Anda di halaman 1dari 24

Keperawatan Medikal Bedah 1

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KONSEP HOLISTIC


CARING PADA PASIEN YANG MENGALAMI
GANGGUAN MUSCULOSKELETAL : CEDERA MEDULLA SPINALIS
(SPINAL CORD INJURY).

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

DORA HASTURA (177046001)


HANNA ESTHER EMPRANINTA (177046005)
RUMBUN SIRAIT (177046011)
JULI YANI (177046017)
CANDRA MERIANI DAMANIK (177046025)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga makalah“ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN KONSEP HOLISTIC CARING PADA PASIEN YANG MENGALAMI
GANGGUAN MUSCULOSKELETAL : CEDERA MEDULLASPINALIS (SPINAL
CORD INJURY)” ini dapat kami selesaikan tepat waktu. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi tercapainya makalah
berikutnya yang lebih baik lagi.
Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan yang sederhana ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca umumnya.

Medan, Mei 2018


Penulis

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3


2.1 Definisi Grounded Theory........................................................ 3
2.2 Tahapan Metode Grounded Theory.......................................... 4

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 10


3.1 Kesimpulan ............................................................................... 10
3.2 Saran ......................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 11


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma merupakan keadaan dimana individu mengalami cidera oleh suatu


sebab karena kecelakaan baik lalu lintas, olahraga, industri, jatuh dari pohon, dan
penyebab utama terjadinya fraktur pada medula spinalis/thorako lumbal. Selain itu
trauma dapat terjadi karena tertimpa beban berat atau terjatuh dari ketinggian yang
menyebabkan gerakan fleksi yang hebat, sedangkan kompresi fraktur terjadi karena
hiperekstensi. Akibatnya medula spinalis mengalami cidera dan mengakibatkan
disfungsi neuromuskuler daerah yang cidera (Brunner and Sudart).

Cedera saraf tulang belakang (SCI) adalah gangguan kesehatan utama. Hampir
200.000 orang di Amerika Serikat hidup setiap hari dengan cacat dari SCI, dan
diperkirakan 11.000 cedera baru terjadi setiap tahun (Hickey, 2009). SCI terutama
cedera laki-laki dewasa muda dan 50% dari mereka yang terluka adalah antara 16 dan
30 tahun. Pasien yang berusia di atas 60 tahun bertanggung jawab atas 10% SCI, dan
angka ini terus meningkat selama 25 tahun terakhir (Dawodu, 2007).

Kendaraan bermotor menabrak account untuk 48% kasus SCI yang dilaporkan,
dengan jatuh (23%), kekerasan terutama dari luka tembak (14%), kegiatan olahraga
rekreasi (9%), dan kejadian lain yang menyebabkan cedera yang tersisa. Paraplegia
(paralisis tubuh bagian bawah) dan tetraplegia (sebelumnya quadriplegia - paralisis
keempat ekstremitas) dapat terjadi, dengan tetraplegia yang tidak lengkap (dulunya
quadriplegia) kategori terbesar, diikuti oleh paraplegia lengkap, tetraplegia lengkap,
dan paraplegia.

Faktor risiko utama untuk SCI termasuk usia muda, jenis kelamin laki-laki, dan
penggunaan alkohol dan narkoba. Frekuensi di mana faktor-faktor risiko ini terkait
dengan SCI berfungsi untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Intervensi
yang sama disarankan sebelumnya dalam bab ini untuk pencegahan cedera kepala
berfungsi untuk mengurangi kejadian SCI juga (lihat Grafik 63-1).

Sebagian besar (80%) orang yang tinggal dengan SCI adalah laki-laki. Distribusi etnis
perkiraan adalah 62% Kaukasia, 22% Afrika Amerika, 13% Hispanik, dan 3%
kelompok ras atau etnis lainnya (Dawodu, 2007). Harapan hidup terus meningkat
untuk orang-orang dengan SCI karena perawatan kesehatan yang membaik tetapi tetap
sedikit lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki SCI. Penyebab utama
kematian adalah pneumonia, pulmonary emboli (PE), dan septikemia (Dawodu, 2007;
Hickey, 2009).

Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalispada daerah servikal
ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama.Vertebra ini adalah paling rentan karena ada
rentang mobilitas yang lebihbesar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada usia
45-an fraktur banyakterjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dankecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkanpria
karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahanhormonal (menopause).
Klien yang mengalami trauma medulla spinaliskhususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan
perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan kebutuhan
untukmobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi trauma
spinalseperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia
danhiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untukdapat membantu dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengantrauma medulla spinalis dengan cara
promotif, preventif, kuratif, danrehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar darimasalah yang paling buruk (Dawodu, 2007; Hickey, 2009).

Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling
sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Oleh karena itu , evaluasi dan
pengobatan pada cedera tulang belakang , spinal cord dan nerve roots memerlukan
pendekatan yang intergrasi. Diagnosa dini, prevalensi fungsi spinal cord dan
pemeliharaan aligemnent dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen.
Penanganan rehabilitas spinal cord dan kemajuaan perkembangan multidisiplinertim
trauma dan perkembangan metode modern dari fusi cervical dan stabilitas merupakan
hal penting harus dikenalmasyarakat.

Melihat fenomena semacam ini, tenaga medis khususnya perawat agar sangat
perlu mendapatkan pengetahuan dan pelatihan mengenai penanganan pasien trauma
spinalis agar nantinya dapat merencanakan asuhan keperawatan yang tepat sehingga
dapat mengurangi komplikasi dan meningkatkan kesehatan optimal pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apa Pengertian Cedera Medula Spinalis ?
1.2.2. Bagaimana Anatomi Fisiologi Struktur Medula Spinalis ?
1.2.3. Klasifikasi Cedera Medula Spinalis ?
1.2.4 Apa Penyebab atau Etiologi terjadinya Cedera Medula Spinalis ?
1.2.5 Bagaimana Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Cedera MedulaSpinalis ?
1.2.6. Bagaimana mekanisme cedera Medula Spinalis ?
1.2.7 Bagaimana Komplikasi yang akan terjadi pada Cedera Medula Spinalis?
1.2.8 Pemeriksaan Diagnostik pada Cedera Medula Spinalis ?
1.2.9 Manajemen Darurat
1.2.10 Proses Keperawatan Cedera Medulla Spinalis
1.2.11 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Membantu mahasiswa memahami tentang konsep dasar manajemen keperawatan
berkaitan dengan adanya gangguan padatubuh manusia yang diakibatkan oleh cedera
medula spinalis sertamengetahui bagaimana konsep penyakit atau cedera medula spinalisdan
bagaimana Asuhan Keperawatannya..
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui Pengertian Cedera Medula Spinalis.
1.3.2.2 Mengetahui Anatomi Fisiologi Struktur Medula Spinalis
1.3.3.3 Mengetahui Klasifikasi Cedera Medula Spinalis
1.3.2.4 Mengetahui Penyebab atau Etiologi adanya CederaMedula Spinalis.
1.3.2.5 Mengetahui Patofisiologi dan Manifestasi Klinis CederaMedula Spinalis.
1.3.2.6 Mengetahui mekanisme terjadinya Cedera Medula Spinalis.
1.3.2.7 Mengetahui Komplikasi yang akan terjadi pada kasusCedera Medula Spinalis.
1.3.2.8 Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik yang dapat dilakukanpada kasus Cedera
Medula Spinalis
.1.3.2.9 Mengetahui manajemen darurat Cedera Medulla Spinalis
1.3,2.10 Mengetahui Proses Keperawatan Cedera Medulla Spinalis
1.2.11 Mengetahui Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang
vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan
dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat
terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen
terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera
medula spinalis (Brunner & Suddarth, 2014)

Vertebra servikal terdiri atas bagian atas (C1-C2) dan bagian bawah (C3-C7).
Lokasi cedera tulang belakang yang paling umum adalah daerah servikal level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis , dan lumbalis. Mekanisme cidera umumnya
merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera daerah medulla spinalis,
contohnya kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah sservikal (akibat
hipereksntensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah yang lokasinya
tergantung bagian yang terjatuh duluan yang menumpu ke tanah (jatuh dengan kaki
menumpu melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong
menumpu tanah melibatkan daerah lumbar (Brunner & Suddarth, 2014).

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun sering kali
tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang
dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan koluma
vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius,
namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Cedera pada medulla spinalis
merupakan klasifikasi menjadi fraktur-dislokasi, fraktur –murni, dan dislokasi murni
(dengan frekuensi relative). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika
gaya diberikan. Fragmen posterior dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan
terdorong kebelakang dan memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop
fracture). Mekanisme ini sering didaerah servikal dan umumnya melibatkan daerah
C5/C6 (terjadi sublukasi/dislokasi). Sering kali, terdapat robekan dari interspinous dan
posterior longitudinal ligamente sehingga meyebabkan cedera tidak stabil. Cedera
yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya ,menyebabkan dislokasi. Cedera
medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya
kerusakan langsung atau vascular (Brunner & Suddarth, 2014).

2.2 Anatomi Sumsum Tulang Belakang (Spinal Cord).

Collumna vertebralis terdiri dari 33 vertebrae terbagi 5 segmen : vertebrae cervical,


thoracal, lumbal, sacral, dan coccygeus. Terdapat 7 ruas vertebrae cervicalis ( 7 ruas
tulang belakang), 12 ruas vertebrae throcalis (12 ruas tulang punggung), 5 ruas
vertebrae lumbalis (5 ruas vertebrae tulang pinggang), dan 4 vertebrae coccygeus ( 4
ruas tulang ekor). Vertebrae sacralis biasanya membentuk sacrum dan vertebrae
coccygeus biasanya membentuk coccygeus. Setiap ruas vertebrae mempunyai bentuk
yang hampir sama dengan beberapa variasi (Todd et all, 2013).

Pada umumnya, ciri-ciri vertebrae terdiri dari corpus, processus spinosus, 2 processus
transversalis, 2 pediculus, 2 acrus dan 2 lamina.
Bentuk vertebrae yang sangat berbeda yaitu C1 dan C2 . Vertebrae cervicalis 1 (C1)
disebut juga atlas dan corpus vertebrae kecil. Atlas membentuk articulatio atlas dan
corpus vertebrae kecil.Atlas membentuk articulatio atlanto-occipitalis dengan occiput
cranium dan berperan untuk fleksi dan ekstensi leher. Vertebrae cervicalis 2 (C2)
disebut axis. Pada bagian superior carpus vertebrae kecil. Atlas membentuk articulatio
atlanto –occipitalis dengan occiput cranium dan berperan untuk fleksi dan ekstensi
leher (Todd et all, 2013).
Keterangan gambar:

Berikut yang akan mungkin terjadi apabila terjadi gangguan pada masing-masing
bagian sumsum tulang belakang:

Saraf leher rahim (C1-C8)

 Antara C1 sampai C5
melumpuhkan otot pernafasan dan semua ekstremitas dan sering fatal, biasanya
pasien meninggal
 Antara C5 dan C6
Paralisis (melumpuhkan) kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
yang lemah;kehilangan refleks brachioradialis
 Antara C6 dan C7
Paralisis (melumpuhkan) kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan
fleksi sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
 Antara C7 dan C8
Paralisis (melumpuhkan) kaki dan tangan
 C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis
(melumpuhkan) kaki
Sarah Thoracic (T1-T12)

Saraf thoraks mengivasi dada, beberapa otot punggung, dan beberapa perut.

 Antara T2 –T4 melumpuhkan kaki dan batang otak saraf yang menyebabkan
hilangnya perasaan bawah puting
 Antara T5 – T8 kelumpuhan batang yang lebih rendah dan menyebabkan
hilangnya perasaan dibawah tulang rusuk
 Antara T9 – T11 menyebabkan kelumpuhan pada kaki dan hilangnya perasaan
dibawah umbilikus
 Antara T11 dan T12
Paralisis (melumpuhkan) otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
 T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut

Saraf Lumbal ( L1-L5)

Saraf lumbal menginervasi bagian bawah seperti pantat (bokong), genital, dan
bagian- bagian dari kaki. Sumsum tulang belakang mengecil untuk membentuk
konus medularis.
 Antara L2 –L5 menyebabkan kelemahan pada kaki dan mati rasa.

Saraf Sacral (S1-S5)

Dari konus medularis akar saraf sakral memperpanjang melalui kanal tulang
belakang dan secara kolektif disebut cauda equina. Saraf sakral menginvarsi alat
kelamin, anus, paha, kaki bagian bawah dan kaki.

 Antara S1 – S2 menyebabkan kelemahan kaki dan mati rasa

 Antara S3 -S5 atau conus medullaris pada L1


Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal total
atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain total
paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).

2.3 Klasifikasi Medulla Spinalis

2.3.1 Sindrom Central Cord

 Karakteristik: Defisit motorik (pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas


bawah; kehilangan sensori bervariasi tetapi lebih jelas pada ekstremitas atas);
Disfungsi usus / kandung kemih bervariasi, atau fungsi mungkin benar-benar
dipertahankan.
 Penyebab: Cedera atau edema pada tali pusat, biasanya di daerah serviks.
Mungkin disebabkan oleh cedera hiperextension.
2.3.2 Anterior Cord Syndrome

 Karakteristik: Kehilangan rasa sakit, suhu, dan fungsi motorik dicatat di bawah
tingkat lesi; Sentuhan ringan, posisi, dan sensasi getaran tetap utuh.
 Penyebab: Sindrom ini dapat disebabkan oleh herniasi akut atau cedera lesi
hiper yang terkait dengan fraktur paralaks vertebra. Ini juga dapat terjadi
sebagai akibat dari cedera pada arteri spinal anterior, yang memasok dua
pertiga anterior sumsum tulang belakang (Jones & Fix, 2009)

 2.3.3 Brown-Séquard Syndrome (Lateral Cord Syndrome)


 Karakteristik: paralisis ipsilateral atau paresis dicatat, bersama dengan
kehilangan sentuhan, tekanan, dan getaran ipsilateral dan hilangnya rasa sakit
dan suhu kontralateral.
 Penyebab: Lesi ini disebabkan oleh hemiseksi melintang dari medula spinalis
(setengah dari tali pusat dipindahkan dari utara ke selatan), biasanya sebagai
akibat dari pisau atau cedera misil, fraktur-dislokasi proses artikular unilateral,
atau mungkin akut disk yang pecah(Jones & Fix, 2009)

2.3.3 Klasifikasi Amerika Cedera Spinal Asosiasi

American Spinal Cedera Association (ASIA) Klasifikasi cedera


tulang belakang, juga disebut ASIA Penurunan Skala. Berikut
adalah definisi:

A = Lengkap: No motorik atau fungsi sensorik yang


diawetkan di segmen sakral S4-S5.

B = tidak lengkap: Sensory tetapi tidak fungsi motorik yang


diawetkan di bawah tingkat neurologis dan termasuk segmen
sakral S4-S5.

C = tidak lengkap: Fungsi motorik yang diawetkan di bawah


tingkat neurologis, dan lebih dari setengah dari otot kunci di
bawah tingkat neurologis memiliki kelas otot kurang dari 3.

D = tidak lengkap: Fungsi motorik yang diawetkan di bawah


tingkat neurologis, dan setidaknya setengah dari otot kunci di
bawah tingkat neurologis memiliki kelas otot 3 atau lebih.

E = normal: motorik dan fungsi sensorik normal.


2.4 Etiologi

Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2014) ada beberapa penyebab
dari spinal cord injury (SCI), antara lain:

1. Trauma tumpul

2. Trauma tusuk

3. Spondilitis ankilosa

4. Artritis reumatoid

5. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel.

6. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya.

7. Injuri atau jatuh dari ketinggian.

2.5 PATOFISIOLOGI

Kerusakan pada SCI berkisar dari gegar otak sementara (dari mana pasien
sepenuhnya pulih), memar, laceration, dan kompresi substansi sumsum tulang
belakang (baik sendiri atau dalam kombinasi), untuk menyelesaikan transection
(putus) dari sumsum tulang belakang (yang menjadikan pasien lumpuh di bawah
tingkat cedera). Vertebra paling sering terlibat adalah vertebra serviks ke 5, 6, dan 7
(C5 ke C7), vertebra torakalis ke-12 (T12), dan lumbar vertebra pertama (L1).
Vertebra ini paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar di kolom
vertebral di area ini (Sherwood, Crago, Spiro, et al., 2007).

SCI dapat dipisahkan menjadi dua kategori: cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer adalah hasil dari penghinaan awal atau trauma dan biasanya permanen.
Cedera sekunder biasanya merupakan hasil dari memar ataucedera air mata, di mana
serat saraf mulai membengkak dan hancur. Suatu rantai peristiwa sekunder
menghasilkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi hemoragik, yang pada gilirannya
menghasilkan kerusakan mielin dan akson. Cedera sekunder adalah perhatian utama
untuk perawat perawatan kritis. Para ahli percaya cedera sekunder adalah penyebab
utama degenerasi sumsum tulang belakang pada tingkat cedera dan bahwa itu
reversibel selama 4 sampai 6 jam pertama setelah cedera. Metode pengobatan dini
sangat penting untuk mencegah kerusakan parsial menjadi total dan permanen
(Sherwood, et al., 2007).
2.6 MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi SCI tergantung pada jenis dan tingkat cedera. Jenis cedera
mengacu pada tingkat cedera pada sumsum tulang belakang itu sendiri. Lesi spinal
cord yang tidak lengkap (sensorik atau motorik, atau keduanya, diawetkan di bawah
lesi) diklasifikasikan sesuai dengan area kerusakan sumsum tulang belakang: sentral,
lateral, anterior, atau perifer. American Spinal Injury Association (ASIA) memberikan
klasifikasi SCI sesuai dengan derajat fungsi sensorik dan motorik setelah cedera.
"Tingkat neurologis" mengacu pada tingkat terendah di mana fungsi sensorik dan
motorik normal. Di bawah tingkat neurologis, ada kelumpuhan total sensorik dan
motorik, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus (biasanya dengan retensi urin
dan distensi kandung kemih), kehilangan keringat dan nada vasomotor, dan penurunan
tekanan darah yang ditandai dari hilangnya resistensi pembuluh darah perifer. Lesi
sumsum tulang belakang lengkap (total kehilangan sensasi dan kontrol otot sukarela di
bawah lesi) dapat menyebabkan paraplegia atau tetraplegia.
Jika sadar, pasien biasanya mengeluh sakit akut di punggung atau leher, yang
mungkin memancar di sepanjang saraf yang terlibat. Namun, tidak adanya nyeri tidak
mengesampingkan cedera tulang belakang, dan penilaian yang cermat terhadap tulang
belakang harus dilakukan jika ada kekuatan dan mekanisme cedera yang signifikan
(yaitu, cedera kepala bersamaan). Seringkali pasien berbicara tentang ketakutan bahwa
leher atau punggungnya patah.
Disfungsi pernafasan terkait dengan tingkat cedera. Otot-otot yang
berkontribusi untuk respirasi adalah otot perut dan interostals (T1 ke T11) dan
diafragma (C4). Pada cedera tali pusat yang tinggi, kegagalan pernafasan akut adalah
penyebab utama kematian. Kemampuan fungsional berdasarkan tingkat cedera
(Brunner & Sudarth,2014).

2.6 Mekanisme terjadinya Cedera Medulla Spinalis

Mekanisme cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi


cedera medulla spinalis, contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu
lintas umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan
hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh
menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah
thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga dimana
leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh
dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun seringkali
tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang
dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan kolumna
vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius,
namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan minor dari kolumna
vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis, namun tetap mungkin
menyebabkan defisit neurologis yang serius. Seperti telah disinggung pada paragraf
sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat cedera medulla
spinalis, juga menentukan jenis cedera pada kolumna vertebralis. Trauma dapat
menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui kompresi langsung dari tulang,
ligamen atau diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi.

Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan


menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif
3:1:1). Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara
lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi
(cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya
diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami stres
maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan
terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus
vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini
merupakan jenis yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan
daerah C5 dan C6 (terjadi subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan
dari interspinous danposterior longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera
ini tidak stabil. Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan
dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan
menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular (Brunner & Sudarth, 2014).
2.7 Komplikasi yang akan terjadi pada Medulla Spinalis

2.7.1 Syok Spinal dan Neurogenik

Shock tulang belakang yang terkait dengan SCI mencerminkan depresi tiba-
tiba dari aktivitas refleks di sumsum tulang belakang (yang fleksia) di bawah tingkat
cedera. Otot yang dipersarafi oleh bagian dari segmen tulang belakang di bawah
tingkat lesi tanpa sensasi, lumpuh, dan pudar, dan refleks tidak ada. Secara khusus,
refleks yang memulai fungsi kandung kemih dan usus terpengaruh. Distensi usus dan
ileus paralitik dapat disebabkan oleh depresi pada refleks dan diterapi dengan
dekompresi usus dengan memasukkan tabung nasogastrik (Dawodu, 2007).

Syok neurogenik berkembang sebagai akibat dari hilangnya fungsi sistem saraf
otonom di bawah tingkat lesi (Dawodu, 2007). Organ vital terpengaruh, menyebabkan
penurunan tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung, serta penyatuan vena di
ekstremitas dan vasodilatasi perifer. Selain itu, pasien tidak berkeringat di bagian
tubuh yang lumpuh, karena aktivitas simpatik diblokir; oleh karena itu, observasi yang
ketat diperlukan untuk deteksi dini onset demam yang mendadak.

Dengan cedera pada medula spinalis serviks dan medulla spinalis bagian atas,
persarafan yang terjadi pada saluran pernapasan pasien yang mengalami cedera dan
masalah pernafasan berkembang. Ini termasuk penurunan kapasitas vital, retensi
sekresi, peningkatan tekanan parsial dari tingkat karbon dioksida arteri (PaCO2) dan
penurunan tingkat oksigen, gagal pernapasan, dan paru-paru.

2.7.2 Deep Vein Thrombosis

Deep vein thrombosis (DVT) adalah komplikasi potensial dari imobilitas dan
pasien rawat inap dengan SCI. Pasien yang mengembangkan DVT beresiko untuk PE,
komplikasi yang mengancam jiwa. Manifestasi dari inkontinuritis inkontinensia,
kecemasan, shortness ofbreath, dan nilai normalbloodgas (peningkatan PaCO2 dan
penurunan PaO2). Terapi antikoagulasi dosis rendah biasanya digunakan untuk
mencegah infeksi DVT dan PE, bersama dengan penggunaan peralatan fisiofobal
penghitung kompresi listrik. Pada kasus-kasus, filter permanen dalam tubuh (lihat Bab
22) dapat secara sppofilaksis pada usus yang dikeluarkan dari emboli yang
dikeluarkan dari higga) dari migratingtothelung dan causingaPE (Hickey, 2009).
2.8. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan neurologis rinci dilakukan. Diagnostik x-rays (lateral cervical


spine x-ray) untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok) dan
CT scan biasanya dilakukan pada awalnya untuk menentukan tempat luka/jejas. Scan
MRI dapat dipesan sebagai pemeriksaan lebih lanjut jika cedera ligament dicurigai,
karena kerusakan tulang belakang yang signifikan dapat terjadi bahkan tanpa cedera
tulang hingga mengakibatkan kerusakan saraf spinal (Hickey, 2009). Jika scan MRI
merupakan kontraindikasi, myelogram dapat digunakan untuk memvisualisasikan
sumbu tulang belakang. Penilaian dilakukan untuk cedera lain, karena trauma tulang
belakang sering disertai dengan cedera bersamaan, umumnya ke kepala dan dada.
Pemantauan elektrokardiografi kontinyu dapat diindikasikan jika cedera sumsum
tulang belakang dicurigai, karena bradikardia (denyut jantung lambat) dan asistol
(penahanan jantung) sering terjadi pada pasien dengan cedera sumsum tulang
belakang akut.

2.9 Manajemen Darurat

Manajemen segera di tempat cedera sangat penting, karena penanganan yang


tidak tepat pada pasien dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan hilangnya
fungsi neurologis. Setiap pasien yang terlibat dalam kecelakaan kendaraan bermotor,
cedera olahraga menyelam atau kontak, jatuh, atau trauma langsung ke kepala dan
leher harus dianggap memiliki SCI sampai cedera tersebut dikesampingkan.
Perawatan awal harus mencakup penilaian cepat, imobilisasi, pelepasan, dan
stabilisasi atau kontrol cedera yang mengancam jiwa, dan transportasi ke fasilitas
medis yang paling tepat. Transportasi segera ke pusat trauma dengan kapasitas untuk
mengelola trauma neurologis utama diperlukan (Hickey, 2009).

Di tempat cedera, pasien harus diimobilisasi pada spinal (punggung) papan,


dengan kepala dan leher dipertahankan dalam posisi netral, untuk mencegah cedera
yang tidak lengkap menjadi lengkap. Satu anggota tim harus memegang kendali
kepala pasien untuk mencegah lonjakan, rotasi, atau ekstensi; ini dilakukan dengan
menempatkan tangan di kedua sisi kepala pasien pada sekitar tingkat telinga untuk
membatasi gerakan dan mempertahankan keselarasan sementara papan tulang
belakang atau perangkat imobilisasi serviks diterapkan. Jika memungkinkan,
setidaknya empat orang harus menggeser pasien dengan hati-hati ke papan untuk
dipindahkan ke rumah sakit. Gerakan memutar apa pun dapat menyebabkan kerusakan
sumsum tulang belakang secara permanen dengan menyebabkan fragmentasi tulang
pada tulang belakang untuk memotong, menghancurkan, atau memotong kabel
sepenuhnya.

Standar perawatan adalah bahwa pasien dirujuk ke pusat cedera tulang


belakang atau trauma regional karena personel multidisipliner dan layanan dukungan
yang diperlukan untuk menangkal perubahan destruktif yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah cedera. Namun, tidak ada uji coba terkontrol secara acak telah
dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa hasil rujukan dalam hasil yang lebih baik
untuk pasien dengan SCI (Jones & Bagnall, 2008). Selama perawatan di departemen
darurat dan x-ray, pasien disimpan di papan transfer. Pasien harus selalu
dipertahankan dalam posisi yang diperpanjang. Tidak ada bagian tubuh yang harus
dipelintir atau dibalik, dan pasien tidak diperbolehkan untuk duduk. Setelah tingkat
cedera telah ditentukan, pasien dapat ditempatkan di tempat tidur khusus yang
berputar atau di leher rahim. Kemudian, jika ketidakstabilan SCI dan tulang telah
dikesampingkan. keluar, pasien dapat dipindahkan ke tempat tidur konvensional atau
kerah dapat dilepas tanpa membahayakan. Jika tempat tidur khusus diperlukan tetapi
tidak tersedia, pasien harus ditempatkan di leher rahim dan di kasur perusahaan.

Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu :


1) Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2) Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw
thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3) Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4) Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan
selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5) Menyediakan oksigen tambahan.
6) Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
7) Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8) Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari
hipotensi dan bradikardi.
9) Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10) Berikan antiemboli
11) Tinggikan ekstremitas bawah
14) Monitor volume infus.
15) Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16) Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala
bradikardi.
17) Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18) Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19) Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord :
steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8
jam setelah kejadian.
2.10 Proses Keperawatan Cedera Medulla Spinalis

Pola pernapasan pasien dan kekuatan batuk dinilai, dan paru-paru auskultasi,
karena kelumpuhan otot perut dan pernapasan berkurang batuk dan membuat
pembersihan sekresi bronkus dan faring sulit. Mengurangi kunjungan dada juga
terjadi.

Pasien dimonitor secara ketat untuk setiap perubahan dalam fungsi motorik
atau sensorik dan untuk gejala kerusakan neurologis yang progresif. Pada tahap awal
SCI, menentukan apakah tali pusat telah dipotong mungkin tidak dapat dilakukan,
karena tanda dan gejala edema tali pusat tidak dapat dibedakan dengan transek kabel.
Edema medulla spinalis dapat terjadi dengan cedera tali pusat yang parah dan dapat
lebih jauh mengganggu fungsi sumsum tulang belakang.

Fungsi motorik dan sensorik dinilai melalui pemeriksaan neurologis yang cermat.
Temuan ini dicatat pada lembar aliran sehingga perubahan dalam status neurologis
dasar dapat dimonitor secara cermat dan akurat. Klasifikasi ASIA biasanya digunakan
untuk menggambarkan tingkat fungsi untuk pasien dengan SCI (lihat Bagan 63-8).
Bagan 63-7 memberikan contoh efek dari fungsi sumsum tulang belakang yang
diubah. Minimal:

 Kemampuan motorik diuji dengan meminta pasien untuk menyebarkan jari-


jari, peras tangan pemeriksa, dan gerakkan jari-jari kaki atau putar kaki.
 Sensasi dievaluasi dengan mencubit kulit dengan lembut atau menyentuhnya
dengan ringan dengan objek seperti pisau lidah, mulai dari bahu dan bekerja di
kedua sisi ekstremitas. Pasien harus memiliki kedua mata tertutup sehingga
pemeriksaan mengungkapkan temuan yang benar, bukan apa yang diharapkan
pasien. Pasien ditanya di mana sensasi dirasakan.
 Setiap penurunan fungsi neurologis dilaporkan segera.

Pasien juga dinilai untuk syok tulang belakang, kehilangan total semua aktivitas
refleks, motorik, sensorik, dan otonom di bawah tingkat lesi yang menyebabkan
kelumpuhan kandung kemih dan distensi. Perut bagian bawah dipalpasi untuk tanda-
tanda retensi urin dan overdistensi kandung kemih. Penilaian lebih lanjut dibuat untuk
dilatasi lambung dan ileus paralitik yang disebabkan oleh usus atonic, akibat
gangguan otonom.Suhu dipantau, karena pasien mungkin memiliki periode
hipertermia sebagai akibat dari perubahan dalam kontrol suhu karena gangguan
otonom (Bunner & Sudarth, 2014).
2.11 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Berdasarkan patofisiologi,maka diagnosis keperawatan yang akan muncul adalah
sebagai berikut:

1. Pola pernapasan tidak efektif terkait dengan kelemahan atau kelumpuhan otot perut
dan interkostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi
2. Saluran udara tidak efektif terkait dengan kelemahan otot interkostal
3. Gangguan tidur dan mobilitas fisik yang terkait dengan gangguan motorik dan
sensorik
4. Persepsi sensorik terganggu terkait dengan kerusakan motorik dan sensorik
5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan ketidakmampuan untuk membatalkan
secara spontan
6. Nyeri dan ketidaknyamanan akut terkait dengan pengobatan dan imobilitas yang
berkepanjangan (Brunner &Sudarth, 2014).

Anda mungkin juga menyukai