbangan
menyeluruh faktor- faktor ini dapat mengurangi resiko medis dan hukum, biaya
kunjungan kembali yang tidak direncakan oleh pasien (Spain, 2000 dalam Drozd
Mary, 2009). Sangat penting bagi praktisi untuk mengerti tentang persiapan fisik
dan psikologis yang dibutuhkan pasien, dan persiapan peralatan yang dibutuhkan,
praktisi kesehatan juga harus memahami komplikasi yang bisa terjadi dan
bagaimana meminimalkan komplikasi (Drozd Mary, 2009).
Pemasangan gips adalah keterampilan yang membutuhkan pengetahuan detail
tentang anatomi muskuloskeletal dan pemahaman tentang berbagai gerakan
normal masing-masing sendi (Drozd Mary, 2009).

Check list pemasangan gips untuk praktisi kesehatan:


 Apakah pasien benar?
 Apakah prosedur telah dijelaskan dalam bahasa yang dimengerti pasien ?
 Apakah pasien diberi informed consent?
 Apakah ada luka di bagian tubuh yang terkena?
 Apakah pasien memiliki analgesia yang adekuat?
 Apakah nitrous oxide telah dipertimbangkan?
 Apakah pasien memiliki alergi?
 Apakah semua perhiasan telah dibuka dari anggota tubuh?
 Apakah cat kuku telah dihapus?
 Apakah pasien memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti diabetes
dan rheumatoid arthritis, atau gangguan neurologis?
 Apakah pasien mengkonsumsi steroid?
 Apakah kulit pasien rapuh?

Pasien harus diidentifikasi dan kemudian dipersiapkan secara fisik dan


psikologis sebelum dilakukan pemasangan gips. Informed consent diperlukan, jadi
ini penting untuk menjelaskan prosedur dalam bahasa dan istilah yang bisa
dimengerti pasien (Departemen Kesehatan, 2001a, 2001b, 2001c). Penjelasan ini
dapat meningkatkan kerja sama dan kepatuhan pasien.

Semua luka di anggota tubuh harus ditutup dengan tepat dan didokumentasikan
secara akurat (Nursing and Midwifery Council, 2002), dan pasien harus menerima
analgesik yang memadai sebelum pemasangan gips. Penggunaan analgesik
inhalasi self-demand, diberikan misalnya dengan penggunaan nitrous oxide harus
dipertimbangkan selama pemasangan gips. Pemeriksaan pasien secara mendetail
harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan apakah ada alergi atau kontra
indikasi lainnya.
Langkah-langkah dalam pemasangan gips:
1. Cincin dan perhiasan lainnya harus dibuka (Figure 1) sehingga pemasangan
gips tidak menyebabkan pembengkakan yang dapat menyebabkan gangguan
neurovascular. Cat kuku juga harus dihapus sehingga warna dasar kuku dapat
dinilai secara akurat (Lucas 2005, Miles et al, 2000).

2. Meskipun ada perdebatan di kalangan praktisi tentang penggunaan stockinette


untuk pasien dengan cedera akut, umumnya diakui bahwa pemasangan gips
membuat lebih nyaman (Altizer 2004, Miles 2004). Stockinette seharusnya
tidak digunakan, namun jika pembengkakan sangat dalam atau jika fraktur
harus dimanipulasi. Saat penggunaan, stockinette harus melebar dengan benar
dan stockinette seharusnya berguling ke anggota tubuh dengan lembut (Figure
2) (Miles, 2004).

3. Perawatan dan perhatian ekstra diperlukan selama pemasangan gips untuk


pasien dengan kondisi seperti diabetes atau rheumatoid arthritis, dan dengan
mereka yang mengkonsumsi steroid, karena pasien seperti itu sering memiliki
kulit yang rapuh. Ujung gips harus selalu empuk untuk meminimalkan
gesekan, dan kulit di sebelah gips harus dibersihkan dari sisa pemasangan gips
untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan meminimalkan risiko reaksi
terhadap pemasangan gips (Figure 3).

Lapisan ekstra harus ditempatkan di atas tulang yang menonjol, seperti


malleoli, siku, tumit, radial dan ulnar (Altizer, 2004, Miles et al, 2000). Jika
menggunakan lapisan melingkar, harus diingat bahwa ini bisa terjadi dikompresi
dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan gips menjadi longgar dan
membutuhkan penyesuaian.

Penting untuk memastikan bahwa semua jari tangan atau kaki benar-benar
terlihat dan bebas dari tekanan gips serta bebas bergerak. Ini juga memungkinkan
untuk penilaian neurovaskular yang adekuat (Altizer, 2004, Judge, 2007, Miller
and Askew, 2007).

Dalam orthopaedic ada beberapa komplikasi yang berpotensi muncul yang


dapat membahayakan hidup maupun membahayakan tungkai. Fat embolism,
pulmonary embolism, dan bahkan perdarahan mungkin akan membahayakan
hidup. Sedangkan acute compartemen syndrome, infeksi, serta malunion atau
nonunion pada fraktur dapat mengarah pada hilangnya tungkai atau rusaknya
fungsi tungkai. Nyeri jika tidak diatasi akan menyebabkan gangguan pada fisik
dan psikososial pasien, dan itu menjadi fokus utama dari perspektif pasien .
Peningkatan pemahaman tentang komplikasi orthopaedic penting untuk
pencegahan, pengenalan dini akan adanya komplikasi, dan treatment yang efektif
untuk meningkatkan hasil yang positif bagi pasien.
Komplikasi Tanda dan gejala/ Temuan Pencegahan/ Implikasi
pada pemeriksaan orthopaedic dan
diagnostik keperawatan
Fat Embolism  Terjadi dalam 12-48 jam  Mencegah gerakan pada
(FE) post trauma atau Intra area fraktur/
Lemak dan isi Medullaary Rodding mempertahankan
sumsus atau (IMR)/ Open Reduction alignment/ fiksasi dini, beri
pelepasan lemak Internal Fixation (ORIF) tahu dokter medis
metabolik = – tulang panjang atau  Diagnostik: nadi pasien,
embolisasi ke pelvis – dari gangguan AGDA, EKG, CXR, scan
jantung dan paru, sumsum tulang paru, serum
menyebabkan ↓  Ansietas, takipnea,  Lipase, pemeriksaan fungsi
perfusi (hipoksia) takikardi, ginjal, tes urin untk lemak
ketidaknyamanan pada  Hemodinamik dan bantuan
dada, PO2 < 60 mmHg, O2: masker, IPPB,
SOB, sianosis, ↓ TD, ventilator, PEEP
↑suhu, ptechiae – aksila,  Mengatasi syok:
dada, konjungtiva pemeriksaan neuro per 1
 CXR badai salju, lipase jam, VS per 1 jam, hidrasi
serum (+), lemak dalam IV
urin (+)  Obat: kortikosteroid

Pulmonary  Terjadi dalam 10-14 hari  Mencegah imoblisasi/


Embolism (PE) post trauma atau mobilisasi dini/ ambulasi
Triad Virchow = imobilisasi,  Kompresi secara sekuen
stasis vena, mengakibatkan DVT, atau balutan/ lilitan lengan
kondisi tromboembolisme vena atau kaki berganti- ganti
hiperkoagulabel,  Ansietas, ketakutan,  Dorsi/ plantar fleksi
dan cedera dispnea, takpinea, pergelangan kaki per 1-2
endotelial, takikardi, nyeri dada jam, latihan isotonik/
mengakibatkan pleuritic, pucat, isometrik pada ekstremitas
kondisi diaforesis, SOB, bawah, tidak ada gulungan/
tromboembolik = sianosis, PO2 < 60 bantal di bawah kaki
gumpalan berjalan mmHg, ↓ TD, ↑ suhu,  Pengkajian terus- menerus
dan mengendap tanda Homan (+) untuk tanda Homan,
pada pembuluh  CXR normal, PCO2 perubahan pulmonary
darah pulmonary normal atau turun, EKG:  Antikoagulasi profilaktik –
= obstruksi pada sinus tach agen anti platelet, heparin
sirkulasi  VP/ scan paru: ventilasi dengan berat molekul
pulmonary = ↓ normal, perfusi rendah (Lovenos,
oksigenasi/ menunjukkan kerusakan/ Fragmin), faktor selektif
hipoksia blocking aliran distal Xa inhibitor (Arixtra),
karena adanya gumpalan heparin, Warfarin
 Angiogram pulmonary (Coumadin)
positif untuk thrombus  Diagnostik: nadi pasien,
 Impedansi AGDA, CXR, VP/ scan
Plethysmogram – paru
menunjukkan kerusakan  Obat: heparin – dosis bolus
IV lalu dilanjutkan dengan
dosis drip berdasarkan
PTT harian (1,5 – 2,5 kali
normal)
Lovenox/ Fragmin :
monitor platelet, serum
kreatinin, feses untuk
okultisme darah
Coumadin: monitor PT
atau INR (profilaksis = 2-3
x normal)
 Batasi aktivitas awal –
melawan konsumsi O2
 Mengobati nyeri dada –
analgesik narkotik

Acute  Berisiko jika trauma  Monitor CSM per 2 jam x


Compartment kecepatan tinggi/ cedera 24 jam post trauma, post
Syndrome (ACS) yang menghancurkan, op, post gips, dsb
Akumulasi cairan trauma tumpul, luka  Tinggikan ekstremitas
dalam ruang bakar untuk mengkontrol edema
fascia; tertutup  6 P: – jika tanda dan gejala
dan/ atau Progressive pain pada ACS berkembang – jangan
kompresi bagian yang pasif – ditinggikan. Jangan
eksternal yang tanpa henti yang tidak menggunakan balutan
meningkatkan proporsional/ tidak elastis atau memasang
tekanan dan responsif terhadap obat- terlalu ketat – cek
mengurangi obatan pengukuran lingkar/ luas
perfusi menuju Paresthesias – mati rasa ekstremitas
pada nekrosis atau kesemutan  Monitor tekanan/
jaringan – edema Pressure – kompartemen penggunaan kateter untuk
– siklus iskemia – tegang atau kuat/ edema/ mengukur tekanan jaringan
insiden lainnya kulit berkilau intra-kompartemen –
dengan fraktur Pallor – lembam atau berbahaya jika lebih dari
pada tulang tidak ada capillary refill/ 30 mmHg
panjang. warna kulit pucat  Gips dua katup – terbuka
Paralysis – lebar, potong lapisan kapas
ketidakmampuan untuk webril, kokohkan/ kunci
dorsifleksi/ plantar fleksi gips untuk mempertahakan
Pulselessness – lemah reduction dengan membuat
atau tidak adanya berat sebelah atau balutan
denyutan perifer yang bagus
Catatan: kadang status  Mungkin butuh fasciotomy
neurovaskular tidak (dalam 4-6 jam) onset dari
berubah ACS untuk meringankan
 Gunakan monitor tekanan – akan ada
tekanan kompartemen drainase yang berlebihan
(Stryker) / kateter sumbu dari luka terbuka, monitor
untuk memonitor untuk tanda dan gejala
tekanan jaringan – infeksi – antibiotik IV,
normalnya kurang dari perubahan balutan luka
10 mmHg, ACS > 30 lembab. Monitor status
mmHg neurovaskular. Akan
membutuhkan skin graft
penutupan sekunder.
Pertahankan pembelatan/
immobilisasi.

Infeksi  Evaluasi faktor resiko  Cegah kontaminasi luka –


Membutuhkan versus pertahanan host: cuci tangan, teknik sterli/
patogen, host mobilitas, bersihan bersih, gloves/ instruments
yang rentan, cara pulmonary, atau sistem  Pertahankan balutan/ luka
transmisi, gerbang imun, integritas kulit, kering, pencucian/
masuk – fokusnya fungsi neurovaskular, pembersihan yang adekuat/
yaitu traktus GI, traktus GU, irigasi/ debridement –
osteomyelitis atau penyakit kronik – teknik sterli untuk
infeksi diabetes, penyakit perawatan pin
arthroplasty sendi vaskular peripheral  Kultur dan kepekaan luka,
total.  Suhu > 100 F antibiotik yang cocok –
 Kaji luka: erithema, prophilactic atau
drainage – purulent, bau therapeutiv – spectrum
busuk, nyeri, pengerasan tersempit, puncak yang
 Kultur dan sensitivitas adekuat/ melalui tingkat
luka/ jaringan – dapatkan antibiotik = dosis/ waktu
setelah membilas area yang tepat
hanya dengan saline  Perawatan luka yang tepat
(bukan dengan berdasarkan kareakteristik
antimikrobial) – – debridement yang lebih
beritahukan dokter medis sesuai kebutuhan
segera setelah hasilnya perlindungan/ hidrasi yang
tersedia – hasil adekuat
memandu pemilihan  Isolasi sesuai kebutuhan –
antibiotik manajemen balutan yang
tepat
Perdarahan/  Perdarahan yang  Antisipasi kehilangan
Anemia berlebihan dari luka atau darah dengan kasus elektif
Hilangnya darah di bawah jaringan – atur untuk donasi darah
berlebih dari  Ekimosis, penurunan antologous atau donor
cedera trauma, hemoglobin/ hematokrit darah langsung – mungkin
atau dari luka  Pusing, kelemahan, menggunakan anastesi
pembedahan – pucat, tanda dan gejala hipotensif atau
fokusnya ialah syok: ↓TD, ↑ denyut, ↑ hemodilution
syok atau RR, ↓ hemoglobin dan  Pertimbangkan Epoetin
kelemahan dan hematokrit Alfa (Procrit/ Epogen)
ketidakmampuan untuk merangsang
untuk melakukan eritropiesis = ↑ produksi
ADLs atau PT? sel darah merah
OT  Cegah pendarahan dengan
pembalutan dengan
tekanan yang tepat
 Monitor CSM, perfusi
jaringan/ monitor untuk
tanda dan gejala hipoksia,
VS, luka untuk perdarahan,
CBC, H & H, PT, PTT,
INR
 Vitamin K, suplemen zat
besi, cegah kekurangan
volume cairan

Malunion/  Kaji adanya deformitas  Cegah dengan reduksi


nonunion of pada ekstremitas, fraktur / imobilisasi
fracture pergerakan pada area anatomis yang adekuat,
Tulang yang tidak fraktur 6 bulan atau lebih memposisikan dengan
sembuh dalam setelah penanganan tepat, pertahakankan
posisi anatomis – fraktur, nyeri pada area pembatasan pergerakan
tidak ada bukti fraktur  Monitor secara periodik
penyatuan tulang  Cek nutrisi, tingkat dan dengan X-Ray
setelah 6 bulan asupan kalsium, adanya  Rangsang penyembuhan
infeksi dengan stimulasi elektrik
 X-Ray menunn=jukkan pada tulang dengan
deformitas atau kallus menggunakan arus
yang tidak menyatu pada langsung, magnetik, pulsed
area fraktur ultrasound
 Mungkin butuh
pembedahan refraktur/
manipulasi/ fiksasi

Nyeri - akut dan  Nyeri adalah komplikasi  Monitor nyeri sering


kronis nomor 1 dari perspektif dengan menggunakan
Pengalaman pasien skala nyeri 0-10: nmerical,
autonomic,  Monitor nyeri dari skala verbal, atau visual “nyeri
emosional, 0-10, monitor adalah apa yang pasien
sensory, motor kecemasan, diaforesis, katakan tentang nyeri”
terkait kerusakan meringis, ↑ nadi, ↑ RR, ↑  Kaji karakteristik nyeri:
jaringan potensial TD mengganggu, membatasi,
dan aktual – dapat  Nyeri akut – cedera tiba- faktor yang mengurangi,
menyebabkan tiba, kesakitan, atau kaji verbal, perilaku, dan
cacat fisik dan tanda operasi fisik ekspresi
penurunan nilai  Nyeri kronis –  Pertimbangkan ekspresi
psikososial jika
tidak dikurangi berkepanjangan, nyeri dan partisipasi pasien
atau dikontrol eksaserbasi periosik,  Tindakan inti: es,
tidak tertahankan, meninggikan, analgesik
membuat jadi cacat,  Sediakan tindakan
membuat jadi terasing – meringankan nyeri secara
mungkin mengarah ke nonfarmakologi:
depresi positioning, teknik
relaksasi, imagery, aplikasi
thermal, massage,
dukungan psikologi –
konsultasi dengan
pelayanan/ klinik nyeri
 Tindakan farmakologi:
obat/ dosis/ rute
berdasarkan kebutuhan
individu: IVP, PCA,
epidural, PO, IM, SC,
transdermal
 Mungkin butuh pemblok
saraf

Kompartemen sindrom adalah komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada


pasien dengan fraktur, keseleo, atau bedah ortopedi. Evaluasi lengkap pasien
diperlukan secara terus- menerus untuk menentukan penyimpangan dari kisaran
normal parameter neurovaskular. Identifikasi awal gejala akan mempercepat
pengobatan dan mencegah kehilangan anggota tubuh (Altizer, 2004)

Definisi kompartemen adalah area tubuh di mana otot, pembuluh darah, dan
saraf dikompresi dalam jaringan seperti fasia atau tulang. Sindrom kompartemen
terjadi ketika tekanan yang sangat tinggi menumpuk di ruang fasia tertutup.
Ketika sindrom kompartemen terjadi, perfusi darah kapiler menurun yang
kemudian menghambat sirkulasi yang cukup ke area yang diperlukan, dan
kompromi viabilitas jaringan. Tiga klasifikasi sindrom kompartemen termasuk
akut, kronis, atau crush (Altizer, 2004).

Kompartemen sindrom terjadi ketika ruang kompartemen terbatas sementara


tekanan jaringan dalam kompartemen meningkat. Keterbatasan ruang dapat
dihasilkan dari kompresi eksternal yang disebabkan oleh gips atau belat atau dari
batas kulit yang melekat pada pasien. Peningkatan tekanan jaringan dapat terjadi
akibat peningkatan isi kompartemen, seperti edema (biasanya dari peradangan)
atau perdarahan di dalam kompartemen. Beberapa contoh penyebab internal lain
dari sindrom kompartemen termasuk fraktur atau bentuk trauma lainnya; kontusio
dan lecet; gangguan perdarahan, antikoagulasi, luka bakar, perbaikan pembuluh
darah, olahraga; tidak beraktivitas setelah operasi, jatuh, atau overdosis; obstruksi
vena; iskemia, infiltrasi intravena (IV), radang dingin, atau gigitan berbisa. Untuk
penyebab eksternal, hal pertama yang dipikirkan adalah pakaian ketat atau gips;
kemudian kawat gigi, traksi, penutupan bukaan fasia, pakaian antishock
pneumatik, posisi bedah, alat tekanan darah otomatis; dan eschar sebagai akibat
dari luka bakar (Altizer, 2004).

Sindrom kompartemen akut sering membutuhkan intervensi bedah segera


karena merupakan bentuk yang paling parah dan kejadiannya langsung. Dengan
sindrom kompartemen akut, cedera yang menyebabkan masalah mungkin
proksimal ke kompartemen yang terlibat, mengakibatkan penurunan aliran darah
ke area distal yang cedera yang mengakibatkan hipoksia di dinding sel kapiler
(Altizer, 2004).

Masalah yang paling signifikan dengan sindrom kompartemen adalah tekanan


intra kompartmental yang tinggi, yang cukup tinggi untuk membahayakan mikro
sirkulasi intra kompartmental. Pembuluh darah mulai hancur jika tekanan jaringan
lunak lebih besar daripada tekanan inlravascular. Ketika tekanan jaringan
meningkat, itu mempengaruhi dinding pembuluh yang bisa hancur, menghasilkan
peningkatan tekanan yang sesuai di dalam pembuluh tersebut. Peningkatan
tekanan vena pada gilirannya menurunkan gradien tekanan arteri lokal. Ketika
struktur vena mulai hancur, ada penurunan aliran darah yang akhirnya akan
menyebabkan aliran keluar yang terhalang. Ketika obstruksi lengkap terjadi,
kebocoran protein dan cairan masuk ke dalam jaringan lunak. Tekanan kemudian
meningkat ke titik penurunan aliran arteriol, suplai darah terputus, dan otot
menjadi nekrotik (Altizer, 2004)
Aliran darah kapiler menurun dengan meningkatnya tekanan cairan jaringan.
Dengan periode iskemia mikrosirkulasi yang berkepanjangan, akan menyebabkan
nekrosis jaringan intracompartmental, termasuk jaringan otot dan saraf (Altizer,
2004)

a. Chronic compartment syndrome


Peningkatan tekanan secara bertahap di kompartemen dapat terjadi dari
berolahraga atau menekankan kompartemen untuk waktu yang lama. Berolahraga
meningkatkan luas permukaan kapiler dan tekanan kapiler, yang mengarah ke
peningkatan filtrasi transkapiler tanpa peningkatan reabsorpsi. Nyeri dan iskemia
terjadi akibat peningkatan tekanan. Sindrom kompartemen kronis jarang
menyebabkan defisit neurologis dan biasanya teratasi dengan istirahat.
b. Crush syndrome
Crush syndrome disebabkan oleh cedera tipe penghancur yang secara
eksternal menekan kompartemen dan menghasilkan efek sistemik
multikompartemen dari nekrosis otot yang berat. Pendarahan dan edema dari
fraktur atau pergeseran cairan dapat berkontribusi pada cedera otot di dalam
kompartemen menyebabkan mioglobinemia, kehilangan cairan ekstraseluler,
asidosis, gagal ginjal, hiperkalemia, syok, dan disritmia jantung. Orang-orang
yang digolongkan sebagai pasien sindrom crush adalah mereka yang telah
terperangkap di bawah alat berat atau benda yang jatuh atau yang telah overdosis
pada obat-obatan dan jatuh tertidur dengan tungkai di bawah tubuh mereka
(Altizer, 2004)

PENGKAJIAN DAN PENANGANAN

a. Acute compartment syndrome


Penilaian untuk sindrom kompartemen akut dapat dicapai dengan menilai
"5 P": Pain, Paralysis, Paraesthesias, Pallor, dan Pulselessness. Nyeri biasanya
meningkat dengan gerakan pasif dan peregangan dari kompartemen, Sindrom
kompartemen anterior, misalnya, akan mengalami peningkatan nyeri kaki dengan
fleksi plantar pasif. Kadang-kadang pasien dengan sindrom kompartemen
mungkin tidak dapat memindahkan ekstremitas distal ke luka karena kompresi
saraf.
Pengkajian:

 Penyebab cedera dengan detail mekanisme dan waktu.


 Posisi tubuh dan ekstremitas selama dan setelah cedera, pembedahan, atau
imobilisasi.
 Peningkatan nyeri secara bertahap sesuai skala nyeri.
 Rasa sakit lokal yang berdenyut, dalam, dan tak henti-hentinya.
 Nyeri meningkat dengan peregangan kompartemen pasif.
 Parestesia.
 Kulit tegang.
 Sensasi defisit.
 Kelemahan motorik.

Evaluasi diagnostik
Teknik kateter Wick adalah ketika kateter dimasukkan ke dalam
kompartemen dan dipertahankan disana untuk terus mengukur tingkat tekanan.
Sistem Stiyker adalah unit portabel yang dapat digunakan untuk satu kali
pengukuran atau pemantauan berkelanjutan. Terlepas dari perangkat, jarum
disuntikkan ke kompartemen yang terkena dampak, melalui Fascia, dan tekanan
diukur dalam mmHg. Tekanan kompartemen normal adalah 0 hingga 8 mmHg.
Tekanan yang meningkat tampaknya mempengaruhi jaringan saraf lebih awal dan
lebih parah daripada jaringan otot. Dengan tekanan kompartemen 30 mmHg atau
lebih selama 8 jam, kerusakan saraf kemungkinan besar akan terjadi (Mubaiak &
Hargens, 1981). Kerusakan otot permanen dapat terjadi setelah 4 hingga 12 jam
iskemia.

Jika pasien koma, tidak responsif, atau tidak kooperatif, pemantauan


kompartemen berkelanjutan harus digunakan. Pemantauan tekanan harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi sindrom kompartemen dan memverifikasi
pembacaan tekanan dalam kompartemen.

Sebagian besar penelitian laboratorium tidak akan bermanfaat dalam


mengenali sindrom kompartemen. Kerusakan otot itu sendiri dapat menyebabkan
peningkatan creatine kinase atau mioglobinuria.

Adapun treatment yang dapat di lakukan dengan sindrom kompartemen


akut, tindakan yang paling penting adalah mengurangi sumber tekanan. Jika
perangkat eksternal menyebabkan peningkatan tekanan, dengan melonggarkan
atau melepasnya dapat mengurangi tekanan kompartemen yang cukup untuk
mencegah masalah lebih lanjut. Jika luka bakar termal menyebabkan tekanan,
bantuan dapat dicapai dengan debridemen eschar. Jika bantuan tekanan eksternal
tidak terbukti efektif, atau jika tekanan disebabkan oleh masalah internal,
fasciotomy mungkin diperlukan.

Ketika tekanan di dalam kompartemen meningkat, ekstremitas harus


dipertahankan sejajar jantung. Jika ekstremitas ditinggikan di atas jantung, perfusi
arteri lokal menurun dan aliran darah lokal semakin berbahaya. Hidrasi yang
adekuat harus dilanjutkan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata. Tujuan
dari fasciotomy adalah untuk meredakan tekanan kompartemen dan
mengembalikan perfusi jaringan. Insisi dibuat melalui kulit dan area fasia di atas
kompartemen yang ditekan. Sayatan biasanya dibiarkan terbuka selama 2 hingga 3
hari untuk ekstremitas atas dan 4 hingga 5 hari untuk ekstremitas bawah.
Komplikasi dapat terjadi karena fasciotomy seperti ketidakstabilan fraktur, tulang
nekrosis, malimion, persalinan tertunda, atau nonunion fraktur; Infeksi juga
kemungkinan. Setelah penutupan luka, sindrom kompartemen dapat kambuh.

b. Chronic compartment syndrome


Biasanya tidak ada edema yang tercatat dengan sindrom kompartemen
kronis; tetapi, ada kelembutan otot ringan pada kompartemen. Herniasi otot
mungkin atau mungkin tidak teraba. CRT, warna kulit dan suhu, ROM, denyut,
dan refleks tendon biasanya normal. Jika kasusnya berat, mungkin ada defisit
neurovaskular padadi kompartemen yang terlibat dengan sindrom kompartemen
kronis.
Pengkajian:

 Riwayat latihan dan hubungan dengan gejala


 Sesak tangan, sakit, atau "meremas"
 Nyeri otot
 Parestesia atau mati rasa
 Metode dan pola latihan
 Riwayat fraktur sebelumnya, operasi ekstremitas, atau casting

Evaluasi diagnostik
Dengan sindrom kompartemen chronic, diagnosis dilakukan dengan
mengidentifikasi pola klinis nyeri dengan latihan positif, menetapkan bahwa nyeri
berhubungan dengan kompartemen otot, dan mengukur tekanan kompartemen.
Disarankan untuk mengukur tekanan kompartemen setelah pasien melakukan olah
raga. Tekanan saat istirahat biasanya 15 hingga 30 mm Hg pada pasien sindrom
kompartemen kronis. Tekanan postexercising di atas 30 mm Hg dianggap tidak
normal. Telah disarankan bahwa kriteria tekanan istirahat lebih dari 15 mm Hg
dan tekanan postexercise 1 menit lebih dari 30 mm Hg atau 5 menit postexercise
tekanan lebih dari 20 mm Hg adalah indikasi sindrom kompartemen kronis.
Magnetic resonance imaging (MRl) mungkin bermanfaat dalam
mendiagnosis sindrom kompartemen kronis karena menilai perubahan kepadatan
otot dan perubahan area cross-sectional otot. Ini juga dapat memperjelas
perubahan patofisiologis yang terjadi di sindroma kompartemen kronis (Altizer,
2004)

Treatment
Beberapa memilih perawatan non-bedah dan mengharuskan pasien untuk
menghentikan semua kegiatan. Yang lain mungkin memilih terapi fisik,
peregangan, dan penyediaan alas kaki yang memadai, obat anti-inflamasi, dan
perangkat orthotic.
Pengobatan definitif untuk sindrom kompartemen kronis adalah fasciotomy
parsial atau lengkap. Ini dapat dilakukan secara rawat jalan dengan anestesi lokal.
Setelah 48 jam, pembalut dapat dilepas dan pasien dapat sepenuhnya menanggung
beban pada hari ketiga. Latihan peregangan dapat dimulai sekitar 2 minggu
setelah operasi, dan kembali ke tingkat aktivitas normal dalam 3 bulan (Altizer,
2004)

c. Crush Compartment Syndrome


Ketika memeriksa sindrom kompartemen crush dalam keadaan yang sulit,
sering ada edema yang parah dan kulit yang kencang di atas area kompartemen.
Jika edema tidak parah, itu sekunder akibat dehidrasi pada pasien dan
vasokonstriklion perifer dari syok. Mungkin ada vesikula dan bula. disertai
dengan enihema. Gejala hipovolemik mungkin juga ada, yang mungkin termasuk
hipotensi, peningkatan denyut jantung, dan perubahan curah jantung dan tekanan
vena sentral. Kulit pasien mungkin sejuk dan lembab (Altizer, 2004)

Evaluasi diagnostik
Pasien dengan sindrom kompartemen crush telah meningkatkan tekanan
kompartemen serta gejala sistemik. Mereka sering mengalami penurunan tekanan
vena sentral, penurunan tekanan baji, dan penurunan curah jantung sebagai akibat
dari hipovolemia. Kadang-kadang mereka juga memiliki hemokonsentrasi, oleh
karena itu jumlah hemoglobin dan hematokrit dapat meningkat. Ada juga
peningkatan kadar mioglobin serum menjadi lebih dari 1,5 mg / dL,
myoglobinuria, tes positif 0-toluidine, tes positif spun-plasma, dan peningkatan
serum kalium dan tingkat enzim otot seperti aldolase, aspartat transaminase,
dehidrogenase laktat, dan creatine kinase (CK). CK biasanya meningkat di atas
10.000 lU.

Dengan gagal ginjal yang terjadi dengan sindrom kompartemen crush, ada
juga peningkatan kadar BUN dan kreatinin bersama dengan perubahan kadar
kalium, fosfat, kalsium, dan natrium serum. Pada pola ritme jantung tinggi,
gelombang T memuncak serta depresi segmen ST terjadi bersamaan dengan
peningkatan durasi QRS dan interval PR. Hiperkalemia dari kerusakan otot juga
akan menciptakan kontraksi ventrikel prematur (PVC), yang mengindikasikan
perubahan irama jantung.

Treatment
Pengobatan sindrom crush bertujuan tidak hanya untuk menyelesaikan
peningkatan tekanan jaringan otot melalui fasciotomy, tetapi juga untuk
mengelola efek sistemik yang mungkin mengancam jiwa dari sindrom.
Pemantauan parameter hemodinamik sangat penting dan menyediakan
penggantian cairan kristaloid yang cepat untuk mengimbangi hipovolemik dari
jarak ketiga juga penting. Keluaran 100 hingga 200 mL / jam adalah tujuan setelah
mioglobinuria diidentifikasi (Altizer, 2004)

Hiperkalemia diobati dengan menggunakan kalsium intravena untuk


menstabilkan miokardium, natrium bikarbonat untuk memperbaiki asidosis dan
menggantikan kalium, dan insulin dan glukosa IV untuk membantu memindahkan
kalium ke dalam sel Evaluasi dan pemantauan keperawatan sangat penting,
Meskipun dokter bedah yang hadir dalam waktu yang tepat dengan laporan
penilaian yang tepat dan pengurangan semua defisit dapat menyelamatkan
ekstremitas dan membantu mencegah deformitas seumur hidup (Altizer, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Altizer, Linda. 2004. Compartment Syndrome: Orthopaedic Essentials. Di buka


dalam website http://search.ebscohost.com
Altizer, Linda. 2003. Forearm and Humeral Fractures. Dibuka dalam website
http://search.ebscohost.com
DiNucci, Ellen. 2005. Energy Healing: A Complementary Treatment for
Orthopaedic and Other Conditions di buka dalam website
http://search.ebscohost.com
Drozd, Mary. 2009. Casting: Above-Elbow Back Slabs. Dibuka dalam website
http://search.ebscohost.com
Drozd, Mary. 2009. Casting: Below-Elbow Back Slabs. Dibuka dalam website
http://search.ebscohost.com
Drozd, Mary. 2009. Essential Practice in Casting. Dibuka dalam website
http://search.ebscohost.com
Hammond, et al. 2018. Keperawatan Gawat darurat dan Bencana Sheehy’s
Manual Of Emergency Care, 7th edition. Singapore: Elsivier
Harvey, Carol. 2006. Orthopaedic Essentials: Complication. Di buka dalam
website http://search.ebscohost.com
Keenan, Martin. 2013. Managing Boxer’s Fracture: Literature Review. Dibuka
dalam website http://search.ebscohost.com
Miller, Noreen C & Aaron E. Askew. 2007. Tibia Fractures: On Overview Of
Evaluation and Treatment. Di buka dalam website
http://search.ebscohost.com
Ritchie, Lara. 2007. Elbow Injuries. Di buka dalam website
http://search.ebscohost.com

Keperawatan Medikal Bedah 1

TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Dosen Pembimbing:
DR. Dudut Tanjung

Disusun Oleh:
Kelompok 1

Elisabeth Novita Angriani L.Toruan (177046002)


Hizkianta Sembiring (177046007)
Adelina Sembiring (177046018)
Friska Sembiring (177046020)
Afrinayanti.W.Siregar (177046021)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAK U LTAS K E PE RAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

Anda mungkin juga menyukai